Ⓢemenjak awal kepemimpinan Yoga, wilayah koloni Portugis yang bernama
Timor semakin menjadi pusat perhatian. Tiga bulan sesudah ia memimpin
Bakin (sekarang BIN), sekelompok kecil perwira angkatan darat yang
membangkang berhasil menumbangkan pemerintahan Portugal yang dikenal
dengan nama Revolusi Bunga. Para pemimpin kudeta memprioritaskan
perundingan terbentuknya suatu persemakmuran yang memungkinkan Portugal
secara de facto keluar dari Afrika.
Perubahan kebijakan secara tiba-tiba ini berdampak besar pada Timor
Portugis. Sebagai koloni jauh yang lama terlupakan, penduduk asli Timor
secara tradisional apatis dengan politik. Tetapi, sejak terjadinya
Revolusi Bunga, sentimen rakyat Timor mulai bergolak ketika pejabat
Portugis mencabut larangan tentang pembentukan partai politik
pribumi. Ada tiga pilihan yang terbentuk bagi rakyat Timor: bergabung
dengan persemakmuran yang digagas Portugis, meminta kemerdekaan penuh
atau bergabung dengan Indonesia.
Bagi dinas intelijen Indonesia, Bakin hanya sekali menaruh perhatian
terhadap koloni ini (kasus Vitaly Yevgenyevich Lui). Tetapi ketika
Lisbon mempertimbangkan kembali hubungannya dengan koloninya itu, Timor
Portugis tiba-tiba menjadi prioritas Bakin. Terutama ketika pada Juni
1974, pemimpin Apodeti (partai yang mendukung Timor Portugis menjadi
bagian dari Indonesia) menyebrang perbatasan menuju Timor Barat dan
meminta waktu untuk bertemu dengan para pemimpin puncak intelijen
Indonesia.
Kelompok ini dibawa ke Jakarta dan dipertemukan dengan Deputi III Ali Moertopo. Setelah menemui delegasi ia memerintahkan Kol. A. Sugiyanto untuk mengunjungi Dili, dalam sebuah misi pencarian fakta. Pada bulan Juli, Sugiyanto menerima visa kunjungan dari konsulat Portugis di Jakarta. Dalam perjalanan ini ia menyamar sebagai seorang pejabat pemasaran sebuah perusahaan fiktif, dengan penyamaran ini ia rutin setiap bulan mengunjungi Timor Portugis. Tujuan utamanya untuk mendapatkan informasi intelijen tentang kiprah partai politik di Timor dan mengenal para pemimpinnya.
Kelompok ini dibawa ke Jakarta dan dipertemukan dengan Deputi III Ali Moertopo. Setelah menemui delegasi ia memerintahkan Kol. A. Sugiyanto untuk mengunjungi Dili, dalam sebuah misi pencarian fakta. Pada bulan Juli, Sugiyanto menerima visa kunjungan dari konsulat Portugis di Jakarta. Dalam perjalanan ini ia menyamar sebagai seorang pejabat pemasaran sebuah perusahaan fiktif, dengan penyamaran ini ia rutin setiap bulan mengunjungi Timor Portugis. Tujuan utamanya untuk mendapatkan informasi intelijen tentang kiprah partai politik di Timor dan mengenal para pemimpinnya.
Seperti kata Sugiyanto “Saya akan dijemput di Bandara Dili oleh wakil
Apodeti. Sesudah berbicara dengan mereka, kemudian saya menuju hotel
dan bertemu dengan pendukung persemakmuran Portugis sambil minum kopi.
Malamnya saya akan makan malam dengan mereka yang mendukung kemerdekaan.
Begitulah jadwal saya setiap kali berkunjung”.
Sementara Sugiyanto sibuk mengunjungi Dili, pada kuartal ketiga 1974
Moertopo telah membentuk suatu operasi intelijen yang lebih luas untuk
Timor dan diberi nama Komodo. Dari informasi intelijen yang dikumpulkan
Komodo. Operasi bertujuan untuk membentuk jaringan kecil agen lintas
batas dan memberi pelatihan militer kepada ratusan pemuda yang dikirim
oleh pemimpin Apodeti. Lampu peringatan menyala di Jakarta pada akhir
tahun. Sebagian, ini disebabkan adanya kecenderungan kekiri-kirian yang
ditunjukkan orang Timor yang mendukung kemerdekaan. Pada September 1974,
pergolakan kedua yang dilancarkan oleh perwira muda mengambil alih
pemerintahan di Lisbon. Mereka menginginkan pemisahan dengan cepat dan
menyeluruh terhadap semua koloni Portugal. Januari 1975, Angola mendapat
kemerdekaan dari Portugal dan diperkirakan Timor Portugis mendapat
perlakuan yang sama dari Portugal.
Menanggapi kejadian-kejadian ini para penasehat keamanan Suharto
terpecah. Walaupun khawatir Timor Portugis akhirnya akan diserahkan
kepada partai politik yang anti Indonesia dan terutama komunis, tetapi
mereka segan melancarkan operasi terbuka. Moertopo terutama tetap
menyarankan dilakukannya operasi bawah tanah guna mempengaruhi penduduk
Timor dan pejabat Portugis. Pada bulan Januari itu pula, Komodo
memperluas operasinya dengan memulai siaran radio dalam berbagai dialek
Timor dari Kupang.
Tetapi banyak jenderalnya yang senang bertempur. Sebagai seorang
perwira intelijen senior pada Dephankam, Benny Moerdani menyetujui suatu
operasi tandingan bersandi "flamboyan" guna memberi militer suatu
dukungan intelijen tempur taktis pada saat Indonesia memutuskan campur
tangan militer.
Berdasarkan pertimbangan terakhir, operasi komodo semakin
ditingkatkan intesitasnya pada bulan Maret. Sebagian dari rencananya
dipusatkan untuk menyalurkan dukungan politik rahasia kepada Apodeti.
Pada saat yang bersamaan Sugiyanto berkunjung ke Dili dan bermaksud
untuk memecah belah partai yang mendukung kemerdekaan. Dalam upaya
menggabungkan jalan terpisah namun masih sejalan, Kol. Dading (pimpinan
operasi flamboyan) mengambil alih pengawasan program pelatihan Apodeti.
Pada akhir April, sekelompok anggota pasukan khusus tiba diperbatasan
dan mulai memberi latihan militer.
Ketika, pemandangan politik di Timor menjadi tidak menentu, dan
mencapai puncaknya pada 9 Agustus 1975 saat salah satu faksi mengambil
alih Dili, mencuri senjata dari gudang persenjataan polisi dan menyerang
kedua partai lainnya. Kejadian ini membuat Lisbon mengirimkan Mayor
Antonio Soares guna melakukan penilaian situasi dan menyampaikan
pengarahan dari Lisbon.
- Operasi Kuta
Major Antonio Soares |
Keesokan harinya, Mayor Soares meninggalkan Jakarta menuju Bali.
Benny yang sangat penasaran ingin mengetahui isi tas kerja sang mayor,
menugaskan Kol. Dading untuk mendapatkan akses. Ia memberi tiga pilihan:
mengambil secara paksa, melakukan penodongan pura-pura atau melakukan
aksi sulap. Malam itu juga Dading meninggalkan Jakarta membuntuti Soares
bersama empat orang anggotanya: seorang mayor dari tim Operasi
Flamboyan dan tiga orang dari Satsus Intel, yang terdiri dari ahli
fotographi, seorang anggota seksi sensor yang cakap membuka amplop
tertutup dan tersegel dan seorang agen lapangan.
Keesokan harinya Soares datang check in bersama dua kopernya yang
berat-berat. Anggota satsus Intel yang menyamar menjadi Kepala Cabang
maskapai yang ditumpangi Soares, sebut saja namanya Hamzah, dengan
sengaja mengatakan bahwa tiket sang Mayor harus disahkan dulu oleh
pejabat imigrasi sebelum diizinkan naik pesawat menuju Kupang. Soares
menjadi marah tetapi Hamzah tetap bergeming dan bersedia menemani Soares
menuju pejabat imigrasi.
Setelah menempuh perjalanan menuju kantor imigrasi, Soares
dipersilahkan masuk ke ruang kerja pejabat imigrasi tersebut. Sebelum
masuk, Hamzah menyarankan agar kedua koper yang dibawa sang mayor
ditinggalkan saja dan akan diawasi oleh dua orang petugas bersenjata,
yang disetujui oleh Soares.
Setelah Soares masuk kedalam ruangan pejabat imigrasi, Satsus Intel
segara beraksi, Hamzah mengeluarkan kemampuannya membuka koper.
Didalamnya terdapat sepasang bundel tebal, yang dibuka oleh ahli sensor
dan didalamnya terdapat peta, catatan dan perintah-perintah rahasia.
Semuanya difoto oleh anggota Satsus Intel.
Tanggal 17 Agustus, Dading dan anggota timnya kembali ke Jakarta.
Dokumen yang ada di dua bundelan itu mengkonfirmasikan bahwa Portugal
berniat untuk melepaskan dan pergi begitu saja. Salah satu surat penting
memerintahkan agar sang Gubernur Militer mengungsikan semua pasukan
Portugis ke Ilhe de Atauro (Pulau Kambing) enam belas kilometer di utara
Portugis.
Dengan telah diketahui sebelumnya keputusan Portugis untuk
meninggalkan koloninya, Jakarta serta merta kehilangan kesabarannya.
Pada 23 Agustus, petugas-petugas Konsulat Indonesia di Dili diungsikan
melalui laut. Pada akhir bulan itu, personel pasukan khusus yang
ditugaskan di Flamboyan mendapat izin memulai serangan militer lintas
batas. Sementara agen-agen lapangan komodo tetap menjalankan pendekatan
tak langsung mereka, pihak-pihak yang agresif di kepemimpinan puncak
militer terus-menerus mengirimkan telegram yang tampaknya memastikan
bahwa serangan militer hal yang tak terhindari lagi.
Ketika serangan militer terbuka akhirnya dilancarkan pada bulan
Desember, peran Bakin di Timor menurun menjadi sesuatu yang tak lebih
dari catatan kaki saja.
Sumber :
- Ken Conboy: INTEL: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia
- adiewicaksono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.