Indo Defence 2014 Keduanya adalah jet tempur terkemuka asal eropa. Keduanya memiliki bentuk yang hampir sama, yaitu delta wing dan cannard. Keduanya sama-sama canggih. Keduanya sama-sama tengah bersaing memperebutkan kontrak pembelian dari Pemerintah Republik Indonesia. Mereka adalah SAAB JAS-39 Gripen dan Eurofighter Typhoon. Di ajang Indodefence 2014 kali ini, keduanya tampil habis-habisan berupaya memikat pejabat pertahanan Indonesia maupun pengunjung. Lalu bagaimanakah performa kedua jet tangguh ini? ARC beruntung bisa mencoba keduanya sekaligus, meski hanya simulatornya. Berikut adalah pandangan ARC sebagai awam alias bukan pilot profesional.
Hari masih pagi, saat ARC mendatangi booth SAAB di Indodefence 2014. Lantaran masih pagi, booth pun terasa sepi. Tak menyia-nyiakan kesempatan, kami membuka pembicaraan mengenai Gripen. Lalu kami pun diberi kesempatan mencoba simulator, yang konon merupakan milik AU Thailand. Sejak masuk ke dalam "kokpit", Pilot test SAAB dengan ramah dan komunikatif selalu mendampingi. Dimulai dari penjelasan isi dalam "kokpit" hingga cara "terbang". Kami pun mulai take off. Di udara, kami mencoba beberapa manuver dulu. Stick Gripen terasa ringan dan sangat responsif.
Kami pun memancing sang test pilot,"no boogies...?". Mengerti dengan "kode" kami, ia pun menyetel mode pertempuran udara. Ia pun kembali menjelaskan fungsi dan tanda-tanda pada radar maupun HUD. Dan musuh pun masuk ke jarak tembak. Kami memulai dengan meluncurkan rudal BVR... dan kena!!. Lalu, saat masih berkonsentrasi pada sasaran berikutnya, tiba-tiba melintas pesawat musuh dalam jarak dekat. Disinilah istimewanya Gripen. Data Lock on dari wing man bisa kita ambil, lalu tembak... dan kena. Inilah yang dinamakan berbagai data link yang menjadi keunggulan Gripen. Usai bertempur, kami pun mencoba mendaratkan pesawat di jalan raya, yang juga menjadi keunggulan Gripen. Namun sayang kami gagal, lantaran stick yang terlalu responsif, membuat kami gelagapan. Lalu kami turn around dan akhirnya berhasil mendarat di Runway.
Usai dari booth Gripen, kami menyambangi Eurofighter Typhoon. Sama seperti di SAAB, pejabat maupun test pilot Typhoon sangat bersahabat. Mereka menjelaskan keuntungan Indonesia jika memilih jet ini. Menurut sang test pilot, kehebatan utama Typhoon ada pada mesinnya yang memiliki tenaga begitu kuat. Bahkan, ia bercerita pernah mengalahkan Su-30MKI milik India, karena memanfaatkan tenaga yang besar tersebut. Dimana saat itu ia melakukan vertical Dogfight dengan Su-30MKI. Di suatu kesempatan, karena manuver ekstrim, Su-30MKI kehilangan tenaga, sementara Typhoon masih mampu menanjak dan berbalik lalu menembak sang Flanker.
Untuk membuktikannya, kami pun diberi kesempatan "terbang". Dan betul, sejak open throtle, hanya butuh 5 detik bagi Typhoon untuk mengangkasa, lalu terbang tegak lurus ke langit. Hal yang tak kami dapat saat mencoba Gripen, dimana akselerasi Gripen terasa lebih lambat. Kami juga mencoba beberapa manuver, dan benar saja, dengan dukungan tenaga yang besar, semua manuver terasa mudah. Meski demikian, stick-nya terasa lebih berat dibanding dengan Gripen.
Lalu, datanglah musuh. Dengan radar-nya yang superior, Typhoon dengan mudah menembak dan menjatuhkan 4 lawan yang diperankan oleh Su-35 sekaligus. Lalu disimulasikan pula kami mengejar pesawat yang terbang rendah. Dengan power yang besar, tentu saja mudah mengejar, mengunci dan menembak. Lalu kami juga ditantang untuk terbang dengan mode air race. Dimana kami harus terbang rendah mengikuti jalur yang telah dibuat. Disinilah kelincahan Typhoon diuji. Meski baru pertama kali, ARC mampu menyelesaikan tantangan dan mencatat waktu 3 menit 30 detik. Skor yang lumayan, mengingat pilot profesional terbaik mencatat waktu 2 menit 30 detik.
Nah, demikianlah gambaran kami sebagai awam ketika mencoba kedua type pesawat yang sama-sama ditawarkan ke TNI-AU. Tentunya TNI-AU dan Kemenhan punya pertimbangan lain, selain canggih dan nyamannya pesawat. Namun, yang manapun dipilih, kami yakin, itu yang terbaik.
Hari masih pagi, saat ARC mendatangi booth SAAB di Indodefence 2014. Lantaran masih pagi, booth pun terasa sepi. Tak menyia-nyiakan kesempatan, kami membuka pembicaraan mengenai Gripen. Lalu kami pun diberi kesempatan mencoba simulator, yang konon merupakan milik AU Thailand. Sejak masuk ke dalam "kokpit", Pilot test SAAB dengan ramah dan komunikatif selalu mendampingi. Dimulai dari penjelasan isi dalam "kokpit" hingga cara "terbang". Kami pun mulai take off. Di udara, kami mencoba beberapa manuver dulu. Stick Gripen terasa ringan dan sangat responsif.
Kami pun memancing sang test pilot,"no boogies...?". Mengerti dengan "kode" kami, ia pun menyetel mode pertempuran udara. Ia pun kembali menjelaskan fungsi dan tanda-tanda pada radar maupun HUD. Dan musuh pun masuk ke jarak tembak. Kami memulai dengan meluncurkan rudal BVR... dan kena!!. Lalu, saat masih berkonsentrasi pada sasaran berikutnya, tiba-tiba melintas pesawat musuh dalam jarak dekat. Disinilah istimewanya Gripen. Data Lock on dari wing man bisa kita ambil, lalu tembak... dan kena. Inilah yang dinamakan berbagai data link yang menjadi keunggulan Gripen. Usai bertempur, kami pun mencoba mendaratkan pesawat di jalan raya, yang juga menjadi keunggulan Gripen. Namun sayang kami gagal, lantaran stick yang terlalu responsif, membuat kami gelagapan. Lalu kami turn around dan akhirnya berhasil mendarat di Runway.
Usai dari booth Gripen, kami menyambangi Eurofighter Typhoon. Sama seperti di SAAB, pejabat maupun test pilot Typhoon sangat bersahabat. Mereka menjelaskan keuntungan Indonesia jika memilih jet ini. Menurut sang test pilot, kehebatan utama Typhoon ada pada mesinnya yang memiliki tenaga begitu kuat. Bahkan, ia bercerita pernah mengalahkan Su-30MKI milik India, karena memanfaatkan tenaga yang besar tersebut. Dimana saat itu ia melakukan vertical Dogfight dengan Su-30MKI. Di suatu kesempatan, karena manuver ekstrim, Su-30MKI kehilangan tenaga, sementara Typhoon masih mampu menanjak dan berbalik lalu menembak sang Flanker.
Untuk membuktikannya, kami pun diberi kesempatan "terbang". Dan betul, sejak open throtle, hanya butuh 5 detik bagi Typhoon untuk mengangkasa, lalu terbang tegak lurus ke langit. Hal yang tak kami dapat saat mencoba Gripen, dimana akselerasi Gripen terasa lebih lambat. Kami juga mencoba beberapa manuver, dan benar saja, dengan dukungan tenaga yang besar, semua manuver terasa mudah. Meski demikian, stick-nya terasa lebih berat dibanding dengan Gripen.
Lalu, datanglah musuh. Dengan radar-nya yang superior, Typhoon dengan mudah menembak dan menjatuhkan 4 lawan yang diperankan oleh Su-35 sekaligus. Lalu disimulasikan pula kami mengejar pesawat yang terbang rendah. Dengan power yang besar, tentu saja mudah mengejar, mengunci dan menembak. Lalu kami juga ditantang untuk terbang dengan mode air race. Dimana kami harus terbang rendah mengikuti jalur yang telah dibuat. Disinilah kelincahan Typhoon diuji. Meski baru pertama kali, ARC mampu menyelesaikan tantangan dan mencatat waktu 3 menit 30 detik. Skor yang lumayan, mengingat pilot profesional terbaik mencatat waktu 2 menit 30 detik.
Nah, demikianlah gambaran kami sebagai awam ketika mencoba kedua type pesawat yang sama-sama ditawarkan ke TNI-AU. Tentunya TNI-AU dan Kemenhan punya pertimbangan lain, selain canggih dan nyamannya pesawat. Namun, yang manapun dipilih, kami yakin, itu yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.