Salah satu KRI penjaga Natuna [TNI AL] ☆
Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi menegaskan, TNI AL selalu siaga menjaga wilayah kedaulatan RI dan memperkuat keamanan di sekitar Kepulauan Natuna yang berada di Laut China Selatan.
Hal tersebut dikatakan Ade menanggapi penolakan Beijing atas putusan Pengadilan Arbitrase Internasional yang memutuskan bahwa China telah melanggar kedaulatan Filipina di Laut China Selatan.
Sementara, klaim Beijing atas hampir wilayah Laut China Selatan seluas tiga juta kilometer persegi itu tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna.
"Indonesia memiliki hak berdaulat dalam wilayah ZEE. TNI AL selalu siaga menjaga keamanan perbatasan laut," ujar Ade, saat ditemui di Markas Komando Koarmabar, Gunung Sahari, Jakarta Pusat, Selasa (19/7/2016).
Ade menjelaskan, personel TNI AL yang berjaga di Kepulauan Natuna selalu melakukan pemantauan kondisi dan pergerakan kapal-kapal asing.
Tidak hanya di Natuna, tetapi juga di Selat Malaka, Laut Sulawesi dan wilayah perairan Indonesia lainnya.
Menurut Ade, penyebaran kapal perang dan personel TNI akan akan dilakukan jika intensitas kerawanan daerah terpantau mengalami peningkatan.
"Deployment kapal akan mengikuti intensitas kerawanan daerah, baik di LCS, Selat Malaka maupun Laut Sulawesi dan perairan lainnya. Di Laut China Selatan posisi ZEE kita jelas. Hak berdaulat kita berada di situ," kata Ade.
Sebelumnya, Pengadilan Arbitrase Internasional yang berbasis di Den Haag, Belanda, Selasa (12/7/2016), memutuskan, China telah melanggar kedautalan Filipina di Laut China Selatan.
Pengadilan memutuskan, meski para pelaut dan nelayan China secara historis pernah menggunakan berbagai pulau di Laut China Selatan, tak terdapat bukti kuat bahwa secara historis China pernah menguasai perairan tersebut atau sumber alamnya.
"China telah melanggar hak kedaulatan Filipina di zona ekonomi eksklusifnya dengan cara melakukan penangkapan ikan dan eksplorasi minyak, membangun pulau buatan dan tidak melarang para nelayan China bekerja di zona tersebut," demikian pernyataan Pengadilan Arbitrase Internasional.
Namun keputusan tersebut ditolak oleh China.
Kementerian Luar Negeri China, Selasa (12/7/2016) mengatakan, pemerintah China tidak menerima dan tidak akan mengakui keputusan mahkamah arbitrase internasional itu.
Sebelumnya, China sudah berulang kali menolak otorita mahkamah arbitrasi terkait sengketa wilayah strategis itu dengan Filipina.
China mengklaim, keputusan pengadilan internasional adalah ilegal dan bias dalam masalah sengketa di Laut China Selatan ini.
China bahkan menolak mengambil kesempatan untuk mempertahankan posisinya dalam sidang di mahkamah arbitrase ini.
Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi menegaskan, TNI AL selalu siaga menjaga wilayah kedaulatan RI dan memperkuat keamanan di sekitar Kepulauan Natuna yang berada di Laut China Selatan.
Hal tersebut dikatakan Ade menanggapi penolakan Beijing atas putusan Pengadilan Arbitrase Internasional yang memutuskan bahwa China telah melanggar kedaulatan Filipina di Laut China Selatan.
Sementara, klaim Beijing atas hampir wilayah Laut China Selatan seluas tiga juta kilometer persegi itu tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna.
"Indonesia memiliki hak berdaulat dalam wilayah ZEE. TNI AL selalu siaga menjaga keamanan perbatasan laut," ujar Ade, saat ditemui di Markas Komando Koarmabar, Gunung Sahari, Jakarta Pusat, Selasa (19/7/2016).
Ade menjelaskan, personel TNI AL yang berjaga di Kepulauan Natuna selalu melakukan pemantauan kondisi dan pergerakan kapal-kapal asing.
Tidak hanya di Natuna, tetapi juga di Selat Malaka, Laut Sulawesi dan wilayah perairan Indonesia lainnya.
Menurut Ade, penyebaran kapal perang dan personel TNI akan akan dilakukan jika intensitas kerawanan daerah terpantau mengalami peningkatan.
"Deployment kapal akan mengikuti intensitas kerawanan daerah, baik di LCS, Selat Malaka maupun Laut Sulawesi dan perairan lainnya. Di Laut China Selatan posisi ZEE kita jelas. Hak berdaulat kita berada di situ," kata Ade.
Sebelumnya, Pengadilan Arbitrase Internasional yang berbasis di Den Haag, Belanda, Selasa (12/7/2016), memutuskan, China telah melanggar kedautalan Filipina di Laut China Selatan.
Pengadilan memutuskan, meski para pelaut dan nelayan China secara historis pernah menggunakan berbagai pulau di Laut China Selatan, tak terdapat bukti kuat bahwa secara historis China pernah menguasai perairan tersebut atau sumber alamnya.
"China telah melanggar hak kedaulatan Filipina di zona ekonomi eksklusifnya dengan cara melakukan penangkapan ikan dan eksplorasi minyak, membangun pulau buatan dan tidak melarang para nelayan China bekerja di zona tersebut," demikian pernyataan Pengadilan Arbitrase Internasional.
Namun keputusan tersebut ditolak oleh China.
Kementerian Luar Negeri China, Selasa (12/7/2016) mengatakan, pemerintah China tidak menerima dan tidak akan mengakui keputusan mahkamah arbitrase internasional itu.
Sebelumnya, China sudah berulang kali menolak otorita mahkamah arbitrasi terkait sengketa wilayah strategis itu dengan Filipina.
China mengklaim, keputusan pengadilan internasional adalah ilegal dan bias dalam masalah sengketa di Laut China Selatan ini.
China bahkan menolak mengambil kesempatan untuk mempertahankan posisinya dalam sidang di mahkamah arbitrase ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.