Rabu, 02 Oktober 2019

Pembelian Alat Militer Impor Indonesia Turun Signifikan

UCAV CH4 TNI AU (Jenda)

Arab Saudi, Australia, dan China menjadi pembeli senjata dan perlengkapan militer terbesar di dunia pada tahun 2018, menurut lembaga Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI).

Peringkat Australia melonjak dari peringkat keempat di tahun 2017, menjadi pembeli senjata impor terbesar kedua di dunia, setelah Arab Saudi.

Sementara peringkat Indonesia yang pernah menduduki peringkat kelima, telah turun ke peringkat 22, yang artinya pembelian impor alat utama sistem senjata, atau alutsista, telah turun signifikan.

Sejumlah pengamat militer dan pertahanan di Indonesia mengatakan merosotnya peringkat Indonesia disebabkan karena membandingkan tren belanja militer yang secara global sedang mengalami peningkatan.

Secara domestik belanja militer Indonesia justru mengalami kenaikan. Tapi kalau dibaca secara tren di kawasan dan global pembelanjaan alutsista kita mungkin kurang cepat atau kurang besar,” ujar Muhammad Haripin, pengamatan pertahanan dari LIPI.

Menurut data yang ia miliki malah sebaliknya, telah terjadi peningkatan signifikan dari impor alat utama sistem senjata pada periode 2017-2018, contohnya akuisisi Main Battle Tank (MBT) Leopard pabrikan Jerman.

Di tahun 2017 nilai akuisisi Indonesia untuk salah satu tank tercanggih di dunia itu hanya 49 unit. Namun, di tahun 2018, Indonesia kembali mengakuisisi MBT hingga hampir 2 kali lipat menjadi 79 unit.

Sehingga sejauh ini total nilai repositori Indonesia untuk MBT ini menjadikan 30 unit.

Akuisisi MBT Leopard ini menjadi yang paling signifikan dari sisi kuantitas,” paparnya.

Pengamat pertahanan dan militer lainnya, Connie Rahakundini Bakrie mengatakan penurunan impor alutisista bisa dikatakan sebagai sebuah “prestasi”.

Ini membuktikan komitmen pemerintah untuk memicu tumbuhnya kemandirian industri pertahanan,” ujar Connie kepada ABC Indonesia.

 Kemana larinya anggaran pertahanan? 

Di Indonesia, Kementerian Pertahanan menjadi salah satu instansi pemerintah yang mendapatkan anggaran paling besar dalam APBN 2020.

Alokasi anggaran Kemenhan mencapai Rp 131,2 triliun, atau meningkat 19,7 persen dari tahun 2019, untuk memenuhi kebutuhan belanja pegawai di tubuh TNI dan serta belanja alutsista.

Supaya pertahanan bisa terjaga dengan baik, sehingga harus meningkatkan persenjataan” ujar Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani di Kantor Kemenkeu, pekan lalu.

Tapi menurut Connie anggaran pengadaan yang meningkat ini jauh dari harapan untuk secara signifikan meningkatkan kesiapan dan gelar TNI.

Anggaran 2020 itu akan terserap ke Komando Gabungan Wilayah Pertahanan 2 serta satuan baru, seperti Komando Operasi Khusus, selain juga belanja pegawai,” tambahnya.

 Bukan Berarti Indonesia Tak Punya Uang 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5fHqIlSF3TT4pdRBCrNLpxnEiN-HLkIpcXLGcI9ETcv7-QrM8nA0YZMOadhPC481wL8_2eEwpZMsjBuXAiCfJyDKYX86xiuw19UgQLJ4nIkABge1nEysR3gXNKrKa-pLgcuLAr_Yf0EoJ/s1600/Mobility+test+PindadFNSS+Medium+Tank_4.jpgMedium Tank Harimau Hitam

Sementara pengamat pertahanan dari Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran Bandung, Muradi menilai merosotnya peringkat Indonesia dalam hal belanja perlengkapan militer disebabkan strategi nasional di bidang alutsista.

Sama seperti pengamat lainnya, Muradi mengatakan Indonesia tidak lagi hanya impor saja dalam pengadaan alutsista.

Turun peringkat bukan berarti kita tidak punya uang … tapi kita juga bisa membangun, merancang, memproduksi dan menguasai teknologi,” ujarnya kepada ABC Indonesia.

Tak hanya itu, meski dengan anggaran terbatas, TNI tetap memperkuat alutsista dengan salah satu caranya lewat mengakuisisi.

Jadi Indonesia punya target pengadaan 1000 tank, solusinya kita joint kerjasama dengan Turki membuat Tank Harimau.

Contoh lainnya, Indonesia baru saja negosiasi pembelian pesawat tempur KF-X dari Korea dan sepakat melakukan ‘co-production’ dengan negara tersebut.

 Tak Ingin Tergantung Negara Lain 

Muhammad Haripin mengatakan pengadaan alutsista mengacu pada ‘Minimum Essential Force’, sebuah strategi untuk mencapai kekuatan pokok minimum sebagai pertahanan yang ideal dan disegani di tingkat regional dan internasional.

Kalau lihat dokumen MEF, kita butuh banyak anggaran untuk patroli maritim, Angkatan Laut juga butuh kapal patrol … dan daftar belanja kita banyak sebenarnya, anggaran terus naik.

Dengan perdagangan alutsista yang semakin dinamis, Indonesia pun sekarang banyak memiliki pilihan, seperti membelinya dari Swedia, Perancis, bahkan China.

Kerjasama militer dengan banyak negara juga sejalan dengan status Indonesia sebagai negara bebas aktif, seperti yang diutarakan Muradi.

Agar kalau terjadi apa-apa kita tidak tergantung dengan negara atau blok tertentu” katanya.

Yang terpenting, menurut Connie, adalah mewujudkan kekuatan TNI sebagai poros maritim, dirgantara dan permukaan di dunia.

Menhan baru di kabinet mendatang sebaiknya membuat ‘road map’ industri pertahanan yang lebih tertata dan terkolaborasi antara BUMN, BUMS, agar integrasi pelaku industri pertahanan semakin terwujud.

  ABC  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.