Selasa, 07 Februari 2017

Heli AW-101 Sudah Mendarat di Lanud Halim

Kontraknya Dibatalkan https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimgUZqx3uKlwSqSCF8bptPths_yw6SDSpzd9MXkejfMUjnmrFhC4gLx41tAvSzcjxxJMsIlplzPPkVMFjQDEQzrl2IrJCWygwWQ3UPeDjy-jN4iutMw2cvK7ogYFz3vff9aPT4W-XUXvU/s320/20161228_05.jpgHeli AW 101 ketika masih menggunakan logo TNI AU

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo membatalkan pengadaan Helikopter AgustaWestland AW-101 setelah menuai kontroversi. Meski begitu, heli buatan Inggris itu ternyata sudah tiba di Indonesia.

Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto menyatakan heli yang awalnya diperuntukkan untuk heli VVIP Kepresidenan tersebut telah tiba di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, sejak beberapa hari lalu. Heli tersebut dipesan pada era KSAU sebelumnya, Marsekal (Purn) Agus Supriatna. Saat ini TNI AU juga tengah melakukan investigasi terkait pengadaan heli itu.

"Itulah yang sedang kita cari. Karena ketika saya menjabat, heli kan sudah diproses datang. Hari ini pun sudah ada di tempat. Itu sudah ada di Halim," ungkap Hadi di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/2/2017).

Meski telah tiba di Indonesia, pabrikan heli tersebut belum melakukan serah terima kepada pihak TNI AU. Hadi juga tidak menyebut ada berapa unit heli buatan Inggris itu yang tiba di Halim.

"Belum diserahkan. Masih pihak sana. Laporannya itu (tiba) 4 atau 5 hari yang lalu. Saya belum lihat fisiknya," jelas dia.

Hadi menyatakan, TNI AU telah membentuk tim investigasi soal pengadaan heli ini. Namun ia tidak merinci apakah tim investigasi internalnya itu bersinergi dengan tim investigasi yang dibuat oleh Panglima TNI.

"Investigasi sampai sejauh mana proses perencanaan, pengadaan sampai pesawat sudah ada di Indonesia. Saat ini sedang kita laksanakan pendalaman dipimpin Irjen AU terkait masalah administrasi," kata Hadi.

"Saya lihat dokumennya semua, dan itu memang sudah sampai dokumen pengiriman. Otomatis barang itu sudah harus kita terima. Kemudian dokumen penerimaan dari SP2 nya sudah ada jadi tetap dipersilakan, namun kami tetap mendalami proses pengadaan bagaimana apakah sudah sesuai," tambah Hadi.

Pengadaan heli AW-101 oleh TNI AU diketahui senilai 55 juta USD. Hadi belum bisa memastikan apakah pembatalan pembelian heli yang kini disebut untuk angkut berat tersebut dapat dilakukan.

"Laporannya demikian (55 juta USD). Selama saya di AU belum (pernah) ada (pembatalan). Ini harus kita dalami juga apakah ada proses ketika sudah beli karena ada masalah di dalam negeri kita mesti kembalikan atau tidak," ujar mantan Sesmil presiden itu.

Mengenai kemungkinan adanya kompensasi jika ada pembatalan, Hadi menyatakan belum bisa menjawabnya. Sebab tim investigasi masih melakukan penelusuran terkait hal ini.

"Kita akan runut semuanya. Karena ketika saya menjabat, semuanya suda ada. Saya benar-benar harus menata, mencari lalu memberi penjelasan kepada panglima TNI selaku atasan saya," ujar Hadi.

 Apakah ada kemungkinan AW-101 yang sudah datang itu bisa dikembalikan?

"Saya belum bisa memberikan jawaban. Saya akan kumpulkan data-data itu sebenarnya. Tim baru kita bentuk seminggu setelah saya dilantik dan ini sudah mulai berjalan," jawab Hadi.

TNI AU pun menurutnya akan bekerja sama dengan Polisi Militer soal pengusutan permasalahan itu. Soal kemungkinan dana dikembalikan oleh pihak penjual, Hadi juga belum bisa memastikan.

"Kami juga akan komunikasi dengan Danpom TNI apa yang perlu dipertanyakan, dilengkapi. Apa yang perlu dilengkapi, saya lengkapi. (Anggaran dikembalikan utuh) Itu masih belum bisa diberikan jawaban," papar marsekal bintang empat tersebut.

Tim investigasi yang dibentuk Hadi merupakan independen TNI AU. Mantan Irjen Kemhan itu berjanji akan mengurus kasus ini dengan tuntas secepat mungkin.

"(Tim) kurang lebih 10 sampai 12 orang. Efektifnya baru kerja 3 hari karena kan kami harus lapor Danpom dan sebagainya. Saya sambil segera maraton. Saya selalu koordinasi dengan Dampon," tutur Hadi.

Hadi enggan menyebut soal target dari tim investigasi yang dibentuknya. Hadi memastikan akan segera melaporkan hasil penyelidikan begitu mendapat keterangan yang lengkap.

"Yang penting kita tahu masalahnya apa karena barang itu sudah di Indonesia. Kesimpulannya nanti setelah data lengkap. Saya kan menerimanya secara komprehensif. Nanti saya sampaikan langsung kepada Panglima, Panglima ke menteri," tegas Hadi.

Seperti diketahui, pada akhir 2015 Presiden Joko Widodo meminta agar pemesanan AW-101 sebagai heli VVIP Kepresidenan dibatalkan. Selang satu tahun, TNI AU ternyata kembali memesan heli itu hanya saja peruntukkannya sebagai heli angkut berat.

Kembali menuai kontroversi, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo membatalkan kontraknya. Menhan Ryamizard pun menjelaskan, meski telah dibatalkan pada 2015, dana pembelian AW-101 telah dibayarkan Kemenkeu yang memfasilitasi Setneg.

Pengadaan itu kemudian diserahkan kepada Kemhan pada 2016 karena uang sudah terlanjur dibayarkan. Peruntukkannya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, yakni sebagai heli angkut berat yang bisa digunakan sebagai bantuan bagi SAR.

Rymizard menyebut wajar saja jika Panglima TNI mengaku tidak mengetahui soal adanya rencana pengadaan heli itu. Sebab ia sendiri mengaku awalnya juga tidak mengetahui adanya pengadaan alutsista itu.

"Jadi waktu (pembelian AW-101 untuk VVIP Kepresidenan) dia nggak boleh, baru ke Kemhan tapi kan uang itu sudah dibayar. Bukan melalui kemhan. Melalui kemenkeu," ungkap Ryamizard, Senin (6/2).

"Karena Kemenkeu memfasilitasi kalau (untuk) kepresidenan langsung ke setneg. Gitu. Jadi waktu kerja, Panglima nggak tahu. Saya juga nggak tahu. Setneg yang tahu," pungkasnya. (elz/idh)

 Pembayaran Via Kemenkeu 
Panglima Tak Tahu soal Heli AW-101, Menhan: Pembayaran Via KemenkeuLamhot Aritonang/detikcom

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku tidak mengetahui soal perencanaan pembelian helikopter AgustaWestland AW-101 oleh TNI AU. Menhan Ryamizard Ryacudu menjelaskan rencana pengadaan heli itu berawal sejak diusulkan menjadi pesawat VVIP kepresidenan tahun 2015.

"Begini, itu dulu pesawat (untuk) kepresidenan. (Pengadaan) pesawat presiden itu melalui Setneg," ujar Rymizard seusai rapat kerja dengan Komisi I DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (6/2/2017).

Pada akhir tahun 2015, publik sempat diramaikan oleh rencana pembelian heli AW-101 untuk kepresidenan. Namun Presiden Joko Widodo menolaknya dan rencana pembelian heli buatan Inggris itu dibatalkan.

Jokowi merasa heli VVIP kepresidenan Super Puma masih laik. Selain itu, Presiden meminta agar pengadaan heli kepresidenan dilakukan dengan membelinya dari produksi dalam negeri.

Meski telah dibatalkan, ternyata TNI AU tetap jadi membeli heli AW-101 pada akhir 2016. Namun TNI AU menegaskan pembelian itu berbeda peruntukan. Dari yang awalnya untuk VVIP kepresidenan, heli itu untuk pesawat angkut berat.

Kembali menjadi kontroversi terkait pembelian heli ini, pengadaannya akhirnya kembali dibatalkan. Panglima TNI lalu melakukan investigasi mengenai rencana pembelian heli AW-101 yang tidak diketahuinya itu.

Pada rapat kerja hari ini dengan Komisi I, Gatot menuding Peraturan Menteri Pertahanan No 28 Tahun 2015 ikut berperan mengapa ia sampai tidak mengetahui soal perencanaan pembelian alutsista. Sebab, dalam aturan tersebut, Panglima TNI tidak diberi kewenangan soal pembelian alutsista tiap-tiap matra. Sehingga soal perencanaan pembelian alutsista untuk AU, AL, AD, Gatot tidak ikut mengetahuinya.

Menanggapi soal pembelian AW-101 terkait Permenhan yang dikeluarkannya, Ryamizard menyatakan itu tidak ada kaitannya. Sebab, ternyata uang pembelian AW-101 sudah dibayarkan sejak perencanaan awal pada 2015. Menurutnya, pembelian helikopter bagi kepresidenan biayanya melalui Sekretaris Negara yang difasilitasi oleh Kementerian Keuangan.

"Uangnya dari Setneg. Jadi Menteri Pertahanan nggak tahu apa-apa," kata Ryamizard.

Mantan KSAD ini menjelaskan, saat rencana pembelian AW-101 untuk pesawat VVIP kepresidenan melalui Setneg ditolak, rencana pembelian pun dialihkan ke Kementerian Pertahanan. Namun ternyata, kata Ryamizard, dana pembelian sudah dibayarkan oleh Kemenkeu.

"Jadi waktu (pembelian AW-101 untuk VVIP kepresidenan) dia nggak boleh, baru ke Kemenhan, tapi kan uang itu sudah dibayar. Bukan melalui Kemenhan, tapi melalui kemenkeu," jelasnya.

"Karena Kemenkeu memfasilitasi kalau (untuk) kepresidenan langsung ke Setneg. Gitu. Jadi waktu kerja, Panglima nggak tahu. Saya juga nggak tahu. Setneg yang tahu," imbuh Ryamizard.

Mengenai rencana pembelian alutsista, Menhan menjelaskan peraturan tidak akan berubah. Tetap sesuai permenhan yang mengatur tiap-tiap matra bisa langsung melakukan pengadaan alutsista tanpa perlu melalui Mabes TNI.

"Kan setiap beli itu, beli-beli sendiri, kumpul orangnya. Angkatan Laut, Darat, Udara, Kemenhan kumpul. Beli. Gitu," tegas Ryamizard.

Sementara itu, Gatot menyatakan tim investigasi soal rencana pembelian AW-101 masih terus bekerja. Ia belum bisa memastikan siapa yang membuat pengajuan dana untuk pembelian heli itu.

"Sekarang investigasi masih jalan. Dengan kehati-hatian dan ketelitian agar ketika diputuskan nanti sudah benar," ujar Gatot di lokasi yang sama.

Ada berbagai hal yang menjadi pertimbangan soal pembatalan pengadaan AW-101. Yang pasti, kontrak pembelian heli tersebut sudah dibatalkan.

"Kan prosedur pengadaannya harus dilihat. Pembayarannya gimana. Apakah sudah ada uji atau tidak. Lalu apakah alat yang dibeli itu memang baru atau bekas yang lama? Tapi yang jelas, saya sudah buat surat bahwa itu dilarang sama Presiden," urai Gatot.

Ia menegaskan tidak mengetahui rencana pengadaan heli AW-101 untuk TNI AU seperti yang disampaikannya dalam raker dengan Komisi I. Meski begitu, Gatot tak ingin menyebut Permenhan 28/2015 menyulitkan dirinya untuk mengatur postur TNI sesuai Minimum Essential Force (MEF).

"Ya memang saya nggak tahu. (Soal prosedur) itu juga yang saya heran. Makanya, karena saya heran, saya kirimkan tim investigasi. Itu saya harus cek semuanya. Saya nggak bisa beri kesimpulan sekarang," ujarnya. (elz/fdn)

  detik  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.