Senin, 02 Mei 2016

Soal Pembebasan 10 WNI

Intinya Ada Anak Nakal dalam KeluargaEddy Mulya selaku Minister Counsellor-Political Affairs KBRI Manila (Jabbar Ramdhani/detikcom)

K
esepuluh anak buah kapal (ABK) berkewarganegaraan Indonesia telah tiba di Tanah Air dan menjalani pemeriksaan kesehatan di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Pihak KBRI Manila yang ikut dalam negosiasi menyebutkan proses yang dilakukan melalui kerja sama berbagai pihak.

"Ini full negosiasi. Kebetulan saya masuknya cuma di tengah. Jadi itu ada sahabat saya Pak Baedowi sama teman-teman. Mereka yang atur. Jadi kita cuma tindak lanjut," ucap Eddy Mulya selaku Minister Counsellor-Political Affairs KBRI Manila di Base Ops Lanud Halim Perdanakusuma, Senin (2/5/2016).

Eddy mengatakan proses tindak lanjut yang dilakukannya kurang lebih berlangsung selama 1 minggu. Dia menyebut ada tim dari Baedowi yang akhirnya melibatkan banyak pihak. Namun tak diungkap jelas siapa Baedowi itu.

"Kebetulan saya dari KBRI, kita bicara dari awal, dari KBRI kita dapat tugas. Seluruh komponen KBRI dan KJRI. Kita libatkan semua unsur," kata Eddy.

"Intinya ini kan ada anak nakal dalam satu keluarga. Kan ada anak nakal, nah bagaimana kita komunikasi dengan itu. Kemudian ada yang dituakan, dihormati. Nah semuanya itu, saya hanya tindaklanjuti," imbuhnya.

Kini 10 WNI itu tengah diperiksa kesehatannya di RS Gatot Soebroto, Jakarta. Menlu Retno mengatakan setelah pemeriksaan kesehatan selesai, 10 WNI itu akan dikembalikan ke keluarga masing-masing. (dhn/dhn)

 Ini Kerja Sama Diplomat, TNI, Intel dan Lembaga Internasional 

Banyak pihak yang terlibat dalam negosiasi pembebasan 10 WNI yang disandera kelompok bersenjata di Filipina. Salah satunya yang disebut Tim Badoewi, siapa mereka?

"Awalnya, kita semua terlibat. Ini kerja tim. Tapi kemudian mengerucut, jadi tim Pak Badoewi," ujar Koordinator Fungsi Politik KBRI Manila Eddy Mulya di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Senin (2/5/2016).

Eddy Mulya juga merupakan salah seorang negosiator dalam proses pembebasan 10 sandera Indonesia. Dia menekankan proses pembebasan dilakukan dengan proses negosiasi.

Dirinya masuk ke dalam Tim Badoewi saat proses negosiasi sudah berjalan. Eddy terlibat negosiasi dengan kelompok Abu Sayyaf sejak semingu yang lalu.

"Jadi itu ada sahabat saya Pak Badoewi sama teman-teman. Mereka yang atur. Jadi kita cuma tindak lanjut," terangnya.

Perkenalan Eddy dan Badoewi terjadi pada tahun 2012 saat keduanya bekerja sama dalam sebuah riset tentang terorisme.

Setelah terjadi penyanderaan, seluruh staf KBRI di Manila berupaya melakukan kontak dengan pihak penyandera. Di dalam KBRI Manila tim dibentuk yang terdiri dari unsur diplomat, TNI dan intelijen, serta lembaga internasional lainnya.

Tim Badoewi yang berada dalam bagian negosiator kemudian membuat sebuah proposal. Proposal pembebasan itu yang dijalankan untuk melakukan negosiasi pembebasan.

Proposal pembebasan sandera yang disebut Eddy berkaitan dengan riset yang dilakukannya bersama Badoewi. Riset itu salah satunya menyinggung soal pendidikan dan beasiswa.

"Tahunya matching saja," kata Eddy.

"Kita enggak ada hutang budi, jangan pikiran negatif. Kita kerja sama sesama umat Islam," sambungnya.

Lalu siapa Badoewi? Eddy menutup rapat-ratap soal identitas koleganya itu, termasuk asal Badoewi.

"Itu teman saya. Kita peneliti kok. Saya tidak bisa cerita banyak. (Namanya) Badoewi Rizal," terangnya.

Sementara itu, Ketua Fraksi Partai NasDem Viktor Laiskodat mengaku ikut pula berperan dalam proses pembebasan 10 WNI itu. Dia menyebut ada tim kemanusiaan bernama Yayasan Sukma yang didirikan Surya Paloh. Di dalam tim itu, Viktor menyebut ada nama Ahmad Baedowim tapi belum diketahui pasti apakah Baedowi yang disebut Eddy adalah orang yang sama.

Terlepas dari itu, tim kemanusiaan yang disebut Viktor yaitu terdiri dari misi gabungan Yayasan Sukma, Media Group, dan Partai NasDem. Dalam proses itu, Yayasan Sukma diwakili Ahmad Baedowi dan Dr. Samsu Rizal Panggabean. Sementara Media Grup diwaikili CEO Rerie L. Moerdijat, dan Partai NasDem sendiri diwakili oleh Viktor Bungtilu Laiskodat.

Yayasan Sukma adalah lembaga kemanusiaan di bidang pendidikan, yang didirikan Februari 2005 atau sekitar dua bulan setelah tragedi tsunami Aceh. Yayasan tersebut fokus di bidang pendidikan. Dalam perkembangannya, yayasan ini terlibat berbagai kerja sama pendidikan, termasuk dengan pesantren-pesantren di Moro Selatan, Filipina. (fiq/dhn)

 Diplomasi Tanpa Bedil 
KBRI Manila: Ini Kerja Sama Diplomat, TNI, Intel dan Lembaga InternasionalRachman Haryanto

10 WNI yang disandera kelompok bersenjata di FIlipina akhirnya dibebaskan dan telah kembali ke Tanah Air. Pembebasan para sandera adalah buah diplomasi kepada kelompok Abu Sayyaf tanpa harus menggunakan senjata.

10 Sandera WNI adalah awak dari awak kapal tug boat Brahma 12 yang menarik kapal tongkang Anand 12 yang berisi 7.000 ton batubara. Kapal mereka dibajak lalu disandera pada 26 Maret 2016. Pembajak lalu meninggalkan kapal Brahma 12 dan membawa kapal Anand 12 beserta muatannya.

Sejak 26 Maret, pemerintah Indonesia langsung berkoordinasi dengan pemerintah Filipina dalam upaya pembebasan sandera. Ada dua opsi yang digunakan yaitu diplomasi atau penggunaan kekuatan militer sebagai pilihan terakhir. Pihak Abu Sayyaf telah mengeluarkan ultimatum untuk segera membayarkan tebusan 50 juta peso, atau sekitar Rp 15 miliar. Apabila tidak dipenuhi maka sandera akan dibunuh.

Menyambut ultimatum kelompok Abu Sayyaf, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan pihak terus melakukan koordinasi dengan pemerintah Filipina. "Secara pararel, kolega saya juga lakukan komunikasi dengan para counterpartnya," kata Retno di akhir Maret lalu.

Retno kemudian terbang menuju Filipina pada 1-2 April 2016 dan berkoordinasi dengan pihak Filipina. Dari pertemuan dengan pihak-pihak penting di Manila, ada 4 poin yang dibawa pulang yaitu: Pertama, mengintensifkan komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah Filipina dalam upaya pembebasan sandera WNI. Kedua, menekankan kembali mengenai pentingnya keselamatan ke-10 WNI kita tersebut. Ketiga, menyampaikan apresiasi atas kerjasama yang sejauh ini telah diberikan oleh otoritas Filipina dalam rangka koordinasi pelepasan sandera. Dan keempat, melakukan komunikasi dengan pihak-pihak terkait lainnya.

"Dapat saya sampaikan baik dalam pertemuan dengan presiden Filipina maupun pertemuan terpisah dengan Menteri Luar Negeri Filipina dan panglima angkatan bersenjata Filipina tampak jelas komitmen kuat pemerintah Filipina untuk melakukan upaya terbaik dalam usaha pelepasan sandera WNI," tutur Retno.

Selama proses negosiasi dilakukan, desakan menggunakan kekuatan militer juga terus menggema. Pasukan TNI juga telah disiapkan di sekitar wilayah Kalimantan menunggu perintah melaksanakan kekuatan militer. Hal ini juga terlihat pada dibentuknya latihan bersama di wilayah Kalimantan.

Indonesia juga sempat menawarkan pihak Filipina untuk meminta izin menggunakan kekuatan milter dalam upaya pembebasan 10 WNI. Tawaran itu dilontarkan oleh Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu. "Itu terjadi di luar negeri. Apabila kami tidak diizinkan untuk masuk maka kami tidak akan memaksa. Apabila Manila siap untuk mengatasinya sendiri, kami akan menunggu, tapi jika mereka butuh bantuan, maka kami akan bantu," kata Ryamizard kala itu.

Namun permintaan itu ditolak oleh pihak Filipina. "Dalam konstitusi, kami tidak diizinkan kekuatan militer (negara lain) di sini tanpa perjanjian," ucap juru bicara AFP Kolonel Restituto Padilla di Manila.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan pemerintah Indonesia tidak berkompromi dengan uang tebusan yang diminta penyandera. "Kalau kita kita mau masuk ke sana harus ada izin, kalau kita mau gunakan TNI kita juga harus izin. Pemerintah Filipina pun harus mendapat persetujuan dari parlemen. Ini yang memang sangat menyulitkan kita," ujar Jokowi.

"Sehingga ada dua (upaya) yang kita lakukan, (komunikasi) dengan pemerintah Filipina juga dengan jaringan yang kita punyai," tambahnya.

Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menyebut Indonesia melakukan negosiasi kemanusiaan. "Pemerintah tentu berpegang pada prinsip untuk tidak ditekan dan diam seperti itu. Pemerintah mendahulukan negosiasi secara kemanusiaan," ujar JK pada awal April lalu.

JK yakin orang-orang yang terlibat dalam upaya pembebasan 10 WNI telah bekerja dengan sebaik-baiknya. Dirinya juga menegaskan pemerintah Indonesia lebih menekankan pada upaya dialog dengan kelompok Abu Sayyaf. "Ini kan mendahulukan dialog dulu. Di mana-mana penyelesaian standar mendahulukan faktor kemanusiaan," terangnya.

Usaha Indonesia yang menggunakan diplomasi tanpa senjata itu akhirnya berbuah manis. Pada 31 April 2016 waktu dini hari di Filipina, pihak kelompok Abu Sayyaf akhirnya membebaskan para sandera. Tim negoiator berhsil masuk melakukan kontak dengan kelompok Abu Sayyaf dan mengeluarkan 10 sandera yang disandera. Mereka lepas tanpa ada satu selongsong peluru yang muntah dari senjata api.

"Tidak ada pembayaran tebusan. Ini murni negosiasi," ujar salah satu negosiator pembebasan 10 WNI, Mayjen (Purn) Kivlan Zen.

Koordinator Fungsi Politik KBRI Manila Eddy Mulya yang juga salah seorang negosiator pembebasan 10 WNI mengatakan proses pembebasan dilakukan dengan proses negosiasi. "Ya ini full negosiasi. Kebetulan saya masuknya cuma di tengah," kata Eddy. (tfq/dhn)

 Tak Ada Tebusan untuk Bebaskan 10 WNI dari Abu Sayyaf 

Isu penyerahan tebusan di balik pembebasan 10 WNI dari penyanderaan kelompok Abu Sayyaf masih menjadi pertanyaan. Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan menyebut bahwa sampai hari ini, tidak ada laporan kepadanya soal penyerahan uang tebusan.

"Sampai hari ini yang saya tahu tidak ada (penyerahan uang tebusan), tapi ndak tahu kalau saya ndak tahu," kata Luhut usai menghadap ke Presiden di Istana Merdeka, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (2/5/2016).

Namun, soal perusahaan yang memperkerjakan para ABK telah menyiapkan uang tebusan, Luhut enggan mengomentari. Dia menegaskan, pemerintah tidak pernah menyerahkan uang tebusan kepada kelompok Abu Sayyaf.

"Ya sampai sekarang kita tidak akan pernah mengklaim bahwa dari pemerintah melakukan, karena pemerintah tidak pernah melakukan itu (memberikan tebusan)," tegas Luhut.

"Ya itu urusan perusahaan, saya tidak ingin berkomentar soal itu (uang yang disiapkan perusahaan). Saya tidak mau menduga-duga mengenai itu," imbuhnya.

Isu mengenai uang tebusan mencuat usai pembebasan 10 WNI itu. Selama ini, sebut beberapa media Filipina, seperti philstar.com dan inquirer.net, tidak pernah Abu Sayyaf membebaskan sandera-sanderanya tanpa ada uang tebusan yang dibayarkan. Ditambah pembebasan ini terjadi selang seminggu setelah sandera asal Kanada, John Ridsdel, dipenggal Abu Sayyaf karena uang tebusan 300 juta peso tidak dibayarkan.

Beberapa waktu lalu, Abu Sayyaf meminta tebusan sebesar 50 juta peso atau setara dengan 1 juta dolar AS untuk pembebasan sandera-sandera WNI itu. Saat ditanya lebih lanjut apakah ada uang tebusan yang dibayarkan, sejumlah pejabat Filipina kompak mengaku tak tahu-menahu.

Kepala Kepolisian Jolo, Inspektur Junpikar Sitin, menuturkan kepada AFP bahwa dirinya tidak mengetahui apakah ada uang tebusan yang telah dibayarkan kepada Abu Sayyaf. Pejabat kepolisian Filipina lainnya mengaku tak bisa mengkonfirmasi laporan soal uang tebusan yang dibayarkan.

Salah satu negosiator dari RI yaitu Mayjen Purn Kivlan Zen membantah ada tebusan yang dibayarkan. Kivlan menyatakan, pembebasan 10 WNI murni negosiasi. Utusan perusahaan kapal Brahma 12 tempat 10 WNI bekerja, Budiman membawa uang tebusan, namun tidak jadi dibayarkan.

"Uang itu dibawa oleh Budiman namun tidak diserahkan. Uang itu akhirnya dibawa pulang kembali," ucapnya. (kha/hri)

 Kami Tak Bayar Uang Tebusan 

Pemilik kapal Brahma 12, PT Brahma International, mengaku tak mengeluarkan sepeser uang pun untuk membayar tebusan atas pembebasan 10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf. Yang mereka tahu urusan pembebasan itu dilakukan tim negosiator di bawah kendali pemerintah RI.

"Saya mewakili PT Brahma bersama-sama dengan mitra kami PT Patria Maritime Lines, mengucapkan terima kasih pada pemerintah RI dalam hal ini Presiden dan jajaran menteri kabinet kerja, Menko Polhukam, Menlu serta pihak lain yang membantu pembebasan sandera awak kapal. Dan juga Kedubes kita di Filipina dan pemerintah Filipina," jelas Yan Arief yang menjabat sebagai Legal and External Action PT Brahma International dalam jumpa pers di Gedung Permata Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (2/5/2016).

Arief menegaskan tak ada uang yang dikeluarkan untuk membayar tebusan ke Abu Sayyaf agar 10 awak kapal bebas.

"Semuanya kami serahkan pada tim negosiator. Jadi tidak ada penyerahan uang dari PT Brahma sepeser pun," tandasnya.

Menurut Arief, pembebasan sandera adalah berkat negosiasi.

"Itu terkait bantuan dari pemerintah di bawah tim negosiator," tutur dia.

PT Brahma adalah pemilik kapal Brahma 12 yang diawaki 10 WNI. Sedangkan bertindak sebagai operator kapal adalah PT Patria Maritime Lines. Saat dibajak, kapal Brahma 12 tengah menarik kapal tongkang Anand 12 yang mengangkut lebih dari 7.000 metrik ton batu bara. Batu bara itu milik PT Antang Gunung Meratus. Kapal itu berlayar dari Sungai Puting, Kabupaten Tapin di Kalimantan Selatan menuju Batangas, Filipina Selatan. (dra/dra)

 Ini Kemenangan Diplomasi dan Negosiasi 
10 WNI Bebas dari Abu Sayyaf, Polri: Ini Kemenangan Diplomasi dan NegosiasiMenlu Retno Marsudi menyerahkan 10 WNI yang disandera Abu Sayyaf ke pihak keluarga (Foto: Ari Saputra/detikFoto)

10 WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf akhirnya bebas dan sudah tiba di tanah air. Polri mengatakan kebebasan 10 WNI itu merupakan kemenangan diplomasi dan negosiasi seluruh elemen yang terlibat.

"Kita melihat proses pembebasan ini benar-benar mengedapankan upaya diplomasi," kata Kadiv Humas Polri Brigjen Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (2/5/2016).

"Jadi ini adalah kemenangan diplomasi, negosiasi" sambungnya.

Boy mengatakan, sejumlah elemen terlibat dalam upaya pembebasan itu. Dari pemerintah yang terlibat antara lain dari Kemlu, TNI, Polri, dan juga dari masyarakat dan para tokoh yang memberikan perhatian khusus pada peristiwa itu.

"Yang pada intinya berupaya mendapatkan akses ke kelompok yang melakukan penyanderaan" ujarnya.

Ke depan, lanjut Boy, kerja sama antar aparat keamanan baik sesama aparat Indonesia maupun Filipina harus ditingkatkan untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali.

"Yang terpenting bagaimana kita bekerja sama antar aparat keamanan, untuk memberikan jaminan keamanan kepada para ABK yang melintas di perairan itu. Jadi jangan sampai terulang lagi. Koordinasi ini sangat penting," tutupnya. (idh/hri)

 Pemerintah Tak akan Bayar Tebusan, Lokasi 4 WNI Terus Dipantau 

Setelah berhasil membebaskan 10 WNI, pemerintah kini bekerja keras untuk membebaskan 4 WNI lainnya yang disandera kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan Abu Sayyaf. Menteri Luar Negeri Retno Lestari Priansari Marsudi mengatakan, pemerintah akan menggunakan semua opsi untuk membebaskan 4 ABK kapal Henry itu.

Retno menegaskan bahwa sama dengan pembebasan 10 WNI, pemerintah juga tak akan membayar tebusan untuk membebaskan keempat WNI tersebut.

"Pemerintah tidak akan membayar tebusan kepada penyandera. Lokasi keempat sandera WNI terpantau dari waktu ke waktu," kata Retno dalam acara serah terima 10 WNI kepada keluarganya di gedung Pancasila Kemlu, Jalan Pejambon Raya, Jakarta Pusat, Senin (2/5/2016).

Kapal Henry yang sedang menarik kapal tongkang Cristy diserang dalam perjalanan dari Filipina ke Kalimantan pada 15 April. Dari 10 ABK, 6 berhasil diselamatkan militer Malaysia yang berpatroli dan 4 lainnya dibawa lari penyandera dengan kapal cepat ke arah perairan Tawi-tawi, Filipina.

Dalam kesempatan itu Menlu Retno juga menjelaskan proses panjang pembebasan 10 warga negara Indonesia yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf. Proses pembebasan itu, kata Menlu Retno, cukup panjang di tengah situasi lapangan yang sangat dinamis dengan tingkat kompleksitas tinggi.

Proses pembebasan diupayakan dengan tetap mengutamakan keselamatan ke-10 WNI tersebut. "Pertama keselamtan WNI jadi acuan utama dan kedua dari awal kita buka semua simpul koordinasi dengan sebanyak mungkin pihak. Karena satu simpul tidak memadai untuk suatu operasi yang sangat besar," kata Retno.

Menlu Retno mengibaratkan koordinasi yang melibatkan sejumlah pihak dalam upaya pembebasan sandera ini seperti susunan batu bata untuk bangunan rumah. Satu bata tak akan cukup untuk membangun sebuah rumah.

Tim dari Indonesia, kata Menlu, mulai bekerja untuk membebaskan ke-10 WNI itu sejak 28 Maret lalu. "Pada 1 April 2016 saya sudah berada di Filipina diutus Presiden untuk melakukan pertemuan dengan Presiden Filipina. Kunjungan dilakukan juga untuk mempertebal jejaring koordinasi dengan banyak pihak," papar Retno.

Dari dalam negeri, komunikasi juga dilakukan dengan berbagai unsur. Termasuk kepada pihak yang menawarkan bantuan. "Semua tawaran tersebut kita tanggapi dengan baik karena kita yakin hal tersebut memberi kontribusi untuk pembebasan," kata Retno.

Menurut dia, strategi yang diterapkan dalam upaya pembebasan 10 WNI korban Abu Sayyaf itu adalah dengan diplomasi total dengan dipimpin oleh pemerintah dan melibatkan semua unsur.

Setelah berhasil membebaskan 10 WNI saat ini pemerintah Indonesia akan membahas kerjasama keamanan wilayah perairan. Pada 5 Mei nanti Menlu Retno bersama Panglima TNI akan ke Filipina untuk membahas kerjasama menjaga keamanan di perbatasan. (erd/nrl)

  detik  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.