Rabu, 09 Desember 2015

Foreign Policy Community of Indonesia

'Debat' Dubes AS, Rusia, dan Prancis Soal Strategi Lawan ISISDuta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Mikhail Yurievich Galuzin (kedua kanan) saat menjawab pertanyaan dalam diskusi FPCI Pergeseran Koalisi Internasional Melawan ISIS di Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (8/12/2015). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Amerika Serikat, Rusia, dan Prancis. Tiga negara itu punya musuh bersama: ISIS. Namun, strategi yang dipilih untuk menyerang kelompok teroris tersebut membuat mereka terkotak-kotak dalam dua kubu.

Rusia bekerja sama dengan Presiden Suriah Bashar al-Assad -- rezim Suriah yang ditentang AS dan Sekutunya, karena dianggap bertanggung jawab atas perang saudara di negerinya yang telah menewaskan sekitar 200 ribu manusia.

Dalam acara diskusi Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Selasa (8/12/2015) Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert O. Blake, Jr. dipertemukan dengan Duta Besar Rusia untuk RI, Mikhail Y. Galuzin.

Dubes ketiga yang didaulat menjadi pembicara adalah Dubes Prancis untuk RI, Corinne Breuze, yang kedamaian negaranya sempat terkoyak akibat serangan teroris di 6 lokasi sekaligus pada Jumat 13 November 2015. Di mana ISIS jadi biang keladinya.

Dalam paparannya, Dubes AS mengatakan, meski pihaknya tak mendukung pemerintahan Bashar al-Assad, namun penting artinya untuk mendudukkan pihak rezim dan oposisi di Suriah untuk menemukan jalan keluar bersama. Itu artinya solusi politik di negara yang terkoyak konflik itu mutlak dilakukan.

"Memulai pembicaraan antara rezim dan oposisi di bawah pengawasan PBB," demikian tutur Dubes Blake dalam diskusi yang digelar di Hotel Borobudur, Selasa (8/12/2015) soal solusi melawan ISIS.

Termasuk dalam upaya tersebut adalah melakukan gencatan senjata, menginisiasi proses politik, membentuk konstitusi baru, dan menyelenggarakan pemilu yang adil di Suriah di bawah pengawasan PBB.

"Yang kedua, yang paling penting, kami mengimbau 5 anggota tetap Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi terkait gencatan senjata dan misi pengawasan ke Suriah," tambah Dubes lulusan Harvard itu.

AS, tambah Blake, melakukan upaya diplomatik dan pengerahan militer untuk melawan ISIS.

Amerika yakin, dengan solidaritas internasional, upaya melawan ISIS akan berhasil dilakukan. Baik melalui serangan langsung maupun memutus dukungan untuk mereka -- terutama dalam bidang finansial.

"Niscaya kita bisa melawan ISIS dan barbarisme yang mereka representasikan, demi masa depan rakyat Suriah," tambah dia.

Sementara itu, Dubes Corinne Breuze mengatakan, Prancis menganggap apa yang dilakukan ISIS sebagai pernyataan perang, agresi melawan negara dan nilai-nilai yang mereka anut.

Untuk itulah, kata dia, Prancis bertekad melawan ISIS atau Daesh -- yang memiliki basis teritorial dan kekuatan finansial.

"Jawabannya adalah aksi militer, mengenyahkan Daesh dari tempat persembunyian mereka di Suriah dan Irak," kata dia.

Prancis, tambah dia, juga akan menyerang basis-basis dukungan bagi ISIS. Termasuk situs-situs kelompok teror tersebut di dunia maya. "Untuk menghentikan pesan kebencian yang mereka sebarkan," kata Dubes Breuzé.

Senada dengan Dubes AS, Breuze mengatakan, solusi politik harus diciptakan di Suriah. "Hal itu memiliki arti penting lebih dari sebelumnya."

Sementara itu, Duta Besar Rusia Mikhail Y. Galuzin berpendapat, upaya koalisi melawan ISIS akan efektif jika bekerja sama dengan pihak Pemerintah Suriah.

"Seperti dalam serangan udara Rusia yang dilakukan September lalu, yang bekerja sama dengan militer Suriah di darat, lebih efektif," kata dia.

Dubes Galuzin juga menambahkan, untuk memutus dukungan finansial untuk ISIS, maka "eksport minyak ilegal dari wilayah-wilayah yang dikuasai ISIS harus dihentikan," tambah dia.

 Radikalisme Sudah Ada Sejak RI Merdeka 
Komjen Polisi Saud Usman Nasution (kiri) mengikuti RDP dengan Komisi III DPR RI di Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (8/4/2015). Rapat membahas tugas dan fungsi BNPT dalam menanggulangi gerakan radikal di Indonesia. (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Pascaserangan teror 9/11 pada 11 September 2001, Al Qaeda menjadi momok dunia. Dan belakangan, ISIS yang berbasis di Irak dan Suriah menebar horor ke seantero Bumi: mengebom Prancis, mempertontonkan eksekusi sadis, mendalangi penembakan dan aksi teror lainnya.

Amerika Serikat, Prancis, Rusia, Uni Eropa mengirimkan kekuatan militernya untuk menghancurkan markas ISIS, memutus dukungan finansial, sekaligus membendung penyebaran ideologinya, terutama lewat internet. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal (Pol) Saud Usman Nasution mengatakan, pada masa lalu, Indonesia telah menghadapi gerakan radikalisme.

"Tak ada ISIS pun kita sudah siap. Pihak keamanan mengembangkan konsep dan strategi agar apa yang terjadi di masa lalu tak terulang kembali," kata dia dalam diskusi yang digelar di Hotel Borobudur, Jakarta Selasa (8/12/2015) soal solusi melawan ISIS.

"Sejak kita merdeka pun, radikalisme sudah ada," tambah dia.

Jenderal Saud mencontohkan sejumlah gerakan yang muncul di masa lalu seperti NII (Negara Islam Indonesia), DI/TII, Kahar muzakar, dan gerakan Daud Beureueh.

Gerakan radikalisme juga muncul pada masa pemerintahan Orde Baru, juga belakangan ini.

Untuk menanggulangi terorisme di Indonesia, tambah Kepala BNPT, tak sekedar menangkap pelakunya, tapi juga mencari tahu apa motivasinya.

"Ada dendam, rasa ketidakadilkan, kesenjangan sosial, kemiskinan, bahkan dampak otonomi yang tak berpihak pada rakyat. Selain itu memang ada yang mau mendirikan khilafah," tambah Saud. "Sebenarnya yang mendukung khilafah sedikit, namun diperparah akar-akar permasalahan tersebut."

Fakta menunjukkan, Saud menambahkan, aksi terorisme di Indonesia seringkali dilatarbelakangi permasalahan yang terjadi di luar negeri.

 Fakta Mengejutkan 

Misalnya, Bom Bali I tahun 2002 dilatarbelakangi dendam atas penangkapan AS terhadap anggota Al Qaeda pasca-serangan teror 9/11.

Pun dengan pemboman Bom Marriott pada 2003 yang dilatarbelakangi perang AS melawan teror. "Para pelaku mengira hotel itu milik AS, padahal cuma franchise," kata Saud, menambahkan bahwa fakta-fakta tersebut didapat dari fakta persidangan.

Saud menambahkan, bom Kedubes Australia 2004 dilatarbelakangi dendam pada Australia membantu Polri membentuk pasukan antiterorisme. Sementara, Bom Bali II pada 2005 dilatarbelakangi bombardir atas Baghdad, Irak.

"Sementara, untuk teror Ritz Carlton 2009, pelaku merasa AS mendukung Israel menyerang Palestina," kata Saud.

Mantan Kadensus 88 itu menambahkan, hanya pemindahan atau mengirim para pelaku ke penjara tak akan menyelesaikan masalah.

"Karena pikiran mereka ke akhirat, untuk mati sahid," kata dia.

Maka, aparat Indonesia melakukan pendekatan soft approach, melakukan deradikalisasi, diagnosa untuk menentukan langkah rehabilitasi.

"Untuk merebut hati mereka, mengubah mindset radikalisme mereka, yang sudah di akhirat ke alam dunia."

Saat ini sekitar 700 mantan pelaku terorisme yang sudah kembali ke tengah masyarakat. BNPT, khususnya, memberi mereka dukungan agar tidak kembali ke jalur radikal. "Ini bukan berarti kita mendukung teroris," tegas Saud.

 53 WNI Tewas di Markas ISIS, 4 Jadi Bomber 
Simpatisan ISIS di Ibukota [vivanews]

Pengaruh ISIS menyebar ke banyak negara, merayu kaum muda di Eropa untuk bergabung. Mereka bahkan memikat orang-orang untuk pergi ke Irak dan Suriah, membawa serta keluarga mereka. Iming-iming kelompok radikal itu juga sampai ke Indonesia.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisaris Jenderal (Pol) Saud Usman Nasution mengatakan, berdasarkan data kepolisian, ada 384 WNI yang bergabung dengan ISIS.

"Menurut data intelijen bahkan lebih banyak lagi, sampai 800 orang," kata dia dalam diskusi bertajuk 'Evolving Coalition Against ISIS' yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Hotel Borobudur, Jakarta Selasa (8/12/2015).

Dari jumlah tersebut, 169 di antaranya dipulangkan dari Turki. "Sebagian tertangkap sebelum masuk ke Irak dan Suriah, sebagian sudah masuk tapi ingin kembali," kata dia.

Mereka yang ingin kembali kebanyakan sadar telah tertipu. "Mereka tertarik propaganda ISIS, gaji besar, penghasilan luar biasa sebagai sopir tank atau kerja di ladang minyak, kenyataannya mereka telantar," tambah mantan Kadensus 88 itu.

"Apalagi bahasa Arab, bahasa Pashtun mereka tak tahu. Tahunya bahasa Indonesia dan bahasa daerah."

Saud menambahkan, risiko besar justru menanti. "Sudah 53 WNI meninggal, yang jadi bomber 4 orang," kata dia.

Masalahnya, kata dia, tak diketahui jumlah pasti berapa WNI yang sudah bergabung dengan ISIS. Sebab, mereka pergi dengan menyalahgunakan fasilitas haji dan umroh, juga perjalanan wisata, kunjungan keluarga, dan pendidikan, bahkan alasan mencari pekerjaan.

Di sisi lain, sejumlah militan dari luar negeri sudah masuk ke Indonesia, 9 di antaranya dari etnis Uyghur, 4 sudah ditangkap di Sulawesi Tengah dan 5 orang bergabung dengan Kelompok Santoso.

"Warga kita harus betul-betul waspada. Diharapkan masyarakat berpartisipasi. Belajar dari masa lalu, bukan masa bodoh," kata dia. (*)

 'Hancurkan ISIS Mulai dari Pundi-pundi Hartanya
Gambar yang memperlihatkan tanker-tanker minyak ilegal ISIS yang dihancurkan bom Rusia [okezone]

Bukan kali ini saja dunia menghadapi kelompok radikal, dari berbagai latar belakang. Namun, baru ISIS yang mengklaim memiliki wilayah teritorial -- di Irak dan Suriah. Kelompok tersebut juga punya dukungan finansial yang relatif kuat.

Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert O. Blake, Jr, Duta Besar Rusia untuk RI, Mikhail Y. Galuzin sepakat, untuk menghentikan angkara ISIS, salah satu yang harus dilakukan adalah memutus dukungan finansialnya.

"ISIS mendapatkan dana dari pendapatan minyak dan penerapan pajak dari wilayah yang mereka kuasai," kata Dubes Blake dalam diskusi bertajuk 'Evolving Coalition Against ISIS' yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Hotel Borobudur, Selasa (8/12/2015).

Dubes AS menambahkan, strategi memutus dukungan finansial ISIS seperti yang telah dilakukan Prancis, akan efektif melumpuhkan kelompok tersebut.

Dubes Rusia, Mikhail Y. Galuzin mengungkapkan, serangan udara yang dilancarkan Moskow juga mengincar kilang-kilang minyak ISIS.

"Salah satu cara menghentikan ISIS adalah dengan menyetop ekspor minyak dari wilayah yang dikontrolnya," kata dia.

Dari mana ISIS memperoleh pundi-pundi hartanya menjadi tanda tanya.

Sebab, senjata, kendaraan, gaji yang mereka keluarkan, video propaganda berkualitas HD, dan perjalanan antarnegara yang mereka keluarkan membutuhkan dana besar.

David Cohen, dari lembaga intelijen finansial teroris Departemen Keuangan AS menyebut, ISIS 'mungkin adalah organisasi teroris yang punya pendanaan terbaik'.

Kantong tebal itu memungkinkan mereka melakukan teror di Irak, Suriah, dan negara lain.

Seperti dikutip dari Washington Post, tak seperti kelompok teror lain, yang keuangannya disokong donor, ISIS menguasai terotorial yang ukurannya setara Inggris, yang dihuni jutaan orang -- yang memungkinkan mengembangkan diversifikasi penghasilan.

Biasanya, AS berupaya memutus pendanaan terorisme melaui pelacakan dan pemutusan aliran uang lewat sistem keuangan internasional. Namun, cara itu tak mempan untuk ISIS.

 12 Sumber Pemasukan 

Ladang minyak di wilayah kekuasaan mereka di Suriah dan Irak menjadi sumber utama ISIS. Meski AS dan negara lainnya bisa mencegah ekspor besar-besaran dari teritorialnya, namun tak ada yang kuasa mengawasinya di pasar gelap.

Fosfat, semen, dan belerang atau sulfur juga menjadi sumber daya mineral yang penting untuk mengundang duit.

Pendapatan ISIS juga berasal dari pajak yang dikenakan pada penduduk yang tinggal di wilayahnya. Para militan dan keluarganya bisa hidup sejahtera dengan berbagai fasilitas gratis, sebaliknya, warga biasa dibebani upeti luar biasa.

ISIS juga memperoleh uang dari tebusan sandera. Dan meski tak signifikan, kelompok tersebut juga mendapat sumbangan dari donor kaya.

Perdagangan barang antik -- yang tak mereka hancurkan, hasil rampokan dari bank-bank di Irak, dan penjualan barang jarahan dari rumah atau properti juga menambah pundi-pundi uang mereka.

Dana lainnya mereka peroleh dari sektor real estate -- penjualan rumah-rumah korban yang mereka bunuh atau hasil rampasan.

Uang tunai yang dibawa militan datang dari luar negeri untuk bergabung dengan ISIS juga menjadi tambahan penghasilan.

ISIS juga mengembangkan pertanian. Terutama di kawasan subur yang memproduksi gandum dan barley.

Sumber pemasukan ISI yang lain adalah perdagangan manusia. Termasuk para perempuan Yazidi dan minoritas Tukoman.

  Liputan 6  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.