Rabu, 20 Agustus 2025

Modernisasi Alutsista Strategis adalah Keniscayaan

Kehadiran beragam alutsista strategis semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pertahanan dan modernisasi persenjataan. Tidak ada niat untuk mencapai dominasi militer. Penampakan sistem rudal Khan di Kaltim (KERIS reborn)

Kehadiran rudal balistik KHAN memantik perhatian. Oleh sejumlah pihak, akuisisi senjata strategis itu dipandang dapat memicu perlombaan senjata.

Asumsi itu dapat dipahami lantaran sifat KHAN yang mampu melesat hingga lima kali kecepatan suara, sulit diantisipasi, serta berdaya hancur signifikan. Ditambah lagi, di Asia Tenggara, KHAN adalah yang pertama dari jenisnya.

Oleh sejumlah pengamat pertahanan dan hubungan internasional, kehadiran KHAN lebih mungkin memicu security dilemma daripada perlombaan senjata.

Merujuk pada Britannica, security dilemma adalah upaya yang diambil suatu negara untuk meningkatkan keamanannya, menyebabkan reaksi dari negara lain, yang pada gilirannya dapat menyebabkan penurunan keamanan negara asal.

Jika merujuk pada doktrin pertahanan Indonesia yang defensif-aktif, baik asumsi itu maupun dugaan tentang security dilemma, tampaknya kurang tepat.

Penampakan KHAN dengan truk berpenggerak 8x8 @ IDEF 2025 (Defenceturk.net)

Pertama, pilihan Pemerintah Indonesia untuk membeli KHAN dari Turki adalah untuk membentengi Ibu Kota Nusantara (IKN).

Kedua, merujuk pada laporan SIPRI—lembaga kajian konflik dan kontrol senjata yang berbasis di Swedia—pada Maret 2025, belanja militer oleh negara-negara di Asia Tenggara semata-mata diarahkan untuk memodernisasi alutsista.

Sebagai contoh, sejak memensiunkan pesawat F-5 Tiger, Filipina praktis tidak lagi memiliki skuadron aktif yang diperkuat pesawat tempur. Manila kembali mengisi perbendaharaan penempurnya pada tahun 2015 saat membeli FA-50 dari Korea Selatan. Orientasi kehadiran FA-50 dan sejumlah fregat baru oleh Manila sama, yaitu untuk misi patroli dan pertahanan, khususnya di kawasan Laut China Selatan.

Penampakan rudal Sungur, nantinya akan diproduksi lokal sebagai pertahanan titik seperti Rapier (Roketsan)

Demikian pula Indonesia. Sejak mengandangkan rudal S-75 Dvina pada tahun 1980, praktis Indonesia tidak memiliki perisai angkasa mumpuni untuk melindungi Ibu Kota. Rapier, rudal pertahanan udara jarak pendek milik TNI Angkatan Darat, pun sudah lama menyusul ”seniornya” itu.

TNI kembali memiliki rudal pertahanan udara pada tahun 2020 setelah mendatangkan NASAMS-2 dari Norwegia. Penempatan KHAN di IKN tak ubahnya kehadiran NASAMS-2 yang membentengi Jakarta. Kedua sistem itu merupakan penerus dari peran S-75 Dvina. Tidak lebih.

Hal serupa terjadi pada pengadaan 48 unit Rafale dan kapal selam Scorpene dari Perancis, serta fregat-fregat baru dari Italia atau pabrikan dalam negeri. Kalaupun ada, faktor lain yang perlu ditambahkan adalah diversifikasi sumber alutsista.

Faktor itu penting lantaran pengalaman buruk Indonesia saat diembargo oleh Amerika Serikat dan Barat.

Fakta itu makin menegaskan bahwa kehadiran beragam alutsista strategis tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pertahanan dan modernisasi persenjataan.

Catatan itu kian menegaskan bahwa belanja senjata oleh Indonesia tidak mengindikasikan upaya untuk mencapai keunggulan dan dominasi militer dari negara-negara lain yang menjadi ciri adanya perlombaan senjata.

  🚀 
Kompas  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.