Sabtu, 14 Januari 2017

[Dunia] AS Rencanakan Anti-Rudal

China-Rusia Tingkatkan PertahananTHAAD [lockheedmartin]

China dan Rusia sepakat meningkatkan pertahanan bersama sebagai tanggapan atas rencana Amerika Serikat menempatkan sistem pertahanan anti-rudal Terminal High Altitude Area Defence (THAAD) di Korea Selatan.

"Langkah 'penanggulangan' ini bertujuan menjaga kepentingan Beijing dan Moskow serta keseimbangan strategis di kawasan," demikian bunyi pemberitaan kantor berita pemerintah China, Xinhua, seperti dilansir Reuters, Jumat (13/1).

Xinhua tidak menjabarkan lebih lanjut langkah yang akan ditingkatkan.

Pengerahan THAAD sebenarnya direncanakan oleh Korsel dan AS untuk membendung ancaman rudal Korea Utara. Namun, China dan Rusia khawatir THAAD juga dapat berpengaruh terhadap keamanan mereka.

China dan Rusia khawatir, penempatan THAAD ini justru dapat membuat Korut kian berang. Lebih jauh, China juga khawatir karena radar THAAD diduga dapat menjangkau negaranya.

"China dan Rusia mendesak AS mengatasi masalah keamanan mereka dan berhenti menempatkan THAAD di Semenanjung Korea," tulis Xinhua, mengutip sebuah pernyataan resmi pemerintah China.

Untuk menanggapi rencana pengerahan THAAD ini, Rusia dan China sebelumnya telah menggelar latihan militer gabungan anti-rudal pada Mei lalu. Mereka direncanakan akan menggelar latihan gabungan lagi pada tahun ini.

Rencana pengerahan THAAD ini juga dikritik oleh warga setempat. Upaya pertama pengerahan THAAD ini pun ditolak oleh warga. Kini, AS dan Korsel kembali merencanakan pengerahan THAAD dengan lokasi di lapangan golf. (has)

 AS Kerahkan Radar yang Dapat Pantau Uji Coba Rudal Korut 
AS Kerahkan Radar yang Dapat Pantau Uji Coba Rudal KorutIlustrasi radar SBX. (Daniel Barker/U.S. Navy/Handout via Reuters)

Amerika Serikat mengerahkan radar laut militer berteknologi tinggi Hawaii yang dapat memantau uji coba rudal balistik antarbenua (ICBM) Korea Utara. Radar itu sudah bergerak dari Hawaii pada awal pekan ini.

Seorang pejabat Kementerian Pertahanan AS yang tidak ingin dikutip namanya mengatakan, radar X-band (SBX) itu diperkirakan akan tiba di lokasi tujuannya yang berjarak sekitar 3.218 kilometer dari Hawaii, pada akhir bulan ini.

Radar ini dikabarkan mampu melacak keberadaan rudal balistik antarbenua (ICBM). Alat ini juga mampu membedakan mana rudal yang berpotensi mengancam keamanan dan mana yang tidak.

Namun, juru bicara Pentagon enggan menjabarkan lebih lanjut tujuan utama dari pengerahan radar ini.

Pengerahan SBX saat ini tidak didasarkan karena adanya ancaman kredibel, namun kami tidak bisa mendiskusikan lebih spesifik [tujuan pengerahan radar ini] selama misi ini berlangsung,” tutur juru bicara Pentagon, Gary Ross seperti dikutip Reuters, Kamis (12/1).

Pengerahan radar ini dilakukan di tengah ketegangan antara kedua negara setelah pemimpin tertinggi Korut, Kim Jong Un, mengatakan bahwa ia dapat segera menguji coba ICBM.

Kim juga mengklaim akan menyerang AS jika negara itu tidak menarik pasukannya dari Korsel dan menghentikan latihan bersama sejumlah negara tetangga yang mengancam Pyongyang.

Menanggapi ancaman korut ini, Menhan AS, Ash Carter, menegaskan bahwa Washington tidak akan mengintersepsi ICBM milik Korut tersebut jika memang akan diluncurkan.

Ash lebih memilih strategi untuk memantau uji coba ICBM Pyongyang alih-alih menggagalkannya. Menurutnya, dengan memantau uji coba ICBM, AS dapat mengumpulkan data intelijen mengenai rudal balistik tersebut.

"Jika rudal itu mengancam, akan kami cegat. Jika tidak mengancam, kami tidak perlu melakukannya," tuturnya. (has)

 Media China Tantang Amerika Berperang untuk LCS 
Media China Tantang Amerika Berperang untuk LCSEditorial majalah pemerintah China menyebut AS perlu berperang skala besar dengan negaranya sebelum bisa memblokir akses Beijing ke Laut China Selatan. (Reuters/Tyrone Siu)

Sebuah tabloid berpengaruh di China, Global Times, menyebut Amerika Serikat harus berperang terlebih dahulu dengan China untuk bisa memblokir akses Beijing ke wilayah sengketa Laut China Selatan.

Komentar ini muncul usai calon Menteri Luar Negeri di era kepemimpinan Donald Trump, Rex Tillerson, menyebut China tak seharusnya diberikan akses masuk ke perairan itu. Diberitakan Reuters, Jumat (13/1), tabloid itu mengatakan AS perlu mengerahkan teknologi nuklirnya untuk bisa mencegah China memasuki sejumlah pulau dan wilayah tersebut.

"Tillerson sebaiknya mengandalkan strategi nuklirnya jika dia ingin memaksa 'negara dengan kekuatan nuklir besar' [China] menarik diri dari wilayah teritorialnya sendiri," kutip koran itu.

Majalah itu juga mempertanyakan dasar hukum upaya pemblokiran akses China ke LCS oleh AS. Media itu mempertanyakan apakah upaya pemblokiran akses ke LCS ini juga berlaku bagi negara bersengketa lainnya seperti Vietnam dan Filipina.

Selama ini, China mengklaim hampir 90 persen wilayah Laut China Selatan yang memiliki nilai perdagangan mencapai US$ 5 triliun per tahun, atau sepertiga dari total perdagangan global. Klaim sepihak Beijing ini memicu konflik sengketa antara China dan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Brunei, Malaysia, Vietnam, Filipina, bahkan Taiwan.

Washington sebelumnya telah meminta Beijing menghormati putusan keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) atas tuntutan Filipina mengenai sengketa LCS.

Salah satu hasil keputusan itu menyebutkan bahwa pengadilan menolak klaim China atas hak ekonomi di wilayah yang selama ini ditandai dengan sembilan garis putus-putus atau nine-dash line.

Sementara itu, demi menegakan kebebasan bernavigasi di perairan LCS, AS kerap mengerahkan sejumlah pesawat dan kapal militer untuk berpatroli di perairan yang dianggap Washington sebagai "perairan internasional." Langkah AS ini jelas memperkeruh hubungan kedua negara, khususnya dalam sengketa itu.

Mengenai pencalonan Tillerson, editorial Global Times menganggap mantan pimpinan perusahaan Exxon Mobil sebagai kandidat terlemah di kabinet Trump. Editorial menilai Tillerson memiliki potensi paling besar untuk ditolak oleh Kongres AS, meskipun tak merinci kritikannya tersebut.

"[Pernyataan Tillerson] diduga hanya sebagai bahan penjilat senator guna memperbesar peluangnya untuk dipilih dengan menunjukan sikap keras terhadap China," kritik tabloid itu.

Global Times merupakan tabloid kenamaan di China, terkenal dengan kritikan pedasnya pada pihak yang bersebrangan dengan pemerintahan Xi Jinping. Namun, pernyataan yang dipublikasikan tabloid yang diterbitkan partai berkuasa di China ini tidaklah serta-merta menggambarkan kebijakan negara itu secara menyeluruh. (aal)

   CNN  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.