Selasa, 22 November 2016

[Dunia] RI Pantau Perkembangan Situasi Rohingya

http://www.bangkokpost.com/media/content/20161114/c1_1134549_620x413.jpgFoto satelit dimana kampung warga Rohingya di bumihanguskan di Myanmar [Bangkokpost] ☆

Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi, mengatakan bahwa pemerintah Indonesia terus memantau perkembangan situasi di Rakhine, di mana bentrokan antara militer Myanmar dan etnis minoritas Muslim Rohingya terus terjadi selama sebulan belakangan.

"Kami memantau dari dekat semua perkembangan yang ada di Rakhine State. Kami juga menyampaikan concern terhadap situasi keamanan bahkan jatuh korban tentu kami sampaikan concern," kata Retno di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (21/11).

Rangkaian bentrokan ini bermula ketika pada 9 Oktober lalu terjadi serangan serempak di tiga daerah di Rakhine, menewaskan sembilan polisi. Serangkaian bentrokan kemudian terus terjadi. Militer Myanmar menuding, etnis Rohingya menyerang mereka terlebih dulu.

Pada Sabtu (12/11) saja, operasi militer di Rakhine menewaskan 19 warga Rohingya. Menurut data yang dilaporkan Reuters, jumlah korban hingga pekan lalu mencapai lebih dari 130 orang.

Bentrokan semacam ini kerap terjadi. Namun, bentrokan militer Myanmar dengan etnis Rohingya kali ini disebut sebagai yang terparah sejak aksi kekerasan sektarian oleh kelompok Buddha radikal terhadap warga Rohingya pada 2012 lalu.

Selama ini, sebagian besar dari 1,1 juta total populasi Muslim Rohingya di Myanmar tidak memiliki kewarganegaraan dan hidup dalam diskriminasi. Mereka ditolak karena dianggap pendatang dari Bangladesh. Rohingya sendiri merasa sudah menjadi bagian dari Myanmar karena mereka telah melahirkan beberapa generasi di sana.

Akibat diskriminasi ini, banyak orang Rohingya yang berupaya kabur. Ditolaknya para pengungsi Rohingya ini dari beberapa negara, menyebabkan mereka hidup terkatung-katung di laut. Sebagian dari mereka terdampar di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Retno enggan berkomentar lebih lanjut. Menurutnya, ia bersama jajaran akan mengklarifikasi dan memastikan kondisi pasti di sana terlebih dahulu sebelum berkomentar.

Meskipun tak terdengar atau dipublikasikan kepada media, Retno memastikan bahwa pemerintah Indonesia terus berdiplomasi dengan pemerintah Myanmar untuk mengatasi hal ini.

"Diplomasi kita jalan secara konsisten untuk membangun Rakhine state secara inklusif," katanya.

Selama ini, Indonesia sangat memperhatikan nasib pengungsi. Meskipun bukan pihak yang meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai pengungsi pada 1951, Indonesia kini menampung 13.700 imigran dari berbagai negara, 1.974 di antaranya merupakan Rohingya.

Indonesia juga menggagas beberapa pertemuan untuk menanggulangi gelombang pengungsi di kawasan, seperti Bali Process dan Jakarta Meeting.

Dalam Jakarta Meeting tahun lalu, para peserta membahas cara mengatasi akar masalah di negara asal guna mengurangi laju pengungsi yang biasanya kabur dari kampung halamannya untuk menghindari konflik, layaknya kaum Rohingya. (hnn)

 Lebih Dari 1.000 Rumah Warga Rohingya Rata Dengan Tanah 
[​IMG]Rumah warga Rohingya yang hancur lebih banyak ketimbang yang diklaim pemerintah Myanmar. (Myanmarobserver)

Lebih dari 1.000 rumah warga Rohingya di lima desa negara bagian Rakhine, Myanmar, rata dengan tanah. Laporan berdasarkan pengamatan satelit lembaga Human Right Watch ini mematahkan klaim pemerintah Myanmar soal dampak kekerasan terhadap Rohingya yang memuncak akhir tahun ini.

Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya, Senin (21/11), mengatakan setidaknya ada 1.250 bangunan milik warga Rohingya yang hancur akibat terbakar atau ambruk karena serangan militer atau warga di distrik Maungdauw, Rakhine, antara 10-18 November. Citra satelit juga menunjukkan titik api yang masih menyala di beberapa desa distrik tersebut selama beberapa hari dari 12-15 November lalu.

Jumlah rumah warga Rohingya yang hancur ini bertentangan dengan klaim pemerintah yang mengatakan "hanya" ada 300 bangunan yang dirusak. HRW mendesak pemerintah Myanmar segera bergerak untuk menyelidiki serangan terhadap warga Rohingya, ketimbang hanya membela diri dan menuding "teroris" berada di balik serangan itu.

"Daripada merespons dengan tudingan gaya zaman militer dan membantahnya, pemerintah seharusnya melihat faktanya. Citra satelit yang mengkhawatirkan ini menunjukkan kehancuran desa-desa Rohingya jauh lebih buruk dibanding yang diakui pemerintah," kata Brad Adams, direktur Asia untuk HRW.

Kekerasan terhadap warga Rohingya di Myanmar kembali memuncak setelah terjadi serangan terhadap pos polisi pada 9 Oktober lalu, menewaskan sembilan aparat. Pemerintah Myanmar menuding "teroris Rohingya" berada di balik serangan itu, namun belum ada bukti yang jelas soal tuduhan tersebut.

Myanmar kemudian menjadikan distrik Maungdaw sebagai "zona operasi militer" dengan menerapkan penggeledahan, jam malam dan pembatasan pergerakan warga. Dalam operasi ini, dilaporkan 70 warga Rohingya tewas terbunuh, lebih dari 400 orang ditahan.

Tentara juga dituding melakukan pelanggaran HAM dengan menjarah, membakar rumah, menyiksa dan memperkosa warga Rohingya. Menurut laporan PBB, lebih dari 30 ribu warga Rohingya kehilangan tempat tinggal. Mereka kemudian mencoba kabur ke Bangladesh, tapi tidak diperbolehkan melintas.

Pemerintahan Myanmar pimpinan Aung San Suu Kyi membantah terjadinya pelanggaran HAM. Namun mereka juga tidak memperbolehkan penyidik internasional dan jurnalis untuk memasuki wilayah Rohingya yang hancur. Selain itu, lembaga bantuan kemanusiaan juga terhambat memasuki daerah tersebut karena dicegah pemerintah.

Rohingya adalah warga minoritas Myanmar yang tidak memiliki kewarganegaraan. Pemerintah Myanmar menolak mengakui mereka karena dianggap keturunan Bangladesh, kendati telah tinggal beberapa generasi di negara itu. Pemerintah Bangladesh juga menolak mengakui mereka, membuat Rohingya terombang-ambing tanpa status.

PBB menjuluki Rohingya sebagai masyarakat paling tertindas di dunia. Tahun 2012, lebih dari 100 warga Rohingya tewas dibunuh oleh kelompok Buddha radikal pimpinan biksu Wirathu.

Pelapor khusus PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, mendesak pemerintah Suu Kyi untuk segera bertindak dan melindungi warga sipil Rohingya. Lee menyayangkan kekerasan terhadap Rohingya selalu dibekingi oleh militer.

"Aparat keamanan seharusnya tidak diberikan katebelece (surat sakti) untuk meningkatkan operasi mereka," kata Lee dalam pernyataannya, dikutip AFP.

 Tentara China Siaga Tinggi 
[​IMG]Ilustrasi Tentara Myanmar [defence.pk]

Tentara China siaga tinggi setelah bentrokan antara kelompok bersenjata dan militer Myanmar mulai menjalar hingga ke dekat perbatasan pada akhir pekan lalu.

"Tentara China dalam siaga tinggi dan akan mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negara, juga melindungi kehidupan dan properti warga negara China yang tinggal di sepanjang perbatasan," demikian pernyataan resmi Kementerian Pertahanan China, seperti dikutip Reuters, Senin (21/11).

Kantor berita Xinhua melaporkan bahwa situasi di Myanmar ini mulai menjadi perhatian Beijing ketika pada Minggu (20/11) tiga kelompok bersenjata menyerang pos-pos keamanan di Kota Muse dan Kutkai yang terletak di negara bagian Shane, dekat perbatasan dengan China.

Seorang sumber anonim mengatakan kepada Xinhua bahwa ada beberapa korban yang jatuh dalam insiden tersebut, baik itu dari pihak militer maupun warga sipil.

Kedutaan Besar China di Myanmar pun menyerukan gencatan senjata sesegera mungkin guna mengembalikan kestabilan di daerah perbatasan tersebut.

Melalui pernyataan resminya, kedubes tersebut juga menginformasikan bahwa kini, pemerintah China menampung sementara sejumlah warga Myanmar yang melewati perbatasan untuk menghindari bentrokan.

Seruan ini dilontarkan untuk mencegah terulangnya kembali bentrokan seperti tahun lalu, ketika pertempuran merembet hingga masuk ke wilayah China. Lima warga China pun tewas akibat bentrok tersebut.

Konflik berkepanjangan di negara bagian Shan sendiri sudah berlangsung selama beberapa dekade, menyebabkan ribuan orang mengungsi ke luar negeri.

 Tentara Tembak Dulu Baru Bertanya 
[​IMG]Ilustrasi pasukan Myanmar. Sedikitnya 70 warga Rohingya tewas terbunuh di negara bagian Rakhine dalam gelombang kekerasan baru terhadap etnis minoritas Muslim Myanmar itu. [defence.pk]

Sedikitnya 70 warga Rohingya tewas terbunuh di negara bagian Rakhine dalam gelombang kekerasan baru terhadap etnis minoritas Muslim Myanmar itu. Menurut pengamat, warga sipil Rohingya kembali menjadi sasaran kebengisan militer Myanmar yang memiliki catatan buruk pelanggaran hak asasi manusia.

"Masalahnya, tentara Burma [Myanmar] memiliki catatan yang sangat buruk jika berhubungan dengan warga sipil. Mereka benar-benar menembak dulu, baru bertanya kemudian," kata Phil Robertson, wakil direktur divisi Asia di lembaga HAM Human Right Watch (HRW), seperti dikutip CNN.

Pemerintahan pimpinan Aung San Suu Kyi berdalih mengejar teroris saat menggelar operasi di desa-desa Rohingya di Rakhine. Namun kenyataannya, berbagai laporan kekerasan muncul, seperti pembunuhan, penyiksaan, pembakaran hingga perkosaan terhadap warga Rohingya dilakukan oleh tentara Myanmar.

Suu Kyi yang dilabeli sebagai tokoh demokrasi Myanmar hingga saat ini tidak terlihat batang hidungnya. Peraih Penghargaan Nobel Perdamaian ini bungkam dalam mengomentari kekerasan terhadap Rohingya.

Rohingya, warga yang tidak memiliki kewarganegaraan, menjadi target serangan militer setelah 300 orang bersenjata menyerang dan membunuh tentara dan polisi Myanmar. Pemerintah Suu Kyi tidak menyebut siapa pelakunya, namun PBB mengatakan bentrokan terjadi antara "organisasi etnis bersenjata" dengan militer.

Sejak saat itu, polisi dan tentara menutup wilayah Maungdauw di Rakhine dan Rohingya kena getahnya. Tentara menyisir desa-desa Rohingya yang diyakini tempat bersembunyi para penyerang aparat. Dalam penyisiran, pembunuhan dan penjarahan dilakukan militer terhadap etnis yang dijuluki "paling tertindas di dunia" itu.

HRW mencatat lebih dari 1.000 rumah warga Rohingya rata dengan tanah. Bangunan-bangunan mereka dibakar, terlihat dari titik-titik api pada citra satelit pada beberapa desa. Militer juga mengerahkan helikopter untuk menembaki warga Rohingya di Rakhine.

"Mereka melakukan bumi-hangus. Militer memang berhak mencari siapa yang menyerang penjaga perbatasan, tapi ini sudah berlebihan," kata Robertson.

Menurut Komisi Penasihat untuk Negara Bagian Rakhine yang juga mantan Sekjen PBB, Kofi Annan, kekerasan terhadap Rohingya membuat negara itu "kembali tidak stabil dan menyebabkan pengungsi baru."

Gelombang kekerasan kali ini membuat 30 ribu warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Berbagai lembaga non-pemerintahan menyebut pemerintah melarang mereka masuk ke daerah konflik, informasi dari wilayah itu juga terbendung. Mereka juga mendesak pemerintah Myanmar memperbolehkan masuk pelapor PBB untuk menyelidiki kekerasan dan pelanggaran HAM.

"Ini benar-benar peningkatan kekerasan, dan dikombinasikan dengan melarang masuk semua orang ke wilayah itu.Membiarkan Militer Burma menyelidiki sendiri adalah jurus untuk menutupi [kejahatan]," lanjut Robertson. (den)

  CNN  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.