Senin, 16 April 2012

B-25 Mitchell Menumpas Separatis RMS

B-25 AURI
“What’s going on ?”, tanya Kapten Udara PGO Noordraven kepada Letnan Udara R J. Ismail. “Ke Makassar”, jawab Ismail singkat. Ya, begitu saja. Kapten Noordraven kemudian lapor kepada Kasau Suryadarma. Lantas, dua pesawat B-25 Mitchell AURI diberangkatkan ke Kendari untuk mendukung operasi penumpasan gerakan separatis RMS. Mestinya, yang mendirikan base di Kendari adalah Purwono, ayah artis Heni Purwonegoro. “Saya bersama Purwono, tapi dia tidak mau“, kenang Kolonel (Pur) Petrus Gertrudus Otto Noordraven (77). Sekitar awal Juli, Noordraven terbang dengan B-25 ke Kendari untuk memeriksa kesiapan Lanud Kendari menampung Medium Bomber North America B-25 J Mitchell dan Douglas C-47 Dakota.

Ketika kembali, Noordraven lapor kepada Kasau, Komodor Udara Rd. Surjadi Surjadarma. “Bagaimana tindakan kamu,” tanya Kasau. ” Saya akan kembali untuk bikin base,” jawab Noordraven. Kendari dan Namlea dipilih karena strategis. Tidak dekat, juga tidak terlalau jauh dari Ambon. Dan terutama, ada rumah sakit. Tapi, lanjutnya. Suryadarma hanya menyetujui tanpa memberikan penegasan. Misalnya, bagaimana bentuk dukungan logistik. Tgl. 21 Juli 1950, operasi dimulai ditandai satu pesawat B-25 bernomor registrasi M-460 dari PU. Cililitan (Halim Perdanakusuma, Jakarta). Pesawat yang diterbangkan Letnan Ismail dengan Ko-pilot Letnan Suhodo, bergerak menuju Lanud Mandai (Hasanuddin).

Empat bulan sebelumnya, usut punya usut, tepatnya 25 April 1950, Dr. Soumokil bersama koleganya Ir. Manusama memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS). Klaim mereka sebagai protes “rakyat Maluku” terhadap negara Indonesia (waktu itu RIS), yang di mata RMS ciptaan Jepang. “Maluku dapat berdiri tanpa Indonesia!” Demikian sorak Manusama.

Ratusan mil ke barat, esok harinya, Kolonel Alexander Evert Kawilarang, Panglima Tentara dan Teritorium (TT) VII/Indonesia Timur, mendarat di pelabuhan Makassar dalam operasi penumpasan gerakan Andi Azis. “Saya dengan proklamasi mereka,” tutur AE Kawilarang ketika menerima Angkatan di teras rumahnya. Cetusan merdeka ini, tak pelak membuat pusing pimpinan TNI. Karena saat bersamaan, TNI harus menghadapi pemberontakan Andi Azis yang meletus 5 April 1950 di Makassar.

 Ternyata ada “fighter”

KSAD Kolonel AH Nasution menemui Surjadarma untuk meminta bantuan AURI mendukung Operasi Penumpasan RMS yang kemudian dipimpin Kawilarang. “Saya rasa Nasution yang minta. Saya tidak pernah, saya hanya diberitahu,” papar Kawilarang. Singkat kata, AURI mulai terlibat dan, diakui Noordraven maupun Kawilarang, menjadi pengalaman pertama operasi gabungan bagi kedua angkatan.

Sorenya, 21 Juli 1950, Ismail mendarat di Lanud Mandai. Setelah menginap (RON, Rest Over Night) semalam, besoknya dilanjutkan ke Lanud Kendari, Sulawesi Tenggara. Namun di Kendari, ko-pilot Suhodo didera demam dan tidak mungkin meneruskan tugas. Apa boleh buat, Suhodo dikembalikan ke Jakarta sekaligus menjemput penggantinya. Selang dua hari kemudian, 25 Juli, Ismail kembali bertolak ke Kendari sambil memboyong ko-pilot baru, Letnan Patah – montir instrumen yang menjadi penerbang.

Boleh dikatakan mujur. Mengapa demikian ? AURI memiliki dua penerbang B-25 kala itu – kedua penerbang ini mulanya Perwira Mlitaire Luchrvaart (ML), AU Hindia Belanda. Dididik di Australia bersama 800 kadet lainnya (1942). Karena Australia terancam Jepang, mereka di kirim ke Royal Netherlands Military Flying School di Jackson, Mississipi, Amerika Serikat. Dari 800 orang, hanya 200 yang jadi penerbang, termasuk Noordraven. Selebihnya bombardir, navigator, atau gunner. Ismail lulus sebagai radiotelegrafis berpangkat Sersan Mayor, sedang Noordraven kembali ke Darwin (1944), ditempatkan di Skadron 18 Netherlands East Indies Air Force (NEIAF), di Batchelor, Darwin. NEIAF memiliki 150 buah pesawat B-25 dari 249 milik Belanda. Sementara Ismail baru menjadi penerbang setelah di AURI.

Kehadiran dua pesawat ini benar-benar mengagetkan balatentara RMS yang rata-rata bekas KNIL (Koninlijke Nederlands Indisch Leger). Di otak mereka, tidak mungkin TNI melibatkan pesawat tempur. Keyakinan itu terbaca lewat propaganda RMS via radio – milik RRI yang diduduki.

Dengan lantang pimpinan pasukan berpidato, mengatakan: “Kami tidak gentar, sekalipun 150.000 tentara Indonesia mendarat”. Tetapi, mereka lupa bahwa Indonesia punya dua fighter.

Persiapan dimulai di Kendari. 26 Juli ‘50, B-25 yang diterbangkan Ismail mendarat di Kendari. Selain AURI, pasukan-pasukan darat juga mulai berdatangan. Landasan rumput sepanjang 1.500-an meter dan fasilitas pangkalan dibenahi. “Masyarakat setempat yang membantu, “ jelas Noordraven.

Sebuah gubug di pinggir landasan, disulap menjadi base-ops sekaligus kantor. Alang-alang yang memenuhi pinggir landasan, dibabat kemudian di anyam, lalu dijadikan alas tidur. Kayunya dijadikan tempat tidur dan meja. Lengkap sudah, dalam waktu dua hari. Landasan bersih dari rumput, alang-alang pun tidak lagi menghambat pandangan. Dengan demikian, Lanud Kendari telah siap menampung pergerakan pesawat.

Tiga hari kemudian, 29 Juli ‘50, pengintaian dari udara (untuk pertama kalinya), langsung digelar. Satu pesawat B-25, bernomor registrasi M-460 diterbangkan Ismail dan Noordraven; berputar-putar di atas Kota Ambon untuk mengenal situasi dan posisi musuh. Ikut serta dalam operasi pengintaian itu yakni perwira-perwira dari TNI AD dan TNI AL, termasuk Sukotjo, seorang prajurit PGT, Pasukan Gerak Tjepat AURI.

Usai Kendari siap, giliran lapangan terbang Namlea di pulau Buru juga disiapkan. Namun sebelumnya, tanggal 29 Agustus. ’50 didatangkan lagi ke Kendari dari Cililitan satu C-47 registrasi T-457 yang diterbangkan Lettu Udara Sudarjono Ruwidodarmo, adik A. Adisutjipto, dan Lettu Udara Sutarjo Sigit untuk membantu pergerakan dan logistik pasukan.

Kondisi Namlea tidak jauh berbeda dengan Kendari. Berumput dan tak terurus. Karena memang disiapkan sebagai pangkalan aju pasukan TNI sebelum menyerbu Ambon, pekerjaan kali ini lebih enteng karena melibatkan personil AD yang telah didaratkan lebih dahulu. Sebelum benar-benar aman didarati, sebagai perwira operasi senior AURI di lapangan, Noordraven menerjunkan terlebih dahulu Sukotjo untuk memeriksa kelaikan landasan. Tidak lama kemudian, Sukotjo mengabari lewat radio bahwa landasan siap didarati. Noordraven pun mendaratkan C-47 dengan mulus. Selang satu dua hari kemudian, akhir September ‘50, Ismail bersama ko-pilot Letnan Udra Dick Arsono Hadinoto mendaratkan B-25. Lama kelamaan, jumlah personel semakin banyak. Untuk mengatasinya, didirikanlah beberapa tenda di bawah pohon kayu putih.

Noordraven ingat peristiwa konyol saat menerjunkan Sukotjo. “Setelah Sukotjo terjun, saya berputar mengatur ketinggian karena akan mendrop barang-barang Sukotjo. Baru satu kali putaran, persis di atas laut. Eh…., anak buah Sukotjo menjatuhkannya. Padahal, bel belum berdering ! Akibatnya, bungkusan yang berisi pakaian dan perlengkapan, jatuh di laut. Anak buah dia, saya bentak… gebleg kamu !”

Hari ke hari, anggota AURI di Kendari, jumlanya terus membengkak. Satu Kompi PPP (Pasukan Pertahanan Pangkalan) dan Polisi AU didatangkan untuk mengamankan lanud. Tercatat ada 160-an orang tumplek di lanud. Apa lacur anggota segitu banyak harus diberi makan. Padahal yang tersedia hanya beras dan ikan asin. Bagaimana ini?

Tanpa mau pusing bekepanjangan, akhirnya botol-botol peninggalan Jepang yang berserakan di sekitar lanud mereka jual kepada pedagang keliling. Kadang pesawat pun diomprengin. “Supaya dapat uang tunai,” kata Noordraven. Untuk mendapatkan daging, mereka pun tidak kerepotan karena banyak jongga (rusa) di sekitar pangkalan. Biasanya, perburuan dilakukan di tengah malam hingga dini hari. Paginya, jongga siap dicicipi setelah dimasak Sersan Wahono.

 Henk Selamat

Sebelum terlanjur terjebak dalam perang terbuka, Jakarta masih mencoba membujuk Soumokil. Upaya damai ditempuh dengan mengirimkan tokoh-tokoh nasional asal Maluku, seperti Dr. J. Leimena, Puruhena, Pellaupesy, dan Rehatta. Sayangnya, aksi damai ini dibalas tidak setimpal. Utusan Jakarta malah dipukuli. Rupanya, tak ada pilihan lain, maka terompet perang pun harus ditiup !

Noordraven dikagetkan dengan meletusnya pemberontakan di Makassar. Pertempuran tanggal 5-7 Agustus ’50 itu berawal dari segerombolan bekas tentara KNIL yang menyerang Brigade Mataram, di Makassar. Korban berjatuhan di pihak TNI. Komandan Brigade Garuda Mataram Letkol Soeharto, dibuat kelabakan. Dengan segera, dua B-25 yang berpangkalan di Kendari diterbangkan ke Makassar untuk membantu TNI AD. Operasi yang digelar berupa Bantuan Tembakan Udara (air support).

Di Makassar, B-25 sempat kesulitan membidik sasaran, karena markas KNIL ternyata berbaur dengan asramanya. “Banyak anak-anak dan ibu-ibu. Jadi, saya kira Noordraven agak kesulitan,” tutur Kawilarang. “Tetapi kita tembak terus,” jawab Noordraven. Pasukan Andi Azis juga tidak tinggal diam, balas menembak dengan senapan mesin Kaliber 12,7 mm.

Walau tembak menembak berlangsung tidak seimbang, B-25 sempat di terjang peluru. “Pesawat saya berlubang di tujuh tempat,” kata Noordraven menuturkan kejadian 6 Agustus itu. Untunglah Komandan AURI Distrik Indonesia Timur, Letkol Udara Henk Sutoyo tidak jadi ikut. Maka begitu mendarat di Makassar, Noordraven segera menghampiri Henk seraya bercanda, “Henk, kalau you ikut, mesti mati”, kelakar Noordraven. “Kenapa”, tanya Henk. “Lihat lubang-lubang di pesawat”, jawab Noordraven. Ternyata, Henk mestinya terlibat dalam misi itu. “Dia sudah duduk di bagian depan B-25 sebelum dia menerima telepon dan harus membatalkan rencananya. Ya sudah …, Henk turun, lalu … saya take off,” jelas Noordraven.

Menjelang detik-detik akhir penandatanganan gencatan senjata 8 Agustus ‘50, Noordraven dan Ismail masih menembaki asrama Kis. “Bagaimana mau gencatan senjata kalau pesawat terus menembak," protes Mayjen Scheffelaar, wakil Belanda kepada Kawilarang. Gempuran-gempuran B-25 yang menurut Kwailarang terkadang diarahkan ke laut, berhasil menciutkan nyali Belanda.

Setelah empat hari di Makassar, dua penerbangan kembali ke Kendari dengan pesawat B-25 Mitchell yang pernah menggetarkan Tokyo ketika Letkol Jimmy Doolittle memimpin 16 B-25 yang lepas landas dari kapal induk USS Hornet, 18 April 1942.

 Menyerang Radio RMS

Noordraven dan Nurtanio (ke2 dan ke3 dari kiri) di Halim.
“Mengamuknya” KNIL di Makassar awal Agustus ‘50, jika dicari benang merahnya, (mungkin) berkaitan dengan penyerangan stasiun radio (zenderpark) RMS di Ambon oleh dua buah B-25 pada 4 Agustus ‘50.

Sebagaimana biasa di setiap konflik sampai ke tingkat paling radikal, perang, propaganda menjadi alat paling ampuh untuk menekan lawan. Menyadari itulah, RMS merebut stasiun pemancar RRI Ambon. Dengan leluasa RMS kemudian melempar isu-isu sensitif guna menarik simpati rakyat. Aksi “perang mulut” ini ditanggapi cepat oleh TNI. Hingga suatu siang di awal bulan Agustus 1950, ruang operasi Lanud Kendari menerima perintah dari Mabes AURI untuk “menyerang” radio RMS.

Awak disiapkan. Pesawat dalam kondisi baik, bom tersedia cukup. Hari “H” ditetapkan 4 Agustus. Celakanya, B-25 M-460 hanya memiliki senapan mesin 12,7 mm saja. Dan ternyata lagi, fuse (sumbu) pada bom sudah tidak layak digunakan, disamping juru lempar bom (bombandir), juga tidak ada. Kalaupun dipaksakan, resikonya sangat tinggi. Karena untuk tepat mengenai sasaran, pesawat harus terbang rendah (top tree level) saat menjatuhkan bom. Disinilah bahayanya, ledakan bomnya bisa menghantam badan pesawat. Sebenarnya masih bisa diakali dengan menggunakan delay fuse. Alat ini akan menunda ledakan minimal 12 detik, hingga memberi kesempatan pesawat keluar dari daerah bahaya. Itu dia masalahnya. ”Kita nggak punya”, jelas Noordraven.

Terus bagaimana, dong. “Ya, sudah, kita lemparkan drum yang sudah diisi bensin saja,” saran Noordraven kepada Ismail. Teknik ini diketahui Noordraven karena pernah digunakan Rusia kala menyerang Jepang. “Prinsipnya seperti bom napalm.” Teorinya, begitu drum menyentuh sasaran, Ismail yang terbang lebih rendah, akan menembak dengan peluru mengandung “fosfor” (brandstichtend patronen).

Dalam buku “Sejarah Skadron I/Pembom TNU AU 1950-1977”, Ismail menulis,”….. menghargai kepercayaan yang diberikan kepadanya atas kemahirannya menembak”. Latihan dilaksanakan sekali untuk mempertebal keyakinan para awak.

Subuh, 4 Agustus. Waktu menunjukkan pukul 06.00 Wita. Dua B-25 registrasi M-439 dan M-460 jenis straffer disiapkan. Awak melakukan persiapan terakhir untuk memastikan pesawat ready to take off. Sebuah drum berisi bensin penuh, dimasukkan kedalan bomb bay. Delapan pucuk senapan mesin kaliber 12,7 mm di hidung pesawat dan empat di sisi kiri-kanan, siap menyalak !

Sekitar jam 06.46, enam bilah baling-baling mulai memutar dua mesin Wright R-2600-92 Cyclone. Pesawat yang prototipenya diterbangkan pilot-uji North American Paul Balfour di California, Januari 1939, mulai dimasuki awak satu per satu. M-439 diterbangkan Kapten PGO Noordraven dengan ko-pilot Letnan Sutopo, Lesyu (teknisi), dan Sersan Udara Hasibuan (radio telegrafis). Sementara M-460 diterbangkan Letnan RJ Ismail dengan ko-pilot Letnan Patah. Awaknya, Sersan Udara Z Pelmelay (teknisi) dan Sersan Mayor Udara Agus (radio telegrafis).

Mesin M-439 berputar semakin kencang. Kabut tipis masih menyelimuti landasan. Tepat jam 07.00 Wita, mesin yang masing-masing berkekuatan 1.700 tenaga kuda mendorong pesawat meninggalkan landasan Kendari dengan tenaga penuh. Selang sekian detik, disusul M-460. Mengambil heading ke Selatan; pesawat terus menanjak hingga ketinggian 5000 kaki. Sambil terbang side by side, Noordraven terus mengatur penyerangan sebelum mencapai “persis di atas target” (TOT - Time Over Target). Tidak ada kejadian apa-apa selama perjalanan.

Satu jam penerbangan, pulau Ambon terlihat. Pesawat yang diproduksi mencapai 11.000 itu, perlahan-lahan menurunkan ketinggian hingga 1.000 kaki. Dari arah Selatan kota Ambon yang berbukit-bukit, kedua pesawat mulai mengatur “pendadakan”. Pada detik-detik menegangkan itu, saat pesawat mendekati sasaran, dari sisi Barat samar-samar terlihat asap membumbung ke angkasa. Dalam bahasa perang, berarti tanda bahaya. Bagi Noordraven dan Ismail, berarti kecolongan. “Kita ketahuan,” kata Noordraven. Namun sebagai leader, Noordraven berfikir cepat dan segera memutuskan penyerangan harus dilakukan dari arah Barat.

Pesawat berputar, dua B-25 terbang dari Barat berdampingan. Target terpampang jelas di depan mata, sebuah pemancar radio. Tidak jauh di belakangnya, terhampar Teluk Ambon yang bermuara ke laut Banda. Tanpa sadar apa yang terjadi, sebuah kapal dagang membuah sauh di depan pelabuhan Halong. Pesawat sangat rendah, 500 m, on the deck, sebuah ketinggian minimum yang masih disebut aman. Begitu rendahnya, tulis Ismail, seolah-olah sayap pesawat tersangkut pada tiang antena. Untuk itu … , lanjut Ismail, maka … ketinggian sedikit ditambah.

Tiba-tiba Noordraven berbelok tajam ke kiri disusul belokan ke kanan sambil menambah ketinggian. Manuver ini lazim disebut split attack. Persis di atas pemancar radio, Bomb bay door M-439 terbuka. Ismail melihat jelas, mulai mengambil ancang-ancang. Empat senapan mesin kaliber 12,7 mm di kiri pesawat, diaktifkannya. Ismail dan awak mencoba untuk tenang.

Saat yang ditunggu-tunggu tiba. Drum berisi bensin penuh, dilepas dan meluncur ke bawah dengan kencangnya. Ibaratkan terjun payung, 70 meter terlewatkan hanya dalam waktu satu detik saat meluncur. Ismail hanya punya sepersekian detik saat drum menyentuh gedung pemancar. Kemampuannya menembak tepat betul-betul di uji di sini. Semua berlangsung begitu dramatis. Sekelebatan. Sementara Noordraven telah meninggalkan target dan terbang ke arah pelabuhan. Sekian detik lagi, drum akan menyentuh gedung dan hampir “overshoot”.

Bergalau pikiran berbaur ketegangan, Ismail memberondong. Ternyata luput! Drum yang dibidik tidak kena. Sial. Dampak membakar seperti bom Napalm, tidak terjadi. “Bagaimana ini,” gerutu Ismail. Tidak ada kesempatan kedua. Tapi untunglah, sebelumnya detik-detik menentukan itu, Ismail telah melakukan tembakan terobosan ke arah gedung-gedung menjelang pemancar. Perhitungannya, andai gagal, maka target alternatif tidak luput. “Daripada gagal sama sekali,” aku Ismail.

Beberapa kali di depannya, Ismail melihat Noordraven sedang “menyapu sambil lewat” sebuah kapal dagang yang bersandar di pelabuhan Halong. 12 senapan mesin 12,7 mm–nya menghantam kontrol kabin kapal. Ismail yang diliputi rasa dongkol karena gagal menghancurkan target, tidak mau ketinggalan. Dalam kekesalannya, diberondongnya pula kapal dagang itu. Sayang “pelampiansannya” tidak berlangsung lama, karena mendadak mitraliurnya macet; dan kebetulan, komandannya memanggil return to base. Padahal Ismail sempat berniat kembali ke pemancar dan menghancurkan pemancar radio RMS itu.

“Saya tidak menghilangkan kedongkolan, mengingat hasil pelaksanaan tugas yang kurang meyakinkan,” gerutu Ismail dalam perjalanan pulang ke Lanud Kendari.


[sumber budhiachmadi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.