Senin, 03 Juni 2013

☆ Saafroedin Bahar tentang Buku Rais Abin, Panglima Pasukan Perdamaian PBB 1976-1979

MISSION ACCOMPLISHED:

 Sebuah Studi Kasus tentang Kepemimpinan Militer 


Rais Abin (kedua dari kanan) sedang menginspeksi Pasukan Perdamaian PBB. Sumber: Koleksi Ed Zoeluerdi/Repro Mission Accomplished, Catatan Rais Abin karya Dasman Djamaluddin.

Sebagai pembuka kata, izinkanlah saya menyampaikan bahwa buku yang berjudul “MISSION ACCOMPLISHED: Mengawal Keberhasilan Perjanjian Camp David” ini merupakan buku yang terbitnya tepat waktu, yaitu pada saat kita sedang galau oleh karena mengalami demikian banyak missions unaccomplished dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Banyak pengamat yang menengarai bahwa salah satu sebab dari missions unaccomplished ini adalah masalah kepemimpinan.

Buku ini memuat paparan yang jelas tentang seni komando dan staf dalam menyelesaikan berbagai tugas yang diemban oleh Bapak Letnan Jenderal Purnawirawan Rais Abin – selanjutnya akan disebut sebagai Bapak Rais Abin -- sejak dari tugas sebagai Panglima UNEF dalam tahun 1976 sampai dengan tugas sebagai Ketua Umum Legiun Veteran RI dan Presiden Veterans Confederations of ASEAN Countries (VECONAC) sekarang ini. Di halaman depan tercantum jelas maksud penulisan buku ini, yaitu “ Semoga buku ini berguna bagi generasi penerus TNI, penerus bangsa, dan kejayaan Pancasila”.

Adalah jelas bahwa buku ini akan memperkaya khazanah literatur tentang kepemimpinan yang demikian kita perlukan, baik tentang kepemimpinan TNI maupun tentang kepemimpinan nasional pada umumnya. Sudah barang tentu, kepemimpinan TNI -- yang menjadi latar belakang professional Bapak Rais Abin -- akan menjadi tumpuannya. Oleh karena itulah saya memilih subtitle “ Sebuah Studi Kasus tentang Kepemimpinan Militer” untuk tanggapan ini, oleh karena sisi inilah yang saya pandang sangat menarik dari buku ini. Bidang tugas yang ditangani oleh Bapak Rais Abin dan diulas demikian jernih dalam buku ini, bukanlah hanya berkenaan dengan bidang militer - termasuk dalam apa yang sekarang disebut sebagai military operations other than war– tetapi juga tugas diplomatik dan tugas sipil.

Saya percaya bahwa istilah mission accomplished adalah istilah yang paling melegakan dalam kamus professional militer, yang menunjukkan bahwa misi yang dibebankan oleh komando atasan, telah ditindaklanjuti oleh komando bawahan dengan perencanaan yang rapi, pelaksanaan yang terorganisasi dengan jelas, dukungan logistik yang cukup, kepemimpinan yang berwibawa, serta sasaran yang telah tercapai. Secara a contrario dapat dikatakan bahwa keadaan yang sebaliknya –unaccomplished mission– menunjukkan bahwa misi yang dibebankan oleh komando atasan tidak tercapai, antara lain oleh karena perencanaan yang tidak rapi, pelaksanaan yang tidak terkendali dengan baik, kepemimpinan yang tidak berwibawa, serta sasaran yang tidak tercapai. Masalah kepemimpinan merupakan masalah paling sentral dalam dunia militer, oleh karena menang atau kalah, tercapai atau tidak tercapainya misi sangat tergantung pada kepemimpinan komandan. Untuk memahami esensi kepemimpinan militer, serta perbedaannya dengan kepemimpinan [ sipil ] secara umum, bermanfaat kiranya jika kita menoleh sebentar kepada ciri khas profesi militer itu sendiri.

 Ciri Khas Profesi Militer 

Rasanya perlu kita sadari adanya perbedaan mendasar antara profesi militer dengan profesi non-militer, yaitu bahwa profesi militer – yang terkait dengan perang dan kekerasan – tidak dapat dipraktekkan setiap hari. Pada dasarnya, profesi militer dalam keadaan damai berada dalam keadaan siaga (standby). Kapan dan di mana profesi militer itu akan dioperasikan, sesuai dengan prinsip civil atau civilian supremacy, tergantung pada keputusan politik yang merupakan wewenang dari kepemimpinan sipil.

Dalam hubungan ini sangat tepat pernyataan seorang penulis Barat tentang profesi militer, yang sering dikutip oleh senior saya , Jenderal (Purn) Widjojo Soejono, yang bunyinya sebagai berikut: It is the destiny of the professional soldier to wait in obscurity , most of his life, for a crisis that may never come. It is his function how to solve it if it does come. It is his code to give all he has. [ Adalah nasib dari seorang prajurit professional untuk menunggu dalam bayang-bayang kegelapan - dalam sebagian besar umurnya -- tentang krisis yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Adalah tugas pokoknya untuk mengatasinya, jika krisis itu memang terjadi. Dalam keadaan tersebut, adalah merupakan kehormatan baginya untuk mengerahkan segala yang ia punyai. ]

Seiring dengan itu, izinkan pula saya melaporkan bahwa konsep ‘misi”–mission– yang diberikan oleh komando atasan, merupakan konsep paling sentral dalam manajemen militer, oleh karena semua operasi militer bertujuan untuk tercapainya suatu misi, sehingga organisasi militer untuk mendukungnya ditata menurut prinsip mission-type organization. Sesuai dengan sifat tugasnya itu, organisasi militer harus disusun secara kenyal, yang dengan cepat harus dapat disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan dinamika perkembangan keadaan. Tercapai tidaknya misi, yang dipertanggungjawabkan kepada seorang komandan, merupakan tolok ukur bagi kualitas suatu komando, dan adalah wajar bahwa konsekuensi tercapainya missi akan berujung pada promosi sang komandan, dan kegagalan dalam mencapai misi akan menyebabkan digantinya komandan yang bersangkutan. Dengan demikian, profesi militer mengharuskan setiap perwiranya bukan saja untuk selalu waspada menghadapi berbagai kemungkinan ancaman yang bisa terjadi, tetapi juga untuk selalu siaga mengemban tugas apapun yang dipercayakan kepadanya, kapanpun dan dimanapun juga. Tidak ada kata “tidak”, “belum”, atau “tunggu dahulu” dalam kamus militer. Oleh karena itu, dalam keadaan tidak ada perang, maka yang harus dikerjakan oleh seorang militer professional adalah mengikuti pendidikan dan latihan, secara bertingkat sesuai dengan golongan pangkatnya, mulai dari taktik dan teknik kesatuan kecil, sampai ke taktik kesatuan besar, strategi, dan strategi raya (grand strategy). Ada kalanya misi yang dipercayakan kepada komando bawahan itu sudah cukup terinci dalam sebuah perintah operasi, sehingga komando bawahan yang bersangkutan cukup melaksanakan apa yang sudah tercantum dalam perintah operasi tersebut. Namun tidak jarang, khususnya untuk tugas-tugas pada komando tertinggi, misi tersebut hanya berupa sebuah perintah pendek, yang harus dikembangkan sendiri lebih lanjut oleh komando bawahan. Demikianlah misalnya, perintah yang diberikan oleh Kepala Staf Gabungan Sekutu, Jenderal George C. Marshall kepada Panglima Tertinggi Sekutu, Jenderal Dwight David Eisenhower, dalam Perang Dunia Kedua, berbunyi : “Rebut Berlin”. Perintah singkat yang serupa juga diberikan oleh Dr. Kurt Waldheim, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, kepada Bapak Rais Abin, yaitu : “Make peace, nothing else”

Sudah barang tentu perintah yang bunyinya sangat umum dan singkat tersebut memerlukan penjabaran lebih lanjut, yang merupakan tugas dari jajaran staf umum, staf khusus, dan badan-badan pelaksana, yang syukurnya sudah merupakan hal standar dalam organisasi militer manapun juga.

Dengan demikian secara teknis professional pembentukan komando gabungan, baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat internasional, dapat dilakukan dengan cepat. Untuk menindaklanjuti pelaksanaan missi yang diterimanya, adalah merupakan tugas dan tanggung jawab komando bawahan untuk mengadakan analisa tugas pokok ( ATP), membuat perkiraan keadaan strategis (Kirstra) menyiapkan rencana kampanye (renkam) dan rencana operasi (renops) membuatkan perintah operasi(prinops) dan perintah administrasi (prinmin) yang akan mendukungnya. Jika komando yang memperoleh missi tersebut memerlukan dukungan khusus yang tidak bisa ditanganinya sendiri, komando yang bersangkutan bisa mengajukannya kepada komando atasan. Dalam tugas menjaga perdamaiana di Timur Tengah, misalnya, secara lugas Bapak Rais Abin meminta dukungan penuh dari segala pihak, oleh karena adalah jelas tidak mungkin untuk melaksanakan tugas memelihara perdamaian tanpa mendapat kepercayaan penuh dari pihak-pihak yang bertikai.

Oleh karena bukanlah merupakan tanggung jawab komando militer untuk membekali dirinya sendiri, sudah barang tentu, adalah kewajiban pemerintahan sipil untuk menyediakan alat utama sistem persenjataan ( alutsista) yang paling mutakhir dan anggaran yang cukup, agar supaya sekali perang dilancarkan, tidak ada alternatif lain selain daripada menang. Kekalahan dalam perang dapat menyebabkan lenyapnya Negara serta kehinaan bagi Bangsa. Ada sedikit catatan tambahan. Walaupun prinsip dan kiat kepemimpinan militer tumbuh dalam suasana perang, namun sistem manajemen dan tekniknya dapat diterapkan dalam berbagai bidang yang mempunyai tingkat ketidakpastian dan persaingan yang tinggi serta mempunyai sasaran yang jelas, seperti dalam bidang bisnis ataupun untuk melaksanakan proyek-proyek khusus.

Dalam hubungan inilah dapat kita fahami mengapa prinsip-prinsip ilmu perang yang disusun oleh Sun Tzu akhir-akhir ini mendapat perhatian demikian besar dari kalangan business management. Tiga Substansi Utama Kandungan Buku. Walaupun buku ini mempunyai subtitle “ Mengawal Keberhasilan Perjanjian Camp David”, namun buku ini mengandung dua substansi lainnya yang tidak kalah pentingnya bagi kita dalam memahami kepemimpinan militer TNI, yaitu tentang hubungan antar- dan inter-elite; serta tentang pentingnya peranan integritas pribadi dalam pelaksanaan tugas, yang akan saya coba mengulasnya satu demi satu sebagai berikut :

a. Mengawal Keberhasilan Perjanjian Camp David.

Bagian ini adalah bagian paling sentral dalam buku ini, yang terkait bukan hanya dengan kompleksitas masalah hubungan komando dan staf dalam pasukan multi nasional seperti UNEF II, tetapi juga aspek diplomatik dalam hubungannya dengan dua fihak yang bermusuhan, sehingga perlu kita ulas dengan agak lebih lengkap. Dalam bagian ini kita dapat memperoleh gambaran tangan pertama betapa kompleks dan sulitnya tugas menciptakan kondisi yang memungkinkan terwujudnya perdamaian antara Mesir dan Israel pasca Perang Ramadhan atau Perang Yom Kippur tahun 1973-1974. Walaupun pertempuran sudah berhenti, namun suasana permusuhan masih sangat terasa, dan upaya menuju perdamaian antara dua pihak yang berperang memerlukan tingkat kehati-hatian yang sangat tinggi, bukan hanya dari fihak yang berperang, tetapi juga dari fihak yang mempunyai tugas untuk memfasilitasi perdamaian, dalam hubungan ini pasukan pedamaian PBB, UNEF II. Beberapa misi awal pasukan UNEF II adalah sebagai berikut:

1) Mengawasi pematuhan gencatan senjata dan pemulangan pasukan kedua fihak yang bersengketa ke posisi tanggal 22 Oktober 1973.

2) Menjalankan saya upaya maksimal; untuk mencegah terulangnya pertempuran.

3) Melakukan kerjasama dalam usaha-usaha kemanusiaan dengan Komite Palang Merah Internasional.

Dengan cukup terinci, buku ini memaparkan proses pengangkatan beliau sebagai Panglima UNEF II, serta langkah demi langkah yang diambil oleh Bapak Rais Abin untuk melaksanakan misi yang selain berat juga sangat peka tersebut, baik mengenai masalah internal UNEF II maupun dalam kaitan dengan hubungan dengan Negara Mesir dan Israel, yang nota bene tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia, Negara asal Bapak Rais Abin. Proses pengangkatan seorang panglima UNEF II berlangsung secara ketat, sejak dari tahap pencalonan sampai pada persetujuan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Secara khusus perlu diperhatikan, bahwa para calon bukanlah mewakili Negara asalnya, tetapi merupakan pribadi yang bukan saja dipandang cakap untuk memikul misi yang diemban UNEF II, tetapi juga bisa diterima oleh seluruh fihak terkait. Dengan kata lain, bukan hanya aspek profesionalitas tetapi juga akseptabilitas calon yang sangat bersifat pribadi. Seluruhnya itu dilandaskan pada pengamatan dan evaluasi terhadap rekan jejak Bapak Rais Abin sebagai Kepala Staf UNEF II. Tanpa kecuali, seluruh fihak terkait menyetujui pengangkatan Bapak Rais sebagai Panglima UNEF II, yang berarti bahwa baik dari aspek profesionalitas maupun dari aspek akseptabilitas, Bapak Rais Abin memenuhi kriteria semua fihak, bukan hanya Mesir dan Israel, tetapi juga Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pengangkatan sebagai Panglima UNEF II merupakan suatu peristiwa yang unik, bukan hanya dalam karir Bapak Rais Abin sendiri, tetapi juga bagi Tentara Nasional Indonesia, oleh karena sebelum itu – dan juga setelah itu – jabatan tertinggi dalam pasukan perdamaian PBB yang dijabat oleh perwira Indonesia adalah sebagai komandan brigade saja. Sekedar catatan, sudah barang tentu salah satu faktor yang mendukung persetujuan ini adalah kemampuan Bapak Rais Abin dalam berkomunikasi dengan segala fihak, yang dengan sendirinya memerlukan penguasaan bahasa Inggeris yang eloquent. Suatu masalah khas yang dihadapi Bapak Rais Abin dalam menunaikan tugas beliau ini adalah kenyataan bahwa Bapak Rais Abin berasal dari Negara yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel, yang dapat menyebabkan terbatasnya langkah-langkah beliau sebagai Panglima UNEF II, antara lain tidak bisa mendatangi daerah-daerah yang diduduki Israel.

Baik Sekretaris Jenderal PBB maupun Departemen Pertahanan tidak memandang perlu untuk campur tangan mengenai hal ini. Oleh karena itu, atas prakarsa dan tanggung jawab sendiri, sebagai Panglima UNEF II Bapak Rais Abin secara langsung menghubungi Menteri Pertahanan Israel, Shimon Peres. Dalam pertemuan yang tidak biasa itu, Bapak Rais Abin menyatakan bahwa “ Kalau sekiranya ada masalah politik dan mengganggu dukungan Israel melalui penugasan saya, saya mau mundur”. Permintaan Bapak Rais Abin ini segera disetujui Simon Peres, dengan menyatakan bahwa Angkatan Bersenjata Israel sangat bersimpati dengan pengangkatan Bapak Rais Abin. Seperti dapat diduga, persetujuan Israel ini cukup mengagetkan Pemerintah R.I. di Jakarta. Mengenai hal ini secara khusus Bapak Rais Abin menjelaskan sebagai berikut. “ Apa yang saya inginkan berhasil. Baret biru yang saya pakai bukan mewakili Indonesia, tetapi mewakili dunia. Itulah sebabnya mengapa surat kawat Sekretaris Jenderal PBB datang ke markas PBB di Ismailia, bukan ke Istana Negara, karena sejak diangkat menjadi Panglima Pasukan Perdamaian PBB, saya mengabdi kepada dunia dan sementara melepaskan loyalitas nasional, tetapi tetap mempunyai kaitan dengan bangsa dan Negara dalam hal mengangkat harkat dan martabat bangsa di dunia internasional” .

Dengan status yang sudah mantap tersebut, Bapak Rais Abin dapat memulai tugas berat yang sebelumnya tidak pernah terjadi, yaitu mendorong kedua belah fihak yang bertikai tersebut agar mau duduk ke meja perundingan, dan berkata dengan jujur . Dalam suasana yang mulai kondusif untuk perdamaian tersebut, sungguh mengharukan untuk membaca tentang keberanian Presiden Mesir Anwar Sadat untuk bersedia mendatangi parlemen Isarel, Knesset, untuk memenuhi undangan Perdana Menteri Israel Menachem Begin pada bulan November 1977. Perundingan langsung ini berhasil baik, sehingga pada akhir tahun 1978 Bapak Rais Abin melaporkan kepada Sekretaris Jenderal PBB bahwa kedua belah fihak sudah setuju untuk melakukan perundingan, yang melapangkan jalan untuk disepakatinya Perjanjian Camp David pada bulan Maret 1979 . Dengan perjanjian Camp David, perdamaian memang tercipta antara Mesir dan Israel, tetapi konflik belum masih berlanjut terus antara Israel dan Palestina, hingga kini. Secara pribadi saya berpendapat bahwa seluruh pengalaman pasukan perdamaian PBB dari unsur TNI perlu dikaji dengan mendalam, untuk kemudian dimanfaatkan sebagai bahan untuk menyusun pedoman melaksanakan tugas konstitusional Pemerintah Republik Indonesia, yaitu “ ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.” Pengalaman sebagai penjaga perdamaian ini juga akan bermanfaat untuk menyempurnakan pelaksanaan tugas-tugas pembinaan territorial di dalam negeri, khususnya di daerah-daerah yang rentan terhadap terjadinya konflik horizontal antara berbagai kelompok masyarakat.

b. Hubungan Antar- dan Inter-Elite.

Komando militer, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat adalah bagian dari keseluruhan korps elite nasional, yaitu lapisan kepemimpinan yang terdiri dari pribadi-pribadi yang memegang kekuasaan dan kewenangan untuk mengambil keputusan dan menggunakan sumber daya nasional. Dari literatur teori elite – antara lain yang ditulis oleh Gaetano Mosca, Vilfredo Pareto, atau G.Wright Mills- -- kita mendapat masukan bahwa korps elite tidak pernah benar-benar bersifat homogen. Selalu ada konflik dan rivalitas dalam korps elite tersebut, baik dala bentuk konflik pribadi maupun konflik kepentingan. Buku ini juga mencatat dan memberikan tanggapan terhadap konflik dan rivalitas yang terjadi antar- dan intern elite Indonesia, serta bagaimana cara untuk mengatasi konflik dan rivalitas tersebut.

Ada dua contoh yang menarik yang diangkat dalam buku ini, yaitu 1) hubungan yang tidak terlalu mulus antara Presiden Soeharto dengan Menhankam/Pangab Jenderal Muhammad Jusuf, yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai nuansa kultural, yaitu antara kultur politik Jawa yang halus, dengan kultur politik Bugis, yang serba luas; dan 2) keheranan Bapak Rais Abin terhadap makna loyalitas tanpa reserve dari dua orang Menteri Sekretaris Negara kepada Presiden Soeharto, yaitu Letnan Jenderal Soedharmono dan Letnan Jenderal Moerdiono. Menghadapi hubungan yang tidak terlalu mulus antara Presiden Soeharto dengan Menhankam/Pangab Jenderal Muhammad Jusuf, Bapak Rais Abin mengingatkan Jenderal Muhammad Jusuf untuk lebih memahami budaya Jawa, sedang terhadap konsep loyalitas tanpa batas yang dianut oleh dua orang menteri sekretaris Negara tersebut, Bapak Rais Abin masih tetap tidak bisa mengerti, yang menyebabkan hubungan pribadinya yang semula hangat menjadi mendingin. c. Pentingnya Peranan Karakter dan Integritas Pribadi. Tersebar dalam banyak halaman terdapat bahan yang amat kaya tentang pentingnya peranan karakter dan integritas pribadi dalam keberhasilan pelaksanaan tugas Bapak Rais Abin, yang dapat kita kelom[okkan dalam tiga tema, integritas pribadi, kemampuan rofesionalisme militer, dan jejaring pribadi. Penjelasannya adalah sebagai berikut.

1) Integritas Pribadi.

Tampil sangat menonjol dalam materi buku ini adalah testimoni dari berbagai fihak yang amat kaya tentang kejujuran, disiplin, sifat lugas, kehangatan,serta keterbukaan dari Bapak Rais Abin. Seluruhnya dapat kita rangkum dalam satu terrminologi, yaitu ‘integritas pribadi’. Integritas pribadi ini menimbulkan suasana yang kondusif untuk melaksanakan tugas, betapapun beratnya. Sungguh mengesankan bahwa dengan sifat-sifat demikian beliau dapat diterima dan dihormati oleh kedua belah yang bermusuhan – yaitu Mesir dan Israel -- selama menjabat sebagai Kepala Staf, kemudian sebagai Panglima UNEF II. Sudah barang tentu sifat-sifat ini tidaklah timbul demikian saja setelah berada dalam dinas TNI tetapi merupakan manifestasi dari sistem nilai kultural yang diwarisi sejak kecil oleh beliau, yang kemudian dipelihara dan dikembangkan dalam konteks professional sebagai prajurit TNI. Dengan kata lain, keberhasilan dalam pelaksanaan mission yang beliau emban demikian banyak bergantung pada faktor psikologis, baik dalam diri beliau sendiri maupun dalam hubungan antar pribadi. Masalah pentingnya integritas pribadi – atau karakter-- ini rasanya memerlukan perhatian yang lebih besar dalam pendidikan perwira kita. Kesimpulan yang sama tercantum jelas dalam buku kenang-kenangan para perwira TNI-Angkatan Laut yang belajar di Akademi Angkatan Laut Belanda di Den Helder dalam tahun 1950-an, bahwa predikat sebagai kroon kadet tidaklah diberikan kepada kadet yang paling pandai dari segi akademik, tetapi justru kepada kadet yang mempunyai integritas pribadi yang paling baik. Kesimpulan pentingnya karakter pada kepemimpinan seorang perwira ini juga diperoleh dari analisa terhadap kepemimpinan para jenderal Amerika Serikat yang terkenal selama Perang Dunia Kedua, sehingga seorang pengarang biograsi mereka merumuskan bahwa character is everything, karakterlah yang menentukan segala-galanya.

2) Kemampuan Profesional Militer.

Sudah barang tentu, betapa pun pentingnya karakter, hal itu tidaklah cukup untuk menyukseskan suatu missi yang dipercayakan kepada seorang komandan militer. Kemampuan professional mliter ini diperoleh melalui rangkaian pendidikan dan latihan serta rangkaian penugasan yang tidak putus-putusnya. Dalam hubungan ini Bapak Rais Abin telah melalui pendidikan berjenjang serta penugasan yang lengkap, sejak dari penugasan sebagai instruktur di Pusat Infanteri, Sekolah Staf dan Komando TNI-Angkatan Darat, serta sekolah staf dan komando sejenis di Australia. Beliau juga sudah pernah menjabat sebagai Kepala Staf Kodam Nusa Tenggara, dan Kepala Staf Penguasa Perang Daerah di Sulawesi Selatan. Kemampuan professional militer, baik untuk menyesuaikan diri dengan berbagai keadaan maupun untuk melaksanakan berbagai jenis tugas, memungkinkan Bapak Rais Abin untuk melaksanakan dengan baik berbagai tugas baru yang tidak terkait langsung dengan tugas militer, khususnya menjadi Duta Besar di Malaysia dan Singapura, serta menjadi Sekretaris Jenderal Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok.

3) Jejaring Pribadi.

Pada dasarnya penugasan sebagai komandan adalah pemberian kepercayaan dari atasan kepada seorang bawahan, berdasar keyakinan bahwa bawahan yang bersangkutan bukan saja mampu, tetapi juga dapat dipercaya. Dalam hubungan ini sungguh mengesankan bahwa Bapak Abin mempunyai hubungan pribadi yang amat baik dengan berbagai perwira senior, baik sebagai atasan maupun sebagai sesama staf, seperti Jenderal Muhamad Yusuf, Jenderal Widodo, dan Jenderal Poniman.

Sebagian jejaring pribadi ini berasal dari pengalaman yang sama sewaktu mengikuti pendidikan, sebagian lagi dari hubungan sebagai atasan dan bawahan sewaktu berdinas. Amatlah menarik, bahwa dalam hubungan dinas dengan para perwira senior dalam jejaring pribadi tersebut, Bapak Rais Abin selain mampu untuk bersifat lugas, juga mampu memelihara suasana akrab, tidak jarang bahkan sampai menyebut nama panggilan (nickname) sang atasan.

4) Posisi Buku ini dalam Literatur Pemikiran TNI.

Adalah jelas bahwa buku yang memuat demikian banyak pengalaman tangan pertama dalam bidang komando dan pengendalian pada pasukan pemeliharaan perdamaian dari Perserikatan Bangsa Bangsa ini telah mencapai sasarannya, yaitu sebagai warisan dari salah seorang tokoh senior Generasi 1945 bagi penerus TNI, penerus bangsa, dan kejayaan Pancasila. Menurut pengamatan saya, masalah komando dan pengendalian ini – baik dalam operasi militer perang maupun operasi militer selain perang – memang merupakan suatu masalah yang sungguh-sungguh memerlukan perhatian, oleh karena kelihatannya merupakan bagian terlemah dari keseluruhan pelaksanaan tugas TNI. Hal itu terlihat baik dalam operasi Trikora 1961, operasi Dwikora 1965, maupun dalam operasi Seroja 1975. Khusus mengenai operasi Seroja di Timor Timur, kita beruntung bahwa pada saat ini telah ditulis dan diterbitkan sebuah buku yang relative lengkap oleh Letnan Jenderal Purnawirawan Kiki Syahnakri, perwira tinggi yang menghabiskan sebagian besar masa dinasnya di eks Provinsi Timur Timur, dengan judul : “ Timor Timur: The Untold Story.”

Dalam Bab 7 buku tersebut, Letnan Jenderal Kiki Syahnakri mencatat tujuh faktor yang menyebabkan lepasnya eks Provinsi Timor Timur tersebut, yaitu: 1) ketidaksesuaian antara doktrin pelaksanaan pada petunjuk dengan persenjataan dan teknologi militer yang dimiliki dan dengan ancaman yang dihadapi; 2) kurang memegang prinsip operasi gerilya lawan gerilya; 3) tidak memanfaatkan otoritas adat; 4) kurangnya keterpaduan; 5) perilaku aparat dan korupsi; 6) relasi dengan gereja Katolik dan Uskup Belo; dan 7) hubungan dengan media. Tidak dicantumkan secara khusus namun cukup banyak diulas dalam hubungan ini adalah krititik terhadap keputusan Presiden B.J. Habibie yang pada tahun 1999 secara mendadak memutuskan mengadakan jajak pendapat di Timur Timur pada saat perundingan dengan Portugal sudah hampir mendekati tahap final, dan pada saat hampir seluruh penduduk Timor Timur – termasuk yang anti integrasi – menerima konsep otonomi khusus itu.

Artinya kelemahan komando dan pengendalian tidak hanya terdapat pada tataran lapangan, tetapi juga pada tingkat tertinggi pimpinan Negara, yang sama sekali tidak mempunyai pengetahuan maupun pengalaman mengenai masalah pertahanan dan keamanan serta kondisi di lapangan. Tetapi ini adalah masalah lain, yang perlu dibahas tersendiri.

5) Kesimpulan dan Penutup.

a. Profesi militer mempunyai sifat khas yaitu harus selalu siap menghadapi krisis yang mungkin tidak pernah terjadi; dan jika terjadi harus mampu menanganinya dengan tuntas.

b. Tugas pemeliharaan perdamaian dari pasukan Perserikatan Bangsa Bangsa termasuk category ‘military operations other than war’.

c. Prinsip-prinsip kepemimpinan dan manajemen militer yang berorientasi pada pencapaian missi dan bersifat kenyal, bisa diterapkan dalam berbagai bidang di luar bidang militer.

d. Dalam pengimplementasian prinsip kepemimpinan dan manajemen militer sangat penting peranan integritas pribadi, kemampuan professional, serta jejaring persahabatan.

e. Dalam hal tidak ada petunjuk khusus dalam menindaklanjuti suatu missi, seorang komandan militer harus mampu secara kreatif untuk mencari solusinya sendiri, dalam batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya.

f. Catatan karir Bapak Rais Abin menunjukkan bahwa beliau telah menerapkan pinsip-prinsip tersebut secara kreatif, dan dapat dijadikan salah satu rujukan oleh generasi yang lebih muda.

g. Konflik antar- dan intra elite adalah suatu hal yang wajar terjadi, dan oleh karena sifatnya yang amat peka, penanganannya memerlukan kehatian-hatian.

oleh : Dr. Saafroedin BAHAR

(Brigjen/Purn, Anggota Badan Pengkajian Pengurus Pusat Persatuan Purnawirawan TNI-Angkatan Darat/PPAD,Jakarta.Makalah ini disampaikan pada hari Rabu, 12 Desember 2012 di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta dalam Acara Diskusi Buku: “Rais Abin, Mission Accomplished: Mengawal Keberhasilan Perjanjian Camp David,” yang ditulis Dasman Djamaluddin yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas).

  ● Wikimu  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.