Tatang
Terkadang jika kita dapat menggunakan waktu dengan baik maka hikmah
dan manfaat akan dapat kita raih. Hal ini pula yang saya dapatkan ketika
menempuh sebuah perjalanan menuju Jakarta beberapa hari yang lalu
dengan menggunakan Kereta Gajayana. Sebagai seorang “Ahli Hisap”
pemanfaatan separator gerbong sebagai pengisi waktu selalu saya lakukan
dan biasanya di sana saya tidak sendirian, beberapa orang pun ada di
sana baik sebagai “Ahli Hisap” maupun sebagai pengantri toilet.
Di sana saya berbincang dengan salah seorang bapak yang ternyata adalah veteran TNI yang mendapatkan luka tembak serius di pundak dan sempat mengalami kelumpuhan beberapa tahun, ia pun menunjukkan beberapa rekannya yang mengalami luka tembak di kaki, tangan, bahkan ada pula yang tertembak di mulut hingga memutuskan lidah dan merusak rahang atasnya. Yang luar biasanya adalah mereka beruntung karena masih hidup hingga sekarang dengan menanggung cacat seumur hidup.
Mereka ada di gerbong yang sama dengan saya dan mereka dengan bangga memperkenalkan diri sebagai veteran Operasi Seroja. Tujuan keberangkatan mereka adalah menuju Bekasi dan berkumpul dengan rekan-rekan seperjuangan di Timor Timur yang lain untuk reuni, menjalani test kesehatan, serta menyampaikan uneg-uneg.
Mereka berasal dari berbagai daerah dan mereka mendapatkan informasi untuk berkumpul dari rekan-rekan seperjuangan yang lain yang kebetulan dekat tempat tinggalnya. Saya bertanya kepada mereka apakah biaya perjalanan mereka ditanggung oleh Mabes TNI? Dengan senyum hanya berkata “Wah mas.. nek iso koyo ngono, uenak tenan..” disambung dengan gelak tawa yang lainnya.
Saya kemudian tertarik akan Operasi Seroja ini yang katanya telah memakan banyak sekali korban jiwa, namun yang paling membuat saya tertarik adalah ternyata operasi ini tak lain hanyalah operasi yang sarat dengan muatan politis.
Latar Belakang Operasi Seroja
Menurut Wikipedia, Operasi Seroja adalah sandi untuk invasi Indonesia
ke Timor Timur yang dimulai pada tanggal 7 Desember 1975. Pihak
Indonesia menyerbu Timor Timur karena adanya desakan Amerika Serikat dan
Australia yang menginginkan agar Fretilin yang berpaham komunisme tidak
berkuasa di Timor Timur. Selain itu, serbuan Indonesia ke Timor Timur
juga karena adanya kehendak dari sebagian rakyat Timor Timur yang ingin
bersatu dengan Indonesia atas alasan etnik dan sejarah.
Di sumber lain disebutkan bahwa Operasi Seroja adalah Operasi Militer
terlama kedua setelah operasi penumpasan DI/TII. Resminya Operasi
Seroja ini berlangsung mulai dari 1975 sampai dengan tahun 1978, namun
pada kenyataannya operasi ini masih berlangsung hingga “lepasnya” Timor
Timur. Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa operasi ini masih
berlangsung pasca 1978 adalah adanya organisasi Komando Pelaksana
Operasi (Kolakops) yang merupakan ciri khas operasi militer serta
pemberian Satyalancana Seroja bagi tentara yang bertugas setelah tahun
1978. Bukti lainnya adalah dengan dikaryakannya anggota ABRI di
pemerintahan, mulai dari tingkat desa hingga provinsi. Beberapa jabatan
bupati yang daerahnya dianggap rawan serta jabatan wakil gubernur adalah
jabatan yang diplot untuk anggota ABRI yang dikaryakan. Hal ini
mengingatkan akan taktik gerilya ala Jenderal Nasution yang
diimplementasikan oleh ABRI melalui dwi fungsinya.
Operasi Seroja sendiri merupakan operasi lanjutan dari Operasi Komodo
yang digelar sejak Januari 1975, Operasi Komodo dengan pasukan “The
Blue Jeans Soldiers”nya lebih mengedepankan aspek sosio-politis yang
bertujuan untuk mendorong integrasi Timor Timur dengan Indonesia. Secara
bawah tanah operasi ini berfungsi untuk merekrut, melatih,
mempersenjatai, dan memimpin kekuatan anti-Fretilin di kalangan
masyarakat.
Di balik Operasi Seroja
Bagi sebagian kalangan ABRI, operasi Seroja merupakan tempat latihan
tempur ‘real time’ dan batu loncatan untuk karir, meskipun resikonya
juga sangat besar. Secara teori, operasi ini adalah operasi gabungan
semua elemen yang ada di tubuh ABRI (AD, AL, AU, dan POLRI), namun yang
paling menonjol dalam operasi ini adalah Operasi Darat (karena
sedikitnya unsur Udara dan Laut yang dilibatkan). Tercatat bahwa dalam
kurun waktu 24 tahun ABRI kehilangan sebanyak 3.315 orang yang gugur di
medan penugasan serta cacat sebanyak 2.338 orang. 60% dari gugur dan
cacat adalah anggota TNI-AD.
Operasi Seroja telah mencuatkan nama-nama perwira menengah ketika itu, seperti Mayor Inf Tarub, Mayor Inf. Yunus Yosfiah, Kapten Inf. Luhut Panjaitan, dan Kapten Inf. Kirbiantoro sebagai komandan-komandan lapangan yang tangguh. Tapi di balik semua itu, nama-nama para arsitek Operasi Seroja seperti Yoga Soegomo, Ali Moertopo, LB Moerdani, dan Dading Kalbuadi tak bisa dipisahkan dari operasi ini. Nama Prabowo Subianto pun mencuat pasca operasi ini, dengan idenya untuk membentuk kelompok Perlawan Rakyat (Wanra) pada tahun 1989 bernama Garda Muda Penegak Integrasi (Gardapaksi) yang berfungsi sebagai untuk mempertahankan integrasi.
Fakta menunjukkan bahwa Operasi Seroja tidak didukung oleh upaya
diplomasi di kancah internasional oleh pemerintah Indonesia, padahal
saat bergabungnya Timor Timur ke Indonesia, dukungan Barat sangat kuat.
Jika sedari awal upaya diplomasi Internasional ini dilakukan maka proses
integrasinya akan berlangsung dengan cepat dan aman. Sebagai bukti, PBB
hingga tahun 1999 masih beranggapan bahwa wilayah Timor Timur merupakan
koloni Portugal.
Operasi Seroja telah mencuatkan nama-nama perwira menengah ketika itu, seperti Mayor Inf Tarub, Mayor Inf. Yunus Yosfiah, Kapten Inf. Luhut Panjaitan, dan Kapten Inf. Kirbiantoro sebagai komandan-komandan lapangan yang tangguh. Tapi di balik semua itu, nama-nama para arsitek Operasi Seroja seperti Yoga Soegomo, Ali Moertopo, LB Moerdani, dan Dading Kalbuadi tak bisa dipisahkan dari operasi ini. Nama Prabowo Subianto pun mencuat pasca operasi ini, dengan idenya untuk membentuk kelompok Perlawan Rakyat (Wanra) pada tahun 1989 bernama Garda Muda Penegak Integrasi (Gardapaksi) yang berfungsi sebagai untuk mempertahankan integrasi.
Unsur kepentingan politik sangat kental terasa, jika berhasil maka
karir akan berkembang, namun bila gagal maka karir akan jalan di tempat
atau malah tersingkir. Selain itu, nyawa juga menjadi taruhan dalam
penugasan ke Timor Timur. Bagi perwira yang bernasib baik, Operasi
Seroja merupakan tiket untuk memuluskan karir. Jika kurang beruntung
namun memiliki kontribusi yang bagus, masih dapat diselamatkan dengan
berbagai cara.
Yang Terlupakan Pasca Operasi Seroja
Di sela perbincangan saya dengan salah seorang veteran Operasi
Seroja, datanglah seorang bapak tua yang ternyata juga veteran Operasi
Seroja. Betapa kagetnya kami ketika diketahui bahwa dengan wajah rusak
dan lidahnya yang putus akibat luka tembak, hingga pensiunnya ia masih
saja berpangkat Kopral Kepala.
Saya jadi ingat, dalam sebuah berita dikabarkan bahwa pada tanggal 19
Mei 2002, hari Minggu malam pukul 22.00 terjadi pembakaran lencana
satya saat dilangsungkannya acara perenungan keprihatinan di kompleks
veteran Seroja Bekasi. Peristiwa itu disaksikan oleh para veteran
Seroja, keluarga, dan warakawuri janda-janda veteran. “Mereka tidak
dendam pada pemerintah, tapi kecewa!” kata Amir Siregar yang yang dulu
tergabung dalam batalyon Kostrad brigif 18 Malang.
Menurut Amir, bukan soal besaran tunjangan yang diberikan tiap bulan
sekitar 250-300 ribu rupiah atau tunjangan bagi veteran cacat yang tidak
turun juga hingga kini, tapi soal pengakuan eksistensi pemerintah. Itu
yang belum ada sampai sekarang. Para veteran Seroja hanya berharap,
perjuangan mereka di Timtim dulu dihargai.
Disebutkan dalam sebuah sumber bahwa kini sedikitnya terdapat 350 KK
veteran Seroja yang tinggal di Kompleks Seroja Bekasi dengan berbagai
profesi. Ada yang jadi sopir angkutan umum, pedagang, pekerja serabutan,
dll. “Life must go on” karena mau tidak mau, suka tidak suka, tidak ada yang gratis untuk bertahan hidup.
Banyak sekali prajurit yang berjasa besar dalam Operasi Seroja, namun
mereka nyaris “tak dikenal” dan “tak dikenang”, karena mereka hanyalah
Prajurit bukannya Komandan. Tidak seperti rekan-rekan lain yang tewas,
mereka hanya beruntung masih hidup pasca operasi tersebut dengan
menanggung cacat seumur hidup. Namun sangat disayangkan, perjuangan para
prajurit dalam Operasi Seroja yang dilakukan guna menunaikan tugas
negara tak lagi mendapat tempat di hati para prajurit muda seperti
sekarang ini.
Bukankah bangsa yang luhur adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawannya? Lantas seberapa luhur Bangsa Indonesia?
Sumber baltyra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.