Jakarta ☆ Kepala negara Indonesia dan Australia akan bertemu di Batam, Kepulauan Riau, esok Rabu untuk menyelesaikan masalah kebijakan mengusir para pencari suaka dan penyadapan yang sering membuat hubungan kedua negara memanas, kata Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa.
"Hubungan strategis antara Australia dan Indonesia terhambat karena persoalan penyadapan dan pengusiran para pencari suaka. Pertemuan dua kepala negara ini akan menjadi kesempatan untuk menormalisasi kerja sama," kata Marty dalam rapat dengar pandapat dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Selasa.
Istana sebelumnya mengungkapkan bahwa pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Australia Tony Abbott itu akan dilangsungkan secara informal disela-sela acara lomba membaca Alquran.
Pertemuan di Batam adalah forum tertinggi pertama antar kedua negara sejak kebijakan penyadapan terhadap sejumlah pejabat tinggi negara Indonesia oleh badan intelejen Australia terungkap ke publik tahun lalu.
Hubungan semakin memanas akibat kebijakan anti-imigran yang merupakan program utama Abbott. Selama beberapa bulan terakhir Australia mengusir para pencari suaka yang hendak menuju negara itu dengan kapal kecil dan memaksa mereka kembali ke Indonesia.
Sejumlah organisasi sipil seperti Indonesian Civil Society Network for Refugee Rights Protection (Suaka) menilai tindakan itu dilakukan secara sepihak tanpa berkoordinasi sehingga Australia terkesan melempar tanggung jawab internasional untuk mengurus pencari suaka.
Menurut Marty, kedua persoalan tersebut harus diselesaikan sebelum hubungan kedua negara kembali normal dan dia tegas menyebut Australia pihak yang bertanggung jawab.
"Bagi kami sudah jelas, Australia-lah yang menyebabkan persoalan ini. Terkait pencari suaka, isu ini seharusnya menyatukan kedua negara karena menyangkut kemanusiaan, namun kebijakan pengusiran kapal justru membuat kami terpisah," kata Marty.
Terkait penyadapan, Marty mengatakan Indonesia telah mengirim usulan dokumen kode tata laku sepanjang satu halaman pada 24 April lalu yang intinya meminta Australia tidak menyadap Indonesia.
"Sampai saat ini belum ada tanggapan dari pihak Australia terkait usulan kami," kata Marty.
Sementara itu pada hari yang sama Tony Abbott, di depan parlemen Australia, mengaku masih memerlukan waktu untuk mengkaji usulan dokumen kode tata laku dari Indonesia.
"Pemerintah Indonesia butuh waktu lama untuk memberikan usulannya, dan kami sekarang sedang mempertimbangkan usulan tersebut," kata Abbott sebagaimana dikutip The Guardian.
Abbott tidak menyinggung rencana pertemuannya dengan Presiden Yudhoyono ke parlemen. Namun dia menyatakan bahwa dialog "two plus two" yang akan mempertemukan menteri pertahanan dan menteri luar negeri kedua negara beberapa pekan mendatang akan menjadi waktu yang tepat untuk menyelesaikan kode tata laku yang diusulkan Indonesia. Kunjungan PM Abbot babak baru hubungan RI--Australia
Pengamat politik dari Projecting Indonesia, Yasmi Adriansyah, menilai kunjungan Perdana Menteri Australia, Tony Abbot, ke Indonesia yang dijadwalkan bertemu Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, di Batam, Rabu, merupakan babak baru hubungan bilateral Indonesia--Australia.
Pertemuan ini sangat strategis, mengingat hubungan kedua negara dalam beberapa bulan terakhir berada di titik terendah, termasuk dengan ditariknya Duta Besar RI, Nadjib Riphat Kesoema, pada akhir tahun lalu karena masalah penyadapan yang dilakukan Australia terhadap petinggi Indonesia terpapar di media, demikian disampaikan Direktur Projecting Indonesia, Yasmi Adriansyah, kepada ANTARA, di London, Rabu.
"Saya berpandangan kunjungan ini merupakan babak baru dan sangat strategis khususnya dalam konteks pemulihan hubungan kedua negara. Dalam hal ini, apresiasi layak diberikan kepada kedua pemimpin negara yang bersedia berkomunikasi, termasuk melalui telepon, sehingga kebekuan selama ini bisa dicairkan," kata kandidat PhD, Australian National University, Canberra, Yasmi Adriansyah.
Sebagai info, setelah mengalami titik terendah hubungan dalam beberapa bulan terakhir, Presiden SBY berbesar hati mengundang PM Abbot untuk hadir di acara Open Government Partnership (OGP) di Bali, 6 Mei lalu. Namun PM Abbot menyatakan tidak bisa hadir karena adanya urusan mendesak di dalam negeri. Abbot kemudian menelepon SBY dan berjanji untuk segera berkunjung ke Indonesia. Akhirnya kedua pemimpin sepakat untuk bertemu di Batam, 4 Juni mendatang.
"Saya berpandangan, langkah SBY mengundang Abbot ke Bali dan komunikasi telepon yang dilakukan Abbot merupakan keinginan dari kedua pemimpin untuk memulihkan hubungan bilateral," ujar Yasmi.
Di satu sisi, SBY tidak ingin meninggalkan beban diplomatis kepada presiden yang akan menggantikannya. Di sisi lain, Abbot juga memahami bahwa pemulihan hubungan bilateral dapat dilakukan jika dia bersedia berkomunikasi secara pribadi dalam konteks saling menghargai."
Menurut Yasmi Adriansyah turunnya derajat hubungan RI--Australia secara substantif memang disebabkan oleh terkuaknya permasalahan penyadapan Australia kepada SBY, Ani Yudhoyono dan pembantu terdekat presiden.
Selain itu, Abbot selaku kepala pemerintahan Australia yang baru telah menerapkan kebijakan turn-boat-back policy yang tidak sepenuhnya dapat diterima Indonesia.
Namun demikian, dari sisi personal, memburuknya hubungan RI--Australia juga disebabkan ketidaksenangan SBY saat mendengarkan respons Abbot atas keberatan Indonesia. Abbot terlihat menganggap remeh kemarahan Indonesia dan tidak segera meminta maaf atas insiden penyadapan yang terjadi pada tahun 2009 lalu.
Atas berbagai komplikasi tersebut, Indonesia akhirnya menunjukkan sikap keras dengan menarik Dubes Nadjib kembali ke Indonesia serta membekukan sejumlah kerjasama bidang-bidang strategis antara kedua negara. Indonesia juga meminta Australia menyepakati langkah-langkah pemulihan, khususnya melalui kerangka Kode Perilaku (Code of Conduct) yang sampai sekarang terus dinegosiasikan kedua belah pihak.
Dari pengamatan Yasmi, warga Indonesia yang ada di Australia sangat mengharapkan hubungan bilateral RI--Australia dapat kembali pulih bahkan semakin meningkat. Sekalipun hubungan antarwarga dan antarbisnis tidak terlalu terkena dampak, namun kondisi rendahnya derajat hubungan telah menciptakan kekhawatiran yang tentunya tidak diharapkan kedua negara.(ZG) Menlu Australia jelaskan pertemuan Yudhoyono - Tony Abbott
Pertemuan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Australia Tony Abbott di Batam, Rabu, akan membahas berbagai hal menyangkut hubungan kedua negara.
"Selain membicarakan border protection, juga akan membahas antara lain berbagi informasi dan kerja sama intelijen mengenai pemuda Australia dan Indonesia yang berangkat ke konflik Suriah," kata Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop di Canberra, Rabu.
Julie mengemukakan hal itu ketika menjawab pertanyaan sejumlah wartawan Indonesia di ruang kerjanya.
Dia menjelaskan kerja sama intelijen itu menyangkut kepentingan dua negara.
"Misalnya, ada sejumlah pemuda Australia yang akan berangkat ke Suriah untuk bertempur membela salah satu pihak dan mereka berpotensi menjadi radikal," kata Bishop.
"Kami berbagi informasi untuk mengetahui siapa saja mereka. Di Australia, adalah hal melawan hukum jika membiayai, berlatih militer, ataupun ikut dalam konflik di Suriah," katanya.
Mengenai hubungan dua negara, Bishop mengemukakan Australia dan Indonesia sudah menunjukkan keinginan untuk menyelsaikan masalah yang ada.
"Menlu RI Marty Natalegawa dan saya selama ini terus menerus berkomunikasi. Sejak saya jadi Menlu Australia pada September tahun lalu, sudah sembilan kali bertemu one on one dengan Marty, ini paling banyak dibandingkan pertemuan dengan Menlu lain," katanya. SBY negarawan hebat, kata Tony Abbott
Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, mengatakan, koleganya, Presiden Susilo Yudhoyono sosok negarawan hebat yang mampu memimpin bangsanya dengan baik serta kiprahnya di tingkat internasional.
"Saat Presiden Yudhoyono tidak lagi menjabat, Indonesia akan kehilangan sosok negarawan, Australia kehilangan seorang teman," kata Abbott, dalam konferensi pers setelah pertemuan bilateral di Batam, Rabu.
Menurut Abbott, Yudhoyono telah menjadi presiden yang hebat dan teman yang baik bagi Australia.
Ia juga berpendapat, masa kepemimpinan SBY dapat disebut sebagai era perdamaian di luar negeri, kemakmuran di dalam negeri, konsolidasi demokrasi, dan penguatan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
"Saya akan sangat bangga untuk memanggil Anda sebagai teman saya," kata Abbott, mengacu pada diri Yudhoyono.
Abbott juga mengatakan, SBY merupakan negarawan senior dari Asia yang telah menunjukkan pengaruhnya dalam berbagai dewan di tingkat internasional.
Sebelumnya, Abbott tiba di Nongsa Point Marina & Resot, Batam, Rabu sore, guna menggelar pertemuan bilateral dengan Yudhoyono.
Yudhoyono didampingi lima menteri Kabinet Indonesia Bersatu II yaitu Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menko Kesra Agung Laksono, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, serta Sekretaris Kabinet Dipo Alam.
Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Selasa (3/6), mengatakan, pertemuan itu tindak lanjut dari pembicaraan telepon Yudhoyono dan Abbott di sela-sela Konferensi Open Government Partnership, di Bali, pada 6 Mei 2014. Indonesia-Australia sepakat selesaikan masalah
Pemerintahan Republik Indonesia dan Australia sepakat untuk menyelesaikan beragam masalah yang mengganggu termasuk isu penyadapan, serta mencari peluang kerja sama baru pada masa mendatang.
"Kami bersepakat menyelesaikan masalah yang sempat mengganggu dan bersepakat mencari peluang kerja sama baru demi kepentingan Indonesia dan Australia," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam konferensi pers setelah pertemuan bilateral kedua negara di Batam, Kepri, Rabu.
Menurut Presiden Yudhoyono, pertemuan dirinya dengan Perdana Menteri Australia Tony Abbott berlangsung dengan baik, produktif, dan konstruktif, guna menjaga dan meningkatkan kerja sama kemitraan kedua bangsa untuk menuju masa depan yang lebih baik.
Presiden menekankan pentingnya kemitraan yang berdasarkan prinsip "mutual benefit" dan "mutual respect" terutama mengingat hubungan Indonesia-Australia dari masa ke masa terus mengalami kemajuan.
"Sesekali ada isu bilateral yang muncul dan itu wajar. Semangat kami mencari solusi sebaik mungkin untuk mengatasinya," katanya.
Presiden mengemukakan bahwa butir yang penting untuk diselesaikan adalah isu penyadapan yang terjadi pada tahun 2013, di mana Indonesia melalui Menlu Marty Natalegawa telah mengajukan usulan protokol dan "code of Conduct" yang diharapkan bisa diselesaikan dalam waktu dekat.
Sementara itu, PM Australia Tony Abbott mengatakan, pihaknya meyakini bahwa berbagai isu tersebut dapat mendapatkan kesepakatan yang memuaskan.
"Isu intelijen (penyadapan) akan dipecahkan melalui proses yang sedang berjalan antara Menlu RI Marty Natalegawa dan Menlu Australia Julie Bishop," katanya.
PM Australia mengingatkan bahwa kedua negara adalah mitra yang saling percaya dan tingkat kepercayaan itu terus bertumbuh seiring waktu.
Abbott juga menyatakan bahwa kerja sama intelijen dan keamanan penting untuk menjaga perdamaian kedua negara serta Australia juga menyatakan dukungan totalnya terhadap integritas teritorial Indonesia.
Seusai konpersi, Menlu Marty Natalegawa mengatakan pihaknya telah mengirimkan draf tapi hingga kini belum ada tanggapan jawaban resmi atas draf tersebut dari pihak Australia.
Marty mengemukakan bahwa pihaknya tidak akan memaksakan tenggat waktu tetapi diharapkan penyelesaian yang lebih cepat lebih baik.(M040/N002) Isu penyadapan adalah "pernyataan tanpa bukti"
Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menyebut isu penyadapan sebagai "pernyataan tanpa bukti".
"Soal itu adalah pernyataan tanpa bukti, dan kami tidak akan berkomentar soal intelijen," kata Bishop di Canberra, Rabu.
Dia mengemukakan hal tersebut ketika menjawab pertanyaan sejumlah wartawan Indonesia di ruang kerjanya.
Menurut Bishop, isu penyadapan yang berasal dari mantan pegawai CIA Edward Snowden itu menjadi agenda sebagian media.
"Edward Snowden sudah beberapa lama mendominasi sebagian media. Kita tidak boleh membiarkan pernyataan-pernyataan tanpa bukti dari Snowden merusak hubungan Australia dengan Indonesia," kata Bishop.
"Kita teman, dan kami tidak akan menggunakan aset dan sumber daya termasuk kapasitas intelijen untuk melukai Indonesia," katanya.
Ketika terus ditanya soal isu penyadapan, dia mengatakan, "saya ini orang hukum, saya bilang hal ini adalah pernyataan tanpa bukti, pemerintah kami, pemerintah Indonesia, maupun pemerintah manapun tidak akan berkomentar soal intelijen," katanya.
Dia mengemukakan masalah politik antara dua negara sama sekali tidak merambat ke sektor lain seperti ekonomi.
"Bisnis Australia tetap jalan di Indonesia, bisnis Indonesia tetap jalan di Australia, hubungan kita sangat luas dan dalam," kata Bishop.
Dia mengemukakan, bersama Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa mereka membuat semacam matriks dan ternyata ada 60 kesepakatan dan perjanjian antara Indonesia dengan Australia di berbagai bidang.
Kesepakatan dan perjanjian itu meliputi pertahanan, intelijen, keamanan, pendidikan, penegakan hukum dan sebagainya antara departemen dan lembaga kedua negara.
"Jadi saya tidak yakin satu isu bisa mendominasi hubungan kita, kita tetangga dan akan terus bertetangga. Kami ingin jadi mitra yang terpercaya bagi Indonesia, demikian juga sebaliknya," kata Bishop.
"Hubungan strategis antara Australia dan Indonesia terhambat karena persoalan penyadapan dan pengusiran para pencari suaka. Pertemuan dua kepala negara ini akan menjadi kesempatan untuk menormalisasi kerja sama," kata Marty dalam rapat dengar pandapat dengan Komisi I DPR RI di Jakarta, Selasa.
Istana sebelumnya mengungkapkan bahwa pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Australia Tony Abbott itu akan dilangsungkan secara informal disela-sela acara lomba membaca Alquran.
Pertemuan di Batam adalah forum tertinggi pertama antar kedua negara sejak kebijakan penyadapan terhadap sejumlah pejabat tinggi negara Indonesia oleh badan intelejen Australia terungkap ke publik tahun lalu.
Hubungan semakin memanas akibat kebijakan anti-imigran yang merupakan program utama Abbott. Selama beberapa bulan terakhir Australia mengusir para pencari suaka yang hendak menuju negara itu dengan kapal kecil dan memaksa mereka kembali ke Indonesia.
Sejumlah organisasi sipil seperti Indonesian Civil Society Network for Refugee Rights Protection (Suaka) menilai tindakan itu dilakukan secara sepihak tanpa berkoordinasi sehingga Australia terkesan melempar tanggung jawab internasional untuk mengurus pencari suaka.
Menurut Marty, kedua persoalan tersebut harus diselesaikan sebelum hubungan kedua negara kembali normal dan dia tegas menyebut Australia pihak yang bertanggung jawab.
"Bagi kami sudah jelas, Australia-lah yang menyebabkan persoalan ini. Terkait pencari suaka, isu ini seharusnya menyatukan kedua negara karena menyangkut kemanusiaan, namun kebijakan pengusiran kapal justru membuat kami terpisah," kata Marty.
Terkait penyadapan, Marty mengatakan Indonesia telah mengirim usulan dokumen kode tata laku sepanjang satu halaman pada 24 April lalu yang intinya meminta Australia tidak menyadap Indonesia.
"Sampai saat ini belum ada tanggapan dari pihak Australia terkait usulan kami," kata Marty.
Sementara itu pada hari yang sama Tony Abbott, di depan parlemen Australia, mengaku masih memerlukan waktu untuk mengkaji usulan dokumen kode tata laku dari Indonesia.
"Pemerintah Indonesia butuh waktu lama untuk memberikan usulannya, dan kami sekarang sedang mempertimbangkan usulan tersebut," kata Abbott sebagaimana dikutip The Guardian.
Abbott tidak menyinggung rencana pertemuannya dengan Presiden Yudhoyono ke parlemen. Namun dia menyatakan bahwa dialog "two plus two" yang akan mempertemukan menteri pertahanan dan menteri luar negeri kedua negara beberapa pekan mendatang akan menjadi waktu yang tepat untuk menyelesaikan kode tata laku yang diusulkan Indonesia. Kunjungan PM Abbot babak baru hubungan RI--Australia
Pengamat politik dari Projecting Indonesia, Yasmi Adriansyah, menilai kunjungan Perdana Menteri Australia, Tony Abbot, ke Indonesia yang dijadwalkan bertemu Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, di Batam, Rabu, merupakan babak baru hubungan bilateral Indonesia--Australia.
Pertemuan ini sangat strategis, mengingat hubungan kedua negara dalam beberapa bulan terakhir berada di titik terendah, termasuk dengan ditariknya Duta Besar RI, Nadjib Riphat Kesoema, pada akhir tahun lalu karena masalah penyadapan yang dilakukan Australia terhadap petinggi Indonesia terpapar di media, demikian disampaikan Direktur Projecting Indonesia, Yasmi Adriansyah, kepada ANTARA, di London, Rabu.
"Saya berpandangan kunjungan ini merupakan babak baru dan sangat strategis khususnya dalam konteks pemulihan hubungan kedua negara. Dalam hal ini, apresiasi layak diberikan kepada kedua pemimpin negara yang bersedia berkomunikasi, termasuk melalui telepon, sehingga kebekuan selama ini bisa dicairkan," kata kandidat PhD, Australian National University, Canberra, Yasmi Adriansyah.
Sebagai info, setelah mengalami titik terendah hubungan dalam beberapa bulan terakhir, Presiden SBY berbesar hati mengundang PM Abbot untuk hadir di acara Open Government Partnership (OGP) di Bali, 6 Mei lalu. Namun PM Abbot menyatakan tidak bisa hadir karena adanya urusan mendesak di dalam negeri. Abbot kemudian menelepon SBY dan berjanji untuk segera berkunjung ke Indonesia. Akhirnya kedua pemimpin sepakat untuk bertemu di Batam, 4 Juni mendatang.
"Saya berpandangan, langkah SBY mengundang Abbot ke Bali dan komunikasi telepon yang dilakukan Abbot merupakan keinginan dari kedua pemimpin untuk memulihkan hubungan bilateral," ujar Yasmi.
Di satu sisi, SBY tidak ingin meninggalkan beban diplomatis kepada presiden yang akan menggantikannya. Di sisi lain, Abbot juga memahami bahwa pemulihan hubungan bilateral dapat dilakukan jika dia bersedia berkomunikasi secara pribadi dalam konteks saling menghargai."
Menurut Yasmi Adriansyah turunnya derajat hubungan RI--Australia secara substantif memang disebabkan oleh terkuaknya permasalahan penyadapan Australia kepada SBY, Ani Yudhoyono dan pembantu terdekat presiden.
Selain itu, Abbot selaku kepala pemerintahan Australia yang baru telah menerapkan kebijakan turn-boat-back policy yang tidak sepenuhnya dapat diterima Indonesia.
Namun demikian, dari sisi personal, memburuknya hubungan RI--Australia juga disebabkan ketidaksenangan SBY saat mendengarkan respons Abbot atas keberatan Indonesia. Abbot terlihat menganggap remeh kemarahan Indonesia dan tidak segera meminta maaf atas insiden penyadapan yang terjadi pada tahun 2009 lalu.
Atas berbagai komplikasi tersebut, Indonesia akhirnya menunjukkan sikap keras dengan menarik Dubes Nadjib kembali ke Indonesia serta membekukan sejumlah kerjasama bidang-bidang strategis antara kedua negara. Indonesia juga meminta Australia menyepakati langkah-langkah pemulihan, khususnya melalui kerangka Kode Perilaku (Code of Conduct) yang sampai sekarang terus dinegosiasikan kedua belah pihak.
Dari pengamatan Yasmi, warga Indonesia yang ada di Australia sangat mengharapkan hubungan bilateral RI--Australia dapat kembali pulih bahkan semakin meningkat. Sekalipun hubungan antarwarga dan antarbisnis tidak terlalu terkena dampak, namun kondisi rendahnya derajat hubungan telah menciptakan kekhawatiran yang tentunya tidak diharapkan kedua negara.(ZG) Menlu Australia jelaskan pertemuan Yudhoyono - Tony Abbott
Pertemuan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dengan Perdana Menteri Australia Tony Abbott di Batam, Rabu, akan membahas berbagai hal menyangkut hubungan kedua negara.
"Selain membicarakan border protection, juga akan membahas antara lain berbagi informasi dan kerja sama intelijen mengenai pemuda Australia dan Indonesia yang berangkat ke konflik Suriah," kata Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop di Canberra, Rabu.
Julie mengemukakan hal itu ketika menjawab pertanyaan sejumlah wartawan Indonesia di ruang kerjanya.
Dia menjelaskan kerja sama intelijen itu menyangkut kepentingan dua negara.
"Misalnya, ada sejumlah pemuda Australia yang akan berangkat ke Suriah untuk bertempur membela salah satu pihak dan mereka berpotensi menjadi radikal," kata Bishop.
"Kami berbagi informasi untuk mengetahui siapa saja mereka. Di Australia, adalah hal melawan hukum jika membiayai, berlatih militer, ataupun ikut dalam konflik di Suriah," katanya.
Mengenai hubungan dua negara, Bishop mengemukakan Australia dan Indonesia sudah menunjukkan keinginan untuk menyelsaikan masalah yang ada.
"Menlu RI Marty Natalegawa dan saya selama ini terus menerus berkomunikasi. Sejak saya jadi Menlu Australia pada September tahun lalu, sudah sembilan kali bertemu one on one dengan Marty, ini paling banyak dibandingkan pertemuan dengan Menlu lain," katanya. SBY negarawan hebat, kata Tony Abbott
Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, mengatakan, koleganya, Presiden Susilo Yudhoyono sosok negarawan hebat yang mampu memimpin bangsanya dengan baik serta kiprahnya di tingkat internasional.
"Saat Presiden Yudhoyono tidak lagi menjabat, Indonesia akan kehilangan sosok negarawan, Australia kehilangan seorang teman," kata Abbott, dalam konferensi pers setelah pertemuan bilateral di Batam, Rabu.
Menurut Abbott, Yudhoyono telah menjadi presiden yang hebat dan teman yang baik bagi Australia.
Ia juga berpendapat, masa kepemimpinan SBY dapat disebut sebagai era perdamaian di luar negeri, kemakmuran di dalam negeri, konsolidasi demokrasi, dan penguatan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia.
"Saya akan sangat bangga untuk memanggil Anda sebagai teman saya," kata Abbott, mengacu pada diri Yudhoyono.
Abbott juga mengatakan, SBY merupakan negarawan senior dari Asia yang telah menunjukkan pengaruhnya dalam berbagai dewan di tingkat internasional.
Sebelumnya, Abbott tiba di Nongsa Point Marina & Resot, Batam, Rabu sore, guna menggelar pertemuan bilateral dengan Yudhoyono.
Yudhoyono didampingi lima menteri Kabinet Indonesia Bersatu II yaitu Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menko Kesra Agung Laksono, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, serta Sekretaris Kabinet Dipo Alam.
Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional, Teuku Faizasyah, dalam keterangan persnya, di Jakarta, Selasa (3/6), mengatakan, pertemuan itu tindak lanjut dari pembicaraan telepon Yudhoyono dan Abbott di sela-sela Konferensi Open Government Partnership, di Bali, pada 6 Mei 2014. Indonesia-Australia sepakat selesaikan masalah
Pemerintahan Republik Indonesia dan Australia sepakat untuk menyelesaikan beragam masalah yang mengganggu termasuk isu penyadapan, serta mencari peluang kerja sama baru pada masa mendatang.
"Kami bersepakat menyelesaikan masalah yang sempat mengganggu dan bersepakat mencari peluang kerja sama baru demi kepentingan Indonesia dan Australia," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam konferensi pers setelah pertemuan bilateral kedua negara di Batam, Kepri, Rabu.
Menurut Presiden Yudhoyono, pertemuan dirinya dengan Perdana Menteri Australia Tony Abbott berlangsung dengan baik, produktif, dan konstruktif, guna menjaga dan meningkatkan kerja sama kemitraan kedua bangsa untuk menuju masa depan yang lebih baik.
Presiden menekankan pentingnya kemitraan yang berdasarkan prinsip "mutual benefit" dan "mutual respect" terutama mengingat hubungan Indonesia-Australia dari masa ke masa terus mengalami kemajuan.
"Sesekali ada isu bilateral yang muncul dan itu wajar. Semangat kami mencari solusi sebaik mungkin untuk mengatasinya," katanya.
Presiden mengemukakan bahwa butir yang penting untuk diselesaikan adalah isu penyadapan yang terjadi pada tahun 2013, di mana Indonesia melalui Menlu Marty Natalegawa telah mengajukan usulan protokol dan "code of Conduct" yang diharapkan bisa diselesaikan dalam waktu dekat.
Sementara itu, PM Australia Tony Abbott mengatakan, pihaknya meyakini bahwa berbagai isu tersebut dapat mendapatkan kesepakatan yang memuaskan.
"Isu intelijen (penyadapan) akan dipecahkan melalui proses yang sedang berjalan antara Menlu RI Marty Natalegawa dan Menlu Australia Julie Bishop," katanya.
PM Australia mengingatkan bahwa kedua negara adalah mitra yang saling percaya dan tingkat kepercayaan itu terus bertumbuh seiring waktu.
Abbott juga menyatakan bahwa kerja sama intelijen dan keamanan penting untuk menjaga perdamaian kedua negara serta Australia juga menyatakan dukungan totalnya terhadap integritas teritorial Indonesia.
Seusai konpersi, Menlu Marty Natalegawa mengatakan pihaknya telah mengirimkan draf tapi hingga kini belum ada tanggapan jawaban resmi atas draf tersebut dari pihak Australia.
Marty mengemukakan bahwa pihaknya tidak akan memaksakan tenggat waktu tetapi diharapkan penyelesaian yang lebih cepat lebih baik.(M040/N002) Isu penyadapan adalah "pernyataan tanpa bukti"
Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menyebut isu penyadapan sebagai "pernyataan tanpa bukti".
"Soal itu adalah pernyataan tanpa bukti, dan kami tidak akan berkomentar soal intelijen," kata Bishop di Canberra, Rabu.
Dia mengemukakan hal tersebut ketika menjawab pertanyaan sejumlah wartawan Indonesia di ruang kerjanya.
Menurut Bishop, isu penyadapan yang berasal dari mantan pegawai CIA Edward Snowden itu menjadi agenda sebagian media.
"Edward Snowden sudah beberapa lama mendominasi sebagian media. Kita tidak boleh membiarkan pernyataan-pernyataan tanpa bukti dari Snowden merusak hubungan Australia dengan Indonesia," kata Bishop.
"Kita teman, dan kami tidak akan menggunakan aset dan sumber daya termasuk kapasitas intelijen untuk melukai Indonesia," katanya.
Ketika terus ditanya soal isu penyadapan, dia mengatakan, "saya ini orang hukum, saya bilang hal ini adalah pernyataan tanpa bukti, pemerintah kami, pemerintah Indonesia, maupun pemerintah manapun tidak akan berkomentar soal intelijen," katanya.
Dia mengemukakan masalah politik antara dua negara sama sekali tidak merambat ke sektor lain seperti ekonomi.
"Bisnis Australia tetap jalan di Indonesia, bisnis Indonesia tetap jalan di Australia, hubungan kita sangat luas dan dalam," kata Bishop.
Dia mengemukakan, bersama Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa mereka membuat semacam matriks dan ternyata ada 60 kesepakatan dan perjanjian antara Indonesia dengan Australia di berbagai bidang.
Kesepakatan dan perjanjian itu meliputi pertahanan, intelijen, keamanan, pendidikan, penegakan hukum dan sebagainya antara departemen dan lembaga kedua negara.
"Jadi saya tidak yakin satu isu bisa mendominasi hubungan kita, kita tetangga dan akan terus bertetangga. Kami ingin jadi mitra yang terpercaya bagi Indonesia, demikian juga sebaliknya," kata Bishop.
★ Antara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.