Berpotensi Rugikan Negara Rp 8 MiliarCN235 Patmar produksi PT DI ☆
Center for Budget Analysis (CBA) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk mengevaluasi dan merekomendasikan agar Direktur PT. Dirgantara Indonesia, Agus Santoso segera mengundurkan diri.
Alasannya, agar aparat hukum leluasa menyelidiki adanya potensi kerugian negara di PT. Dirgantara Indonesia sebesar Rp 8 miliar dalam 24 kasus.
“Kalau aparat hukum tidak membuka penyelidikan atas banyak kasus, maka PT. DI menuju arah kebangkrutan,” ujar Direktur CBA Uchok Sky Khadafi di Jakarta, Senin (3/10).
Selain potensi kerugian negara sebesar Rp 8 miliar, lanjut Uchok, perusahaan BUMN plat merah ini juga bakal bangkrut, lantaran adanya kewajiban PT. DI yang harus membayar denda akibat keterlambatan dalam pekerjaan. Dimana, pada audit BPK tahun 2015 ditemukan denda keterlambatan pekerjaan pengadaan barang dan jasa di TNI AL (Angkatan Laut).
“Denda yang harus dibayar oleh PT. DI sebesar Rp 3.357.999.942,” jelasnya.
Uchok menambahkan, tanda-tanda kebangkrutan lain, misalnya, pada tahun 2011, TNI AL memberikan pekerjaan pengadaan Helikopter Bell 412EF tahap II dengan nilai Rp 220 Miliar oleh PT. Dirgantara Indonesia. Dalam pekerjaan ini, PT. Dirgantara sudah dibayar Rp 212.415.954.199 atau 96 persen. Tetapi pekerjaan atau kemajuan fisik baru 20 persen.
“Uang negara mereka embat atau terima, tapi seperti males-malesan menyelesaikan pekerjaan tersebut,” ketusnya.
Kemudian, CBA juga mencatat kerugian negara dalam kasus baru. Yakni, saat TNI AU memesan helikopter Super Puma untuk memenuhi rencana strategis (renstra) pertahanan tahun 2009-2014. Tetapi realisasinya, TNI AU baru menerima sembilan dari 16 unit helikopter Super Puma yang dipesan.
“Walau TNI AU hanya menerima sembilan Helikopter super puma dari 16 unit yang dipesan, tapi pengiriman tidak tepat waktu sehingga mengganggu proses operasional. Dan sisa 7 unit lagi, dibiarkan saja oleh TNI AU,” ungkap Uchok.
Menurut Uchok, dari kasus-kasus diatas memperlihatkan bahwa manajemen PT. Dirgantara Indonesia kacau balau, atau amburadul. Uchok mengatakan, PT.Di bukan lagi perusahaan plat merah yang dipersiapkan sebagai perusahaan yang unggul untuk menyediakan alat-alat pertahanan.
“Tapi sekarang, sudah menjadi perusahaan plat merah yang mengecewakan dalam industri penerbangan,” pungkasnya.
Untuk diketahui, pada mulanya PT. Dirgantara Indonesia (persero) didirikan dengan nama PT. IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio). Pergantian nama dari PT.IPTN menjadi PT.DI berdasarkan akte yang dibuat dihadapan Notaris Hj. Imas Tarwiah Soedrajat SH Nomor 26 tanggal 9 oktober 2000.
Dengan perubahaan nama perusahaan dari PT IPTN dengan PT DI ini, diharapkan perusahaan plat merah ini punya kinerja yang baik, dan daya saing tinggi di publik.
“Namun, hanya harap hanya mimpi. Kinerja PT. DI juga sangat lambat dan mengecewakan,” tandas Uchok. (Nailin)
Center for Budget Analysis (CBA) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk mengevaluasi dan merekomendasikan agar Direktur PT. Dirgantara Indonesia, Agus Santoso segera mengundurkan diri.
Alasannya, agar aparat hukum leluasa menyelidiki adanya potensi kerugian negara di PT. Dirgantara Indonesia sebesar Rp 8 miliar dalam 24 kasus.
“Kalau aparat hukum tidak membuka penyelidikan atas banyak kasus, maka PT. DI menuju arah kebangkrutan,” ujar Direktur CBA Uchok Sky Khadafi di Jakarta, Senin (3/10).
Selain potensi kerugian negara sebesar Rp 8 miliar, lanjut Uchok, perusahaan BUMN plat merah ini juga bakal bangkrut, lantaran adanya kewajiban PT. DI yang harus membayar denda akibat keterlambatan dalam pekerjaan. Dimana, pada audit BPK tahun 2015 ditemukan denda keterlambatan pekerjaan pengadaan barang dan jasa di TNI AL (Angkatan Laut).
“Denda yang harus dibayar oleh PT. DI sebesar Rp 3.357.999.942,” jelasnya.
Uchok menambahkan, tanda-tanda kebangkrutan lain, misalnya, pada tahun 2011, TNI AL memberikan pekerjaan pengadaan Helikopter Bell 412EF tahap II dengan nilai Rp 220 Miliar oleh PT. Dirgantara Indonesia. Dalam pekerjaan ini, PT. Dirgantara sudah dibayar Rp 212.415.954.199 atau 96 persen. Tetapi pekerjaan atau kemajuan fisik baru 20 persen.
“Uang negara mereka embat atau terima, tapi seperti males-malesan menyelesaikan pekerjaan tersebut,” ketusnya.
Kemudian, CBA juga mencatat kerugian negara dalam kasus baru. Yakni, saat TNI AU memesan helikopter Super Puma untuk memenuhi rencana strategis (renstra) pertahanan tahun 2009-2014. Tetapi realisasinya, TNI AU baru menerima sembilan dari 16 unit helikopter Super Puma yang dipesan.
“Walau TNI AU hanya menerima sembilan Helikopter super puma dari 16 unit yang dipesan, tapi pengiriman tidak tepat waktu sehingga mengganggu proses operasional. Dan sisa 7 unit lagi, dibiarkan saja oleh TNI AU,” ungkap Uchok.
Menurut Uchok, dari kasus-kasus diatas memperlihatkan bahwa manajemen PT. Dirgantara Indonesia kacau balau, atau amburadul. Uchok mengatakan, PT.Di bukan lagi perusahaan plat merah yang dipersiapkan sebagai perusahaan yang unggul untuk menyediakan alat-alat pertahanan.
“Tapi sekarang, sudah menjadi perusahaan plat merah yang mengecewakan dalam industri penerbangan,” pungkasnya.
Untuk diketahui, pada mulanya PT. Dirgantara Indonesia (persero) didirikan dengan nama PT. IPTN (Industri Pesawat Terbang Nurtanio). Pergantian nama dari PT.IPTN menjadi PT.DI berdasarkan akte yang dibuat dihadapan Notaris Hj. Imas Tarwiah Soedrajat SH Nomor 26 tanggal 9 oktober 2000.
Dengan perubahaan nama perusahaan dari PT IPTN dengan PT DI ini, diharapkan perusahaan plat merah ini punya kinerja yang baik, dan daya saing tinggi di publik.
“Namun, hanya harap hanya mimpi. Kinerja PT. DI juga sangat lambat dan mengecewakan,” tandas Uchok. (Nailin)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.