Tanpanya, Perang Dunia II Akan Berakhir Beda Dok: defence.gov.au
Peringatan 70 tahun D-Day 6 Juni lalu masih menyisakan berbagai kenangan dalam diri veteran Perang Eropa. Salah satunya adalah tentang kisah divisi pemotretan udara AU Inggris yang namanya jarang dipublikasikan. Peran mereka selalu tenggelam di balik kesangaran epik skadron-skadron kombatan Sekutu. Setidaknya sampai suatu ketika mereka menggelar serangkaian operasi foto udara yang amat menentukan akhir Perang Eropa. Berkat operasi ini lah, kini, hampir semua negara menyadari pentingnya unit pemotretan udara.
Tanpanya, Perang Eropa atau Perang Dunia II mungkin akan berakhir beda. Hal ini dinilai tak berlebihan jika mengetahui peran divisi pemotretan udara di RAF (Royal Air Force) Medmenham dalam pencarian bungker-bungker penyimpanan V-1 dan V-2. Keduanya adalah senjata rahasia sekaligus senjata pamungkas Jerman yang amat menakutkan. Warga Inggris, termasuk tentara Sekutu, tak akin pernah bisa melupakan bunyi desis keras setiap kali bom-bom terbang itu akan menukik dan meluluhlantakkan apa aja yang ada di hadapannya.
V-1 adalah sejenis rudal darat ke-darat, sementara V-2 bisalah jika disebut sebagai roket balistik berhulu ledak tinggi. Jika disimak dari bentuknya, tak bisa dipungkiri, keduanya adalah embrio rudal jelajah dan rudal balistik antar benua yang hingga sekarang masih menjadi momok masyarakat dunia.
Dalam Perang Eropa, Inggris dan ibukota London adalah sasaran utama karena dari tempat inilah Jerman tahu Sekutu mengatur semua rencana serangan ke Jerman dan semua wilayah yang di duduki Nazi. V-1 tercatat mulai menyerang sejak 13 Juni 1944 atau sekitar seminggu setelah Panglima Sekutu Jenderal Dwight D. Eisenhower melancarkan serangan pembuka (D-Day) ke Normandia. Sementara V-2 mulai menghujani tempat yang sama tiga bulan kemudian. Serangan ini hampir tak bisa ditangkis karena tak ada satu pun senjata anti serangan udara yangmampu menghadangnya di tengah jalan. Tak heran, jika horor yang tercipta pun amat membekas dalam diri setiap penduduk dan tentara yang bertugas di Inggris.
Horor yang paling menakutkan dan meruntuhkan nyali, utamanya adalah V-1. Dari kejauhan, bom terbang ini menciptakan bunyi desis yang lambat laun semakin keras sebelum akhirnya menukik dan membumihanguskan benda apa saja yang dihantamnya. Itu sebab, arsenal yang satu ini kerap disebut buzz bomb atau doodle bugs karena “kehadirannya” mirip serangan sekelompok serangga raksasa. Sejak 13 Juni itu, pimpinan Nazi Jerman Adolf Hitler setidaknya telah memerintahkan untuk meluncurkan 100 unit V-1. Akibat serangan ini, lebih dari 6.000 penduduk London tewas, 17.000 terluka dan ribuan gedung runtuh.
V-1 yang bentuknya seperti pesawat terbang tanpa awak diluncurkan dengan katapult lalu melesat dengan kecepatan 350 mil/jam di ketinggian 3.000 kaki. Di mocong setiap arsenal seberat dua ton ini, termuat 2.000 pon bahan peledak. Meski ratusan pesawat Spitfire telah dikerahkan untuk memburu sejadi-jadinya, sangat sedikit yang benar-benar mampu menjatuhkannya di tengah jalan. Petaka dan kengerian yang ditimbulkan V-2 lebih-kurang mirip dengan V-1. Jerman telah meluncurkan sekitar 4.300 unit V-2 ke arah daratan Inggris, yang efek ledakannya kemudian membunuh 2.500 orang dan melukai 6.000 orang lainnya.
Tak kurang dari PM Inggris Winston Churchill dan Panglima Sekutu Dwight D. Eisenhower dibuat pusing menghadapi senjata yang tak pernah mereka bayangkan ini. Mereka sempat memerintahkan upaya pencarian situs-situs peluncuran dan pemboman terukur ke sejumlah tempat yang dicurigai, yakni di wilayah Perancis. Namun, Jerman terlalu pintar untuk menyamarkan situs-situs tersebut sehinga tak mudah dikenali dari udara. Situs-situs peluncurannya pun disebar di berbagai negara, sehingga selalu memiliki kesempatan menyerang manakala situs yang lain diserang lawannya.
Apakah Sekutu tak mampu mengantisipasi kehadiran arsenal yang kerap disebut Hitler sebagai The German’s Secret Revenge Weapons itu? Sebenarnya tidak juga. Dari pertanyaan ini lah kemudian merebak kisah tentang peran perwira mapun akademisi yang bekerja di RAF Medmenham dalam peringatan D-Day kemarin, juga tentang Operasi Hydra dan Crossbow yang mereka jalankan. Kedua operasi disadari jarang diceritakan, karena selalu tenggelam dengan kisah-kisah heroik lain yang lebih menarik disimak kalangan muda di Eropa.
Operasi Hydra dan Crossbow
Meski seratus V-1 dan ribuan V-2 telah membumihanguskan Inggris dan London, kehancuran yang lebih besar diam-diam sesungguhnya telah ditepis RAF Medmenham. Dari markas yang terletak di Danesfiled House, Buckinghamshire, Inggris itulah, para ahli interpretasi foto udara telah berhasil “mengungkap” fasilitas perancangan/pembuatan serta bunker-bungker penyimpanan kedua bom pintar, jauh sebelum serangan ke Inggris itu terjadi. Berkat temuan ini pula selanjutnya rencana peluncuran ribuan V-1 dan V-2 berhasil digagalkan.
Fasilitas dan bunker-bunker itu dibombardir lewat serangkaian serangan udara. Dalam catatan resmi pasukan Sekutu, misi pemboman digelar lewat Operasi Hydra pada 17/18 Agustus 1943, dan kedua, Operasi Crossbow pada November 1943. Hydra digelar untuk menghancurkan fasilitas perancangan serta uji-coba V-1 dan V-2 di Peenemunde, pesisir di sebelah barat Jerman yang menghadap ke Laut Baltik. Sementara Crossbow diarahkan untuk menghancurkan pusat peluncuran V-1 dan V-2 di La Coupole, Pas-de-Calais, Perancis – yang posisinya sudah head-on dan siap menyerang Inggris dari jarak dekat.
Crossbow sendiri bisa dibilang merupakan kelanjutan Hydra. Operasi ini digelar dengan semangat tinggi karena Sekutu semakin meyakini bahwa Jerman serius membangun persenjataan khusus yang memang dikerjakan untuk memenangkan Perang Eropa.
Inisiatif Hydra sendiri, alkisah, dimulai secara kebetulan setelah dinas intelijen Inggris, MI6, mengintersep surat rahasia berisi upaya pengembangan senjata rahasia Jerman pada November 1939. Surat ini ditulis oleh seseorang dalam perjalanan ke Oslo, Norwegia, yang bekalangan diketahui merupakan ahli matematika dan fisikawan Jerman bernama Hans Ferdinand Mayer. Tapi untuk beberapa waktu MI6 tak memberi respon yang memadai. Kuatir isinya berupa jebakan, mereka hanya berujar: “Too good to be true.”
Tak demikian respon yang diberikan RAF Medmenham. Untuk memastikan kebenaran isi surat tersebut, mereka mengerahkan penerbangan Spitfire dan Hurricane menyusup ke berbagai tempat di wilayah musuh dan melakukan pemotretan udara di sana. Penerbangan yang sebenarnya terbilang nekad ini akhirnya sampai pada serangkaian foto yang memperlihatkan fasilitas yang aneh. Kening para analis para Photographic Interpreter (PI) berkerut ketika pandangan mata mereka tertuju pada sederetan bangunan mirip fasilitas pengembangan senjata. Tapi sampai titik itu, mereka tak pernah tahu senjata jenis apa yang tengah dikembangkan Jerman, karena Sekutu tak pernah punya padanannya.
Untuk memastikan fasilitas tersebut, pihak Inggris pun mengintrogasi sejumlah tawanan dan intel Polandia, dan PM Inggris Winston Churchill selanjutnya memutuskan untuk membom. Tapi lokasi fasilitas ini tak mudah ditembus. Letaknya jauh di belakang garis pertahanan lawan. “Oleh karena Peenemunde di luar jangkauan sinyal radio navigasi, pemboman harus dilakukan saat terang bulan. Kita tak bisa menjamin keselamatan mereka, jika di sana mereka berhadapan dengan para penempur Jerman. Tapi, walau bagaimana, sasaran itu harus dimusnahkan!” Demikian seru Churchill.(Adrianus Darmawan)
Peringatan 70 tahun D-Day 6 Juni lalu masih menyisakan berbagai kenangan dalam diri veteran Perang Eropa. Salah satunya adalah tentang kisah divisi pemotretan udara AU Inggris yang namanya jarang dipublikasikan. Peran mereka selalu tenggelam di balik kesangaran epik skadron-skadron kombatan Sekutu. Setidaknya sampai suatu ketika mereka menggelar serangkaian operasi foto udara yang amat menentukan akhir Perang Eropa. Berkat operasi ini lah, kini, hampir semua negara menyadari pentingnya unit pemotretan udara.
Tanpanya, Perang Eropa atau Perang Dunia II mungkin akan berakhir beda. Hal ini dinilai tak berlebihan jika mengetahui peran divisi pemotretan udara di RAF (Royal Air Force) Medmenham dalam pencarian bungker-bungker penyimpanan V-1 dan V-2. Keduanya adalah senjata rahasia sekaligus senjata pamungkas Jerman yang amat menakutkan. Warga Inggris, termasuk tentara Sekutu, tak akin pernah bisa melupakan bunyi desis keras setiap kali bom-bom terbang itu akan menukik dan meluluhlantakkan apa aja yang ada di hadapannya.
V-1 adalah sejenis rudal darat ke-darat, sementara V-2 bisalah jika disebut sebagai roket balistik berhulu ledak tinggi. Jika disimak dari bentuknya, tak bisa dipungkiri, keduanya adalah embrio rudal jelajah dan rudal balistik antar benua yang hingga sekarang masih menjadi momok masyarakat dunia.
Dalam Perang Eropa, Inggris dan ibukota London adalah sasaran utama karena dari tempat inilah Jerman tahu Sekutu mengatur semua rencana serangan ke Jerman dan semua wilayah yang di duduki Nazi. V-1 tercatat mulai menyerang sejak 13 Juni 1944 atau sekitar seminggu setelah Panglima Sekutu Jenderal Dwight D. Eisenhower melancarkan serangan pembuka (D-Day) ke Normandia. Sementara V-2 mulai menghujani tempat yang sama tiga bulan kemudian. Serangan ini hampir tak bisa ditangkis karena tak ada satu pun senjata anti serangan udara yangmampu menghadangnya di tengah jalan. Tak heran, jika horor yang tercipta pun amat membekas dalam diri setiap penduduk dan tentara yang bertugas di Inggris.
Horor yang paling menakutkan dan meruntuhkan nyali, utamanya adalah V-1. Dari kejauhan, bom terbang ini menciptakan bunyi desis yang lambat laun semakin keras sebelum akhirnya menukik dan membumihanguskan benda apa saja yang dihantamnya. Itu sebab, arsenal yang satu ini kerap disebut buzz bomb atau doodle bugs karena “kehadirannya” mirip serangan sekelompok serangga raksasa. Sejak 13 Juni itu, pimpinan Nazi Jerman Adolf Hitler setidaknya telah memerintahkan untuk meluncurkan 100 unit V-1. Akibat serangan ini, lebih dari 6.000 penduduk London tewas, 17.000 terluka dan ribuan gedung runtuh.
V-1 yang bentuknya seperti pesawat terbang tanpa awak diluncurkan dengan katapult lalu melesat dengan kecepatan 350 mil/jam di ketinggian 3.000 kaki. Di mocong setiap arsenal seberat dua ton ini, termuat 2.000 pon bahan peledak. Meski ratusan pesawat Spitfire telah dikerahkan untuk memburu sejadi-jadinya, sangat sedikit yang benar-benar mampu menjatuhkannya di tengah jalan. Petaka dan kengerian yang ditimbulkan V-2 lebih-kurang mirip dengan V-1. Jerman telah meluncurkan sekitar 4.300 unit V-2 ke arah daratan Inggris, yang efek ledakannya kemudian membunuh 2.500 orang dan melukai 6.000 orang lainnya.
Tak kurang dari PM Inggris Winston Churchill dan Panglima Sekutu Dwight D. Eisenhower dibuat pusing menghadapi senjata yang tak pernah mereka bayangkan ini. Mereka sempat memerintahkan upaya pencarian situs-situs peluncuran dan pemboman terukur ke sejumlah tempat yang dicurigai, yakni di wilayah Perancis. Namun, Jerman terlalu pintar untuk menyamarkan situs-situs tersebut sehinga tak mudah dikenali dari udara. Situs-situs peluncurannya pun disebar di berbagai negara, sehingga selalu memiliki kesempatan menyerang manakala situs yang lain diserang lawannya.
Apakah Sekutu tak mampu mengantisipasi kehadiran arsenal yang kerap disebut Hitler sebagai The German’s Secret Revenge Weapons itu? Sebenarnya tidak juga. Dari pertanyaan ini lah kemudian merebak kisah tentang peran perwira mapun akademisi yang bekerja di RAF Medmenham dalam peringatan D-Day kemarin, juga tentang Operasi Hydra dan Crossbow yang mereka jalankan. Kedua operasi disadari jarang diceritakan, karena selalu tenggelam dengan kisah-kisah heroik lain yang lebih menarik disimak kalangan muda di Eropa.
Operasi Hydra dan Crossbow
Meski seratus V-1 dan ribuan V-2 telah membumihanguskan Inggris dan London, kehancuran yang lebih besar diam-diam sesungguhnya telah ditepis RAF Medmenham. Dari markas yang terletak di Danesfiled House, Buckinghamshire, Inggris itulah, para ahli interpretasi foto udara telah berhasil “mengungkap” fasilitas perancangan/pembuatan serta bunker-bungker penyimpanan kedua bom pintar, jauh sebelum serangan ke Inggris itu terjadi. Berkat temuan ini pula selanjutnya rencana peluncuran ribuan V-1 dan V-2 berhasil digagalkan.
Fasilitas dan bunker-bunker itu dibombardir lewat serangkaian serangan udara. Dalam catatan resmi pasukan Sekutu, misi pemboman digelar lewat Operasi Hydra pada 17/18 Agustus 1943, dan kedua, Operasi Crossbow pada November 1943. Hydra digelar untuk menghancurkan fasilitas perancangan serta uji-coba V-1 dan V-2 di Peenemunde, pesisir di sebelah barat Jerman yang menghadap ke Laut Baltik. Sementara Crossbow diarahkan untuk menghancurkan pusat peluncuran V-1 dan V-2 di La Coupole, Pas-de-Calais, Perancis – yang posisinya sudah head-on dan siap menyerang Inggris dari jarak dekat.
Crossbow sendiri bisa dibilang merupakan kelanjutan Hydra. Operasi ini digelar dengan semangat tinggi karena Sekutu semakin meyakini bahwa Jerman serius membangun persenjataan khusus yang memang dikerjakan untuk memenangkan Perang Eropa.
Inisiatif Hydra sendiri, alkisah, dimulai secara kebetulan setelah dinas intelijen Inggris, MI6, mengintersep surat rahasia berisi upaya pengembangan senjata rahasia Jerman pada November 1939. Surat ini ditulis oleh seseorang dalam perjalanan ke Oslo, Norwegia, yang bekalangan diketahui merupakan ahli matematika dan fisikawan Jerman bernama Hans Ferdinand Mayer. Tapi untuk beberapa waktu MI6 tak memberi respon yang memadai. Kuatir isinya berupa jebakan, mereka hanya berujar: “Too good to be true.”
Tak demikian respon yang diberikan RAF Medmenham. Untuk memastikan kebenaran isi surat tersebut, mereka mengerahkan penerbangan Spitfire dan Hurricane menyusup ke berbagai tempat di wilayah musuh dan melakukan pemotretan udara di sana. Penerbangan yang sebenarnya terbilang nekad ini akhirnya sampai pada serangkaian foto yang memperlihatkan fasilitas yang aneh. Kening para analis para Photographic Interpreter (PI) berkerut ketika pandangan mata mereka tertuju pada sederetan bangunan mirip fasilitas pengembangan senjata. Tapi sampai titik itu, mereka tak pernah tahu senjata jenis apa yang tengah dikembangkan Jerman, karena Sekutu tak pernah punya padanannya.
Untuk memastikan fasilitas tersebut, pihak Inggris pun mengintrogasi sejumlah tawanan dan intel Polandia, dan PM Inggris Winston Churchill selanjutnya memutuskan untuk membom. Tapi lokasi fasilitas ini tak mudah ditembus. Letaknya jauh di belakang garis pertahanan lawan. “Oleh karena Peenemunde di luar jangkauan sinyal radio navigasi, pemboman harus dilakukan saat terang bulan. Kita tak bisa menjamin keselamatan mereka, jika di sana mereka berhadapan dengan para penempur Jerman. Tapi, walau bagaimana, sasaran itu harus dimusnahkan!” Demikian seru Churchill.(Adrianus Darmawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.