Rabu, 03 September 2014

Antara Birahi Hegemoni dan Libido Keangkuhan


http://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/140901161956-792.jpgLatma Garuda Shield 2014
M
engapa Vladimir Putin begitu marah merah darah dan melakukan ekspansi “sukarelawan beralutsista” ke Ukraina, tak lain karena kehausan hegemoni Barat yang hendak mengucilkan Rusia dari sekutu emosionalnya dalam bingkai Uni Sovyet dulu. Sudah banyak negara pecahan Uni Sovyet dan sekutunya yang tergabung dalam Pakta Warsawa ditarik Barat untuk bergabung atau setidaknya tidak berkawan secara militer dengan Rusia. Ukraina ini adalah klimaks birahi hegemoni Barat yang dilawan secara marah merah darah oleh Rusia. Marah maksimal ini karena tidak tertutup kemungkinan senjata berhulu ledak nuklir menjadi pamungkas segala cerita kesombongan hegemoni dan keterkucilan itu.

Sebelumnya Barat juga mau mengobrak abrik Suriah dengan lagu fitnahnya, biasalah konteks perang informasi memang diperlukan saat ini untuk penggiringan opini publik. Dibilang rezim barbar, punya senjata kimia, terlalu lama berkuasa dst dst, dilempar ke kantor berita dunia. Bashar Al Assad tidak goyah. Lalu Barat beralih ke model proxy war dengan membentuk laskar gabungan internasional yang kemudian dikenal bernama ISIS untuk gempur Assad. Kucuran dana dari beberapa negara termasuk Arab Saudi mengalir bersama aliran alutsista gurun pasir untuk menggempur Damaskus.

Sementara itu rombongan kapal perang AS termasuk kapal induknya dibantu oleh sepupunya Inggris bermanuver di pantai Suriah untuk menakut-nakuti. Putin merasa sahabatnya itu ingin dihabisi seperti model gempuran ke Khadafy sebelumnya. Tanpa banyak koar, dia luncurkan armada kapal perang dan kapal selam nuklir ke laut Tengah termasuk penasihat militer ke Suriah. Saling gertak terjadi dan gertak yang mendirikan bulu roma dilakukan Putin : Jika ente menghabisi Assad maka kami akan memulai perang besar berwajah nuklir di Timur Tengah.

Obama mengambil sikap mengalah, takut juga kayaknya, lalu seperti biasa agar tidak kehilangan muka dibilanglah agar persyaratan pemusnahan senjata kimia disegerakan dengan melibatkan PBB. Biarin aja yang penting salah satu krisis terbesar sejak insiden Teluk Babi di Kuba berhasil diredakan. Putin tampil sebagai Man of The Year tentu versi warga dunia yang benci Barat. Dampaknya puluhan ribu laskar di timur Suriah yang sudah berada pada puncak birahi menghancurkan, tiba-tiba libidonya dipadamkan begitu saja. Tentu tak terima, lalu terjadilah senjata berbalik arah, menghancurkan apa yang ada di sekitarnya, kepalang tanggung: ayo dirikan khilafah dan daulah.

Giliran di Asia Pasifik, gelora Cina yang dipastikan akan menjadi kekuatan ekonomi nomor wahid di dunia setelah tahun 2018 sedang giat-giatnya membangun kekuatan militer dengan doktrin serbu dan kuasai. Berbagai klaim teritori di Astim dan Asteng mulai dibarakan, diapikan, didemamkan. AS pun kelabakan lalu menggandeng “bule Asia” Australia untuk siap tampung dan siap bantu. Maka mengalirlah Marinir AS ke Darwin termasuk mengisi alat pandang dengar dan alat pukul di Cocos dan Christmas. Jepang pun disuruh perkuat angkatan bela dirinya. Negara-negara ASEAN didekati dengan intensif termasuk musuh yang pernah mempermalukannya, Vietnam.

Negara-negara di Asia Tenggara diajaknya untuk memperkuat militernya dan sekaligus melakukan latihan gabungan. AS seperti sedang mencari pijakan untuk mencari kawan lebih banyak. Soalnya negara ini dalam setiap “peristiwa militer dunia” selalu pakai model keroyokan seperti di Irak seri satu dan seri dua. Bisa kita lihat hari-hari terakhir ini. Dengan Malaysia baru-baru ini dilakukan latihan bersama melibatkan jet siluman F22 Raptor AS bersama Mig 29, Sukhoi, F18 Malaysia. Marinir AS juga melakukan latgab serbu pantai di Sabah melibatkan beberapa kapal perang kedua negara.

Kemudian saat ini di Indonesia sedang berlangsung latihan bersama antara TNI AD (Penerbad) dengan US Army melibatkan jenis helikopter paling canggih di dunia, Apache. Berikutnya di Jepang akan dilakukan latihan gabungan berskala besar dengan AS. Dengan Filipina sudah ditempatkan penasehat militer AS termasuk penggunaan Clark dan Subis untuk jalur hilir mudik armada laut AS.

Strategi bulan sabit diterapkan AS untuk mengurung Cina, mulai dari Malaysia, Indonesia, Filipina, Taiwan, Jepang dan Korsel. Meski Indonesia tidak terlibat dalam konflik di Laut Cina Selatan namun posisi geografi Indonesia termasuk jalur ALKInya tentu akan berimbas dalam “mekanisme” pertempuran terbuka jika terjadi. Lagak gaya AS bersama Australia yang selalu mengedepankan kesombongan militer sesungguhnya menimbulkan antipati di kamar hati seluruh umat manusia yang menempatkan nurani sebagai wajah diri.

Itulah sebabnya, sesuai hukum Allah, Sunatullah, segala sesuatu diciptakan secara berpasangan. Ada siang ada malam, ada pria ada wanita, ada hak ada kewajiban, ada barat ada timur. Maka menjaga keseimbangan itu sangat diperlukan sebelum semuanya menjadi berat sebelah. Kondisi dunia saat ini memang sedang berat sebelah, semuanya di hegemoni oleh Barat. Sikap sangar Rusia tentu dalam rangka menghardik ketidakseimbangan itu, demikian juga Cina yang mulai menampakkan api naganya dan memanaskan suhu di sekitarnya.

Sama juga dengan peristiwa politik di Indonesia. Berbagai manuver dilakukan untuk menggoyahkan lawan dan memperkuat barisan. Pemenang Pilpres ingin menambah pasukan koalisinya dengan strategi devide et impera. Sementara koalisi merah putih merapatkan barisan dengan komando SBY untuk menjadi kekuatan penyeimbang. Memang harus ada keseimbangan untuk melawan hegemoni. Sebab kalau itu tidak dilakukan maka jalan demokrasi akan berubah menjadi demo jual asset, demo beli drone, demo umbar omongan di media, demo berlagak miskin, demo menjadi makelar. Sekali lagi perlu kekuatan penyeimbang dalam ruang demokrasi sembari berdoa : Ihdinassirotol mustakim.

****

Jagvane / 03 Sept 2014

   Analisisalutsista  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.