Minggu, 26 Februari 2012

Merah Putih berkibar di Teminabuan

Korpaskhas
umi Teminabuan memang merupakan daerah yang mempunyai nilai historis tersendiri bagi bangsa Indonesia serta bagi Korpaskhas (waktu itu bernama PGT) pada khususnya, apalagi pelaku-pelaku sejarah yang masih dikaruniai umur panjang sampai sekarang ini. Bagi pelaku-pelaku sejarah sampai sekarang, mendengar “Teminabuan”, mereka sempat meneteskan air mata karena berbagai perasaan berbaur menjadi satu. Perasaan bangga, haru dan syukur menjadi satu ketika mereka mengenang kembali peristiwa-peritiwa yang dialami di daerah tersebut. Peristiwa heroik ini patut diteladani oleh generasi-generasi penerus.

Kisah nyata ini terjadi dalam rangkaian peristiwa ketika bangsa Indonesia merebut kembali wilayah Irian Barat (sekarang Irian Jaya) dari Belanda, peristiwa ini dikenal dengan nama Tri Komando Rakyat (Trikora). Trikora terjadi karena adanya gelagat Belanda yang tidak mau melepaskan Irian Barat. Sehingga dalam suatu rapat raksasa tanggal 19 Desember 1961 di alun-alun Yogyakarta, Presiden Soekarno mengumumkan “Tri Komando Rakyat” kepada seluruh rakyat Indonesia.


Adapun tiga maklumat yang disampaikan oleh Presiden Soekarno ketika itu adalah :

  1. Gagalkan pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Kolonial.
  2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian barat tanah air Indonesia.
  3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air Indonesia.

PGT
Setelah adanya Instruksi Presiden tersebut, pada tanggal 2 Januari 1962 Presiden mengeluarkan Keputusan Nomor I/1962 yang isinya adalah memerintahkan pembentukan Komando Mandala (KOLA) untuk membebaskan Irian Barat. KOLA ini dipimpin oleh Mayjen Soeharto (Mantan Presiden RI kedua) sebagai panglima KOLA yang kedudukannya berada langsung di bawah Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat (Pangbes KOTI/Permibar) yang dirangkap oleh Presiden Soekarno.

Operasi yang dilakukan bersifat gabungan, sehingga di dalam KOLA terdapat komponen-komponen yang terdiri dari Agkatan Darat Mandala (ADLA), Angkatan Laut Mandala (ALLA), Angkatan Udara Mandala (AULA) dan Komando Pertahanan Udara Gabungan Mandala (Kohanudgabla). Sedangkan Kepolisian, pada saat pembentukan KOLA, belum termasuk angkatan bersenjata. Setiap komponen utama yang secara operasional berada dibawah Panglima Mandala, tetapi secara administrated langsung dibawah Panglima Angkatan Masing-masing.

Unsur pimpinan KOLA antara lain Mayjen TNI Soeharto sebagai Panglima KOLA, Komodor Laut Soebono sebagai wakil Panglima I, Komodor Udara Leo Wattimena sebagai wakil Panglima II, Kolonel Achmad Tahir sebagai kepala Staf Umum dan Mayor CHKP Nasution, S.H. sebagai kepala Sekretariat. Selain itu, dalam operasionalnya panglima KOLA juga dibantu oleh para Panglima Komponen Utama dari masing-masing Angkatan.


Markas KOLA berkedudukan di Makasar, sedangkan Pos Komando Depan (Poskopan) bertempat di Ambon. Panglima KOLA di samping mengendalikan jalannya operasi dari Makasar, sering pula berada di daerah operasi bersama Komodor Udara Leo Wattimena. Kegiatan dalam rangka infiltrasi udara termasuk penerjunan pasukan bertolak dari Ambon tepatnya di Pangkalan Udara Laha yang merupakan Pangkalan Udara Depan yaitu Pangkalan Udara Morotai, Amahai, Bulam Letfuan dan Langgur.

Berbagai persiapan operasi dilakukan termasuk persiapan komponen Angkatan Udara. Dalam persiapan tersebut, selain terdapat pesawat-pesawat pembon strategis (TU-16/KS), ada pula pesawat pemburu taktis (P-51 Mustang), pesawat pembom sedang dan ringan (II-28, B-25 dan B-26), pesawat transport (C-130 Hercules) dan pesawat SAR (C-47 Dakota). Oleh karena itu, Pangkalan - Pangkalan Udara depan dan unsur pasukan TNI Angkatan udara yaitu PGT juga harus dipersiapkan dengan baik.

Pak Wiriadinata (Komandan PGT), memberi dorongan moril, sebagian dari orang yang ada dalam pesawat ini mungkin gugur dan tidak dapat kembali lagi.

Infiltrasi Udara dengan tujuan pengintaian maupun untuk penerjunan serta tembakan dari udara dilakukan dengan sangat hati-hati dan rahasia agar tidak terdeteksi olleh pihak Belanda.

Banyak peristiwa Heroik yang terjadi pada saat pelaksanan operasi. Salah satu peristiwa dari sekian banyak peristiwa tersebut adalah penerjunan PGT di Teminabuan, Irian Barat.


Penerjunan dilakukan pada tanggal 19 Mei 1962 sebanyak 81 orang diangkut pesawat C130 Hercules yang tinggal landas dari Pangkalan Udara Laha, Ambon, di pimpin oleh LMU I Soehadi.


Pesawat tinggal landas daru pangkalan Udara Laha, Ambon, pukul 01.00 WIT dini hari. Cuaca kurang bersahabat karena waktu itu sedang hujan sehingga situasi bertambah gelap. Pukul 02.30 WIT penerjunan dimulai. Satu persatu PGT melompat dari pesawat. 

Mereka tidak tahu bagaimana keadaan tempat untuk mendarat karena keadaan gelap. Sebagian dari mereka terkejut karena mereka mendarat di atas atap seng yang ternyata adalah atap asrama tentara Belanda (KL), sehingga tentara Belanda yang masih lelap tidur tersentak bangun. Kedua belah pihak sama-sama terkejut. Suasana menjadi kacau, apalagi langsung terjadi kontak senjata. Meraka sama-sama panik. Karena terdadak dan tidak siap sehingga tentara Belanda terus mendesak, akhirnya mengundurkan diri ke kota kecil Teminabuan.

Menjelang pagi hari keadaan alam semakin terang, PGT yang terlibat pertempuran mengundurkan diri lalu masuk ke hutan untuk bergabung dengan induk pasukan. Pada pagi harinya, Ditemukan jenasah PGT yang gugur, yaitu KU II Alex Sangido dan KU II Wangko, sedangkan KU Liud baru diketahui tertangkap Belanda.


Sesuai perintah operasi, bahwa untuk berkumpul dengan mencari teman-teman di tandai dengan cara meniup peluit sejauh tidak diketaui musuh. Hari berikutnya, tanggal 20 Mei 1962, baru dapat berkumpul sebanyak 40 orang. Diantara mereka terdapat LMU I Soehadi dan SMU Mengko.


Pesawat Fire Fly
Ternyata peristiwa penerjunan di Teminabuan telah menimbulkan pukulan psikologis bagi Belanda. Belanda segera mengirimkan 2 Kompi Marinir yang didukung dengan 2 kapal perangnya, pesawat terbang Neptune, dan pesawat terbang Fire Fly langsung mengadakan serangan balas dan pembersihan melalui darat dan udara di daerah Wersar, Teminabuan, yang telah di duduki PGT.

Pada tanggal 21 Mei 1962, 50 orang anggota PGT berhasil berkumpul di kampung Wersar. Setelah berkumpul, SMU Mengko mengeluarkan bendera Merah Putih dari ranselnya dan memerintahkan salah satu anggotanya menebang pohon yang tingginya 4 meter. Tepat pukul 10.00 WIT, setelah mengikatkan bendera pada tiang tersebut, dengan disaksikan oleh anak buahnya, SMU Mengko menancapkan bendera Merah Putih. Perisitwa ini tercatat dalam sejarah, Untuk pertama kalinya bendera Merah putih berkibar di dataratan Irian Barat. Merah Putih berkibar dengan megahnya di Teminabuan.

Setelah itu, mereka segera meninggalkan tempat tersebut agar tidak diketahui oleh musuh. Pada hari itu juga, mereka bertemu dengan seorang penduduk asli Irian Barat yang meminta agar pasukan jangan pergi dulu dari tempat itu, karena Ibunya akan datang memberi pisang goreng. LMU Soehadi menjadi curiga terhadap gerak-gerik dan ucapan orang tersebut. Kecurigaannya terbukti ketika baru saja akan pergi, tiba-tiba dikejutkan oleh tembakan-tembakan dari pesawat terbang Neptune dan Firefly Belanda. Mereka segera masuk hutan untuk berlindung dari pandangan musuh.


Sampai tanggal 26 Mei 1962, mereka terus mendapat serangan-serangan baik dari udara maupun dari darat, sehingga para anggota PGT tercerai berai dan masuk hutan dalam kelompok-kelompok kecil. Pertempuran-pertempuran terus terjadi dengan kekuatan yang sangat tidak seimbang, sehingga posisi PGT semakin terjepit. Akhirnya mereka banyak yang gugur termasuk LMU I Soehadi, sedangkan yang terluka dan yang masih hidup ditangkap tentara Belanda dan ditawan. Selama dalam tahanan, mereka diperlakukan dengan kejam dan dipindah-pindahkan dari satu penjara ke penjara lainnya. Mereka dipindahkan mulai dari penjara Teminabuan ke penjara Sorong lalu ke Penjara Pulau Wundi. Dipenjara Pulau Wundi inilah mereka bertemu dengan tawanan lain dari pasukan Banteng Raider, RPKAD, Brimob dan Sukarelawan yang menyusup ke Irian Barat melalui laut dan tertangkap Belanda. Mereka juga bertemu dengan beberapa orang PGT lainnya yang tertangkap sebelumnya.

Selain di Teminabuan, PGT juga diterjunkan didaerah-daerah lain, yaitu di Fak- Fak, Kaimana, Sorong, Klamono, dan Merauke. PGT yang ditejunkan di Fak-fak sebanyak 44 orang, Sorong sebanyak 80 orang, Klamono sebanyak 159 orang, dan Merauke sebanyak 132 orang. Dengan demikian, jumlah keseluruhan PGT yang diterjunkan (termasuk di Teminabuan) yaitu 532 orang.

Seperti halnya di Teminabuan, penerjunan di beberapa daerah tersebut juga mengalami nasib yang sama yaitu menghadapi medan yang berat, perbekalan terbatas, dan tekanan-tekanan dari pihak Belanda yang jumlahnya jauh lebih banyak.

Karena pertempuran-pertempuran yang terjadi kekuatannya sangat tidak seimbang, PGT akhirnya terdesak dan banyak yang gugur, termasuk LU I Manuhua di Klamono dan banyak juga yang tertangkap tentara Belanda dan ditawan.

Penerjunan PGT terus dilakukan sampai di Merauke. Penerjunan di Merauke dilaksanakan pada tanggal 14 Agustus 1962 sebanyak 132 orang dari Yon 2 dipimpin oleh Kapten Udara Radix Sudarsono. Mereka diangkut pesawat C-130 Hercules bertolak dari pangkalan Udara Laha, Ambon.

Setelah melakukan penerjunan, mereka terus terlibat dalam pertempuran-pertempuran dan terus mendapat serangan dari pesawat Neptune Belanda. Kapten Udara Radix Sudarsono beserta anggotanya yang masih hidup terus bergerak didaerah Klamono. Ternyata, setelah sampai di penampungan selama 1 minggu. Sedangkan, PGT dan pasukan dari satuan lain yang diterjunkan didaerah Sorong, saat itu masih banyak yang berada di hutan.


Kapten Udara Radix Sudarsono mendapat tugas dari PBB untuk ikut mencari anggota pasukan yang masih tersebar. Selain dari udara, diperkirakan ada pasukan yang menyusup dari jalur laut. Akhirnya dapat terkumpul satuan dari Kompi PG 300 dipimpin Peltu Nana, PG 400 dpimpin oleh Charles Papilaya, PG 500 dipimpin Komontoy dan pasukan Raider 700 Pattimura dpimpin Mayor Nussy.

Para gerilyawan yang berhasil dikumpulkan hingga tanggal 30 Agustus 1962 ditampung disebuah rumah pada KM 12 Klasaman, Sorong. Pada awalnya, penampungan ini mendapat kesulitan dari perwakilan PBB, karena pasukan PBB mendesak agar para gerilyawan Indonesia masuk hutan kembali. Ini karena baru tanggal 1 Oktober 1962 pasukan gerilya Indonesia termasuk PGT diizinkan masuk kota. Dalam perundingan akhirnya disetujui bahwa hanya 3 Perwira gerilya yang diiziinkan tinggal dikota. Sedangkan lainnya ditapung diluar kota tidak jauh dari penampungan tersebut.


peta pernejunan di Irian Barat
Peristiwa penerjunan - penerjunan pasukan PGT termasuk dalam rangkaian infiltrasi melalui udara yang dilakukan secara bertahap dan berlanjut dengan berbagai jenis operasi. Jenis-jenis operasi yang dilakukan yatiu : “Operasi Banten Ketaton” tanggal 25 April 1962 yang terdiri dari “Banteng Putih I dan II”, serta “Banteng Merah I dan II”, “Operasi Garuda” tanggal 15 sampai dengan 25 Mei 1962 yang terdiri dari “Garuda Merah I dan II” serta “Garuda Putih I dan II”, “Operasi Serigala” tanggal 17 dan 19 Mei 1962, “Operasi Kancil” tanggal 17 Mei 1962, “Operasi Lumbung” tanggal 30 Juni 1962 dan “Operasi Jatayu” tanggal 13 Agustus 1962 yang terdiri dari Operasi “Elang”, “Gagak”, dan “Alap-alap”.

PGT dengan 532 orang yang tergabung dalam operasi-operasi tersebut, mempunyai peran yang sangat besar. Mereka bagaikan tidak mengenal lelah terus bergerak walaupun menghadapi keadaan cuaca, medan dan musuh (Cumemu) yang berat. Perjuangan yang didasari rasa tanpa pamrih dan semangat tinggi telah mereka buktikan, meskipun pada akhirnya banyak yang tertangkap dan gugur. Selama melaksanakan operasi, PGT yang tertawan berjumlah 73 orang dan yang gugur sebanyak 94 orang. Mereka gugur sebagai pahlawan Trikora dan sebagai Bunga Bangsa di Bumi Pertiwi.


Selama operasi militer sedang berlangsung, perundingan - perundingan terus dilakukan antara pemerintah RI dan pihak Belanda dibawah naungan PBB. Melalui perjuangan yang sangat alot, akhirnya pada tanggal 15 Agustus 1962 pukul 21.00 GMT dicapai suatu kesepakatan yang ditandai dengan penandatanganan persetujuan New York untuk menghentikan permusuhan antara kedua belah pihak.

Berdasarkan persetujuan New York, akhirnya semua prajurit APRI sebagai tawanan perang yang berada di penjara - penjara tentara Belanda dibebaskan dan dipulangkan ke Jakarta diangkut pesawat UNTEA. Sesampainya di Jakarta, prajurit PGT selanjutnya dikembalikan ke induk pasukan yaitu di Margahayu, Bandung.




Sumber :
  • Korpaskhas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.