Selasa, 17 Desember 2019

Anggaran Pertahanan Terus Naik, Tapi Modernisasi Alutsista Tersendat

Selama lebih kurang 10 tahun, kenaikan anggaran pertahanan di Indonesia masih belum sejalan dengan modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista). Minimnya akuntabilitas penggunaan anggaran juga jadi perhatian. https://bebas-kompas-id.azureedge.net/wp-content/uploads/sites/315/2019/12/475205_getattachmentb34c7231-4af1-48dc-bba5-3c9ac247d86f466590.jpgPesawat Casa NC212-200 gabungan dari Skuadron Udara 600 Wing Udara 1 dan Skuadron Udara 800 Wing Udara 2 Pusat Penerbangan TNI Angkatan Laut terbang formasi (fly pass) dengan latar belakang parade kapal perang saat geladi bersih peringatan HUT TNI di Selat Sunda, Cilegon, Banten, Selasa (3/10/2017).

Selama lebih kurang 10 tahun, kenaikan anggaran pertahanan di Indonesia masih belum sejalan dengan modernisasi alat utama sistem persenjataan atau alutsista. Selain itu, minimnya akuntabilitas penggunaan anggaran juga harus dibenahi oleh Kementerian Pertahanan.

Alih-alih untuk memodernisasi alutsista, kenaikan anggaran justru digunakan untuk pembentukan komponen cadangan yang berarti juga membuat masyarakat sipil untuk ikut wajib militer.

Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy Shiskha Prabawaningtyas menjelaskan, selama hampir satu dekade ini terjadi peningkatan yang sangat signifikan untuk anggaran pertahanan. Pada 2010, jumlah anggaran untuk pertahanan sekitar Rp 40 triliun, jumlahnya terus merangkak naik hingga Rp 127 triliun untuk tahun 2020.

Ada kecenderungan pemerintah lebih memprioritaskan anggaran untuk belanja pegawai dibandingkan dengan belanja modal untuk modernisasi alutsista. Sayangnya, peningkatan pos belanja pegawai tersebut tidak otomatis meningkatkan kesejahteraan prajurit,” ucap Shiskha dalam diskusi bertajuk Evaluasi Satu Dekade Transformasi Pertahanan Indonesia, Senin (16/12/2019), di Jakarta.

Shiskha mengatakan, saat ini pemerintah malah fokus merestrukturisasi organisasi untuk mempersiapkan ruang jabatan bagi para perwira tinggi yang tidak memiliki pekerjaan. Menurut rencana, pemerintah akan mempersiapkan sekitar 800 jabatan bagi perwira berpangkat kolonel dan perwira tinggi.

Direktur Imparsial Al Araf menuturkan, regulasi yang dibuat pemerintah juga seakan tidak sejalan dengan konsep modernisasi alutsista. Hal ini terlihat dari dibentuknya UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) yang bisa membuat masyarakat sipil untuk ikut wajib militer.

Hal ini merupakan suatu kemunduran, di mana negara lain memperkuat sistem modernisasi alutsista, sedangkan di Indonesia anggaran tersebut malah digunakan untuk membentuk komponen cadangan dengan cara bergabung wajib militer,” ujarnya.

Prajurit Korps Marinir melakukan perebutan sasaran menggunakan tank dalam Latihan Kesenjataan Terpadu (Latsendu) 2018 di Pusat Latihan Pertempuran Korps Marinir di Karangtekok, Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur, Minggu (26/8/2018). Latsendu dimaksudkan untuk mengasah kemampuan tempur Korps Marinir dengan berbagai macam alutsista. [Antara/SENO]

Al Araf mengatakan, belum ada ancaman yang membuat Indonesia perlu membentuk komponen cadangan karena hubungan diplomasi yang cukup baik dengan negara tetangga. Ia pun mengatakan, sebaiknya anggaran tersebut digunakan untuk pengadaan alutsista.

Saat ini hanya 50 persen alutsista yang layak digunakan di Indonesia. Selain itu, selama ini publik juga sulit untuk mengakses transparansi anggaran untuk pengadaan alutsista di Indonesia,” katanya.

Belum ada ancaman yang membuat Indonesia perlu membentuk komponen cadangan karena hubungan diplomasi yang cukup baik dengan negara tetangga. Sebaiknya anggaran tersebut digunakan untuk pengadaan alutsista.

Minimnya transparansi anggaran ini terlihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memberikan opini wajar dengan pengecualian kepada Kementerian Pertahanan pada 2014-2018. BPK mencatat sejumlah temuan dugaan pelanggaran dalam penyajian laporan keuangan, seperti ketidakakuratan pencatatan stok amunisi dan suku cadang yang berimplikasi pada selisih anggaran serta lemahnya sistem pengendalian internal dan pemanfaatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) tanpa melalui prosedur baku.

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Agus Widjojo mengatakan, modernisasi alutsista ini sangat diperlukan karena sistem pertahanan di dunia saat ini sudah bergeser dengan konsep siber. Indonesia juga sebaiknya bisa meningkatkan produksi alutsista yang modern dengan anggaran yang sudah ada.

Setiap perayaan HUT TNI pada 5 Oktober, sebagian alutsista yang dipamerkan merupakan produk dari luar negeri, seperti jet tempur. Seharusnya Indonesia bisa memproduksi alutsista yang modern,” katanya.

Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P, TB Hasanuddin, mengatakan, akuntabilitas memang diperlukan dalam proses anggaran untuk pertahanan. Namun, menurut dia, tidak semua kegiatan belanja alutsista perlu dipublikasi demi menjaga strategi pertahanan negara agar tidak ketahuan pihak luar.

Kami khawatir jika hal-hal seperti ini bisa terdeteksi oleh pihak-pihak luar negeri. Oleh sebab itu, tentu ada barang-barang yang pengadaannya tidak dibuka kepada publik,” katanya.

Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto meminta penambahan anggaran pertahanan untuk tahun 2020 dengan angka lebih dari Rp 127 triliun. Dari informasi yang diperoleh Kompas, Kementerian Pertahanan (Kemhan) mengharapkan kenaikan anggaran pertahanan pada 2020 dialokasikan sekitar 2 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Saat ini pemerintah telah memutuskan alokasi anggaran pertahanan mencapai Rp 127 triliun atau sekitar 0,9 persen dari PDB. ”Kita tidak berniat mengganggu bangsa lain. Tetapi, kita juga tak ingin membiarkan bangsa lain mengganggu kepentingan kita,” kata Prabowo.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto melihat beragam alat pertahanan dan keamanan hasil produksi industri swasta dalam negeri di bawah Perkumpulan Industri Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Swasta Nasional (Pinhantanas) yang dipamerkan di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Selasa (3/12/2019). [KOMPAS/RADITYA HELABUMI]

Prabowo mengatakan, pertahanan negara harus kuat dan proporsional. Kekuatan pertahanan harus bisa mengatasi ancaman di berbagai titik. Postur pertahanan juga perlu ditingkatkan. Sistem pertahanan bahkan harus terintegrasi dengan wilayah-wilayah pertahanan dan dukungan industri pertahanan.

 Kontrak bermasalah 

Sebelumnya, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan, Presiden Joko Widodo meminta Kemenhan agar meninjau kembali anggaran belanja untuk alutsista. Menurut Presiden, saat ini anggaran belanja alutsista dari luar negeri dinilai terlalu mahal.

Ada masalah terhadap kontrak lama dengan luar negeri dan Presiden menilai bahwa anggaran untuk alutsista terlalu mahal. Oleh sebab itu, kami diperintahkan untuk melakukan negosiasi kembali oleh Presiden,” ucapnya.

Modernisasi alutsista ini sangat diperlukan karena sistem pertahanan di dunia saat ini sudah bergeser dengan konsep siber. Indonesia juga sebaiknya bisa meningkatkan produksi alutsista yang modern.

Menanggapi hal tersebut, Hasanuddin menjelaskan, Komisi I DPR masih belum menerima laporan, rincian kontrak apa saja yang bermasalah dalam proses pengadaan alutsista. Nantinya hal tersebut akan ditanyakan dalam rapat dengar pendapat selanjutnya dengan menhan.

Hal tersebut menjadi salah satu topik yang akan kami tanyakan. Namun, untuk proses pembatalan atau melanjutkan kontrak, hal tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintah,” katanya.

Hasanuddin menjelaskan, ia hanya menerima info bahwa salah satu kontrak yang sempat bermasalah yaitu kontrak kerja sama dengan Korea Selatan terkait proyek pesawat tempur KFX/IFX. Ia pun menyarankan agar pemerintah tetap melanjutkan kontrak tersebut meski biaya yang dikeluarkan cukup besar.

Permasalahan seperti ini bisa diselesaikan dengan cara dialog bersama dan negosiasi. Kami berharap agar kontrak tersebut bisa dilanjutkan,” katanya.

Oleh DHANANG DAVID ARITONANG

  Kompas  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.