Selasa, 23 Februari 2016

Kisah Ledekan Australia, Perkosaan dan "Invasi" Indonesia di Timor Leste

Ledekan diplomat Australia pada memo soal laporan perkosaan pasukan Indonesia saat konflik Timor Timur. (The Age)

Sebuah laporan mengungkap sikap Australia melalui diplomatnya di Kedutaan Besar di Jakarta yang meledek laporan pemerkosaan, penyiksaan dan eksekusi oleh pasukan Indonesia di Timor Leste saat masih bernama Timor timur usai “invasi” puluhan tahun silam.

Diplomat Australia itu berkomentar; ”Kedengarannya menyenangkan” dan “Penduduk haru terpesona” saat mengomentari laporan itu.

Ledekan itu muncul dalam tulisan tangan pada memo yang dikirim ke kedutaan pada bulan November 1976, kurang dari setahun setelah Indonesia “merebut” Timor Timur dengan kekuatan. Bocoran memo itu diulas media Australia, The Age, Senin (22/2/2016).

Ledekan diplomat Australia itu merujuk pada rilis media Fretilin—gerakan separatis yang melawan Indonesia saat itu—yang dianggap tidak konsisten.

Media milik Fretilin melaporkan, pertempuran pecah di wilayah Timor Timur dan pasukan Indonesia melakukan pengeboman artileri di beberapa desa. Di kawasan Quelicai, Fretilin sesumbar mengklaim berhasil memukul mundur pasukan Indonesia dengan menyebut “musuh impoten”.

Musuh yang setiap hari menyiksa, memperkosa dan mengeksekusi penduduk ditangkap di sebuah kamp tahanan di dekat Bacau,” bunyi laporan media Fretilin yang dikutip dalam memo diplomat Australia.

Membaca rilis media Fretilin itu, sang diplomat Australia berkomentar dalam tulisan tangan; ”Kedengarannya menyenangkan".

Tulisan tangan itu juga menganggap laporan media Fretilin sebagai lelucon. ”Laporan (Fretilin) ini, secara internal tidak konsisten. Jika 'musuh impoten', seperti yang dinyatakan, kenapa mereka sehari-hari memperkosa penduduk, menangkap atau imbas dari yang terakhir itu?,” tulis diplomat Australia.

Memo itu ditemukan di Arsip Nasional oleh dua peneliti dari Monash University, Sara Niner dan Kim McGrath. ”Memo itu bukti hidup tentang kurangnya empati dan kepedulian terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur di Departemen Luar Negeri (DFA),” kata Niner.

Arsip-arsip di Canberra mengungkapkan bahwa budaya ini menutupi hal yang terkait erat dengan kebutuhan DFA untuk mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur sehingga untuk memulai negosiasi atas minyak di Laut Timor,” ujarnya.

Setelah Timor Timur masuk Indonesia kala itu, batas dinegosiasikan pada awal tahun 1970. Negosiasi itu menguntungkan Australia.

Sebelum “invasi” Indonesia pada tahun 1975, Duta Besar Australia di Jakarta, Richard Woolcott mengirim telegram Canberra untuk mengamati celah di perbatasan laut yang "bisa menjadi jauh lebih mudah dinegosiasikan dengan Indonesia".

Namun, setelah Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia yang kemudian bernama Timor Leste, Australia menolak untuk bernegosiasi tentang batas permanen dengan Timor Leste. Bekas provinsi Indonesia itu masih menunggu Pemerintah Perdana Menteri Malcolm Turnbull untuk memulai pembicaraan baru.

Diplomat Australia yang meledek laporan itu adalah Cavan Hogue, yang kala itu naik menjadi duta besar di Soviet (sekarang) Rusia dan Thailand. ”Ini terlihat seperti tulisan tangan saya," katanya.

Jika saya membuat komentar seperti itu, itu menjadi bugger sinis saya, itu pasti dalam semangat atau ironi dan sarkasme. Ini tentang siaran pers, bukan orang Timor (Leste). Begitulah cara saya menafsirkannya,” ujarnya mengklarifikasi ledekan yang sejatinya ditujukan pada media Fretilin. (mas)

  sindonews  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.