Kamis, 12 April 2012

Muntaha Hill

Tidak sempat banyak berkiprah di Papua Barat semasa kampanye Trikora, Kopaska justru menuai banyak pengalaman berharga di tanah Malaya. salah satu misi rahasianya terbilang berbahaya, bahkan personilnya ada yang tertangkap pihak lawan.


Sebagai negara yang berusia muda Republik Indonesia (RI) memasuki 1961 terlibat konflik dengan kerajaan Belanda menyangkut masalah status Papua Barat. Karena kesal dengan sikap keras kepala pihak Den Haag, maka di penghujung tahun 1961, Presiden Soekarno mengumandangkan kampanye perjuangan Tri Komando Rakyat (Trikora). Penjabarannya melalui operasi militer yang bertajuk "Operasi Jayawijaya". Sayang operasi militer yang akan mengerahkan sebagian besar kekuatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ini justru berakibat anti klimaks. Kekuatan militer RI dan Belanda hanya terlibat aksi baku tembak skala 'kecil'. Perang besar yang semula bakal diperkirakan akan membara bumi Cendrawasih batal terjadi. Silang sengketa antara RI dan Belanda terkait status Papua Barat pun akhirnya berujung di meja perundingan.

Belum lagi kampanye Trikora rampung sepenuhnya, Presiden Soekarno sudah mengobarkan 'api' konfrontasi baru. Tokoh proklamator RI ini mempermasalahkan status negara Federasi Malaya. Ia menilai negara jiran ini tidak lebih negara boneka bentukan Inggris dalam rangka melanggengkan kolonisasai negeri monarki itu di Asia Tenggara. Isu yang diangkat Presiden soekarno adalah keberadaan gerakan kemerdekaan 'Negara kalimantan Utara' (NKU). Gerakan separatis yang didukung Presiden Soekarno ini semula digagas dan selanjutnya di pimpin oleh politisi lokal Tengku Antasari. Selain itu, Presiden Soekarno juga menggugat masalah pakta kerjasama militer yang dicanangkan Inggris dan Federasi Malaya. Lewat pakta ini, Inggris berhak memakai pangkalan militer di Sembawang (Singapura) selama 99 tahun. Pola kontrak pemakaian sebidang lahan dalam janga panjang seperti ini rupanya meniru keberhasilan Inggris terhadap Hongkong selama hampir seabad.
 

☆ Digembleng

Dalam rangaka mendukung gerakan NKU (secara aktif) seraya menandingi pakta militer Inggris - Federasi Malaya, Presiden Soekarno kemudian mengumandangkan kampanye perjuangan baru. kali ini bernama Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Pendeklarasiannya dilakukan dalam suatu rapat raksasa di Jakarta (03/05/64). Seperti halnya saat melansir Trikora, maka kali ini pihak Jakata mengirimkan ribuan 'sukarelawan' guna dilibatkan dalam berbagai misi rahasia di wilayah perbatasan RI dengan Federasi Malay. Sejatinya, inti kekuatan pasukan sukarelawan ini adalah para personil beberapa satuan elit ABRI. salah sayunya Komando Pasukan Katak (Kopaska).

Jumlah personil Kopaska (kini disebut Satuan Pasukan Katak - Satpaska) selepas Trikora amat sedikit. Meskipun begitu tidak lantas menghalangi tekad pimpinan ABRI untuk melibatkan satuan Kopaska di dalam seksi G-1/Intelijen dibawah Komando Operasi Tertinggi (KOTI).

Namun kebutuhan jumlah personil yang memadai untuk mengelar sejumlah operasi klandestin rupanya telah menjadi keniscayaan. Agar kebutuhan dapat terpenuhi, maka pada awal 1963, di seluruh pangkalan ALRI (TNI AL) dibuka pendaftaran untuk menjadi personil pasukan katak (Frogman).

Salah satu tamtama ALRI yang tertarik ikut di dalam satuan elit itu adalah Kopda Laut Soewarno. Saat itu ia bertugas di Stasiun Angkatan laut RI (Sional) Palembang. Di tengah kebosanan dalam menjalani tugas rutin, hati soewarno terpikat begitu membaca pengumuman terbitan Staf Personalia ALRI yang tengah mencari tenaga sukarelawan untuk di didik menjadi personil pasukan katak.

Dari ribuan pelamar, hanya ia berserta delapan personil ALRI lainnya yang dinyatakan berhak mengikuti pendidikan menjadi 'manusia katak' yang di selenggarakan oleh Sekolah Komando Chusus Sukarelawan (SKCS). Sekolah ini berlokasi di kompleks Sekolah Staf dan Komando ALRI (Seskoal), Cipulir, Jakarta Selatan. Pihak ALRI sengaja mendirikan sekolah khusus ini dalam rangka crash program mencetak 'manusia katak' dalam waktu sesingkat mungkin.
 

☆ Infiltrasi

Tidak lama setelah lulus dari SKCS, pertengahan Maret 1965, Soewarno berserta kelima temannya di kirim ke Pos Komando Taktis (poskotis) intelijen ALRI di Pulau Sekupang, Kepulauan Riau, guna bergabung dengan para seniornya. Lewat arahan seorang intelijen ALRI bernama samaran 'Bambang', dari sanalah satu demi satu personil Kopaska dikirim untuk melaksanakan aneka misi rahasia yang beresiko tinggi jauh ke dalam wilayah musuh. Guna memperkecil resiko rahasia sebuah misi bocor, maka semua tugas di sampaikan 'Bambang' kepada personil Kopaska selalu di berikan dalam bentuk lisan.

Setelah beberapa orang diberangkatkan, akhirnya tiba giliran Soewarno. Seluruh dokumen pendukung operasi untuknya telah disiapkan seksi perlengkapan Badan Pusat Intelijen (BPI) di Jakarta. Termasuk juga Kartu Tanda penduduk (KTP) palsu yang diterbitkan kecamatan Pulau Lengkang, Riau, atas nama Junus bin Usman. Soewarno ternyata tidak sendirian. Ia bakal ditemani oleh seorang Bintara ALRI, Serda Laut Prijatna DN, yang menyandang nama samaran Soleh bin Amir. Berdasarkan data di dalam KTP nya, keduanya berprofesi sebagai 'pedagang' getah karet dan biji timah. Merupakan bentuk halus sebutan penyelundup yang kala itu memang menjadi perkerjaan 'favorit' masyarakat kecil sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara.

Tugas ini yang di bebankan kedua personil Kopaska ini cukup 'edan', Bagamana tidak?
Mereka di perintahkan untuk menghancurkan jaringan pipa distribusi air bersih di Bukit Muntaha, Negara Bagian Johor. Instalasi ini terbilang sangat vital karena memasok kebutuhan air minum bagi sebagian besar penduduk Federasi Malaya dan Pulau Temasek (kini Singapura).

Awalnya Soewarno sempat mengalami konflik bathin berkenaan dengan tugas ini. Dia merasa bersalah jika misi ini berhasil. Namun di lain pihak, pantang baginya sebagai prajurit menolak perintah atasan. Betapapun perintah itu sebenarnya sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini dianutnya.

Agar penyamarannnya sebagai penyelundup semakin sempurna, maka baik Soewarno maupun Prijatna di bekali satu unit perahu motor yang penuh bermuatan timah, getah karet dan arang. Di bawah tumpukan komoditi alam ini tersimpan 500 kilogram bahan kimia peledak yang akan di pakai misi sabotase. Sebenarnya jarak Pulau Sekupang dengan Pulau Temasek relatif dekat. Dalam waktu normal dapat ditempuh sekitar 15 menit. Tetapi karena mengingat saat itu barang bawaannya terbilang berbahaya, maka Soewarno dan Prijatna menjalankan perahunya secara lambat. Belum lagi penjagaan polisi di kawasan perbatasan antara Semenanjung Malaya dengan Pulau Temasek memang sangat ketat. Pasalnya saat itu seorang tokoh etnis Tionghoa di Pulau Temasek bernama Lee Kwan Yeeuw juga sedang berupaya melepaskan Temasek dari bayang-bayang pengaruh Tengku Abdulrachman Putra di Kuala Lumpur.

Nahas bagi Soewarno dan Prijatna. Di kawasan perairan Temasek perahu mereka kena cegat kapal patroli polisi perairan (Marine Police) Federasi Malaya yang bersenjata lengkap. Saat seorang polisi menaiki perahunya, Soewarno bergegas menyelipkan selembar uang 10 Dollar AS dibalik kaus kaki petugas itu. "Tulunglah awak, Encik !" Awak nyemokel (menyelundup) begini buat kasih makan anak bini...", demikian ia pura-pura mengiba. Sambil merogoh lipatan kertas berwarna hijau di balik kaus kakinya. Tanpa basa basi memeriksa barang apapun, petugas polisi perairan itu kontan berteriak: "Silahkan lanjut !". Sambil mengayuh perahunya, Soewarno dan Prijatna buru-buru menganggukan kepala tanda terima kasih dan permisi angkat kaki. Di dalam hati, keduanya cuma bisa berucap syukur. Untuk sementara waktu Dewi Fortuna rupanya masih berpihak kepada mereka berdua.

Setelah berlayar hampir satu setengah jam, kedua penyelundup gadungan ini berhasil mendarat di Pulau Temasek. Baru beberapa menit menginjak kaki di pasir pantai Temasek, seorang datang menghampiri mereka. Yang bersangkutan ternyata agen BPI, yang semenjak sebulan lalu telah bermukim di Pulau temasek dan kini di tunjuk sebagai 'kontak' Soewarno dan Prijatna.

Agen BPI itu memberikan sejumlah dokumen pelengkap, termasuk ijin masuk terbatas selama tiga hari. Muatan bahan kimia peledak bawaan soewarno dan Prijatna selanjutnya iurus agen BPI tersebut.

Dari Lokasi ini Soewarno akhirnya berpisah dengan Prijatna dan meneruskan perjalan sendirian. Menjelang sore, Soewarno bertemu cukong barang komoditi setempat yang bernama Lim Soen Gwan. Karena harga barangnya dianggap miring, semua getah karet dan biji timah bawaan soewarno segera di borongnya.

Terbatasnya waktu yang tersedia dan sulitnya menembus penjagaan di perbatasan Semenanjung Malaya dengan Pulau Temasek, tidak membuat tekad Soewarno menjadi kendur. Secara sembunyi-sembunyi dia naik kereta api menuju Johor Baru. Sepanjang perjalanan yang memakan waktu lama itu karena harus terhenti di sejumlah stasiun untuk diperiksa petugas imigrasi setempat. Agar terhindar dari razia, Soewarno tidak jarang bersembunyi di WC atau pura-pura sibuk mengasuh anak salah seorang penumpang kereta api yang baru saja di kenalinya.

Namun saat matanya melayang ke bangunan stasiun, hati Soewarno seketika terkejut. Pada selembar poster yang di tempel di tembok peron terpampang dengan jelas gambar beberapa temannya sesama personil Kopaska. Termasuk diantaranya wajah Prijatna. Semuanya dipajang dengan status sebagai buronan polisi federasi.

Rupanya kecurigaan yang selama ini seringkali disampaikan oleh atasannya di Pulau Sekupang benar adanya. Beberapa nelayan warga Pulau Sekupang, ada yang bekerja 'sambilan' sebagai agen dinas rahasia federasi malaya. Mereka kerap ketahuan memotret dari kejauhan wajah sebagian personil Kopaska yang tengah berlatih menjelang diberangkatkan ke tempat tugas. Beruntung wajah Soewarno tidak terdapat di dalam poster itu.
 

☆ Tertangkap

Sesampainya di Johor Baru, agen BPI yang direncanakan bakal bertemu Soewarno tidak juga menampakan diri. Beberapa jam Soewarno menunggu dengan hasil nihil. Firasat Soewarno, jangan-jangan misinya sudah terendus pihak lawan. Karena usia visanya tinggal sehari, maka dinihari esoknya dia nekad menuju Kota Tinggi dengan menumpang bus antar kota. Lagi-lagi, dengan berbagai tipu muslihat razia polisi federasi berhasil di elakkannya.

Dengan berjalan kaki Soewarno berjalan kaki menuju Bukit Muntaha. Di hutan kecil yang terletak di kaki Bukit itu telah menunggu sekitar 40 personil Kopaska berpakaian sipil dan bersenjata senapan otomatis Thompson. Tiap orang mendapat jatah 500 butir peluru dan 10 kilogram bahan kimia peledak. Rencananya setelah usai menjalankan misinya di seantaro Semenanjung Malaya, mereka bakal kembali ke Pulau Batam. Setelah berdoa, ke 40 personil Kopaska itu segera berpencar dan tinggalah Soewarno sendiri di lokasi itu. Namun belum sempat Soewarno bertindak apapun, mendadak muncul satu peleton polisi federasi bersenjata berat mengepungnya. Merasa sia-sia jika melawan, Soewarno segera angkat tangan. Ia baru sadar jika agen BPI yang bakal bertemu di Johor Baru ternyata bersikap 'injak dua perahu' alias berperan sebagai agen ganda. Di antara polisi yang menangkap Soewarno, terdapat orang yang berpakaian sipil yang selalu ditanyain oleh polisi, sebelum polisi mengajukan pertanyaan kepada Soewarno.

Di kantor polisi federasi terdekat, tanpa ampun Soewarno segera di interogasi sambil sesekali dipukuli. Para petugas dinas rahasia federasi mencecarnya dengan pertanyaan. "Awak ini siapa? Apa macamnya awak ada di hutan? Siapa tokemu (atasan) di sini?" Pertanyaan ini terus menerus di ulang sambil di bumbui siksaan fisik yang mendarat di sekujur badan Soewarno. Dari semua pertanyaan itu hanya satu yang dijawab bahwa ia mengaku sebagai penyelundup biji timah dan getah karet yang di jual kepada tengkulak setempat bernama Soen Gwan.

Setelah di telepon polisi, Soen Gwan bergegas menengok Soewarno di ruang tahanan polisi federasi Kota Tinggi. Dengan susah payah, akhirnya cukong ini berhasil 'menembus' Soewarno senilai 500 Dollar AS. Saat akan beranjak pergi bersama Soen Gwan, Soewarno berpapasan dengan Prijatna yang juga kena tangkap. Tanpa sengaja mereka beradu pandang, Soewarno sempat mengedipkan mata kepada Prijatna sebagai tanda agar yang terakhir ini tetap tutup mulut jika ditanya apapun oleh polisi. Namun salah seorang agen dinas rahasia federasi yang jeli segera tanggap dengan kejadin ini, ia memancing Prijatna dengan pertanyaan apakah ia kenal dengan Soewarno. Celakanya, Prijatna yang baru lepas dari siksaan keceplosan dan mengaku kenal dengan 'Junus bin Usman'.

Tidak mau kehilangan peluang, polisi federasi meringkus kembali Soewarno dan menjebloskan ke penjara. Upaya Soen Gwan pun sia-sia belaka, polisi federasi Malaya tidak lagi menggubris segepok uang yang disodorkan oleh Soen Gwan. Mereka yakin bahwa tangkapannya bukan sekedar penyelundup getah karet biasa, namun bisa jadi adalah agen rahasia RI yang berniat melakukan 'kegaduhan' di Semenanjung Malaya.

Demi alasan keamanan, Soewarno dan Prijatna ditempatkan di dalam sel yang berbeda. Disaat situasi penjara sepi, Soewarno habis-habisan memaki Prijatna, tanpa peduli pangkatnya lebih tinggi. Dimata Soewarno, gara-gara mulut Prijatna 'bocor' maka ia terpaksa kembali menginap di hotel prodeo.

Sementara di Pulau Sekupang beredar berita bahwa Soewarno dan Prijatna telah gagal menunaikan misi. Otomatis keduanya dianggap sudah tewas. Karena misinya ini terbilang sangat rahasia di tengah situasi perang yang tidak pernah diumumkan oleh kedua pihak yang bertikai, maka kedua personil Kopaska ini tidak mungkin berharap bisa diperlakukan sebagaimana selayaknya tawanan perang yang berhak mendapatkan perlakuan 'pantas' sesuai aturan yang telah di tetapkan dalam Konvensi Jenewa. Boro-boro fasilitas yang memadai, yang mereka telan tiap hari hanya siksaan demi siksaan tanpa henti. tindak pelecehan pun tidak urung mereka derita. Mulai dari di telanjangi, di setrum hingga di suruh duduk di kursi rotan dengan kedua tangan terikat dengan paha kiri. Menurut petugas dinas rahasia federasi Malaya, beginilah cara antek-antek Soekarno sepantasnya duduk karena tokenya pun bersikap seperti itu tatkala dalam tawanan Belanda.

Dua hari kemudian, dibawah pengawalan minim, Soewarno dan Prijatna dikirim ke kantor cabang dinas rahasia federasi di Johor baru. Mobil penjara yang membawa keduanya hanya dikawal dua petugas bersenjata ringan dan satu petugas bersepeda motor. Saat melewati jembatan tinggi diatas sungai, sempat terpikir oleh Soewarno untuk kabur dengan cara melompat ke sungai. Namun niat itu kemudian diurungkannya begitu melihat kondisi Prijatna yang kepayahan gara-gara banyak kehabisan darah.

Setibanya di tempat tujuan, mereka kembali di suguhi aneka menu interogasi. Mulai dari berbentuk lembut dan tipu daya hingga yang penuh cerca dan siksa. Baik saat diinterogasi maupun saat mendekam di dalam sel, Soewarno dipisahkan dari Prijatna. setelah sembilan hari di siksa tanpa diberi kesempatan beristirahat barang sedetikpun, Soewarno akhirnya di ajukan ke hadapan meja hijau. Beruntung tuduhan yang dikenakan kepadanya terbilang ringan. Yakni sebagai penyelundup komoditi alam. Vonisnya tiga bulan penjara yang praktis hanya dilakoninya selama dua bulan karena di potong berkat kelakuan baiknya selama di dalam penjara.

Pada awal 1964 Soewarno akhirnya dapat menghirup udara bebas. Namun ia tidak lagi dapat berjumpa dengan Prijatna. Kabar yang ia dengar, Prijatna meninggal di dalam penjara, karena kehabisan darah.

Setelah melewati proses kepulangan yang tidak kalah berliku dan penuh mara bahaya, personil Kopaska yang mengakhiri masa bakti di ALRi dengan pangkat Pembantu Letnan Satu ini akhirnya dapat kembali pulang ke basisnya di Pulau Sekupang.

Belakangan hari, Soewarno baru tahu kalau misi yang diperintahkan kepadanya atas pertimbangan 'tertentu' kemudian di batalkan. Sehari sebelum dia tertangkap, sejatinya ada personil Brimob utusan khusus Presiden Soekarno membawa titah pembatalan misi berusaha menemuinya. Tetapi kabar ini rupanya tidak pernah sampai ke Soewarno karena personil Brimob yang bersangkutan kesulitan menemui para pelaksana misi dan juga keburu ditangkap polisi federasi Malaya.



(sumber dari Majalah Defender, edisi Agustus 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.