Kamis, 07 Juni 2012

Cerita Pasca Operasi Seroja

 Tatang

Terkadang jika kita dapat menggunakan waktu dengan baik maka hikmah dan manfaat akan dapat kita raih. Hal ini pula yang saya dapatkan ketika menempuh sebuah perjalanan menuju Jakarta beberapa hari yang lalu dengan menggunakan Kereta Gajayana. Sebagai seorang “Ahli Hisap” pemanfaatan separator gerbong sebagai pengisi waktu selalu saya lakukan dan biasanya di sana saya tidak sendirian, beberapa orang pun ada di sana baik sebagai “Ahli Hisap” maupun sebagai pengantri toilet.

Di sana saya berbincang dengan salah seorang bapak yang ternyata adalah veteran TNI yang mendapatkan luka tembak serius di pundak dan sempat mengalami kelumpuhan beberapa tahun, ia pun menunjukkan beberapa rekannya yang mengalami luka tembak di kaki, tangan, bahkan ada pula yang tertembak di mulut hingga memutuskan lidah dan merusak rahang atasnya. Yang luar biasanya adalah mereka beruntung karena masih hidup hingga sekarang dengan menanggung cacat seumur hidup.

Mereka ada di gerbong yang sama dengan saya dan mereka dengan bangga memperkenalkan diri sebagai veteran Operasi Seroja. Tujuan keberangkatan mereka adalah menuju Bekasi dan berkumpul dengan rekan-rekan seperjuangan di Timor Timur yang lain untuk reuni, menjalani test kesehatan, serta menyampaikan uneg-uneg.

Mereka berasal dari berbagai daerah dan mereka mendapatkan informasi untuk berkumpul dari rekan-rekan seperjuangan yang lain yang kebetulan dekat tempat tinggalnya. Saya bertanya kepada mereka apakah biaya perjalanan mereka ditanggung oleh Mabes TNI? Dengan senyum hanya berkata “Wah mas.. nek iso koyo ngono, uenak tenan..”  disambung dengan gelak tawa yang lainnya.

Saya kemudian tertarik akan Operasi Seroja ini yang katanya telah memakan banyak sekali korban jiwa, namun yang paling membuat saya tertarik adalah ternyata operasi ini tak lain hanyalah operasi yang sarat dengan muatan politis.
 Latar Belakang Operasi Seroja

Menurut Wikipedia, Operasi Seroja adalah sandi untuk invasi Indonesia ke Timor Timur yang dimulai pada tanggal 7 Desember 1975. Pihak Indonesia menyerbu Timor Timur karena adanya desakan Amerika Serikat dan Australia yang menginginkan agar Fretilin yang berpaham komunisme tidak berkuasa di Timor Timur.  Selain itu, serbuan Indonesia ke Timor Timur juga karena adanya kehendak dari sebagian rakyat Timor Timur yang ingin bersatu dengan Indonesia atas alasan etnik dan sejarah.

Di sumber lain disebutkan bahwa Operasi Seroja adalah Operasi Militer terlama kedua setelah operasi penumpasan DI/TII. Resminya Operasi Seroja ini berlangsung mulai dari 1975 sampai dengan tahun 1978, namun pada kenyataannya operasi ini masih berlangsung hingga “lepasnya” Timor Timur. Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa operasi ini masih berlangsung pasca 1978 adalah adanya organisasi Komando Pelaksana Operasi (Kolakops) yang merupakan ciri khas operasi militer serta pemberian Satyalancana Seroja bagi tentara yang bertugas setelah tahun 1978. Bukti lainnya adalah dengan dikaryakannya anggota ABRI di pemerintahan, mulai dari tingkat desa hingga provinsi. Beberapa jabatan bupati yang daerahnya dianggap rawan serta jabatan wakil gubernur adalah jabatan yang diplot untuk anggota ABRI yang dikaryakan. Hal ini mengingatkan akan taktik gerilya ala Jenderal Nasution yang diimplementasikan oleh ABRI melalui dwi fungsinya.

Operasi Seroja sendiri merupakan operasi lanjutan dari Operasi Komodo yang digelar sejak Januari 1975, Operasi Komodo dengan pasukan “The Blue Jeans Soldiers”nya lebih mengedepankan aspek sosio-politis yang bertujuan untuk mendorong integrasi Timor Timur dengan Indonesia. Secara bawah tanah operasi ini berfungsi untuk merekrut, melatih, mempersenjatai, dan memimpin kekuatan anti-Fretilin di kalangan masyarakat.
 Di balik Operasi Seroja

Bagi sebagian kalangan ABRI, operasi Seroja merupakan tempat latihan tempur ‘real time’ dan batu loncatan untuk karir, meskipun resikonya juga sangat besar. Secara teori, operasi ini adalah operasi gabungan semua elemen yang ada di tubuh ABRI (AD, AL, AU, dan POLRI), namun yang paling menonjol dalam operasi ini adalah Operasi Darat (karena sedikitnya unsur Udara dan Laut yang dilibatkan). Tercatat bahwa dalam kurun waktu 24 tahun ABRI kehilangan sebanyak 3.315 orang yang gugur di medan penugasan serta cacat sebanyak 2.338 orang. 60% dari gugur dan cacat adalah anggota TNI-AD.

Fakta menunjukkan bahwa Operasi Seroja  tidak didukung oleh upaya diplomasi di kancah internasional oleh pemerintah Indonesia, padahal saat bergabungnya Timor Timur ke Indonesia, dukungan Barat sangat kuat. Jika sedari awal upaya diplomasi Internasional ini dilakukan maka proses integrasinya akan berlangsung dengan cepat dan aman. Sebagai bukti, PBB hingga tahun 1999 masih beranggapan bahwa wilayah Timor Timur merupakan koloni Portugal.

Operasi Seroja telah mencuatkan nama-nama perwira menengah ketika itu, seperti Mayor Inf Tarub, Mayor Inf. Yunus Yosfiah, Kapten Inf. Luhut Panjaitan, dan Kapten Inf. Kirbiantoro sebagai komandan-komandan lapangan yang tangguh. Tapi di balik semua itu, nama-nama para arsitek Operasi Seroja seperti Yoga Soegomo, Ali Moertopo, LB Moerdani, dan Dading Kalbuadi tak bisa dipisahkan dari operasi ini. Nama Prabowo Subianto pun mencuat pasca operasi ini, dengan idenya untuk membentuk kelompok Perlawan Rakyat (Wanra) pada tahun 1989 bernama Garda Muda Penegak Integrasi (Gardapaksi) yang berfungsi sebagai untuk mempertahankan integrasi.

Unsur kepentingan politik sangat kental terasa, jika berhasil maka karir akan berkembang, namun bila gagal maka karir akan jalan di tempat atau malah tersingkir. Selain itu, nyawa juga menjadi taruhan dalam penugasan ke Timor Timur. Bagi perwira yang bernasib baik, Operasi Seroja merupakan tiket untuk memuluskan karir. Jika kurang beruntung namun memiliki kontribusi yang bagus, masih dapat diselamatkan dengan berbagai cara.
 Yang Terlupakan Pasca Operasi Seroja

Di sela perbincangan saya dengan salah seorang veteran Operasi Seroja, datanglah seorang bapak tua yang ternyata juga veteran Operasi Seroja. Betapa kagetnya kami ketika diketahui bahwa dengan wajah rusak dan lidahnya yang putus akibat luka tembak, hingga pensiunnya ia masih saja berpangkat Kopral Kepala.

Saya jadi ingat, dalam sebuah berita dikabarkan bahwa pada tanggal 19 Mei 2002, hari Minggu malam pukul 22.00 terjadi pembakaran lencana satya saat dilangsungkannya acara perenungan keprihatinan di kompleks veteran Seroja Bekasi. Peristiwa itu disaksikan oleh para veteran Seroja, keluarga, dan warakawuri janda-janda veteran. “Mereka tidak dendam pada pemerintah, tapi kecewa!” kata Amir Siregar yang yang dulu tergabung dalam batalyon Kostrad brigif 18 Malang.

Menurut Amir, bukan soal besaran tunjangan yang diberikan tiap bulan sekitar 250-300 ribu rupiah atau tunjangan bagi veteran cacat yang tidak turun juga hingga kini, tapi soal pengakuan eksistensi pemerintah. Itu yang belum ada sampai sekarang. Para veteran Seroja hanya berharap, perjuangan mereka di Timtim dulu dihargai.

Disebutkan dalam sebuah sumber bahwa kini sedikitnya terdapat 350 KK veteran Seroja yang tinggal di Kompleks Seroja Bekasi dengan berbagai profesi. Ada yang jadi sopir angkutan umum, pedagang, pekerja serabutan, dll. “Life must go on” karena mau tidak mau, suka tidak suka, tidak ada yang gratis untuk bertahan hidup.

Banyak sekali prajurit yang berjasa besar dalam Operasi Seroja, namun mereka nyaris “tak dikenal” dan “tak dikenang”, karena mereka hanyalah Prajurit bukannya Komandan. Tidak seperti rekan-rekan lain yang tewas, mereka hanya beruntung masih hidup pasca operasi tersebut dengan menanggung cacat seumur hidup. Namun sangat disayangkan, perjuangan para prajurit dalam Operasi Seroja yang dilakukan guna menunaikan tugas negara tak lagi mendapat tempat di hati para prajurit muda seperti sekarang ini.

Bukankah bangsa yang luhur adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawannya? Lantas seberapa luhur Bangsa Indonesia?
Sumber baltyra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.