Minggu, 13 November 2016

Industri Pertahanan Strategis Dalam Negeri Masih Menyedihkan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjJwWKeWJb5HZv5BZ-IfNxdk2ukE7HlsnWmeKwCyBmn69csjXcUBJRTNFXh-4_JoVvAbfbDVr401Qdw_0wfqEfK3RP2awC9YWyGLJeLKCt4MSb6rja81qN2mEuIP-s8Jxg1iUrATiPw3JZ/s1600/peluncuran-kapal-selam-ke-2-indonesia-oleh-dsme-2+%2528kaskus+militer%2529.jpgKapal selam kedua KRI 404 Trisula. Termasuk dalam 7 prioritas Kemhan. Nantinya PT PAL di harapkan dapat menyerap teknologi kapal selam dan mampu menmproduksi sendiri, bukan hanya merakit. [TNI AL] ☆

Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) menilai kondisi dan kemampuan manufakturing industri pertahanan strategis dalam negeri masih menyedihkan. Hal ini terjadi karena ada kesenjangan yang besar antara kemampuan secara teknologi dengan kesiapan manufakturing industri pertahanan. Tidak adanya lapangan pekerjaan yang memungkinkan bagi para ahli, menyebabkan para ahli di bidang teknologi akhirnya hengkang dan memilih bekerja di luar negeri.

Ketua Tim Pelaksana KKIP Laksaamana (Purn) Soemarjono mengatakan hal itu dalam penyampaian Program Kebijakan KKIP kepada media di Kantor Kementerian Pertahanan RI, Kamis (10/11/2016).

Dijabarkan oleh Soemarjono, sesusai Undang-undang No 16 Tahun 2016 tentang Industri Pertahanan, KKIP mengemban tugas untuk mendorong pertumbuhan industri pertahanan strategis dalam negeri. “Bagaimana industri pertahanan itu makin maju, itu ada undang-undangnya. Nah, keterlibatan KKIP itu ya di sini,” ujar Soemarjono yang mantan KSAL ini. Sebelum ada undang-undang ini, industri pertahanan hanya dilindungi oleh Peraturan Presiden (Perpres) atau Keputusan Presiden (Kepres).

Diakui Soemarjono, untuk menyosialisasikan Undang-undang No 16 Tahun 2012 ternyata tidak mudah, menyebabkan mekanisme pengadaan alat peralatan pertahanan dan keamanan (Alpalhankam) tidak sesuai dengan aturan undang-undang tersebut. “Misalnya, pengadaan barang dari luar negeri yang tidak disertai dengan offset, imbal dagang, dan kandungan lokal. Kami berharap, undang-undang ini sebenarnya tidak hanya dipahami oleh pengguna dan pemerintah saja, namun juga oleh masyarakat,” tambahnya.

Soemarjono menegaskan, offset yang dituntut dalam pembelian alpalhalkam dari luar negeri sesungguhnya adalah untuk kepentingan nasional. “Jadi kita waktu beli barang dari luar negeri itu kita mendapat susuk-nya (kembaliannya) dalam bentuk nilai untuk membangun industri pertahanan tadi. Bukan uang dan saya tegaskan bahwa KKIP tidak berada di ranah pengadaan,” ujarnya.

 1.200 pengadaan baru 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGlR5_vRRNGqogSg1GKkwADcoPbKK7mZTREpOips8a3keGVaDUOaMaO9-h_HFyp9zK9jljYYr-B3NvkHrWAVPTEZYs1eQ7c1qIcn8rkR0kaCaF8Dc45rKbCENqfRUb7hZ_q_l2uo3STH_0/s1600/Target+Industri+Dalam+Negeri+dalam+pemenuhan+Alpalhankam+atau+Alutsista.+%255BRoni+Sontani%255D+1024x768.jpgTarget Industri Dalam Negeri dalam pemenuhan Alpalhankam atau Alutsista. [Roni Sontani]

Ketua Bidang Transfer Teknologi dan Offset KKIP Laksda (Purn) Rahmad Lubis menyampaikan, UU no 16 tahun 2012 mengamanatkan bahwa pembelian alpalhankan dari luar negeri mewajibkan ada imbal dagang, kandungan lokal, dan offset. Jadi, ujarnya, sekarang tidak boleh lagi ada pembelian dari luar negeri yang tidak disertai tiga hal itu. “Minimal harus ada salah satu dari tiga poin itu,” ujar Lubis.

Ditambahkan, untuk peiode 2015 hingga 2024 (MEF II dan III) terdapat 1.200 jenis alpalhankam baru yang akan diproses pengadaannya. Maka dari itu KKIP telah menyusun dan memasukkannya ke dalam Buku Rencana Induk Industri Pertahanan Untuk Pemenuhan Kebutuhan Alpalhankam. “Di buku tersebut, selain nama dari masing-masing jenis, teknologi dari tiap-tiap jenis, kesiapan industri pertahanan, cara mana yang akan dipilih, itu ada semua,” terang Lubis.

Ia melanjutkan, bahwa ke 1.200 jenis alpalhankam yang telah ditetapkan itu tidak boleh berubah-ubah lagi karena akan menyulitkan proses untuk mengawasi atau mengikutinya. “Oleh karena itu kita akan memohon kepada ketua KKIP, Bapak Presiden RI, supaya beliau berkenan mendefinitifkan ini sebagai rencana nasional. Agar rencana penganggaran, penyedia anggaran, pengguna alpalhankam, pengelola kekuatan pertahanan, industri pertahanan semuanya menggunakan buku ini sebagai acuan,” papar Lubis.

Selain pembelian barang dari luar negeri, pemeliharaan alpalhankam atau alutsista juga sudah tidak dimungkinkan lagi dilaksanakan di luar negeri karena melanggar Undang-undang. “Itu Pasal 43 ayat 2. Artinya harus di dalam negeri. Nah, pengertian di dalam negeri, ya terserah. Mau itu bengkel orang asing, atau bengkel kita, atau bengkel patungan. Yang penting di dalam negeri. Ini dalam rangka menjaga kerahasiaan, percepatan, penambahan lapangan pekerjaan, pemasukan pajak, menghemat devisa, dan lainnya,” jelasnya.

Setelah dipetakan, dari 1200 alpalhalkam yang akan dibeli itu sebanyak 40% mengharuskan pengadaan dari dalam negeri, 13% melalui Litbang nasional, 27% pengadaan dari luar negeri, 10% joint development, dan 10% joint venture.

Lubis menambahkan, dari 1.200 pengadaan alpalhankam itu, KKIP telah menetapkan tujuh prioritas bidang hankam, yakni propelan, roket, rudal, medium tank, radar, kapal selam, dan pesawat tempur.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinP1GjGYzGCvLpsBdiKaHbHgQJU50_aLILnrqzWGUzV_U1_uxEIDhXfg8af3_dYLNb8eWDlcBgJ15geZxQWQJbWm9wBnV4bbGdd6bXrGBxnd-fhUDsLtjIMfuns7skGwh01NpiLyhnJVM4/s1600/Tujuh+prioritas+bidang+Alpalhankam.+%255BRoni+Sontani%255D-1024x768.jpgTujuh prioritas bidang Alpalhankam. [Roni Sontani]

Terkait kemampuan industri pertahanan dalam negeri yang secara kesiapan manufakturing masih lemah, lubis menyatakan, dengan adanya keharusan imbal dagang, kandungan lokal, dan offset yang nilainya minimal 85% (offset minimal 35%) itu yang akan meningkatkan readiness level dari industri pertahanan dalam negeri. “Ini penting sekaligus untuk menyehatkan industri pertahanan, karena dengan modal puluhan triliun industri strategis dalam negeri keuntungannya masih kecil,” lanjut Lubis.

Wakil Ketua Pelaksanan KKIP Marsyda (Purn) Eris Herryanto menyampaikan penegasan bahwa KKIP tidak pernah masuk di urusan pengadaan. Eris menyatakan hal itu menjawab pertanyaan wartawan dimana KKIP seolah dianggap sebagai instansi yang kerap mempersulit pengadaan alutsista dari luar negeri. “TNI, Kemhan mau beli apa saja silakan. Kami hanya melaksanakan undang-undang bahwa setiap pengadaan barang dari luar negeri, KKIP harus diberi tahu terlebih dahulu agar kita bisa menyiapkan untuk meminta offsetnya,” tegas Eris.

Pernyataan Eris diperkuat oleh penyataan Soemarjono bahwa pengguna atau TNI dalam hal ini adalah yang paling tahu mengenai kebutuhan alutsista sesuai spesifikasi teknis dan kebutuhan operasinya. “KKIP tidak akan mengurangi spektek yang dibutuhkan oleh pengguna, karena dengan mengurangi spektek yang dibutuhkan, artinya mengurangi kemampuan dan itu berpengaruh pada tidak tercapainya misi/operasi” tutup Soemarjono.

Author: Roni Sontani

  Angkasa  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.