Senin, 01 Mei 2017

[Dunia] Sekilas Berita Krisis Di Semenanjung Korea

Korea Utara dalam Kondisi Terkepung? http://cdn1-a.production.images.static6.com/hTLJc0x5p66iv8ZuJy2sdnoIxWs=/1280x710/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(jpeg)/liputan6-media-production/medias/1562857/original/011111100_1491868710-_95556608_8dd906f3-7995-475c-ad1f-ed48f0ee5705.jpgKapal induk USS Carl Vinson dikawal sejumlah kapal perang [AFP)]

Hingga April 2017, tensi politik dan militer di Semenanjung Korea perlahan mengalami eskalasi.

Saat ini, situasi di Korea sedang berada pada kondisi yang cukup tegang. Pernyataan saling balas serangan misil kerap dilontarkan sejumlah tokoh petinggi negara yang terlibat pada 'perang dingin' Korea Utara versus sejumlah negara koalisi Amerika Serikat.

Selain itu, beberapa koalisi Negeri Paman Sam di semenanjung, seperti Jepang dan Korea Selatan, tengah mempersiapkan beberapa kapal perangnya.

Tak mau kalah, Kim Jong-un juga dilaporkan melakukan latihan artileri besar-besaran sebagai bentuk unjuk gigi kepada para negara yang berniat melakukan provokasi terhadap Korea Utara.

Pada Sabtu 29 April 2017, Pyongyang bahkan melakukan uji rudal balistik -- yang meledak beberapa detik setelah diluncurkan.

Rusia dan China juga dikabarkan ikut andil dalam ceruk carut-marut tersebut.

 Seruan Presiden Jokowi soal Korea Utara 
http://setkab.go.id/wp-content/uploads/2017/04/IMG-20170428-WA027.jpgPresiden Joko Widodo (Jokowi) tiba di Istana Malacanang di Manila, Filipina, Jumat (28/4). Kedatangan Jokowi disambut langsung oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte. [setkab]

Presiden Joko Widodo menaruh perhatian pada kondisi terkini di Semenanjung Korea. Saat ini, wilayah itu tengah memanas terkait aksi provokasi militer Korea Utara. Amerika Serikat kemudian merespons dengan menyiagakan sejumlah armada perangnya sebagai bentuk antisipasi.

"ASEAN harus mengirim pesan kuat kepada Korea Utara agar mentaati semua resolusi Dewan Keamanan PBB," ujar Jokowi sesi retreat di KTT ASEAN ke-30 di Formal Living Room, Coconut Palace, Manila Sabtu, (29/4/2017).

Jokowi berharap, semua negara ASEAN bisa menahan diri. Sehingga ketegangan yang saat ini terasa bisa reda dan tidak semakin buruk.

"Stabilitas dan perdamaian di Semenanjung Korea harus segera dikembalikan," imbuh dia.

Presiden menambahkan, jika situasi di kawasan Semenanjung Korea dibiarkan berlarut-larut maka kawasan Laut China Selatan niscaya akan terdampak.

Mantan Walikota Solo ini pun memastikan akan membahas hal itu saat bertemu dengan Presiden China, Xi Jinping, dalam waktu dekat.

Para pemimpin ASEAN juga membahas isu internasional lain, seperti pemberantasan terorisme dan Laut China Selatan. Mereka mengharapkan kiranya Kerangka Code of Conduct (CoC) dapat diselesaikan pertengahan tahun ini.

Kerangka CoC telah dibahas di Bali pada Desember 2016 antara ASEAN dan Tiongkok (Bali draft). Draf tersebut kemudian semakin disempurnakan dalam pertemuan di Siem Reap (Kamboja) pada akhir Maret 2017.

Indonesia mengharapkan kiranya kawasan Laut Tiongkok Selatan tidak dijadikan proyeksi bagi kekuatan negara-negara besar.

"Indonesia mengajak Republik Rakyat Tiongkok untuk terus memberikan kontribusi bagi stabilitas dan perdamaian di Laut Tiongkok Selatan," pungkas Jokowi.

 US$ 3 Triliun Dipertaruhkan Jika Perang Pecah 
http://penanegeri.com/wp-content/uploads/2017/04/MISIL-KORUT.jpgRudal kapal selam dipamerkan di parade kelahiran Kim Il-sung di Korut (AP Photo]

Ketegangan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat yang akhir-akhir ini terjadi kian mengkhawatirkan sejumlah pihak. Terlebih, kedua negara sama-sama memiliki kemampuan nuklir

Jika ketegangan kedua negara pecah, perang termonuklir akan menjadi bencana kemanusiaan dan ekologis bagi seluruh wilayah. Radiasi akibat perang tersebut juga dapat menyebabkan bencana nuklir hingga ke Korea Selatan, China, Rusia, dan Jepang.

Namun jika perang tersebut tak menggunakan senjata nuklir dan rezim Kim Jong-un jatuh, maka alternatif buruk lainnya tetap menghantui.

Konsekuensi pertama adalah, keluarga Kim dan semua pihak yang berhubungan dengan Partai Buruh Korea yang berkuasa harus meninggalkan negaranya.

"Polisi rahasia dan pejabat partai akan mencari perlindungan di negara tetangga China atau Rusia," ujar peneliti dari National University, Leonid Petrov, seperti dikutip dari News.com.au, Minggu (30/4/2017).

"Tidak ada tempat bagi klan Kim jika Korut dan Korsel bergabung, saudara laki-lakinya, sepupu, bibi, dan pamannya, mereka tidak dapat dipisahkan dari rezim dan akan diadili sebagai penjahat."

"Beberapa negara Amerika Selatan mungkin bersedia memberikan perlindungan kepada mereka -- Bolivia, Venezula, Guatemala...negara-negara yang anti-Amerika mungkin mendukung," jelas Petrov.

Jadi, apa yang akan terjadi dengan rakyat Korea Utara tanpa Kim Jong-un sebagai pemimpin tertinggi mereka?

Menurut Petrov, karena kekurangan uang, makanan, dan tempat tinggal, mereka juga mungkin akan mencari perlindungan di China, Rusia, dan Korea Selatan. Namun negara-negara itu tak akan selalu terbuka terhadap masuknya pengungsi Korea Utara.

 Masalah bagi 30 Juta Orang 

China merupakan rumah bagi sekitar 100.000 pembelot Korea Utara dan sepertinya tak menginginkan lebih banyak warga Korut untuk masuk ke negaranya.

Menurut ilmuwan Rand Corporation, Andrew Scobell, China telah memikirkan skenario semacam itu dalam kurun yang cukup lama dan mungkin akan memperkuat perbatasan dengan pengerahan pasukan.

Menurut Scobell, mungkin sebagian warga Korut akan mencoba berpindah dari satu kota ke kota lain untuk mencari perlindungan, sementara lainnya akan menyeberang ke Korea Selatan. Namun jika pertempuran berlangsung di DMZ -- perbatasan Korut-Korsel, perpindahan warga hampir tak dapat terjadi.

Menurut Petrov, hal yang mungkin terjadi adalah reunifikasi Korea Utara dan Selatan. Meski demikian itu akan berdampak pada masalah ekonomi dan sosial yang mendalam.

http://berita.suaramerdeka.com/konten/uploads/2015/08/batas-korea-400x241.jpgPenjagaan ketat di kawasan DMZ atau perbatasan Korea Selatan-Korea Utara. (istimewa)

"Ekonomi Korea Selatan mencapai puncaknya," ujar Petrov. "Mereka butuh mengakses sumber daya dan tenaga murah."

"Korea Selatan kemungkinan menggunakan kesempatan itu untuk mengeksploitasi Korea Utara yang berpendidikan lebih rendah dan kurangnya pengalaman dalam keahlian. Jutaan pekerja Korut akan menjadi warga kelas dua, akan ada diskriminasi besar-besaran, bahkan perbatasan kemungkinan akan dijaga selama bertahun-tahun untuk menghentikan migrasi massal."

"Akan dibutuhkan setidaknya 10 tahun sebelum angka kesejahteraan seimbang antara Utara dan Selatan. Selama 10 tahun itu, penyatuan kedua negara akan sangat mahal, US$ 3 triliun (sekitar Rp 40.029 triliun) atau lebih. Akan ada ketegangan sosial antara Korea Selatan dan Korea Utara."

"Kedua negara terisolasi satu sama lain, mereka berbicara dengan dialek berbeda, dan memahami dunia dengan berbeda," jelas Petrov.

 Reunifikasi Tak Berjalan Mulus 

Reunifikasi Korea telah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun. Mantan Presiden Korea Selatan, Kim Dae-jung memperoleh Penghargaan Nobel pada 2000 karena mengimplementasi kebijakan Sunshine Policy untuk meningkatkan hubungan politik antara kedua negara.

Namun pada 2008, pemerintah konservatif mengakhiri proses tersebut dan para ahli mengkhwatirkan adanya reunfikasi yang tak berjalan mulus.

"Unifikasi Jerman Timur dan Barat merupakan hal yang sangat mudah jika dibandingkan dengan apa yang akan terjadi di Korea Utara dan Selatan ketika reunifikasi terjadi secara tak terkontrol," ujar Petrov. "Ini akan menjadi masalah sosiologi dan demografi yang besar," imbuh dia.

"Korea Selatan mungkin tidak akan mendukung Amerika dalam upaya keterbukaan militer melawan Korea Utara. Aliansi Amerika-Korea Selatan akan mencair."

"Pertumbuhan ekonomi di Korea Utara memberi Korea Selatan akses sumber daya alam lebih banyak, tenaga kerja murah, dan transporasi, misalnya menghubungkan jalur kereta api Korea Selatan dengan China."

 Perang AS-Korut Bisa Musnahkan Sebagian Besar Umat Manusia 

Krisis yang terjadi di Semenanjung Korea turut menyita perhatian Paus Fransiskus. Pemimpin tertinggi umat Katolik tersebut mengungkapkan kekhawatiran, bahwa meningkatnya ketegangan Amerika Serikat dan Korea Utara dapat memicu konflik militer yang mampu memusnahkan "sebagian besar umat manusia."

Paus Fransiskus pun menyerukan agar diperbaruinya upaya diplomasi dengan menggunakan perantara pihak ketiga dan PBB untuk mengambil peran utama dalam ketegangan yang semakin meningkat.

Pernyataan tersebut disampaikan Paus sekembalinya ia dari lawatan ke Mesir. Pria yang fasih berbicara dalam Bahasa Spanyol, Italia, dan Jerman itu ditanya oleh wartawan seputar apa yang akan disampaikannya kepada para pemimpin dunia di tengah kondisi kritis saat ini.

Ia mengatakan, "Situasinya sudah terlalu memanas. Saya selalu mengajukan sebuah solusi melalui jalur diplomatik."

Paus Fransiskus yang beberapa tahun terakhir kerap menyinggung sedikit demi sedikit tentang 'Perang Dunia III' mengatakan, konflik yang meningkat akan berdampak sangat menghancurkan.

"Sedikit demi sedikit tapi potongannya semakin besar dan terkonsentrasi di tempat yang sudah panas. Hari ini sebuah perang yang lebih luas akan menghancurkan, saya tidak ingin menyebut setengah dari manusia, namun sebagian besar manusia dan budaya (akan musnah). Itu akan sangat dahsyat. Saya rasa umat manusia saat ini tidak dapat menanggungnya," ujar Paus Fransiskus seperti dilansir CNN, Minggu, (30/4/2017).

Menurutnya, diplomasi merupakan respons terbaik yang harus dilakukan saat ini.

"Saya rasa PBB memiliki tugas untuk melanjutkan kepemimpinannya...," imbuhnya.

Lebih lanjut, Paus Fransiskus menyarankan agar pihak ketiga memfasilitasi pembicaraan antara Washington dengan Pyongyang. Ia mencontohkan Norwegia, sementara saat ini AS memilih Swedia untuk mewakili kepentingan diplomatiknya di Korut.

Perjalanan Paus Fransiskus ke Mesir sendiri bertujuan untuk menjalin persaudaraan antar umat Islam-Kristen, serta menunjukkan solidaritas terhadap penganut Kristen Koptik yang merupakan minoritas di Negeri Piramida.

Teranyar, Korut dikabarkan kembali melakukan uji coba misil balistik pada Sabtu 29 April 2017 pagi. Misil diluncurkan dari bagian utara Pyongyang, tepatnya di Pukchang.

Namun uji coba dilaporkan gagal. Dan itu tercatat sebagai kegagalan keempat sejak Maret 2017.

"Kemungkinan daya jangkau misil tersebut medium atau biasa kami sebut KN-17 dan kami melihat tak lama setelah diluncurkan misil tersebut kehilangan daya," sebut seorang pejabat militer AS seperti dikutip dari Asian Correspondent pada Sabtu 29 April 2017.

  Liputan 6  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.