Kamis, 29 Juni 2023

Menhan Memborong Alutsista

 Untuk meningkatkan pertahanan nasional Indonesia 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjX8iPYB66o4vCBhuB1bVCMoUz_5okAdPFgiHTlkgSuUhf-FY1tFgBHaEkbLJpRGI0kU2ZbSjltZ_xZ4wXlsFfeXjI5Op86Fudj3iTGVm5dJYJMzsiqPBIJwBy6EpZuvyabFvzuP065aJizsQRebZ1KDvsNHFob3BIQbnWkXlmRRvVke7klzP-nOpqtCL6W/s704/article_60f6fbc202f9b4_70892178.jpgIlustrasi Rafale bersama Mirage 2000 (istimewa)

AKUISISI
12 pesawat Mirage 2000-5 bekas dari Qatar memicu pro-kontra. Fokus perdebatan bukan hanya pada harga yang terbilang mahal, yakni Rp12 triliun, tapi juga urgensinya. Sebagian publik mempertanyakan untuk apa mengambil pesawat bekas karena Indonesia telah memesan pesawat Rafale baru dari Prancis, IFX hasil kerja sama dengan Korea Selatan, dan F-15 dari Amerika Serikat (AS). Kontroversi kian kencang karena pemerintah justru menambah pembelian pesawat Mirage 2000-9 bekas milik Uni Emirat Arab (UEA).

Merespons sorotan tersebut, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyebut pembelian pesawat bekas sebagai interim solution karena banyak pesawat temput TNI AU berusia sangat tua dan perlu refurbishment. Perbaikan dan modernisasi tidak serta-merta bisa dilakukan karena membutuhkan waktu lama, paling cepat 18 bulan. Sedangkan kehadiran pesawat tempur baru masih membutuhkan waktu lama. Seperti Rafale, paling cepat diterima 3 tahun dan baru kelar selama 5 tahun ke depan. Mirage 2000-5 pun masih laik pakai, karena usia pakai rata-rata 10-15 tahun dan jarak tempuh masih sangat rendah.

Sebenarnya, di era Prabowo ini mendatangkan alutsista bekas merupakan bagian dari belanja alusista besar-besaran. Bisa dibilang gebrakan ini puncak program modernisasi alutsista atau minimum essential force (MEF) yang berlangsung sejak 2009. Pada fase MEF III ini (2019-2024), target belanja bukan kaleng-kaleng, sebab di antaranya merupakan alutsista kelas berat.

Beberapa alutsista yang sudah diakusisi maupun masuk daftar akusisi di era Prabowo antara lain pesawat Rafale, F-15, kapal selam Scorpene, fregat FREMM, fregat Arrow Head atau Merah Putih, rudal jarak jauh (balistic missile) KHAN, dan rudal pertahanan pantai (coastal defense) Brahmos dan lainnya. Selain alutsista impor, Indonesia juga gencar memberdayakan industri pertahanan dalam negeri.

Belanja alutsista yang bisa dibilang terbesar semenjak era Orde Lama, menjadikan Indonesia negara terkuat di belahan bumi selatan, tentu mengundang tanda tanya. Di antaranya apakah Indonesia sedang melakukan perlombaan senjata (arm race) atau bahkan ada ancaman serangan dari negara lain atau perang di depan mata? Skeptisme sangat wajar muncul karena penggunaan anggaran besar untuk memperkuat pertahanan tentu berdasar pertimbangan rasional dan matang.

 Bidak Telah Bergerak 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjShTA6yAkFIh8FERhUWGb4_NtMhI6LQg-dTQvE487X6fgHgp8LbkTGh7r3W-cHeFz7RZBK0XsFYxRY78fkJ-_E7MnJjQW2ME22HlwajZXPYyQtMrntxs-f7JGKPXhcjl_hnCIOezX0uC1h/w320-h320/Arrowhead_140_Babcock.pngIlustrasi fregat AH 140 atau Merah Putih, direncanakan sebanyak 12 unit (Babcock)

Keputusan Indonesia belanja alutsista besar-besaran tentu bukan sekadar untuk gagah-gagahan sehingga Indonesia tidak ketinggalan (arm race) dari China, India, Australia, dan sejumlah negara sahabat di Asia Tenggara. Atau, agar target kekuatan militer Indonesia masuk 10 besar dunia bisa secepatnya tercapai.

Keberadaan alutsista juga bukanlah barang koleksi yang ditumpuk begitu saja dan hanya dikeluarkan untuk parade militer di Harlah TNI. Lebih dari itu, sekuat apa kekuatan militer dimiliki suatu negara, dalam hal ini kuantitas dan kualitas persenjataannya, akan menghadirkan efek gentar (deterrence effect) agar negara lain berpikir seribu kali sebelum mengusik.

Walaupun dalam keadaan damai, suatu negara juga tidak boleh berleha-leha dan menganggap akan berlangsung damai selamanya. Justru, untuk mempertahankan kondisi damai inilah diperlukan upaya strategis memperkuat otot militer untuk mengantisipasi setiap ancaman masa depan, seperti dipercaya kalangan militer semenjak era Romawi kuno: si vis pacem para bellum (jika kau mendambakan perdamaian, bersiap-siaplah menghadapi perang).

Kesadaran inilah yang juga dipahami Prabowo Subianto. Saat menjadi pembicara kunci dalam webinar bertajuk "Optimalisasi Industri Pertahanan dalam Konteks Kepentingan Nasional RI di Abad 21" di Universitas Padjajaran Bandung (9/7). Ia menegaskan bahwa sejarah manusia mengisahkan bangsa yang ingin damai dan merdeka adalah bangsa yang siap perang.

"Itulah inti pertahanan. Kalau jadi perang, kita tidak bisa buru-buru ke supermarket membeli alat perang," ujar dia.

Berangkat dari pemahaman ini, jika Indonesia ingin siap menghadapi perang, maka minimal mulai dari sekarang negara ini sudah mau berpikir soal potensi adanya perang dan mengoptimalisasi industri pertahanan.

Dalam momen tersebut, mantan Danjen Kopassus ini memaparkan definisi perang sebagai pemaksaan kehendak oleh sebuah negara dengan tujuan menguasai suatu wilayah atau sumber daya suatu negara. Caranya, yaitu dengan kekuatan fisik atau kekerasan. Mengutip filosopi perang bangsa Athena, suatu negara wajib memiliki pertahanan yang kuat untuk mengantisipasi perang.

"The strong do what they can and the weak suffer what they must. Kalau dia mampu membom dia membom kalau mampu hancurkan satu kota dia akan lakukan. Yang lemah akan menderita," kata Prabowo.

Untuk itu, Prabowo menekankan, jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang kuat, maka wajar pemerintah menyiapkan rencana dan skenario pertahanan. Termasuk, mempersiapkan rencana alutsista untuk memperkuat pertahanan. "Kita ini dalam keadaan tidak kuat, tidak sehat, kalau tidak kuat hadapi ancaman virus, lebih cepat kita hancur. Pertanyaannya kembali, apakah Indonesia mau kuat atau lemah. Kalau mau kuat lakukan hal-hal yang jadi kuat," kata Prabowo.

Walaupun sekilas terlihat kondisi geopolitik sedang baik-baik saja, sesungguhnya kawasan sedang menyimpan bara panas, yang setiap saat bisa meletus menjadi perang terbuka. Secara langsung atau tidak langsung perang yang bakal terjadi rawan menyeret Indonesia ke dalamnya pusarannya.

Potensi perang dimaksud tidak lain terkait agresivitas China di kawasan Laut China Selatan atau Indo-Pasific, yang memaksakan klaimnya terhadap 90% wilayah laut hingga bergesekan dengan beberapa negara di kawasan dan mengancam kebebasan lalu lintas di salah satu laut strategis dan tersibuk dunia tersebut.

Gesekan yang terjadi pun tidak lagi melibatkan China vis a vis Vietnam atau Filipina, tapi juga telah menyeret Australia, AS, Inggris, dan beberapa negara barat lainnya yang memiliki kepentingan terhadap akses lalu lintas transportasi dan keamanan kepentingan geopolitiknya.

Potensi perang di kawasan juga terkait dengan Taiwan, dan dengan beberapa negara Asia Timur yang menjadi sekutu AS, yakni Korea Selatan dan Jepang. Tingkat kerawanan meledaknya perang di kawasan tersebut menguat seiring dengan pecahnya perang Rusia-Ukraina.

Ibarat permainan catur, China, AS dan sekutunya sudah menggerakkan bidak-bidak kekuatan militer ke tempat-tempat strategis. China misalnya telah lama membangun pangkalan rudal di LCS, meskipun wilayah masih menjadi sengketa. Fasilitas pangkalan China yang pernah tertangkap citra satelit berada di Kepulauan Paracel, tepatnya di Pulau Woody. Di pangkalan ini diketahui negeri panda tersebut telah menempatkan rudal darat-ke-udara HQ-9 untuk pertahanan udara.

Sebagai informasi, sistem rudal SAM HQ-9 China memiliki jangkauan operasional 200 kilometer (124 mil) di ketinggian dan dapat menimbulkan ancaman serius bagi lalu lintas udara militer dan sipil. Selain pangkalan rudal, China juga disebutkan sedang membuat fasilitas militer di tiga pulau buatan yang telah sepenuhnya dimiliterisasi.

Berdasar citra satelit pula, diketahui keberadaan struktur serupa dengan atap yang dapat dibuka terdeteksi di terumbu Subi, Mischief, dan Fiery Cross yang merupakan bagian dari Kepulauan Spratly. Di pangkalan-pangkalan itu pulalah, China menimbun berbagai alutsista strategis, mulai dari kapal induk, kapal selam, destroyer, hingga pesawat tempur yang belakangan masif dibangun negeri tersebut.

Masih di wilayah LCS, China juga dilaporkan telah membangun kota seluas 800.000 mil persegi di Kepulauan Paracel. Kota yang dinamai Shansa itu memiliki luas 1.700 kali wilayah New York City. Di kota itu, China sudah membuat beberapa fasilitas kelas kota yang memiliki fasilitas seperti desalinasi air laut dan fasilitas pengolahan limbah, perumahan publik baru, sistem peradilan yang berfungsi, jangkauan jaringan 5G, sekolah, dan penerbangan charter reguler.

Dari sisi lain, negeri Paman Sam telah membentuk Aukus bersama Inggris dan Australia. Kehadiran aliansi yang diarahkan untuk mengimbangi kekuatan China sudah barang tentu kian memanaskan konflik di Indo-Pasifik. Apalagi melalui aliansi ini, AS membantu Australia membuat kapal selam bertenaga nuklir.

Selain melalui Aukus, militer AS juga memperluas jejaringnya dengan membuat pangkalan baru yang dekat dengan Indo-Pasifik, tepatnya di Papua Nugini. Melalui kesepakatan yang telah dibuat dengan negara yang berbatasan darat langsung dengan Papua tersebut, AS dapat menempatkan tentara dan kapal perangnya dengan akses tanpa batas di enam pelabuhan dan bandar udara penting, termasuk Pangkalan Angkatan Laut Lombrum di Pulau Manus dan sejumlah fasilitas lain di ibu kota, Port Moresby.

Walaupun belum pecah menjadi perang, intensitas gesekan militer China versus AS dan sekutunya kian terasa. Apalagi sejak China memberlakukan hukum maritim terbarunya di LCS. Sejak 1 September, China memberlakukan aturan identifikasi maritim, yakni meminta setiap kapal khusus melaporkan posisinya ketika memasuki perairan yang diklaim. AS misalnya telah mengirim kapal induk USS Ronald Reagan dan beberapa armada tempur. Dengan dalih untuk menjamin kebebasan navigasi, Inggris juga telah mengerahkah HMS Spey and HMS Tamar untuk melakukan patrol di sana.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan baik China maupun AS telah menggerakkan bidak-bidak militer untuk saling berhadap-hadapan di kawasan Indo-Pasifik.

Kepala Komando Mobilitas Udara AS, Jenderal Mike Minihan melalui memo dinas yang terungkap ke publik memprediksi perang kedua negara raksasa akan pecah pada 2025. Perang dipicu pemilihan presiden Taiwan pada 2024. Walaupun berfokus di selat Taiwan, dampaknya juga pasti akan terasa hingga Indo-Pasifik.


 Perisai Trisula Nusantara 
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjGtjOEMBHDjTQeb7LU6uH9ct0xdhERqgF02LcuLhyiTYlZNf0GWzHyxEz5R_00EqN4YS8jGvrLv216IKmisexnhYdcx9VKP1JhCU5an_0o9q7HGntXh2sRqKTGZpfZW27yTkDNHV4U_7tR94JHizNTgIOWAJmh7zQ2pgSfV2g6XChqI07AQZxuX4WwUg/s320/Khan.pngKhan [Roketsan]

Melihat dinamika yang terjadi di Indo-Pasifik, terutama pergerakan China vis a vis AS, ancaman yang terjadi sangat lah nyata dan harus diantisipasi serius. Langkah cepat Prabowo memborong alutsista, baik impor bekas, baru, atau pun produk industri pertahanan domestik, sebagai langkah tepat untuk menghadirkan daya gentar agar Indonesia tetap aman dan damai.

Pembelian alutsista ternyata juga bukan sekadar formalitas mengejar target MEF III, tapi juga diproyeksikan sebagai bagian rencana besar pertahanan nasional untuk 25 tahun ke depan. Dengan proyeksi ini, Indonesia akan memiliki sistem pertahanan mumpuni yang mampu menaungi seluruh wilayah kedaulatan NKRI, dengan berbagai alutsista yang canggih dan gahar.

Seperti apa proyeksi dimaksud? Dalam YouTube "Dialog Kebangsaan Merajut Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Kebhinekaan" yang digelar Sespim Lemdiklat Polri pada 16 Juni, Prabowo memaparkan sistem pertahanan yang akan dibangun Indonesia dikonsepsikan sebagai Perisai Trisula Nusantara. Perisai tersebut terbagi dalam tiga matra kekuatan, yakni Perisai Samudera Nusantara, Perisai Darat Nusantara, dan Perisai Dirga Nusantara.

Pada tiap perisai akan dilengkapi berbagai macam alutsista. Untuk Perisai Samudera Nusantara, misalnya, akan dilengkapi dengan 12 Fregat Merah Putih yang dibekali surface to air missile (SAM) yang memiliki jangkauan hingga 120 km, surface to surface missile (SSM) 180 km, kapal cepat rudal atau KCR (14 unit).

Selain itu, TNI juga akan dibekali kapal selam serbu Indonesia atau KSSI (2 unit) yang dilengkapi sub misil 12 km dan torpedo 17 km, kapal selam taktis Indonesia atau KSTI (7 unit), kapal selam autonomos (20 unit) dengan torpedo, submarine rescue vehicle (2 unit).

Ada pula pagar nusantara green juku wahana bawah air yang akan mengawasi kapal selam, orange juku berbentuk buoy pintar untuk memantau kapal selam dan permukaan, yellow juku kapal yang merupakan selam otonom dengan kercerdasan buatan. Yang menarik, Perisai Samudera Nusantara juga akan dilengkapi pertahanan pantai rudal brahmos yang memilik daya jangkau hingga 300 km (8 unit baterai).

Di darat, konsep pertahanan yang disebut Perisai Darat Nusantara akan diisi dengan unmaned aerial vehicle (UAV) dan unmaned combat aerial vehicle (UCAV) male sebanyak 65 unit, mortir berbagai ukuran (1 ribu pucuk), helikopter Bell 412 (82 unit), gatling gun dan senapan mesin, helikopter Apache (8 unit), helikopter Mi 35 P (6 unit, Mi 17 8 unit), pesawat CN 235 (18 unit, 5 unit baru), pesawat N 219 (10 unit baru), ranpur infanteri beroda ban (50 unit), multipurpose armored vehicle (173 unit), tank amx 13 (320 unit), main battle tank Leopard (114 unit), Indonesia balistic missile Trisula atau KHAN missile (8 unit) yang memiliki jangkauan 300 km buatan Rokestan.

Sedangkan Perisai Dirga Nusantara akan ditopang pesawat Boromae sebanyak 24 unit, pesawat Rafale (42 unit), pesawat Mirage 2000-5 dan 2000-9 (24 unit), pesawat T50 (19 unit, 6 unit baru), pesawat F-15 (36 unit), pesawat F-16 (33 unit), pesawat Sukhoi 27-30 (16 unit), pesawat Hawk MK 100-MK 200 (31 unit). Semua pesawat tempur tersebut sudah dilengkapi rudal.

Selain itu, Perisai Dirga Nusantara akan didukung pesawat jet Falcon 7x dan 8x, pesawat boeing 737 (tambah 2 unit, total 10 unit), pesawat Hercules (31 unit, 5 baru Super Hercules), pesawat Airbus A400 (2 unit), pesawat AWACS (25 radar baru, total 35) yang memiliki jangkauan rata-rata hingga 450 Km.

Kehadiran beberapa alutsista strategis seperti rudal pertahanan pantai, rudal balistik, kapal selam, fregat dan pesawat tempur kelas berat bisa memberikan rasa aman pada bangsa ini. Namun bila melihat tantangan berat dihadapi akibat pertarungan melibatkan dua negara raksasa, China dan AS, Indonesia urgen terus memperkuat pertahanan dengan alutsista lain, baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga Perisai Trisula Nusantara memiliki simpanan alutsista lebih kuat dan memadai.

Bahkan, bila melihat prediksi pecah perang dalam tempo dekat, akselerasi belanja alutsista sangat dibutuhkan. Tentu saja pembangunan postur pertahanan harus diimbangi dengan pengembangan industri pertahanan domestik agar tercipta kemandirian.
(abd)

  ★
sindonews  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.