Jumat, 24 Juni 2016

Uni Eropa Serukan Kebebasan Melintasi Laut China Selatan

Kapal patroli China melintas di dekat KRI Imam Bonjol milik TNI Angkatan Laut yang hendak menangkap kapal nelayan berbendera China, Han Tan Cou, yang memasuki perairan Natuna dan terdeteksi menebar jaring. (Antara/HO/Dispen Koarmabar)

Komisi Uni Eropa menegaskan keharusan adanya kebebasan melintas di Laut China Selatan di tengah meningkatnya ketegangan di perairan tersebut.

"UE ingin melihat kebebasan berlayar dan penerbangan di Laut China Selatan dan Timur," demikian bunyi pernyataan Komisi Uni Eropa seperti tercantum dalam dokumen yang dirilis pada Rabu (22/6).

Komisi Uni Eropa menekankan bahwa mereka menentang "aksi unilateral yang dapat mengubah status quo dan meningkatkan ketegangan."

Belakangan ini, ketegangan di LCS kian tinggi setelah otoritas Indonesia menembak kapal China yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Natuna.

Dua kali sudah insiden serupa terjadi di perairan Natuna. Diberitakan Reuters, China menegaskan bahwa pihaknya tidak membantah kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna. Namun, pernyataan Kemlu China atas insiden itu menyatakan bahwa insiden itu terjadi di daerah yang memiliki klaim tumpang tindih.

Berang, Presiden Joko Widodo pun mengadakan rapat di Pulau Natuna guna menegaskan kepemilikan Indonesia atas wilayah tersebut pada Kamis (23/6).

Tak hanya melibatkan negara ASEAN, Amerika Serikat sebagai negara sekutu Filipina pun melakukan patroli gabungan di LCS. Selain itu, AS juga mengirimkan kapal perang dan jet tempurnya ke wilayah sekitar LCS atas dasar kebebasan melintasi wilayah perairan internasional.

Kemelut LCS mulai menyeruak setelah China mengklaim 90 persen perairan LCS tumpang tindih dengan beberapa negara anggota ASEAN lainnya, seperti Filipina, Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

LCS merupakan salah satu jalur perdagangan tersibuk dunia dengan nilai perdagangan mencapai US$ 5 triliun per tahun.

"Volume besar perdagangan maritim melewati daerah itu, berati kebebasan berlayar dan penerbangan merupakan kepentingan utama bagi UE. UE harus mendesak China untuk berkontribusi pada stabilitas kawasan dan mendukung hukum internasional," tulis UE. (stu/stu)
AS Peringatkan China Jelang Keputusan Pengadilan ArbitraseBerebut Klaim di Perairan Sengketa [infografis/CNN]

Amerika Serikat memperingatkan China agar tidak mengambil tindakan provokatif tambahan menjelang keputusan pengadilan internasional soal klaim Laut China Selatan yang akan segera diumumkan. Keputusan itu diperkirakan akan menolak sebagian besar klaim teritorial Beijing di perairan yang diyakini kaya minyak itu.

Filipina mengajukan tuntutan hukum ke Pengadilan Arbitrase Tetap untuk melemahkan klaim China di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut, UNCLOS. China mengklaim hampir 90 persen wilayah Laut China Selatan dengan sembilan garis putus-putus, atau 'nine-dashed line', meluputi ratusan pulau, terumbu karang dan wilayah perairan yang tumpang tindih dengan sejumlah klaim negara lainnya, termasuk dengan Indonesia di Natuna.

Menteri Luar Negeri China Hua Chunying pada Selasa (21/6) menyatakan bahwa puluhan negara mendukung klaimnya di Laut China Selatan, termasuk sejumlah negara barat. Namun, dalam laporan kantor berita Xinhua, Chunying hanya merinci dukungan dari Zambia, Kamerun, Ethiopia dan Malawi.

Wakil asisten menteri luar negeri AS untuk Asia Timur Colin Willett pada Rabu (22/6) menanggapi skeptis atas pernyataan Chunying tersebut dan berjanji bahwa Washington akan menegakkan komitmen pertahanan AS di kawasan itu.

Willet mengungkapkan bahwa Washington memiliki "banyak pilihan" untuk menanggapi setiap langkah yang dilakukan China di wilayah itu yang menimbulkan risiko terhadap kepentingan AS.

Menjelang keputusan pengadilan yang diperkirakan akan diumumkan beberapa pekan mendatang, Willet menyatakan bahwa AS akan menggalang dukungan sekutu dan mitranya di wilayah tersebut untuk memastikan persatuan menentang klaim China.

"Kami, Amerika Serikat, memiliki kepentingan nasional yang sangat jelas di kawasan," kata Willett kepada Reuters.

"Kami memiliki kepentingan dalam menegakkan komitmen pertahanan kami dan kemitraan keamanan kami," ujarnya.

Para pejabat AS sebelumnya telah memperingatkan China untuk tidak mendeklarasikan zona pertahanan udara di Laut China Selatan, seperti yang dilakukannya di Laut Cina Timur pada 2013 lalu. AS juga mendesak China untuk tidak meningkatkan pembangunan dan perluasan pulau buatan.

Selain tekanan diplomatik, para pejabat AS berjanji untuk terus meluncurkan patroli kebebasan navigasi oleh kapal perang AS dan pesawat AS serta meningkatkan bantuan pertahanan ke negara-negara Asia Tenggara.

Meski keputusan pengadilan belum diumumkan, Willett mengatakan bahwa apapun keputusan yang ditetapkan Pengadilan Tetap Arbitrase di Den Haag harus diberlakukan. "Tak sepatutnya China melakukan tindakan provokatif setelah keputusan itu ditetapkan," ujarnya.

AS, lanjut Willet, menilai keputusan pengadilan itu haruslah mengikat. Namun, dia tidak merinci langkah AS selanjutnya jika Beijing tidak mengindahkan keputusan itu.

"Saya pikir ini merupakan titik perubahan penting, bukan hanya untuk Amerika Serikat, tapi untuk seluruh wilayah," ujarnya.

Willett mengatakan bahwa Washington berharap China akan menanggapi keputusan itu sebagai sebuah "kesempatan untuk memulai kembali pembicaraan serius dengan sejumlah negara tetangganya."

Sebaliknya, China selama ini menuduh bahwa AS meluncurkan militerisasi di kawasan itu, dengan melakukan patroli bersama sejumlah negara sekutunya. AS mengelak dengan menyatakan bahwa mereka berlayar di perariran internasional. Pekan lalu, sebuah kapal pengintai China membayangi kapal induk Amerika Serikat, John C. Stennis, di perairan Pasifik Barat, yang tengah meluncurkan latihan militer dengan kapal perang Jepang dan India. (ama/stu)

  CNN  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.