Kamis, 21 Mei 2015

Cerita 16 Bom di Sekitar Istana Jelang Soeharto Lengser

Pengunduran diri Presiden Soeharto, 21 Mei 1998. (CNN Indonesia/Istimewa)

Momen menegangkan itu terjadi 36 jam sebelum Presiden ke-2 Soeharto lengser. Suasana Jakarta mencekam, korban berjatuhan dan militer turun dalam aksi pengamanan. Hari itu Selasa, 19 Mei 1998, sembilan orang dipanggil Soeharto untuk dimintai pendapat atas situasi genting tersebut, tim itu disebut Komite Reformasi.

Dikomandoi cendekiawan Islam Nurcholis Madjid, budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, Ali Yafie selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia saat itu, tokoh Muhammadiyah Malik Fadjar dan Sumarsono, Kiai Haji Cholil Baidowi dari Muslimin Indonesia, dan tokoh NU Achmad Bagdja dan Ma’aruf Amin.

Selepas Isya, ujar Cak Nun yang coba mengingat kembali peristiwa itu, pada 19 Mei 1998 ia dipanggil Soeharto bersama delapan rekannya itu ke Cendana. Cak Nun mengatakan, ia dimintai pendapat dari sisi budaya untuk bisa memuluskan lengsernya Soeharto dengan cara paling aman. Situasi saat itu genting, kerusuhan bisa meledak dan tak terkendali.

"Militer saat itu menunggu aba-aba dari pertemuan di Cendana, karena pihak militer tidak tahu diskusi apa yang terjadi di sana," kata Cak Nun, Kamis (21/5).

Wiranto yang saat itu sebagai Panglima ABRI tengah siap dengan aba-aba Soeharto. Muncul ketakutan jika komunikasi dari hasil diskusi Komite Reformasi tak sampai seperti sebenarnya, dan bahkan bisa saja terdistorsi, maka militer akan mengambil kendali. Soalnya, hingga hari pengunduran diri Soeharto, pihak militer tidak tahu jika Soeharto telah rela mundur dari kekuasaan, dan bukan dijatuhkan.

"Pak Harto, saat itu sudah buat surat mandat penuh dan kewenangan penuh untuk melakukan apa saja kepada militer. Wiranto tidak melaksanakan itu. Tim-tim militer dibentuk untuk menculik ini menculik itu," papar Cak Nun.

Dari pertemuan itu pula lah, Cak Nun mendapatkan kabar, jika militer telah menyebar 16 bom di jalan-jalan sekeliling Istana dan pom bensin. Bom akan diledakkan, saat Soeharto benar-benar dijatuhkan, bukan berhenti atas keinginan pribadi. Bom diletakkan di tol dan jalan menuju Istana, untuk menutup akses bagi siapapun, dan akhirnya militer ambil kekuasaan.

"Jika itu terjadi (dijatuhkan), maka semua akses menuju istana diledakkan, dan militer langsung ambil alih."

Namun, kata Cak Nun, beruntung hal itu tidak terjadi, karena para petinggi militer saat itu mengaku heran dengan atmosfer pertemuan di Cendana yang begitu cair. "Jika saat itu Soeharto pingsan, misalnya bom bisa meledak."

Cak Nun memaparkan bom tersebut berdaya ledak cukup tinggi dengan detonator dipegang oleh salah satu disertir TNI yang bergerak dalam sebuah tank. Komando peledakan, menurut Cak Nun ada di bawah wewenang seorang jenderal bintang dua dari kelompok TNI tertentu. Cak Nun menambahkan bahwa pemegang detonator itu adalah salah satu perakit bom terbaik dan masih ada sampai saat ini, namun ia enggan menyebutkan siapa tokoh tersebut.

Dalam kondisi yang terus genting, Soeharto sebenarnya sudah tidak lagi peduli dengan jabatannya, dan legawa akan melengserkan diri. Namun, tuduhan salah satu tokoh yang terlibat dalam gerakan reformasi saat itu, Amien Rais yang menuduh pertemuan Soeharto dan Komite Reformasi adalah sebagai bentuk rencana pelanggengan Soeharto, tidak bisa diterima oleh Soeharto.

"Pak Harto marah betul saat ada pernyataan seperti itu dari Amien, sangat disayangkan. Dari situ ia tak lagi peduli. Bahkan, demonstrasi yang terjadi di mana-mana oleh mahasiswa tidak membuat takut Soeharto."

Lebih detail Cak Nun mengatakan, "Soeharto tidak pernah takut, dia bilang jika demonstrasi mahasiswa tidak sedikitpun menggetarkan bulunya. Mahasiswa-mahasiswa itu tidak tahu apa-apa, dan ada yang mengerahkan," ujar Cak Nun mengenang kembali pembicaraannya dengan Soeharto.

Lantas apa yang benar-benar membuat Soeharto bergetar? Cak Nun bertutur, Soeharto bergetar kala tahu rakyatnya mulai bertindak anarkis dan menjarah bahkan membunuh. Saat itu, Soeharto mengakui jika pemandangan selama sepekan di televisi membuatnya merasa gagal sebagai pemimpin.

"Bukan mahasiswa yang membuat saya bergetar, tapi rakyat saya yang mulai menjarah, karena rakyat itu murni. Itu membuat saya benar-benar takut dan menggigil, saya gagal jadi pemimpin," kata Soeharto saat itu seperti dikutip kembali oleh Cak Nun. (pit)

  ♆
CNN  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.