Sabtu, 01 Oktober 2016

Kisah KKO Pengangkat Jenazah Pahlawan Revolusi

Di Sumur Tua Lubang Buaya http://i0.wp.com/jurnalmaritim.com/wp-content/uploads/2015/10/IMG-20151001-WA009.jpg?fit=996%2C747Pelda KKO (Purn) EJ Venkandou dan Pelda KKO (Purn) Soegimin saat diwawancarai oleh Dispenal 

S
ebanyak delapan penyelam dan dua dokter pengangkat jenazah Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya mendapat undangan istimewa dari Presiden Joko Widodo di Istana Negara hari ini, Kamis, (1/10/15). Komandan Kompi Intai Para Amfibi KKO AL (sekarang Korps Marinir TNI AL) yang dipimpin oleh Kapten KKO Winanto saat itu berhasil mengangkat 7 jenazah Pahlawan Revolusi.

Sebelum menghadap Presiden, para pelaku sejarah itu berdasarkan pantauan Jurnal Maritim telah lebih dulu menceritakan pengalamannya 50 tahun silam kepada dari Dinas Penerangan Angkatan Laut (Dispenal). 2 anggota Kompi Taifib KKO Pelda KKO (Purn) EJ Venkandou dan Pelda KKO (Purn) Soegimin menuturkan kisah pengalamannya kala mengangkat jenazah 6 Jenderal dan 1 perwira TNI AD korban keganasan Pasukan Dewan Revolusi PKI pada malam 1 Oktober 1965.

Sesuai informasi yang diterima dari Dispenal, keduanya menerangkan kronologis kejadian malam 1 Oktober 1965 itu hingga terlibat dalam pengangkatan jenazah di sumur tua Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965.

Dari bulan Juli 1965 kami sudah menyiapkan latihan untuk acara Hari ABRI pada tanggal 5 Oktober, Waktu itu kami singgah di tenda-tenda pleton daerah Ancol, Tanjung Priok untuk terus mengikuti latihan persiapan peringatan. Namun menjelang tanggal 30 September, tentara yang datang ke Jakarta semakin banyak, saya juga heran ada apa ini?” terang Pelda KKO EJ Venkandou kepada Dispenal.

Masih dalam penjelasan Venkandou, jelang malam naas tersebut, memang banyak seruan untuk kesatuan-kesatuan agar segera menggabungkan diri dalam menyelamatkan Presiden Sukarno dari sekelompok Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta.

Janji dari orang yang mengajak saat itu ialah kenaikan pangkat sampai Letnan Dua bagi personel yang masih berpangkat kopral atau sersan. Tetapi kami ditarik ke Kormar oleh komandan kami,” tambahnya.

Pada saat malam operasi, keduanya pun hanya mengetahui dari siaran Radio yang dibacakan oleh Letkol Untung Syamsuri sebagai pemimpin Dewan Revolusi mengenai adanya revolusi untuk penyelamatan Presiden Sukarno.

Keduanya menjelaskan, baru tanggal 3 Oktober malam, Kapten Sukendar dari Kostrad datang ke Kormar menemui Letnan Mizwan mengenai permintaan bantuan untuk mengangkat jenazah Jenderal yang telah diketahui di Lubang Buaya setelah dinyatakan hilang pada 1 Oktober 1965.

Kapten Sukendar ini memiliki pengalaman di Yogyakarta saat menolong orang yang keracunan di sumur. Waktu itu Pak Sukendar mencoba mengangkat jenazah itu hanya menggunakan masker untuk pasukan anti huru-hara ternyata tidak kuat dengan baunya, karena jenazah sudah 3 hari,” papar Venkandou.

Kapten Sukendar akhirnya ijin kepada Pangkostrad Mayjen Suharto untuk mencari pasukan yang mampu mengangkat jenazah tersebut. Sontak akhirnya mendapatkan KKO sebagai solusinya. “Letnan Mizwan akhirnya menyetujui permintaan itu cuma harus mengambil peralatan dulu yang ditaruh di Tanjung Priok entah di mananya dan subuh itu juga kami keluar dari Kormar menuju Halim Perdanakusuma,” kenang Venkandou.

Lucunya, setiba di Halim Perdanakusuma, rombongan tidak ada yang tahu di mana Lubang Buaya, termasuk petugas AU sendiri. “Kita menunggu agak lama di situ tiba-tiba ada polisi AU dengan motor menghampiri kita, dia langsung tanya mau ke Lubang Buaya, ‘iya’, jawab kami. Mereka langsung antar kami ke Lubang Buaya meyusuri jalan setapak saat itu,” tuturnya.

Sesampainya di Lubang Buaya yang dijaga oleh pasukan RPKAD ternyata mereka tidak dapat masuk lantaran kawasan itu steril dan perlu penjagaan yang ketat. Selain itu mereka bergerak pun tanpa surat tugas mengingat kondisi yang begitu genting saat itu. Akhirnya terpaksa mereka menunggu selama 2 jam di sekitar kebun karet Lubang Buaya.

Sampai rombongan Pak Harto tiba bersama Pak Sukendar. Akhirnya Pak Sukendar memperkenalkan kami kepada Pak Harto dan katanya langsung tinjau sumurnya. Sesampainya kami di sumur, pasukan RPKAD yang sudah berkumpul kami persilahkan ‘monggo’ untuk melakukan pengangkatan jenazah,” cerita Venkandou.

Anggota RPKAD Kopral Anang masuk terlebih dahulu dan berhasil mengangkat jenazah Lettu Pierre Tendean (ajudan Jenderal AH Nasution yang menjadi korban). “Ya kita tahu RPKAD sendiri pun pernah berlatih di Dislambar Surabaya, jadi mereka sudah mengetahui penyelaman. Namun, selanjutnya kami yang melanjutkan pengangkatan 6 jenazah Jenderal di sumur itu,” pungkasnya.

Ketujuh jenazah Pahlawan Revolusi itu kemudian dibawa ke RSPAD Gatot Subroto untuk dilakukan Autopsi. Selesai pengangkatan, nama-nama seperti Pelda KKO (Purn) EJ Venkandou dan Pelda KKO (Purn) Soegimin bak hilang ditelan bumi. Akan tetapi bagi mereka, prajurit KKO yang sapta margais tidak mempermasalahkan namanya populer atau tidak. Yang terpenting bagi mereka ialah menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan bangsa dan negara, sudah merupakan suatu kebanggaan tersendiri.

Hari ini, Pelda KKO (Purn) EJ Venkandou dan Pelda KKO (Purn) Soegimin mewakili rekan-rekannya yang tidak dapat hadir mendapat keistimewaan saat dijamu Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Apa yang telah dilakukannya untuk bangsa dan negara mendapat penghargaan yang setimpal dengan jasa-jasanya.

  Jurnal Maritim  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.