Rabu, 28 Maret 2012

Persiapan Operasi Seroja

Ketika Presiden Amerika Serikat Gerald Ford yang didampingi oleh Menteri Luar Negeri Henry Kissinger mengadakan pertemuan dengan Presiden Suharto di Istana Merdeka, Jakarta, pada tanggal 6 Desember 1975 pukul 08.00, hari itu merupakan hari H-1 bagi operasi serbuan pasukan linud dan pendaratan amfibi di Dili.

Bahkan Hari-H bukan lagi dalam hitungan hari, tetapi dalam hitungan jam. Jam-J tinggal menunggu waktu kurang dari 24 jam. Menyingung masalah Timor Timur dalam pertemuan itu, maka tidak sulit bagi Presiden Suharto bahwa Indonesia yang telah menggagalkan perebutan kekuasaan partai komunis dalam tahun 1965, menyalahkan komunis atau golongan kiri yang akan menguasai Timor Portugis.

Hal ini disebabkan Amerika Serikat sedang mengalami trauma tentang jatuhnya Pemerintah non-komunis di Vietnam dan Kamboja pada bulan April 1975. Pemerintah non-komunis Laos juga jatuh ke tangan komunis pada tahun yang sama. Peristiwa ini menguatkan teori domino yang mengatakan jika salah satu negara non-komunis jatuh, maka negara non-komunis lainnya akan jatuh juga.

Presiden Ford tahu bahwa peralatan militer buatan Amerika Serikat dipakai dalam operasi militer Indonesia di Timor Portugis. Pada waktu itu Menteri Luar Negeri Kissinger sempat bertanya, "Itu alat-alat militer buatan Amerika Serikat dipakai (di Timor Portugis) atau tidak?" Menteri Luar Negeri Adam Malik menjawab, "Kalau tidak ada Hercules kita pakai apa?" Mendengar jawaban itu Menteri Luar Negeri Kissinger hanya diam saja. Pertanyaan yang sama juga dilontarkan oleh Brent Scowcroft, Ketua US National Security Council kepada Mayjen TNI Benny Moerdani yang berada di ruang lain. Jenderal berbintang dua itu menjawab, "Kami tidak mempunyai pilihan lain". Menutup pembicaraan tentang masalah Timor Portugis, maka Presiden Ford berkata, "Timor is your problem".

Perkataan Presiden Ford itu dapat difatsirkan jika Indonesia masuk ke Timor Timur, Amerika Serikat tidak akan campur tangan. Ketika Menlu Kissinger bertemu dengan Mayjen Benny Moerdani yang sedang bersama Brent Scowcroft, ia meminta agar Indonesia jangan memulai penyerbuannya ke Timor Portugis, sebelum Air Force One ke luar dari wilayah udara Indonesia. Mayjen Benny Moerdani menyanggupkan hal itu. Presiden Ford dan rombongan meninggalkan Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta, menuju ke Tokyo pada pukul 11.30 WIB.

Secara geografis Timor Portugis cocok digunakan sebagai pangkalan militer di kawasan Asia Tenggara bagi negara Adi Kuasa. Perairan di lepas pantai Utara Timor Portugis memiliki kedalaman sekitar 2000 meter, memungkinkan kapal selam nuklir bergerak di bawah laut melintas dari Samudra Hindia ke Samudra Pasifik atau sebaliknya lewat Selat Ombai dan perairan Maluku. Lapangan terbang Baucau sepanjang 2400 meter dapat digunakan untuk mendarat pesawat berbadan lebar sekelas dengan pesawat DC-10. Pesawat intai maupun pesawat pembom jarak jauh dapat mendarat di Baucau.

Demikian pula pesawat angkut strategis, Antonov An-124 Condor yang mampu membawa peluru kendali nuklir SS-20 lengkap dengan kendaran peluncur, segala peralatan pendukung serta seluruh personil yang mengoperasikannya. Seandainya Timor Portugis digunakan sebagai pangkalan militer Sovyet, maka jangkaun pesawat pembom jarak jauh maupun peluru kendali berkepala nuklir, dapat menjangkau ke seluruh benua Australia dan Selandia Baru.

Uni Sovyet yang tidak memiliki pangkalan Angkatan Laut di air hangat di Samudra Pasifik, sangat berkepentingan untuk memiliki pangkalan militer di kawasan Asia Tenggara. Wladivostok adalah satu-satunya pangkalan Angkatan Laut Uni Sovyet di pantai Timur benua Asia, tertutup salju selama enam bulan pada musim dingin.

Oleh sebab itu dalam Perang Vietnam Uni Sovyet tidak segan-segan mengucurkan dana sebesar US$ 3 milyar dalam bentuk senjata, mengerahkan 3000 orang anggota militer non-tempur, 13 orang diantaranya tewas, untuk memperoleh konsesi Teluk Cam Ranh sebagai pangkalan militernya di Asia Tenggara.

Jika Timor Portugis dikuasai oleh golongan komunis, maka peta pertahanan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik akan mengalami ancaman besar. Kekhawatiran Amerika Serikat itu, menyebabkan Presiden Ford memberikan lampu hijau bagi Indonesia masuk ke Timor Portugis. Demikian pula bagi Indonesia, ancaman komunis dari Timor Portugis akan mengganggu keutuhan wawasan Nusantara.


Persiapan Operasi Seroja

Ketika Presiden Suharto mengadakan pertemuan dengan Presiden Ford di Istana Merdeka, hari itu menjadi puncak pre-positioning pasukan dan pre-stocking logistik maupun peralatan militer untuk serbuan pasukan linud dan pendaratan amfibi di Dili. Sejak 12 Agustus 1975 TNI-AU secara berangsur-angsur telah melakukan pre-positioning pasukan dan pre-stocking logistik dari Lanud Iswahyudi Madiun, ke Lanud Penfui, Kupang, sebagai pangkalan persiapan.

Pergeseran pasukan terdiri dari dua satgas, yaitu Satgas-A untuk perebutan kota Dili pada Hari-H atau tanggal 7 Desember 1975 dan Satgas-B untuk perebutan kota Baucau sebagai kota terbesar kedua di Timor Timur pada hari H+3 atau tanggal 10 Desember 1975.

Satgas-A dibawah pimpinan Letnan Kolonel Inf Matrodji, seorang pejuang 1945 yang menjabat sebagai Komandan Brigif-18/Linud Kostrad. Hanya sekitar tujuh jam, Minggu 7 Desember 1975, Kota Dili dikuasai lewat operasi lintas udara (Linud) terbesar dalam sejarah ABRI.

Grup-1 Kopassandha dan Brigade-18/Linud Kostrad yang sebagian besar dari Batalion-502/Raiders Jawa Timur itu, diterjunkan dari sembilan pesawat angkut C-130B Hercules TNI AU. Menjelang jam 05.00 WITA, BTP-5 (Batalion Tim Pendarat) / Infanteri Marinir, mengendap-endap di pantai Kampung Alor. Dengan dukungan tembakan kanon kapal perang TNI AL, BTP-5 mengawali rencana besar operasi perebutan Kota Dili, 7 Desember 1975. Operasi ini merupakan kelanjutan "Operasi Komodo" yang digelar Bakin awal 1975, untuk mengantisipasi makin keruhnya peta politik di Timor Loro Sae (Timor Negeri Matahari Terbit).

Euphoria politik yang berkepanjangan ini, memaksa Indonesia meningkatkan operasi menjadi operasi Sandhi Yudha (combat inteligence) terbatas dengan sandi "Operasi Flamboyan". Operasi yang dipimpin Kolonel Dading Kalbuadi dengan inti pasukan pemukul operasi Grup-1 Para Komando/Kopassandha yang menempatkan Detasemen Tempur-2 (Denpur) di perbatasan sejak Oktober 1975 inilah, yang kemudian berubah ujud menjadi "Operasi Seroja".

Perebutan Dili yang didahului operasi ampibi ini, diputuskan Menhankam/Pangab Jenderal TNI M Panggabean, 4 Desember di Kupang. Operasinya sendiri dilakukan melalui pertimbangan dan analisa lapangan setelah melihat pergerakan pasukan Fretilin. Bukan sepihak, ketegasan sikap Indonesia juga didasari keinginan rakyat Timor Portugal berintegrasi dengan Indonesia. Sikap yang diwakili empat partai Apodeti (Associacao Popular Democratica de Timor), UDT (Uniao Democratica de Timorense), KOTA (Klibur Oan Timor Aswain), dan Trabalista itu dikenal dengan Deklarasi Balibo, 30 Nopember 1975.

Sikap yang sekaligus menandingi deklarasi berdirinya Republik Demokrasi Timor Timur secara sepihak oleh partai Fretilin (Fronte Revolucionaria de Timor Leste Independente), dua hari sebelumnya.

Sebelum perebutan Dili, Fretilin sudah terlibat baku tembak dengan pasukan ABRI dalam perebutan Benteng Batugade (7 Oktober). Alasan berikutnya, meningkatnya pelanggaran perbatasan diselingi perampokkan ternak oleh Fretilin di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Pelanggaran yang meningkat sejak Juni 1975 itu, sering tertangkap basah oleh ABRI hingga menimbulkan tembak-menembak.

Lebih seru lagi, sejak 1 Oktober, Komando Tugas Gabungan (Kogasgab) Operasi Seroja mendeteksi keberadaan dua kapal perang kelas frigat AL Portugal di sekitar Timor. Celakanya, 7 Desember pagi, kedua kapal tersebut justru merapat di lepas pantai Dili. "Mereka buang jangkar lebih dekat ke pulau Atauro, karena di sana bercokol pemerintahan pelarian Portugal dari Timor," kata Hendro Subroto, wartawan TVRI yang meliput saat itu. Entah kebetulan, di selat yang memisahkan pulau Atauro dan pulau Alor ini, tiga formasi arrow Hercules satu formasi tiga pesawat akan membuat manuver abeam (posisi pesawat 90 derajat terhadap suatu check point di sisi kiri atau kanan pesawat).

Menjelang berakhirnya tanggal 6 Desember 1975, di Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur, di luar kebiasaan, ratusan pasukan berperalatan lengkap berseliweran. Sebagian menyandang parasut T-10 buatan Amerika, separuh lagi senapan serbu AK-47 buatan Soviet. Di apron, sembilan pesawat angkut berat C-130B Hercules Skadron 31, siap terbang. Beberapa air crew menyempatkan melakukan pemeriksaan akhir sebelum mengudara. Kesembilan pesawat ini tiba di Iswahyudi siang itu.

Letkol Pnb. Suakadirul menuturkan, perintah berangkat ke Iswahyudi diterimanya Jumat, 5 Desember, dari Kol. Pnb. Susetyo, Komandan Satuan Tugas Udara Operasi Seroja. Isi perintah: usai shalat Jumat, seluruh anggota Skadron 31 kembali ke tempat masing-masing. Tidak seorangpun dibenarkan pulang.

"Saya belum tahu kemana arah perintah itu. Tapi saya bisa menduga dengan melihat perkembangan situasi di lapangan," ingat Marsda (Pur) Suakadirul. Dalam perintah rahasianya, Komandan Skadron 31 diminta menyiapkan 12 pesawat untuk mengangkut satu batalion paratroops. "Jadi saya harus menyiapkan 12 set crew. Pilot, co-pilot, navigator, engineer, radio telegrafis, load master dan pembantunya. Jumlahnya sekitar 120 orang," katanya.

Kebetulan dua pesawatnya dalam perawatan, hanya 10 pesawat bisa disiapkan. Dalam jajaran penerbangnya, Suakadirul sengaja menempatkan dua penerbang senior Letkol Pnb Siboen dan Kol Pnb Suhardjo. "Sebagai panutan, lah."

Maka, esok harinya, sembilan Hercules bertolak dari Halim Perdanakusuma menuju Iswahyudi. Tiga diantaranya mengangkut Kopassandha. Baru di Madiun lah, sorenya, Suakadirul mendapat kejelasan bahwa akan dilakukan operasi penerjunan pasukan di Dili.


Dili akhirnya dibebaskan

Setelah berjuang dari jam 06.00 hingga tengah hari, Dili akhirnya dibebaskan. Fretilin mundur ke perbukitan selatan kota Dili. Pemimpinnya melarikan diri ke Aileu. Lobato dan Ramos Horta hengkang ke Australia. Hanya mantan Tropaz yang berani bertahan.

Petangnya, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan pernyataan bahwa hari itu tanggal 7 Desember 1975, pukul 12.30, kota Dili telah berhasil di bebaskan oleh perlawanan rakyat yang dipelopori Apodeti, UDT, KOTA, dan Trabalista dibantu para sukarelawan dari Indonesia.

Besoknya dalam evaluasi, korban langsung di hitung, sebanyak 35 orang pasukan Baret Hijau yang hampir seluruhnya dari Batalyon 502, termasuk dua Mayor dan dua Kapten, gugur. Dari Baret Merah, 16 orang gugur tertembak di medan tugas. Tiga lagi tenggelam di laut (mayatnya ditemukan beberapa bulan kemudian). Komandan Tim B, Lettu Atang Sanjaya, terkena pecahan amunisi Ak-47 yang tertembak. Rekannya, Mayor Atang Sutisna, gugur tertembak dalam pertempuran.

Di pihak Fretilin, dalam laporan ini, korban lebih banyak lagi. Hendro Subroto mencatat, 122 orang tewas dan 365 orang tertangkap dan ditawan. Operasi terus berjalan. Tiga hari kemudian, giliran kota Baucau dibebaskan.


Sumber :
    ◆ angkasa-online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.