Selasa, 16 Juli 2024

Turkifikasi Kapal Perang Indonesia

👷 🚀 🛩 ⚓ Ketika menhan Prabowo meninjau pembangunan FMP di Surabaya (PAL) 👷

TURKI semakin menancapkan kehadirannya dalam sistem pertahanan Indonesia. Berbagai jenis alutsista made in negara pewaris Otoman itu perlahan tapi pasti mulai menjadi tulang punggung kekuatan TNI, terutama TNI AL. Kehadirannya pun mampu menggeser alutsista asal negara barat yang selama ini mendominasi, terutama untuk produk combat management system (CMS) dan rudal.

Lompatan kisah sukses alutsista buatan negeri yang dipimpin Recep Tayyip Erdogan itu bisa dilihat dari keputusan Kementerian Pertahanan (Kemhan) membenamkan CMS beserta rudal buatan Turki sebagai tulang punggung fregat kebanggaan bangsa yang kini tengah dibangun PT PAL, yakni Fregat Merah Mutih (FMP). CMS buatan perusahaan plat merah Turki, Havelsan, menggantikan CMS dari Thales, Prancis.

Perubahan jeroan fregat turunan fregat kelas Iver Huitfeldt yang diproyeksikan memiliki berat 5,996 ton dan panjang 140m itu disampaikan PT PAL dalam rilisnya pada medio Mei 2024 lalu. Perusahaan berbasis di Surabaya itu menjelaskan, pergantian CMS dan rudal mempertimbangkan terbentuknya ekosistem persenjataan baru.

Terbentuknya ekosistem persenjataan baru seolah menjadi kode keras bahwa alutsista Turki on the way mendominasi jeroan kapal perang dan bakal menjadi back bone persenjataan TNI untuk waktu yang lama. Lebih progresif lagi, Kemhan sebagai decision maker sudah masak mempertimbangkan variabel interoperabilitas kapal-kapal perang TNI yang sebelumnya mayoritas menggunakan CMS produksi Thales. Perubahan juga mencakup instrumen sistem pendaratan (instrument landing system/ILS).

Karena itulah, pemasangan CMS beserta rudal Turki juga bukan untuk FMP, tapi juga untuk 41 kapal perang TNI lainnya yang kini tengah menjalani program refurbishment, atau dikenal dengan Proyek R41. Dalam modernisasi tersebut, CMS dan rudal semua kapal perang diganti produk negeri yang pernah mendapat julukan The Sick Man of Europe itu. PT PAL mengistilahkan langkah tersebut sebagai bentuk communality baru dalam kapal perang TNI AL.

Untuk diketahui, kapal perang TNI atau KRI yang menjalani Proyek R41 mulai dari kelas Fatahillah, kelas Malahayati, kelas Halasan, hingga kelas Raden Eddy Martadinata. Modernisasi bukan hanya dilakukan PT PAL saja, namun juga melibatkan sejumlah galangan kapal swasta kebanggaan nasional, yakni PT Batamec, PT Waruna Shipyard, PT Dok Bahari Nusantara, dan PT Palindo Shipyard.

Selain FMP dan 41 kapal perang yang menjadi modernisasi, kebijakan yang lazim dilabeli publik dengan istilah Turkifikasi itu juga berlaku untuk dua kapal offshore patrol vessel (OPV) yang tengah dikerjakan galangan kapal PT Daya Radar Utama (DRU). CMS yang akan dibenamkan sama dengan kapal perang lainnya, yakni buatan Havelsan.

Dikutip dari berbagai sumber, Advent (Network Supported Data Integrated) SYS -demikian merek CMS Havelsan, adalah sistem komando dan kontrol generasi terbaru yang dirancang untuk menanggapi kebutuhan pendekatan operasional yang berorientasi pada kekuatan dan didukung jaringan lebih dari satu kapal perang. CMS ini memiliki arsitektur yang memfasilitasi pengguna membuat keputusan secara cepat dan akurat, serta mampu menyajikan struktur fleksibel dalam penggunaan senjata dan sensor baru.

Berbarengan dengan penandatangan kontrak dengan Havelsan yang dilakukan pada ajang Indo Defence 2022 lalu, Kemhan juga meneken kontrak dengan Roketsan sebagai produsen rudal Turki. Perusahaan tersebut memiliki produk yang bakal menjadi andalan TNI, termasuk TNI AL, seperti Khan Missile System, Roketsan Trisula-O Missile System (OMS), Trisula-O Weapon System (OWS), Trisula-U Missile System, Trisula-U Weapon System (UWS), hingga Atmaca Missile yang akan menjadi rudal utama di kapal perang TNI AL.

Kebijakan Turkifikasi kapal perang TNI AL merupakan perubahan drastis yang perlu dikaji lebih dalam. Beberapa pertimbangan dimaksud antara lain apakah layak alutsista Turki menjadi andalan kapal perang di tengah dinamika konflik Laut China Selatan yang memanas dan kemungkinan terlibatnya negara-negara besar dengan kualitas alutsista state of the art? Atau, apakah kebijakan menjadikan alutsista Turki sebagai ekosistem baru kapal perang TNI AL sekadar melepas ketergantungan dari alutsista barat atau diikuti dengan agenda lain yang lebih strategis?

 Persahabatan Kokoh 
Istilah Turkifikasi yang mengemuka dalam transaksi alutsista dengan Turki belakangan ini sejatinya sudah dikenal berabad lampau. Definisi merujuk perubahan yang terjadi di daratan Asia Kecil -atau dijuluki Antaolia bangsa Romawi dan Yunani- yang awalnya dihuni bangsa Hatti, Hurriyah, Iberia, Lydia, dan Galatia dengan segala kebudayaanya, menjadi hampir seluruhnya ditinggali masyarakat yang menyebut diri sebagai bangsa Turki.

Dikutip dari tulisan Khazanah di Republika.co.id, proses Turkifikasi dimulai abad 11 kala pendiri Kesultanan Turki Seljuk, Tughril Beg, diperintah Khalifah al-Qaim dari Dinasti Abbasiyah membendung pengaruh Kekaisaran Bizantium di wilayah utara kekhalifahan Islam. Baru pada 1071, putra Tughril Beg, Alp Arslan berhasil menekuk pasukan Bizantium. Sejak momen itulah, Kesultanan Turki Seljuk menancapkan kekuasaan dan pengaruhnya di Anatolia, hingga lambat laut mengeliminasi suku bangsa dan budaya yang eksis sebelumnya.

William Langer dan Robert Blake dalam ‘’The Rise of the Ottoman Turks and Its Historical Background’’ menyebut, masyarakat Kristen yang masuk Islam pun perlahan mengadopsi bahasa Turki dalam aktivitas sehari-harinya. Sebaliknya kebudayaan Yunani yang telah mengakar di kalangan masyarakat Anatolia, lambat laun melemah dan menghilang.

Perkawinan juga menjadi variabel yang mempercepat Turkifikasi, termasuk dilakukan para Sultan Turki, yang kemudian melahirkan para sultan serta para penerusnya. Dampak Turkifikasi secara drastis terjadi pada 1330-an saat beberapa nama kota di Anatolia berganti menjadi nama dalam bahasa Turki. Perubahan dimaksud antara lain, Angora menjadi Ankara dan Konstantinopel menjadi Istanbul.

Konteks Turkifikasi di Tanah Air tentu berbeda dengan cerita Anatolia, karena hanya terkait alutsista. Tetapi, dampak yang terjadi dalam jangka panjang sangat mungkin akan menghilangkan nama besar alutsista barat yang selama ini mendominasi kapal perang TNI AL, seperti CMS Thales dan rudal anti-kapal permukaan Exocet. Sebaliknya, masyarakat -khususnya prajurit TNI AL- nanti akan semakin akrab dengan nama CMS Advent, rudal Atmaca dan lainnya, karena sebagian besar KRI yang mereka awaki menggunakan produk Turki, atau produk made in domestik hasil transfer of technology dari Turki.

Pintu masuk Turkifikasi alutsista TNI secara yuridis terbuka kala UU No 9 Tahun 2014 tentang Pengesahan Persetujuan tentang Kerjasama Industri Pertahanan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Turki diketuk palu. Pengesahan kontitusi tersebut menindaklanjuti kemitraan strategis yang diteken Indonesia-Turki pada 2012 dan menjadi pondasi terjadinya kerja sama pertahanan, termasuk kerja sama alutsista antar-kedua negara.

Sebelumnya, Ankara dan Jakarta pada 2010 telah menyepakati kerja sama di bidang industri pertahanan. Kesepakatan antara lain meliputi penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan dalam penelitian bersama mulai pengembangan, produksi dan proyek modernisasi, bantuan timbal balik dalam bidang produksi serta pengadaan produk industri jasa pertahanan.

Kedua negara juga bersepakat dalam penjualan produk akhir, penyediaan informasi ilmiah dan teknis, partisipasi pameran industri pertahanan dan simposium, serta jual-beli saling menguntungkan. Walaupun sudah terjalin kerja sama, bila dibanding Malaysia kehadiran alutsista antara Indonesia-Turki dibanding Malaysia-Turki sebenarnya kalah start.

Fakta ini bisa dibuktikan dengan keberadaan panser andalan Malaysia made in FNSS Savunma Sistemleri Turki, yakni V8 Gempita, yang dirakit perusahaan Malaysia, DefTech, berdasar panser Pars 8x8. Sebanyak 12 Panser 8x8 sudah didatangkan pada 2014. Sedangkan di Indonesia, alutsista Turki mulai menjadi pembicaraan saat PT Pindad meneken kerja sama dengan FNSS mengembangkan medium tank Kaplan MT atau tank Harimau.

Bagaimana kerja sama alutsista Indonesia-Turki seolah mengalami lompatan katak? Variabelnya tidak lain karena keseriusan Turki menunjukkan komitmennya untuk transfer of knowledge dan transfer of technology kepada Indonesia, seperti pada kasus kerjasama pembuatan Tank Harimau. Di sisi lain, kondisi ini juga terbentuk karena semakin yakinnya Indonesia terhadap kualitas produk made in Turki. Diskusi kedua negara juga kian intensif melalui Defence Dialogue Meeting Indonesia-Turkiye yang berjalan sejak 2020.

Karena faktor-faktor itulah, Indonesia-Turki beberapa tahun belakangan seolah tak berhenti mencatatkan proyek kerja sama alutsista. Pada 2022, misalnya, di sela Indo Defense 2022, sejumlah kesepakatan government to government (G to G) maupun business to business (B to B) dilakukan perusahaan atau pemerintah kedua negara. Kesepakatan mulai dari transaksi dan pengembangan simulator, CMS, berbagai jenis rudal, hingga drone tempur.

Adapun perusahaan yang terlibat antara lain PT Falah Inovasi Teknologi, PT PAL, PT Noahtu Shipyard dan PT Tesco Indomaritim. Sedangkan dari Turki ada Tais Gemi Insa Ve Teknoloji A.S, Roketsan dan Havelsan. Menhan Prabowo Subianto yang kala itu hadir menyaksikan prosesi tersebut bersama Presiden Badan Industri Pertahanan Turki Ismail Demir meyakini berbagai kerja sama tersebut bakal mendongkrak kemampuan industri pertahanan Indonesia.

Masih di tahun 2022, Prabowo dengan koleganya dari Turki, Menhan Hulusi Akar menandatangani MoU Kerja Sama Industri Pertahanan di sela KTT G-20 di Nusa Dua Bali (14/11). Paling monumental dari kesepakatan itu adalah kesepakatan membentuk dewan kerja sama strategis, termasuk dalamnya mencakup kerja sama pertahanan. Prabowo menilai kesepakatan ini bukan hanya memantabkan kerja sama G to G, tapi juga akan memperkuat ikatan dan kemakmuran dua negara dan rakyatnya.

Selanjutnya pada 2023, kerja sama kian dikokohkan ketika Prabowo menerima kunjungan Menlu Turki HE Mr Hakan Fidan (15/07). Keduanya bersepakat mengeksplorasi lebih banyak peluang kerja sama pertahanan pada masa mendatang. Langkah ini urgen dilakukan untuk meningkatkan kapasitas angkatan bersenjata maupun sektor industri pertahanan kedua negara.

 Kapabilitas Diakui 
Eratnya kerja sama yang terbangun antara Indonesia-Turki tentu menjadi variabel penting dari kebijakan Turkifikasi kapal perang TNI AL. Namun, lebih mendasar lagi adalah kapabilitas perusahaan negeri tersebut memproduksi alutsista canggih dan bisa diandalkan, termasuk untuk menjaga kedaulatan NKRI di wilayah laut. Selain itu, terbukanya Turki untuk melakukan transfer of technology kepada Indonesia.

Kapabilitas industri pertahanan negara gerbang timur dan barat itu bukan sebatas produk drone seperti Bayraktar TB2, Anka maupun Akinci yang memang sudah diakui dunia dan menjadi bagian penting sistem pertahanan banyak negara di dunia. Malahan Bayraktar TB2 sudah battle proven di medan laga seperti dalam konflik Nagorno-Karabahh antara Azerbaijan vs Armenia. Selain drone, alutista Turki lain yang populer antara lain tank tempur Altay dan helikopter serang T-128 Atak yang diborong Filiphina.

Karenanya, tak heran banyak perusahaan Turki sukses menerobos ketatnya persaingan pasar alutsista, bersaing dengan perusahaan global yang sudah memiliki nama besar sebelumnya. Faktanya bisa dilihat dari data yang dirilis Defense News pada 2022 lalu.

Dari 100 perusahaan pertahanan terkemuka dunia, 7 di antaranya berasal dari Turki. Satu di antaranya adalah ASELSAN, yang sukses masuk 50 besar. Prestasi ini terwujud karena produk-produk perusahaan yang berdiri pada 1975 itu – seperti dari sistem komunikasi, radar, dan berbagai sistem pertahanan- telah digunakan 65 negara di dunia.

Perusahaan alutsista Turki lainnya yang masuk jajaran top global player adalah TAI, BMC, Roketsan, STM Defense Technologies & Engineering Ltd, FNSS, dan Havelsan. Produk yang dihasilkan hampir semua jenis alutsista yang dibutuhkan militer dunia. Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) menyebut, Turki berkontribusi 1% dari total ekspor alutsista global.

Untuk produk alutsista yang akan dibenamkan dalam kapal perang Indonesia, walaupun relatif produk baru, kualitasnya sudah melalui riset dan pengembangan berdasar standar Turki yang sudah battle proven dan diakui dunia. Untuk CMS, misalnya, yang diandalkan adalah Advent. Produksi Havelsan ini merupakan sebagai sistem komando dan kontrol generasi terbaru yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan operasional yang berorientasi ada kekuatan dan dukungan jaringan lebih dari satu kapal perang.

Dikutip dari Indomiliter.com, CMS Advent menyediakan tautan data taksi terintegrasi penuh. Termasuk mendukung Link 11, Link 16, Link 22, SIMPLE, JREAP, dan VMF. Fungsi tautan dapat diakses melalui konsol semua operator dengan Advent SYS. CMS dengan dukungan kemampuan tersebut dapat memfasilitasi pengguna membuat keputusan secara cepat, akurat, dan fleksibel dana menggunakan senjata dan sensor baru.

Selain untuk kapal perang Indonesia yang menjalani proyek R41, OPV 90, dan FMP, CMS tersebut juga digunakan untuk proyek kapal perang nasional Turki, MILGEM, yang diorientasikan memperkuat postur angkatan laut Turki di masa depan. Sejauh ini, CMS Advent sudah dibenamkan di TCG Kinalida. CMS sama juga digunakan di YCG Burgazada yang merupakan kapal induk komunikasi, kapal induk helikopter TCG Anadolu, korvet kelas Burak. Sejumlah korvet pesanan Pakistan juga menggunakan jeroan sama.

Sedangkan untuk rudal, Indonesia sudah menjalin kesepakatan dengan Roketsan untuk pembelian berbagai jenis rudal. Rudal dimaksud antara lain Khan Missile System yang akan merupakan ground to ground ballistic missile, Hisar yang diarahkan untuk rudal pertahanan udara ((selanjutnya di Indonesia diadaptasi menjadi Trisula-O Missile System (OMS), Trisula-O Weapon System, Trisula-U Missile System, Trisula-U Weapon System (UWS)), serta Atmaca yang akan diandalkan sebagai rudal anti-permukaan kapal perang Indonesia -baik FMP, OPV 90m, maupun kapal perang yang menjadi program R41.

Bukan sebatas kualitas alutsista yang diakui secara global, faktor lain yang mendorong Turkifikasi alutsista TNI, khususnya untuk kapal perang, independensi Turki dalam mengembangkan berbagai alutsista, hingga transaksi yang dilakukan tidak rawan embargo, seperti lazimnya dilakukan Amerika Serikat. Apalagi, meski berposisi sebagai anggota NATO, politik luar Turki terbilang independent, sehingga bisa melakukan kerja sama dengan negara manapun, termasuk dengan Rusia yang sekarang menjadi musuh bersama blok Barat.

Tak kalah pentingnya adalah kebijakan Turki yang terbuka untuk transfer of technology, termasuk kepada Indonesia. Sikap ini ditegaskan Erdogan di sela pameran IDEF 2923 lalu, dengan mengatakan bahwa Turki tidak hanya menjual produk tapi juga mengembangkan proyek bersama jangka panjang. Erdogan mengaku sangat senang ilmu dan pengalaman industri pertahanan negaranya bisa dimanfaatkan negara sahabat.

Kerja sama transfer of technology dalam Turkifikasi kapal perang Indonesia sangat terbuka untuk produk CMS maupun rudal. Untuk CMS, misalnya, PT LEN bisa belajar atau memproduki karya Havelsan tersebut. Sedangkan pembelian besar-besaran untuk berbagai jenis rudal buatan Roketsan pun dimanfaatkan untuk mendukung pengembangan proyek rudal pertahanan domestik seperti R-HAN ke depan.

Selain beberapa alasan di atas, Turkifikasi kapal perang Indonesia tampaknya sebagai prakondisi atau familirisasi untuk proyek Indonesia yang lebih besar ke depan. Apa itu? Desas-desus di sosial media menyebut Indonesia nanti akan bekerja bareng dengan Turki untuk mengembangkan kapal perang destroyer. Dalam proyek MILGEM, Turki telah mencantumkan rencana pembangunan delapan kapal perusak TF-2000. (*) (hdr)
 

  👷 sindonews  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.