Selasa, 09 Juni 2020

Taktik Baru China Disebut Bikin RI Tertekan

Di Laut China Selatan Wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat) ⚓️

China disebut menggunakan taktik dan manuver baru demi memperkuat klaim sepihaknya terhadap Laut China Selatan (LCS).

Taktik baru itu disebut sejumlah pengamat dapat menempatkan Indonesia dan Malaysia dalam posisi tertekan. Hal itu bahkan bisa menyulut konflik antara China dengan Indonesia dan Malaysia-dua negara besar di kawasan Asia Tenggara.

Hal itu terlihat dari ketegangan yang sempat terjadi antara kapal China-Malaysia serta kapal China-Indonesia di awal tahun ini.

Kapal-kapal China dan Malaysia sempat bersitegang ketika bertemu di perairan Laut China Selatan dekat Pulau Kalimantan awal tahun ini.

Kapal tambang resmi berbendera Malaysia, the West Capella, yang tengah mencari sumber daya, berpapasan dengan sebuah kapal survei berbendera Tiongkok yang tengah berlayar bersama kapal penjaga pantai China di perairan tersebut.

Menurut gambar satelit yang dianalisis Asia Maritime Transparency Institute (AMTI), kapal survei China itu terlihat tengah melakukan pemindaian.

Malaysia lalu mengerahkan kapal patroli militer ke kawasan itu. Langkah itu didukung Amerika Serikat yang mengerahkan kapal perang untuk melakukan latihan militer bersama di Laut China Selatan.

Pemerintahan Presiden Xi Jinping mengklaim pelayaran dua kapalnya di kawasan itu merupakan "aktivitas normal di perairan yang berada di bawah yurisdiksi China".

 Jurus Baru China Perkuat Klaim 
F16 patroli di Natuna

Konfrontasi dengan kapal Malaysia itu bukan lah agresi pertama China yang dilakukan di perairan Laut China Selatan pada 2020.

Dalam insiden terpisah yang juga terjadi di awal Januari 2020, Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI memergoki puluhan kapal ikan China yang dikawal dengan kapal penjaga pantai dan kapal fregat pemerintah Tiongkok menerobos masuk wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna.


Selain menerobos, kapal-kapal China itu juga turut mengambil ikan di wilayah ZEE Indonesia.

Bakamla RI sempat melakukan pengusiran terhadap kapal-kapal China itu. Kendati sempat menjauh, kapal-kapal tersebut kembali memasuki perairan Indonesia.

RI telah melayangkan nota protes terhadap China, namun Beijing mementahkan dengan menyatakan bahwa negaranya memiliki hak historis dan berdaulat atas perairan di sekitar Kepulauan Nansha di Laut China Selatan, yang dianggap Jakarta masih wilayah ZEE Indonesia.

Presiden Joko Widodo bahkan sempat mengerahkan TNI termasuk beberapa jet F-16 dan kapal Angkatan Laut untuk mengamankan perairan Natuna.

Sejumlah pengamat menganggap pengerahan kapal-kapal ikan dan kapal survei ke Laut China Selatan merupakan taktik baru China untuk memperkuat klaimnya terhadap perairan kaya sumber daya alam itu.

Sejak China mengklaim 90 persen wilayah di Laut China Selatan, perairan itu menjadi sangat rentan akan konflik bersenjata. Klaim China tersebut bertabrakan dengan wilayah sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, hingga Taiwan.

Indonesia tidak pernah menempatkan diri sebagai negara yang turut bersengketa dalam perebutan wilayah di Laut China Selatan. Namun, belakangan aktivitas Beijing di dekat perairan Natuna kian mengkhawatirkan Jakarta.

Direktur AMTI, Greg Polling, mengatakan posisi negara-negara yang memiliki wilayah di Laut China Selatan menjadi lebih krusial dan kian tertekan terutama setelah Beijing berusaha memperluas jangkauan mereka di perairan tersebut dengan mengerahkan kapal-kapalnya.

Polling dan sejumlah ahli lainnya menuturkan China telah menciptakan armada penjaga pantai dan kapal penangkap ikan yang dapat dikerahkan ke Laut China Selatan kapan saja untuk mengganggu kapal-kapal negara lainnya yang berlayar di daerah yang mereka klaim sebagai miliknya itu.

"(Kepulauan di Laut China Selatan) memberikan fasilitas yang bisa dipakai sebagai pangkalan untuk kapal-kapal China. Hal itu secara efektif mengubah Malaysia dan Indonesia menjadi negara-negara di garis terdepan (dalam sengketa ini)," kata Polling seperti dilansir CNN.

"Di waktu tertentu, China siap mengirimkan selusin kapal penjaga pantai ke sekitar Kepulauan Spartly di Laut China Selatan kapan saja, sekitar ratusan kapal nelayan China juga siap dikerahkan ke sana," ujarnya.

Sejauh ini, Malaysia dan Indonesia berusaha menghindari isu Laut China Selatan mempengaruhi hubungan diplomatik dengan China.

Namun, menurut Polling, agresivitas China di Laut China Selatan yang semakin menjadi lambat laut akan memicu negara-negara di Asia Tenggara, terutama Indonesia dan Malaysia, memberontak juga.

"Pada tingkat apa agresi menjadi mustahil untuk diabaikan?" kata Polling.

 Posisi RI dan ASEAN Tertekan 
Sejumlah pihak menganggap ini saatnya bagi negara anggota ASEAN untuk bersatu menentang dan menghadapi agresivitas China di Laut China Selatan. Sebab, beberapa anggota ASEAN memiliki sengketa langsung dengan China terkait wilayah di Laut China Selatan.

Namun, analis senior ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura, Ian Storey, mengatakan hal itu tidak mungkin terjadi akibat pandemi virus corona (Covid-19) yang merongrong perekonomian global terutama negara-negara berkembang.

"Tidak peduli seberapa keras China menekan, saya tidak berpikir kita akan melihat anggota ASEAN bersatu dan membentuk front persatuan yang kuat untuk melawan China," kata Storey.

"Saya pikir dalam enam bulan ke depan, menjelang akhir 2020, kita bisa melihat China akan menggandakan agresivitas di Laut China Selatan," kata dia.

Hal itu juga diamini Polling. Ia menganggap Malaysia telah lama berupaya menyeimbangkan manfaat hubungan bilateral dengan China. Karena itu, konfrontasi antara kapal Negeri Jiran dan kapal Tiongkok di awal tahun tidak terlalu diekspos ke media.

Indonesia sendiri terlihat masih cukup tegas melawan agresivitas China di Laut China Selatan meski relasi Jakarta-Beijing terus mendekat di era pemerintahan Presiden Jokowi.

Namun, para pengamat mengatakan China tidak akan berhenti memperluas pengaruh di Laut China Selatan meski mendapat protes keras dari Indonesia.

"Beijing percaya bisa membungkam oposisi di Indonesia dan pada akhirnya, Indonesia, seperti halnya Malaysia, akan menyadari bahwa mereka tidak punya banyak pilihan selain mengakomodasi kehadiran China," kata peneliti senior Foreign Policy Research Institute, Felix Chang, dalam tulisannya pada Januari lalu.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah belum memberikan respons terkait hal ini.

 Militerisasi China di Laut China Selatan 
Meski klaim historisnya terhadap Laut China Selatan dimentahkan oleh Pengadilan Arbitrase Internasional pada 2016 lalu, Beijing terus melakukan berbagai pembangunan dan instalasi di perairan tersebut.

Sejak 2015, China terus mempercepat pembangunan pulau buatan di atas terumbu karang di Laut China Selatan. Tak hanya membangun daratan, China bahkan memasang sejumlah sistem militer dan bandar udara, pelabuhan, dan sistem radar di pulau-pulau buatan itu.

"Pulau-pulau ini penuh dengan radar dan kemampuan pengawasan sehingga China bisa melihat semua yang terjadi di Laut China Selatan. Di masa lalu, mereka tidak tahu di mana kalian melakukan penambangan atau latihan militer. Sekarang mereka pasti tahu," kata Polling.

Sementara itu, menurut Storey, agresivitas China di Laut China Selatan didorong dari keinginan pemerintahan Presiden Xi yang sangat ingin mengembangkan narasi bahwa AS, sebagai negara besar, telah mundur dalam perebutan pengaruhnya di kawasan.

"Ini akan menunjukkan kepada negara di Asia Tenggara bahwa kekuatan militer Amerika dan komitmennya terhadap kawasan itu berkurang. China juga ingin menunjukkan masalah ekonomi yang dihadapinya tidak akan berdampak pada kebijakannya di Laut China Selatan," kata Storey. (rds/dea)

  ⚓️ CNN  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.