Senin, 19 Desember 2016

Musibah Alutsista

SUNGGUH ironis menyadari upaya modernisasi alat utama sistem persenjataan yang dimiliki Tentara Nasional Indonesia. Bukannya menghadirkan senjata dengan teknologi mutakhir, pemerintah justru gemar mendatangkan barang hibah dari negara lain.

Drama alutsista hibah tersebut harus kembali membuat bangsa ini berduka. Tiga belas prajurit dinyatakan tewas setelah pesawat Hercules A-1334 jatuh di pegunungan Lisuwa, Distrik Winimo, Kabupaten Jayawijaya, Papua, kemarin pagi. Pesawat buatan 1980-an tersebut merupakan hibah dari Australia yang baru tiba Februari tahun ini.

Tentu publik juga masih ingat jatuhnya pesawat sejenis tahun lalu yang menewaskan 122 orang termasuk 12 kru di Medan, Sumatra Utara. Ketika itu pemerintah melalui Kementerian Pertahanan menegaskan akan mengevaluasi pengadaan alutsista lewat jalur hibah.

Kemenhan bahkan berjanji untuk mengganti pesawat angkut jenis kelas berat di Skuadron Angkut TNI-AU dengan tipe yang lebih mutakhir, yakni Airbus A400 atau Boeing C17. Sempat pula diusulkan agar Kemenhan memesan pesawat dari PT Dirgantara Indonesia.

Namun, nyatanya pada 2016 ini dua pesawat hibah kembali diterima Indonesia dari Australia. Selain pesawat yang jatuh di Wamena dengan nomor lambung A-1334, pada November lalu Skuadron Udara 32 Wing 2 Lanud Abdulrachman Saleh menerima Hercules hibah dari Australia dengan nomor lambung A-1335.

Sulit terbayangkan, negara seluas Indonesia, yang merupakan negara kepulauan terluas di dunia, hanya dijaga dengan alutsista bekas pakai. Mungkin hanya sebagian, tetapi sedikit atau banyak, alutsista renta tersebut tetap menjadi pertanyaan besar karena keberadaannya merupakan unsur pokok kekuatan pertahanan negara.

Lebih memilukan lagi, prajurit-prajurit terbaik bangsa ini harus bersabung nyawa bukan di medan laga melawan musuh, melainkan karena peralatan tempur yang sudah uzur.

Pihak TNI selalu menyampaikan pesawat-pesawat yang mengalami kecelakaan tersebut masih layak pakai karena rutin mendapatkan perawatan berkala. Namun, alat tempur rongsokan jelas mempunyai masa aus dan kondisinya tidak prima seperti alutsista baru.

Indonesia memang bukan negara kaya, tetapi semua alutsista yang sudah usang harus ditinggalkan dan diganti dengan yang baru agar operasional TNI bisa berjalan. Sudah tepat langkah pemerintah dalam mengalokasikan anggaran besar bagi Kemenhan dalam APBN. Kemenhan selalu mendapatkan alokasi terbesar, yakni Rp 108,7 triliun di APBN-P 2016 dan Rp 108 triliun di APBN tahun depan.

Salah satu tujuan tambunnya anggaran Kemenhan ialah untuk memenuhi kekuatan pokok minimum (minimum essential force) alutsista. Namun, anggaran besar itu mesti diikuti dengan transparansi yang baik pula.

Jika mengacu pada government defence anti-corruption index oleh G-20 dan Transparency International pada 2015, tingkat korupsi Indonesia berada pada huruf D dari rentang A hingga E. Itu artinya proses pengadaan alutsista Indonesia lumayan buruk.

Buruknya transparansi penggunaan anggaran di Kemenhan diperkuat dengan vonis hukuman penjara seumur hidup terhadap Brigjen Teddy Hernayadi karena terbukti korupsi alutsista periode 2010-2014. Anggaran yang diselewengkannya antara lain dalam pembelian jet tempur F-16 dan helikopter Apache dengan akumulasi mencapai US$ 12,4 juta setara Rp 1,7 triliun.

Kita berharap, jangan sampai keinginan mewujudkan alutsista ideal terkendala oleh amburadulnya penggunaan anggaran. Itu duit rakyat yang harus sungguh-sungguh digunakan untuk pengadaan alutsista modern demi melindungi rakyat.

  ☠ Media Indonesia  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.