Senin, 29 Agustus 2016

Dana Teroris ke Indonesia Paling Besar dari Australia

Bangsa Indonesia harus waspada terhadap paham terorisme karena teroris adalah sebagian dari proxy war yang ada di Indonesia. Demikian dikatakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo beberapa waktu lalu saat memberikan kuliah umum dihadapan 490 mahasiswa Pascasarjana Universitas Pertahanan di PMPP IPSC, Sentul, Bogor, pekan kemarin.

Banyak orang yang mengatakan bahwa terorisme yang terjadi di Indonesia bahkan di dunia adalah karena faktor ketidakadilan, maka hal tersebut adalah bohong karena masalah terorisme sebenarnya berlatar belakang energi, ISIS sebagai contoh nyatanya,” ujar Gatot.

Mantan KSAD tersebut menyatakan, ISIS saat ini bukan lagi ISIS melainkan Islamic State, karena mereka para teroris ingin membuat satu negara menjadi negara Islam. Namun, sistem rekrutmennya dari seluruh negara.

Jadi ISIS sistem perekrutanya itu mencari hal-hal yang sensitif, di mana kesenjangan sosialnya dan tingkat ketidakadilan sangat tinggi serta sering terjadi pelecehan agama di negara tersebut, seperti Indonesia dan Prancis serta beberapa negara lainnya,” kata Gatot.

Dia juga menyinggung, banyak anak-anak Indonesia yang masih kecil, saat ini berada di Suriah. Mereka diberikan latihan menembak dan latihan militer lainnya untuk dididik menjadi pasukan ISIS.

Anak-anak tersebut dicuci otak untuk menjadi teroris bahkan mereka membakar raport sekolahnya dan apabila nantinya mereka terdesak di Suriah, maka sesuai doktrin para teroris tersebut akan kembali ke negara asalnya dan mengadakan perjuangan di wilayahnya masing-masing,” kata mantan panglima Kostrad itu.

Gatot menyampaikan beberapa hasil survei yang dilakukan oleh lembaga penelitian, seperti, Wahid Foundation pada 2016 mengatakan, setidaknya 7,7 persen Muslim Indonesia bersedia berpartisipasi dengan teroris. Sebanyak 0,4 persen pernah berpartisipasi dengan teroris. Sedangkan Setara institute mengatakan, ada 35,7 persen siswa SMA Negeri di Jakarta dan Bandung intoleran pasif, sekitar 2,4 persen intolerar aktif, dan 0,3 persen berpotensi menjadi teroris.

Hasil survei yang sama juga disampaikan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada tahun 2011 bahwa, 26,7 persen mahasiswa Islam setuju jihad dengan kekerasan 68,4 persen tidak setuju. Sedangkan CSRC UIN Jakarta pada 2008-2009 mengeluarkan hasil survei, di mana 45 persen takmir masjid di Jakarta mewajibkan berdirinya Negara Islam dan 26 persen jihad melawan kaum non-Muslim, serta 32 persen wajib perjuangkan khilafah, sementara 14 persen wajib perangi pemerintah yang tidak melakukan syariah.

Dapat dibayangkan betapa perekrutan teroris sangat mudah dengan menggunakan media sosial dan teroris Indonesia memiliki dana yang cukup besar. Dana teroris yang masuk ke Indonesia paling besar dari Australia bukan negara Australia ya, tetapi dari wilayah Australia, Malaysia, Brunei dan Filipina, di mana teroris yang telah dilatih disiapkan untuk masuk ke Indonesia,” kata Gatot.

Dia menyampaikan, sumber dana teroris yang masuk ke Indonesia melalui yayasan-yayasan sangat besar. Namun disayangkan, elemen bangsa tidak dapat berbuat apa-apa, karena undang-undang masih mengatakan, terorisme adalah tindakan kriminal biasa.

Maka dari itu saya katakan alangkah bodohnya bangsa ini, kalau masih mendefinisikan teroris adalah kejahatan kriminal, kalau kejahatan kriminal berarti tindakannya berdasarkan hukum pidana, padahal itu sudah pembunuhan secara massal, membuat ketakutan berlebihan, merusak sendi-sendi kehidupan, bahkan merusak kedaulatan negara, itu adalah kejahatan negara, kita harus berani menyikapi hal itu,” ucap Gatot.

  Republika  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.