Sabtu, 06 Juni 2020

[RIP] Helikopter TNI AD Jatuh di Kendal

3 Orang Meninggal Helikopter TNI AD jatuh di kendal, Sabtu (6/6/2020). [Istimewa]

Helikopter milik Penerbad TNI Angkatan Darah (AD) jatuh di Kendal, Jawa Tengah, Sabtu (6/6/2020). Kecelakaan tersebut terjadi sekitar pukul 15.27 WIB.

Helikopter dengan tipe Mi17 itu jatuh di sekitar Kawasan Industri Kendal (KIK).

Tak lama setelah jatuh, heli langsung meledak dan terbakar. Kapolres Kendal Ali Wardana mengonfirmasikan terjadinya kecelakaan tersebut.

Benar ada heli jatuh” ujarnya kepada Kompas TV. Helikopter tersebut diketahui membawa 9 penumpang.

Kabar terbaru semua penumpang sudah dievakuasi. Diketahui korban meninggal sebanyak 3 orang.

Sedangkan 6 korban lainnya mengalami luka berat. Korban selamat langsung dilarikan ke dua tempat yang berbeda.

  ★ Kompas  

Jumat, 05 Juni 2020

Sekilas KRI Tanjung Kambani 971

Kapal Ferry RoRo dengan Cita Rasa Militer https://i0.wp.com/www.kabarpenumpang.com/wp-content/uploads/2017/02/1-1.jpg?resize=696%2C485&ssl=1KRI Tanjung Kambani 971 [istimewa]

Bencana tsunami Aceh, merupakan bencana terbesar yang pernah dialami Indonesia pada tahun 2004. Namun di balik itu, ada kapal TNI AL yang berperan penting dalam pembagian logistik maupun bantuan personel yang diangkutnya.

KRI tersebut adalah KRI Tanjung Kambani 971. Dilansir VIVA Militer dari akun Instagram resmi TNI AL Rabu 3 Juni 2020, ternyata kapal ini merupakan Kapal Ferry Dong Yang 6 asal Korea Selatan yang sudah dimodifikasi.

KRI Tanjung Kambani 971 masuk dalam jajaran TNI AL pada tahun 2000an. Kapal ini ternyata buatan Negeri Sakura dan pertama kali diluncurkan pada tahun 1982. Kapal ini dimodifikasi untuk kepentingan militer di Indonesia dan kini berada di bawah pembinaan Satlinlamil Jakarta.

Kapal dengan moto Dharma Eka Bramantya yang berarti Taqwa, Semangat, Bersatu ini baru diresmikan sebagai KRI pada 1 November 2000. Kapal berjenis BAP (Bantu Angkut Personel) memiliki daya angkut yang cukup besar.

KRI Tanjung Kambani 971 mampu mengangkut sebanyak 1500 personel, 20 truk, dan 23,6 ton kargo. Tentunya daya angkut sebesar ini sangat membantu pemerintah dalam meringankan beban para korban tsunami.

Kemampuan berlayar yang dimiliki KRI Tanjung Kambani 971 hanya selama 15 hari saja. Nama Tanjung Kambani sendiri diambil dari nama sebuah Tanjung di Pulau Peleng, Sulawesi Tengah yang merupakan daerah kumpul bagi satgas kapal-kapal Komando Lintas Laut Militer yang mengangkut pasukan selama Operasi Trikora pada tahun 1961.

  VIVAnews  

Misteri KRI Klewang

Kapal Perang Siluman Buatan Indonesia https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUQ6NA41ilzxmfUacl1dgA4XUZUDZlTcK3v3-WAaAQYaMIP8cGTN_nb6w0oG7N-QXYGYn3VQN3aaC_oH7OiYHKdSlCKVjgx16au74vUMpFKE-3L6g6XeVNH0P7jdZhMoKZ304k0iPFWeJG/s1600/KRI+GM+01.pngKRI Klewang [Antara]

Pada tahun 2012 kita pernah memiliki kapal perang model trimaran salah satu paling canggih di dunia, KRI Klewang namanya.

Kapal perang bernomor lambung 625 ini sempat membuat publik militer dunia terkejut, karena ternyata Indonesia mampu memiliki kapal perang dengan kemampuan canggih. Diketahui, baru Angkatan Laut Amerika Serikat yang memiliki kapal sejenis.

Lebih membanggakan lagi, ketika diketahui bahwas KRI Klewang adalah kapal buatan dalam negeri. Dibuat di galangan kapal yang berkantor pusat di Banyuwangi, milik PT Lundin Industry Invest. KRI Klewang menjadi salah satu bukti kemampuan putra putri bangsa utamanya di bidang kemaritiman tidaklah bisa dipandang sebelah mata.

Kapal ini dibangun dengan biaya 114 miliar rupiah diharapkan mampu meningkatkan kinerja serta kemampuan TNI AL. Pula diharapkan kemampuan industri kapal perang dalam negeri meningkat dan mendapatkan pengakuan dari dunia Internasional.

Kapal perang trimaran pertama di Indonesia.*Kapal perang trimaran pertama di Indonesia. [ptlundin]

Untuk menyegarkan ingatan kita bersama, mari kita bedah apa saja kehebatan dan kelebihan KRI Klewang.

 ★ Kapal siluman yang tidak mampu terdeteksi radar

KRI Klewang memiliki teknologi stealth atau tidak bisa dilacak oleh radar, karena kapal ini tidak memantulkan gelombang radar. Teknologi stealth ini juga dimiliki pesawat terbang intai F-117 Night Hawk milik Angkatan Udara Amerika Serikat.

 ★ Kapal Perang Berdesain Trimaran Pertama Indonesia

KRI Kelwang menjadikan Indonesia sebagai negara kedua di dunia yang menggunakan kapal trimaran setelah Amerika Serikat. Trimaran adalah kapal tiga lunas atau berlambung lebih dari satu, yang terdiri dari satu lambung utama dan dua lambung kecil atau cadik yang menempel di sisi sebelah kanan serta kiri lambung utama. Lambungnya sendiri berdesain khusus, berbentuk lancip di ujung yang membuatnya mampu melaju lebih cepat hingga kecepatan 50 knot dan menambah stabilitas kapal saat menembus ombak setinggi 6 meter.

 ★ Dilengkapi dengan Persenjataan yang Mematikan

KRI Klewang dilengkapi dengan Rudal C-705 yang merupakan hasil kerja sama Indonesia dengan China. Rudal ini mempunyai daya jelajah hingga 120 km. Kapal perang ini juga dilengkapi rudal anti kapal, RBS-15, Penguin atau Exocet MM-40. Melengkapi persenjataan rudal, KRI Klewang juga dilengkapi dengan senjata canon dengan kaliber 40-57mm dan sistem kendali persenjataan menggunakan CSIS dan CPMIEC.

Namun disayangkan, kapal perang yang di gadang gadang sebagai kapal perang tercanggih milik Indonesia, harus ‘mati secara misterius’ selang 2 minggu sejak diresmikan. Tepatnya pada tanggal 28 September 2012, saat bersandar di Lanal TNI AL Banyuwangi, KRI Klewang secara mengejutkan terbakar habis sampai tenggelam.

Publik terkejut, banyak spekulasi yang beredar penyebab dari terbakarnya KRI klewang. Investigasi dilakukan dan dipimpin langsung Panglima Komando armada timur waktu itu.

KRI Klewang terbakar.*KRI Klewang terbakar [Youtube@RahmatWahyudi]

Penyebab kebakaran diketahui karena adanya arus pendek listrik yang sekaligus menepis anggapan bahwa kapal tersebut terbakar karena aksi sabotase.

Sangat disayangkan, kita sebagai bangsa belum sempat menyaksikan kehebatan KRI Klewang dalam menjaga kedaulatan NKRI.

Namun kabar baiknya, akan segera menyusul pengganti dari KRI Klewang yang sudah memasuki tahapan produksi, serta akan segera diresmikan pada tahun ini. Untuk sementara adik dari KRI Klewang tersebut diberi nama Klewang 2.***

  Pikiran Rakyat  

Kamis, 04 Juni 2020

Fregat Iver-class Indonesia Akan Menggunakan Paket Terma C-Flex CMS dan Radar Hensoldt

Ilustrasi Fregat Iver Huitfeldt class [Brian Aitkenhead]

C-Flex Combat Management System (CMS) dan paket radar Terma-Hensoldt terpilih untuk melengkapi fregat Iver Huitfeldt class untuk Indonesia. Demikian disampaikan sumber yang dekat dengan kalangan pengambil keputusan di Kementerian Pertahanan Indonesia. Paket CMS Terma C-Flex akan terdiri dari 16 konsol multi fungsi dan 3 layar lebar.

Pilihan atas CMS Terma C-Flex dari Denmark memang merupakan kejutan mengingat sebagian besar kapal surface combatant besar dan modern TNI AL menggunakan CMS Thales Tacticos, sebutlah fregat dan korvet Martadinata class (Thales-Tacticos), Diponegoro class (Thales-Tacticos), Bung Tomo class (Thales-Tacticos) serta Fatahillah class (campuran Thales-Tacticos dan Navantia-Catiz), artinya hampir semua menggunakan Thales Tacticos CMS.

CMS merupakan komponen utama Combat System suatu kapal perang. CMS mengintegrasikan sistem sensor dan sistem persenjataan sehingga dapat mempermudah operator CMS dalam mendeteksi, melokalisasi, mengklasifikasi, tracking, hingga penembakan sasaran secara terintegrasi.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBX0EPouiJ2K4JePFgwGsEs4rMR9yJzOrQG-VUcg4_AdvK0iG316wmST9Aq9W7Gy1E4DNhp9GeokoAI6UOgJa9cYqiwTGpLIDodHqO4O1wi43zz9erWBWqj86msv0QT6dI3Tm91Lh9hzxm/s1600/PT+PAL+INDONESIA+%2528Persero%2529+on+Instagram+%25E2%2580%259CKapal+Perusak+Kawal+Rudal+KRI+Raden+Edi+Martadinata-331.pngPKR 10514 TNI AL [PAL]

Pengembangan C-Flex CMS bermula sejak 2001, ketika Angkatan Laut Kerajaan Denmark (RDN) pertama kali meminta upaya untuk meningkatkan CMS Angkatan Laut Denmark. Terma sebagai perusahaan Denmark menyambut tawaran ini dan telah berinvestasi secara signifikan dalam pengembangan CMS berdasarkan pada sistem Open Architecture dan sepenuhnya memanfaatkan berbagai sistem operasi dan komputer yang tersedia secara komersial. Dengan demikian sistem dapat dipertahankan dan tetap up to date dengan adanya evolusi teknologi dengan harga yang terjangkau.

C-Flex berjalan pada platform perangkat lunak yang disebut T-Core, yang dikembangkan Terma sebagai platform untuk semua perintah dan sistem kontrol baik itu untuk AL, AD dan AU. T-Core memiliki semua fungsi dasar C4I yang diperlukan dalam sistem apa pun dan dirancang untuk memenuhi standar yang ditetapkan dalam “US Navy Open Architecture Computing Capability and Environment”. Aplikasi T-Core bahkan telah sukses digunakan pada AD Denmark dan AD Austria.

Terma C-Flex CMS telah dipakai oleh Angkatan Laut di beberapa negara, Untuk armada Surface Combatant tercatat dipakai pada 3 fregat Iver Huitfeldt class (Denmark), 1 fregat/destroyer Marasesti (Romania), dan 4 fast attack craft-missile KCR-60 class (Indonesia). Untuk kapal bantu/ Auxilary Ship CMS ini sudah dipakai pada 2 kapal Absalon class (Denmark), 1 LPD Angthong (Thailand) dan 1 training vessel Sycamore (Australia).

 Radar utama 
Paket radar Terma-Hensoldt akhirnya mengalahkan paket radar NS-200 ajuan Thales yang cukup mahal dan melampaui anggaran. Paket radar Terma-Hensoldt ini terdiri dari Hensoldt fixed array TRS-4D, Hensoldt MSSR 2000 I, Terma SC 4603 dan Terma navigation radar yang belum ditentukan tipenya.

Paduan Hensoldt TRS-4D dan MSSR 2000 I sebagai Multifunction radar (MFR) dan Volume Search Radar sebagai radar pertahanan udara sudah pernah kita bahas sebelumnya.

Panel IFF interogator pada radar Hensoldt MSSR 2000 I (photo : Hensoldt)

Kombinasi radar tersebut sudah cukup untuk memandu rudal pertahanan udara yang kemungkinan besar merupakan kombinasi Mica dan Aster, semuanya dari MBDA. Jumlah sel peluncur vertikal asli fregat ini adalah 8x4 unit ditambah 2x12 unit, total 56 unit sel.

Sebagaimana telah diberitakan sebelumnya, jumlah fregat Iverr Huifeldt class yang akan diakuisisi adalah 2 unit menggunakan anggaran MEF ke-3 periode 2014-2019. Pada periode anggaran 2014-2019 tersebut TNI AL juga mendapatkan 2 fregat Sigma 10514.

Pada periode MEF ke-4 atau terakhir (2020-2024) TNI AL masih akan belanja 4 fregat lagi. Jika mengacu kepada ketentuan baru bahwa 1 Divisi Kapal minimal 4 unit kapal (Divisi Kapal adalah penamaan organisasi tepat dibawah Satuan, dalam hal ini adalah Satuan Eskorta) maka yang akan berpeluang adalah 2 Sigma 10514 lagi dan 2 Iver class lagi, jadi Iver class mempunyai peluang ditambah 2 unit lagi sebelum tahun 2024 sehingga menjadi 4 unit.

  ⚓️ Defense Studies  

Rabu, 03 Juni 2020

Drone Tempur Bakal Menjadi 'CCTV' Terbang

✈ Dipercepat Pengembangan ✈ Prototipe MALE Elang Hitam I [BPPT]

Pengembangan Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) atau drone tempur jadi pilihan Presiden Jokowi. Program drone akhirnya menggantikan dukungan pemerintah dalam pengembangan pesawat baling-baling R80 yang digagas BJ Habibie dalam program strategis 2020-2024.

Pengembangan PUNA atau Drone Elang Hitam Kombatan, Elang Hitam (EH-4) dan EH-5. Spesifikasi tersebut akan menyamai Drone CH-4 Rainbow buatan China.

PUNA dibangun oleh konsorsium PUNA MALE Kombatan yang terbentuk pada tahun 2017 lalu, antara lain Kementerian Pertahanan yaitu Ditjen Pothan dan Balitbang, BPPT, TNI-AU (Dislitbangau), ITB (FTMD), BUMN yaitu PT Dirgantara Indonesia dan PT Len Industri. Pada tahun 2019, LAPAN baru masuk sebagai anggota konsorsium, dan bersama sama ambil bagian dalam pengembangan PUNA MALE Kombatan.

Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan langkah percepatan pengembangan Drone buatan lokal untuk mendapatkan PUNA MALE dengan spek Kombatan atau Unmaned Combat Aerial Vehicle (UCAV), dalam jangka waktu yang dipercepat dari tahun 2024 menjadi 2022.

"Diperlukan percepatan agar PUNA MALE Kombatan tersertifikasi, dapat digeber untuk siap terbang pada Tahun 2022. Dengan adanya isu seperti kedaulatan di Natuna, maka kesiapan misi pesawat PUNA MALE Kombatan ini sangat diperlukan. Sehingga PUNA MALE Kombatan diperlukan sesegera mungkin," kata Kepala BPPT Hammam Riza dikutip dari laman resmi BPPT, Selasa (2/6).

Ancaman militer maupun non militer berupa pelanggaran batas wilayah perbatasan, terorisme, dan separatisme, kerap terjadi karena kurangnya antisipasi. Oleh karena itu, kebutuhan akan PUNA MALE Kombatan sangat diperlukan dalam menjaga kedaulatan NKRI.

Drone CH-4 Rainbow TNI AU [Roby Aeros]

Percepatan pembuatan MALE Kombatan ini dilakukan dengan melengkapi desain Drone Elang Hitam (EH-1), dengan sistem persenjataan, menjadi desain PUNA MALE Kombatan EH-4 dan EH-5.

Awalnya program PUNA MALE Kombatan EH-4 dan EH-5, targetnya tersertifikasi di Tahun 2024, dan EH-1 sampai EH-3, adalah pengembangan di tahun 2020-2022.

"Dengan persetujuan Presiden Joko Widodo pada Ratas tadi, maka Drone Elang Hitam Kombatan EH-4 dan EH-5, akan dikembangkan pada tahun 2020-2022 juga bersama dengan EH-1,2,3. Disinilah terjadi percepatan pengembangan," kata Hammam.

"Jadi Drone Elang Hitam juga dilengkapi fungsi ISTAR, yaitu Intelligence, Surveillance, Target Acquisition and Reconnaissance, dan sistem persenjataan," ujarnya.

Dengan kelengkapan fungsi tersebut tentu Drone Elang Hitam dapat menjadi wahana penting Indonesia, dalam menjaga kedaulatan wilayah darat maupun laut, melalui pantauan udara.

"Drone Elang Hitam ini akan menjadi semacam 'CCTV di Langit Nusantara', guna menjaga kedaulatan. Khususnya terkait pengawasan baik di wilayah darat maupun laut, melalui pantauan udara. Khususnya untuk mengintai di wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar di Indonesia. BPPT bersama konsorsium dengan semangat merah putih tentu siap mewujudkannya," tegas Hammam.

Selain drone, ia mengusulkan agar juga pemerintah memikirkan pengembangan sistem pertahanan atau Alutsista anti Drone.

"Hal ini seperti yang sudah dilakukan Turki, sistem pertahanan anti Drone nya terus dikembangkan. Seperti dengan menggunakan laser. Kami sudah mulai melakukan kliring atau penguasaan teknologi untuk sistem tersebut," katanya.

  CNBC  

Drone Akan Terbang Perdana Akhir Tahun Ini

✈ BPPT Tak Ingin Geser Pesawat R80 Proyek Habibie ✈ Prototipe Drone Elang Hitam 1  [PTDI]

Pengembangan drone canggih oleh pemerintah menggeser rencana pengembangan proyek pesawat 80 penumpang (R80) dalam proyek strategis nasional (PSN) 2020-2024.

Pesawat R80 dirintis oleh mantan Presiden BJ Habibie melalui bendera swasta PT Regio Aviasi Industri (RAI) sebagai penerus pengembangan pesawat N250 yang tertunda kala krisis 1998.

Namun, Deputi Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT Wahyu Widodo Pandoe menegaskan bahwa proyek pengembangan drone canggih ini bukan bermaksud meninggalkan pesawat yang sudah dirancang oleh Presiden ke-3 RI tersebut.

"Kita sama sekali nggak ada meminggirkan atau meniadakan program R80 yang dikerjakan oleh RAI. Ini murni evaluasi dari Kemenko ekomomi bahwa program dirgantara apa aja yang masuk. Diantaranya N219 lalu drone MALE (Medium Altitude Long Endurance)," kata Wahyu kepada CNBC Indonesia, Selasa (2/6).

Ia mengungkapkan bahwa sebelum mendapat slot tempat menjadi proyek strategis nasional (PSN), drone ini berada di status bawahnya, yakni proyek riset nasional (PRN). Namun, setelah mengajukan kepada pemerintah, akhirnya drone yang lebih dipilih ketimbang pesawat R80.

"Kita sama-sama mengajukan. Jadi sebelumnya mereka masuk, juga punya kita belum masuk. Sekarang punya kita diusulkan untuk dimasukan. Tapi bukan artinya mengalahkan mereka," katanya.

Pengerjaan drone ini sudah dilakukan sejak tahun lalu. Namun, akibat Covid-19, diperkirakan pengerjaan lebih lambat dari perkiraan sebelumnya. Apalagi, dana proyek pun ikut dipangkas.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi3JuPuL4EfKlJ18ulYvHRUCMjvdNt4l_7BjIV8b9xpCIm7Vn4v2GK5kWwEx0V8iMvSwbpda-CkzepoRhJwXa6CyV6jhmz42yNyOZvFWgFhaE2c94amydyQoPFaBB98Eb68qmsSuNeWfTi4/s1600/Pesawat+N-219_n219.jpg"Akibat Covid-19 ini ada penghematan, pengalihan anggaran hingga ada yang kita atur ulang penjadwalannya. Kemarin sempet WFH, jadi kalau manufaktur di bengkel agak terbatas," kata Wahyu.

Wahyu mengaku anggaran yang terpotong cukup besar, namun itu tidak mengurangi atau menurunkan spesifikasi yang direncanakan sejak awal. "Ya (pemangkasan) sekitar 20-30%. Spesifikasi tetep tercapai, hanya ada delay," sebutnya.

Dalam rangkaian timeline yang ingin dicapai, proyek ini akan berlangsung hingga 3-4 tahun ke depan. "Perkiraan bulan November-Desember tahun ini mudah-mudahan tes terbang, baru terbang perdana. Kalau untuk sertifikasi banyak lagi persyaratannya," katanya.

Target tes terbang tersebut tidak lepas dari dorongan Presiden Joko Widodo yang menginginkan proyek ini bisa segera berprogres. Apalagi jika melihat negara lain yang sudah menggunakan pesawat ini untuk kepentingan pertempuran canggih.

"Pada rakor Ristek Pak Presiden hadir, dalam pidato beliau sampaikan, bahwa beliau tekankan tes terbang tahun ini, jadi itu yang jadi pegangan kita. Agar hasil kajian bisa diimplementasikan," papar Wahyu.

Seharusnya, Indonesia memang harus bergerak cepat. Wahyu menceritakan ketika negara lain ada yang sama-sama melakukan riset dengan Indonesia beberapa tahun lalu. Namun kini, mereka bisa lebih unggul di depan. Negara tersebut adalah Turki.

"Turki sudah bagus. Padahal dulu ujinya bareng-bareng kita, 2013-2014 di lab kita di Serpong. Mereka bikin model kecil sama-sama, terus tes di lab Aerodinamik di Serpong. Maju sekali, 2013 baru tes, 2018 udah jadi, udah dipake perang ke Suriah, patroli ke Suriah, daerah perbatasan Turki selatan. Mereka memang karena ada keperluan operasi militer," sebutnya.

  CNBC  

Selasa, 02 Juni 2020

Russia Offers to Adapt its Elite Fighter to Indonesia’s Needs

✈️ NATO Avionics on the Su-35?✈️ Su-35 '4++ Generation' Heavyweight Fighters [militarywatchmagazine.com]

Amid stalling negotiations for the final sale of Su-35 fighter jets to modernise the Indonesian Air Force, Russia has offered to adapt its heavyweight twin engine fighter to the needs of its Southeast Asian client ensuring that the jet can perform well alongside existing platforms.

Rosoboronexport, Russia’s prime arms exporter, stated to this effect: "Russia can supply Indonesia with the latest Su-35 multipurpose fighters, adapting them as much as possible to the needs of the customer. We are sure that this is the best choice for increasing the combat effectiveness of the Indonesian Air Force.

While Indonesia has shown a strong interest in the Su-35, which would provide it with the most modern and heaviest air superiority fighters in Southeast Asia, the country has faced two key problems with acquiring the platform.

The first is the threat of economic sanctions from the United States, as Washington has threatened extreme measures to dissuade Jakarta from purchasing arms from states considered to be Western adversaries.

There remain a number of ways to offset this issue, including through large purchase of American weapons systems such as the F-16V lightweight fighters which the Indonesian Air Force has also shown a strong interest in.

A second impediment to the purchase are concerns that acquiring the Su-35 will impede Indonesian efforts to conduct network centric operations built around its predominantly Western hardware.

The Su-35, and older Su-27 and Su-30 jets already in Indonesian service, cannot share data and are not optimised to operate alongside F-16 fighters or the country’s European built warships.

This issue could potentially be offset, however, if the country is able to integrate Western avionics onto its fighters - much as Algeria has with its Su-30MKA.

While Russia has not in the past given permission for such moves by Su-35 clients, it could potentially provide a means to ensure the sale to Indonesia is successful.

While the Indonesian Air Force initially showed an interest in acquiring just 11 Su-35 fighters, further purchases are likely if the performance of the first batch is satisfactory.

These additional fighters could eventually replace the Su-30MK2 and Su-27 fighters currently in service, and are compatible with the same weapons and maintenance infrastructure.

The Importance of More Women In Peacekeeping

An Indonesian woman soldier deployed with the United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL) conducting a patrol in April 2020. (UN/Pasqual Gorriz)

The United Nations' landmark resolution 1325, adopted unanimously on October 20, 2000, marks the moment when the UN Security Council first highlighted the need for more women's participation in peacekeeping missions.

It has now been 20 years since the resolution was adopted, and still the mainstreaming of women peacekeepers in field missions has remained a challenge.

In his speech on the International Day of UN Peacekeepers this week, UN Secretary-General António Guterres revealed that women represent just six percent of uniformed military, police, justice, and corrections personnel in field missions, although they play a critical role in protecting civilians and maintaining peace.

"Women often have greater access in the communities we serve, enabling us to improve the protection of civilians, promote human rights and enhance overall performance. We must do more to achieve women's equal representation in all areas of peace and security," Guterres reiterated.

Even though women's ability in field missions has been recognized, increasing their participation in the field may not be as simple as it sounds. In most armed forces worldwide, few female soldiers are allowed to be deployed in combat situations. Though more armies are now welcoming women, few are likely to serve in hostile-environments, such as peacekeeping missions.

Lack of access may not be the sole obstacle to women joining peacekeeping missions. For some female soldiers, the problem could be more personal. First Sergeant Imakulata Ngamel, an Indonesian soldier deployed with the United Nations Interim Force in Lebanon (UNIFIL), said women soldiers who are married and have children may be more reluctant to apply for UN peacekeeping missions.

"They may be motivated at first to apply for the mission, but because of their families and children, most women soldiers would drop the opportunity," Ngamel said in a virtual interview held by the UN Information Center in Jakarta this week.

The UN began sending peacekeeping missions in 1948 when the Security Council authorized a team of military observers to oversee the Armistice Agreement between Israel and its Arab neighbors in the Middle East. Nearly half a century later, in 1993, "women made up one percent of deployed uniformed personnel. In 2019, out of approximately 95,000 peacekeepers, women constituted 4.7 percent of military contingents and 10.8 percent of formed police units in UN peacekeeping missions," according to a statement from the UN's peacekeeping mission.

As of January this year, women represented at least 6.4 percent (equivalent to 5,284 personnel) of the total 82,863 military and police personnel deployed in the field, while male troops and police officers made up 93.6 percent (equivalent to 77,579 personnel) of the total force.

Therefore, the UN pledged to increase women's representation in peacekeeping missions by 15 percent for military personnel, 25 percent for military observers and staff officers, 20 percent for police officer, and 30 percent for individual police officers by 2028.

Joining the pledge, the Indonesian government has gradually increased deployment of women troops in UN peacekeeping missions. Despite a drop in the total number of troops deployed from 3,080 personnel in 2019 to 2,847 in 2020, the number of Indonesian women soldiers joining the mission has increased from 106 to 159.

The number of Indonesian female soldiers joining the peacekeeping mission of UNIFIL in Lebanon has also surged in the last three years — from 22 personnel in 2018 to 25 in 2019 and 35 this year, said Ngamel.

 Critical role 
Women represent just 6 percent of peacekeeping personnel in field missions although they play a critical role in protecting civilians and maintaining peace. (UN/Pasqual Gorriz)

In many regions torn by armed conflict or civil war, women and children appear to be the most affected group, as they may end up as victims of conflict-related sexual violence or gender-based violence. A human rights advocate noted this year how, in many instances, women and children have been sexually exploited by UN peacekeeping forces in exchange for food or support.

On its official website, Human Rights Watch has stated "exploitation and abuse by UN peacekeepers and personnel has been reported since the 1990s concerning peacekeeping missions in Bosnia and Herzegovina, Cambodia, the Democratic Republic of Congo, East Timor, Haiti, Liberia, Sierra Leone, and South Sudan, among others”.

"Haiti is just one of many countries where peacekeepers have raped women and girls, or sexually exploited them in exchange for food or support. My colleagues have also reported on rape by African Union force in Somalia, French and UN Peacekeepers in Central African Republic and UN troops in the Democratic of Congo," said Skye Wheeler, a senior researcher from Human Rights Watch, in her report published earlier this year.

Following the reports, the UN has conducted an investigations and announced the nationalities of the perpetrators, as well as established a trust fund and recovery program for the victims.

In light of this issue, greater women's participation in UN field missions has become critical as it could prevent further sexual abuse and exploitation. Women soldiers would instill a sense of security among women and children, and mainly victims of abuse, said another Indonesian soldier with UNIFIL, First Lieutenant Rima Eka Tiara Sari, in an interview held this week.

"We (the Indonesian battalion in UNIFIL) have set up a special team to join the mission's military gender task force and we have provided military assistance to the team. We have organized several campaigns on (sexual abuse) prevention," the lieutenant explained.

In a separate interview, Lieutenant Colonel Ratih Pusporini has recounted how, during a mission in 2008, she and her team succeeded in approaching victims of sexual abuse in a conflict-affected village in Congo.

"We know the victims are women, the previous group had failed to retrieve this information," Pusporini was quoted as saying by an official website of the Foreign Affairs Ministry of Indonesia.

Women play a greater role than men in preventing gender-based violence, including sexual abuse and exploitation, and qualify to carry out military patrols in hostile environments, conduct military training, and serve in combat, said First Sergeant, Imakulata Ngamel.

What is required is more chances for women to join peacekeeping missions. This means all countries "must believe in their female personnel, giving them equal opportunities from the beginning and in all steps of their careers, and encourage them to be deployed," said Commander Carla Monteiro de Castro Araujo, a Naval officer from Brazil, who recently received the 2019 UN Military Gender Advocate award this year.

"We need them (women) on the ground," she reiterated in her speech this week.

   antara  

Senin, 01 Juni 2020

Indonesia's Discussion with Senegal for Second CN-235 Halted Amid Travel Bans

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkeaRDOGKcofh69PbwQOP4fAXmtxo6eCRxtniUiaJIBPGZCXaMHkJc722jxXGJYoUiJpss120HVXOahnOSRNho5cIwwMcL21JqSasOHxjM2XVcatLCL03QJq5UbLlusgpJkXLNb0z0itBh/s640/13724697_New+CN-235+MPA+TNI-AU.+Credit+to+Marchel..jpgCN235 MPA TNI AU [ TNI AU]

N
egotiations between aerospace company PT Dirgantara Indonesia (PTDI) and the Senegalese Air Force (Armée de l’Air du Senegal) for a second CN-235 aircraft have been put on hold amid Covid-19-related travel bans.

These negotiations, which were last described at the Singapore Airshow 2020 in February as reaching the final stages, are now not expected to resume again until 2021, said a PTDI representative who spoke to Janes on 26 May.

Senegal signed for its first CN-235 with PTDI in November 2014 and the airframe was subsequently delivered in January 2017. The aircraft was delivered in the quick-change configuration, and can take on a variety of missions including medical evacuation, general transport duties, and VIP transport.

Design of CN235 MPA with magnetic anomaly detector (MAD) [PTDI]

For the second airframe, the Armée de l’Air du Senegal is considering a maritime patrol aircraft (MPA) variant of the CN-235 that is similar to those in service with the Indonesian Navy (Tentara Nasional Indonesia – Angkatan Laut: TNI-AL), said the PTDI representative.

The Armée de l’Air du Senegal has yet to convey their preferences for mission systems that will go onboard the MPA but in TNI-AL service, the CN-235’s sensors include the CAE AN/ASQ-508 magnetic anomaly detector (MAD), and Thales Ocean Master or Telephonics APS-143C(V)3 (Batch 2) radar.

  Jane's  

Minggu, 31 Mei 2020

TNI AD Uji Coba Helm Baru

Pendeteksi Gejala Corona[youtube]

TNI Angkatan Darat RI meluncurkan helm pendeteksi suhu tubuh guna penanganan Covid-19. Dengan alat ini maka bisa diketahui secara cepat orang-orang yang memiliki gejalan seperti Covid-19.

Kepala Pusat Kesehatan Angkatan Darat (Kapuskesad) Mayjen TNI Dr. Tugas Ratmono mengatakan bahwa helm yang dinamai Smart Helmet itu bisa membaca suhu tubuh manusia dan juga objek lainnya.

"Alat ini namanya smart helmet, sangat bermanfaat dan sangat praktis jaraknya sekitar (8-10 meter), ada kameranya jadi kita bisa deteksi suhu dari orang-orang, suhu ekstrim akan lebih nyata dilihat, akan terlihat di sensor helm dan akan di record. Tentunya hal ini akan membantu tindak lanjut cepat untuk orang-orang yang suhunya diatas normal," ujar Tugas Ratmono, seperti dikutip dari channel youtube TNI AD, Minggu (31/5/2020).

Sementara menurut Ari mitra penyedia alat dari PT. Pasifik Global Integrasi mengatakan untuk pengoperasiannya bisa dengan satu orang pegang satu helmet. Hanya saja ada satu personel lagi yang bisa monitoring, mirroring apa yang dilihat oleh petugas yang menggunakan helm.

Technology Smart Helmet (Youtube)Technology Smart Helmet (Youtube)

Dengan adanya alat ini diharapkan dapat membantu penanganan serta memperoleh hasil yang lebih baik dalam situasi merebaknya virus Covid-19 saat ini. Bahkan belum lama ini, TNI AD juga memberikan pelatihan bersama mitra penyedia alat kepada tim yang akan mengoperasikan helm tersebut.

"Pelatihan ini sangat penting untuk teman-teman di lapangan, semoga dengan tambahnya peralatan khususnya dalam teknis kedokteran atau kesehatan ini akan membuat penanganan atau pelayanan kesehatan khususnya di dalam pandemi Covid-19 ini akan lebih berkualitas dan lebih untuk bisa memutus mata rantai penularan dan mendeteksi secara dini," papar dia.

Helm tersebut memiliki frame yang bisa mendeteksi hingga 13 orang sekaligus. Terdapat 5 unit helm yang akan didistribusikan menurut arahan Kasad Jenderal TNI Andika Perkasa.

Masing-masing alat tersebut rencananya akan tiba di tempat yang sudah ditetapkan setelah pelatihan tim operasional dilakukan seperti Akmil, Seskoad, Mabesad, Secapa dan RSPAD Gatot Soebroto I. (dob/dob)

   CNBC