Senin, 30 April 2012

Bisnis Pesawat Dosen ITB

Gara-gara krisis keuangan yang membelit perusahaan yang berdiri sejak 1976 itu, maka nasibnya bak di ujung tanduk. Begitu pula, nasib mantan karyawannya setali tiga uang, alias sama-sama tidak berketentuan.

Untungnya, semangat putra-putri Indonesia untuk terus berkarya di bidang teknologi dirgantara tidak ikut-ikutan padam. Dalam skala yang lebih kecil, PT Robo Aero Indonesia (RAI) berhasil melanjutkan prestasi DI (Dirgantara Indonesia) dengan membuat unmanned aerial vehicle (UAV)  pesawat terbang tanpa awak. “Awalnya untuk penelitian," kata Judojono Kartidjo, pendiri dan salah seorang pemilik RAI.

Staf pengajar Fakultas Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung ini mengaku tertarik dengan dunia dirgantara, karena ia memang pehobi dunia aeromodeling. Dari sebuah penelitian pada pertengahan tahun 2004, ia bersama beberapa rekannya melihat peluang untuk meneliti bidang yang belum tersentuh banyak orang. “Kami mencari apa yang sebenarnya bisa kami buat, tapi belum kami miliki," ujarnya idealis. Salah satu jawabannya adalah UAV.

Jenis pesawat UAV, menurutnya, banyak digunakan oleh kalangan militer dan sipil. Bahkan untuk militer harganya relatif mahal, karena digunakan sebagai pesawat pengintai; sedangkan di kalangan sipil, jenis pesawat ini banyak digunakan di bidang kehutanan. “Nah, kami melihat Indonesia punya hutan yang sangat luas dan tidak terawasi. Bagi kami, ini tantangan untuk menciptakan alat pemantau hutan," ungkap Judo.

Judo dan kawan-kawan membutuhkan waktu cukup panjang guna menyempurnakan penelitiannya. Akhirnya diputuskan untuk mengembangkan UAV jenis autonomous. Dijelaskan Judo, UAV terdiri dari beberapa jenis, ada yang dikendalikan oleh manusia (remote pilot), ada pula yang sama sekali tidak dikendalikan, tapi dengan menggunakan program. “Yang kami buat adalah yang dikendalikan program," ujar kelahiran Kertosono (Jawa Timur) 15 Juli 1945 itu. Maka, konsentrasi awal penelitian adalah mengembangkan sistem kontrolnya. “Kami rancang sistem kontrol agar bisa masuk ke pesawat apa saja. Barulah kami tentukan desain pesawatnya," Judo menerangkan.

Setelah memakan waktu hampir dua tahun, Agustus 2006, RAI memperkenalkan beberapa model pesawat buatannya, seperti Walet dan Camar. Walet merupakan jenis pesawat yang lebih kecil dan bisa dibongkar-pasang. Pesawat ini didesain secara elektrik dengan menggunakan baterai lithium polymer. Sementara Camar bentuknya lebih besar dan memiliki jangkauan yang lebih jauh. Dengan bahan bakar bensin campur, ia mampu terbang hingga dua jam. “Kadang pesawat-pesawat ini harus masuk ke daerah pedalaman, jadi bahan bakarnya harus yang mudah dijumpai," kata Judo.

Rupanya banyak pihak yang meminati pesawat buatan RAI. “Mereka menanyakan harga, kami malah bingung, karena tujuan awalnya adalah riset," Judo mengakui. Namun, karena pertanyaan-pertanyaan itulah, sehingga terpikirkan oleh Judo untuk komersialisasi. “Kami kumpulkan teman-teman untuk membantu dari segi komersialisasi. Maka berdirilah PT Robo Aero Indonesia," tandas Judo seraya menunjuk RAI sebagai holding company.

Ada tiga perusahaan dikelola pihaknya, yaitu: PT Robo Aero Teknologi (RAT); PT Robo Aero Industri (RAIndustri); dan PT Robo Aero Surveyor (RAS). Ketiga perusahaan itu mempunyai tugas dan tanggung jawab yang berbeda. “RAT bertanggung jawab terhadap riset dan pengembangan (R&D), serta kontrol; RAIndustri adalah pabriknya; dan RAS merupakan perusahaan jasa, karena kami juga menyewakan pesawat," papar Judo.

Dijelaskan Judo, dalam memasarkan pesawat buatannya, RAI berusaha menyediakan pesawat sesuai dengan kebutuhan pelanggan. “Sebelum memproduksi pesawat, kami tanya dulu apa kebutuhannya. Pertemuan berikutnya kami bicara detail teknisnya," tuturnya. Sekarang, perusahaan yang menggunakan pesawat buatan RAI di antaranya Grup Sinar Mas, PLN, dan masih banyak lagi.

RAI pun tak lupa melakukan branding. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mengikuti berbagai pameran teknologi. Judo mengatakan, dibandingkan dengan produk buatan luar negeri, pesawat buatan RAI tidak kalah kualitasnya. “Kalau untuk pesawat kecil produk kami tidak kalah. Malah mereka mau membeli instrumentation measurement unit (IMU)-nya saja, tapi kami tidak jual. Hak paten IMU sedang kami urus," ungkap Judo.

Permintaan tak hanya datang dari dalam negeri, beberapa perusahaan asal Malaysia dan Timur Tengah pun menginginkan produk RAI. Hanya saja, hingga saat ini Judo belum dapat memenuhinya. “Kami ingin UAV ini settled dulu di Indonesia," ujar Judo. Dia yakin, pasar Indonesia masih sangat besar. “Bulan depan (April Red.) saja, yang dipesan sudah 12 Walet dan lima Camar. Tidak banyak memang, tapi nilainya cukup besar," ujarnya.

Saat ini, RAI hanya fokus memproduksi UAV, dan belum tersirat untuk membuat pesawat berbadan besar. Judo optimistis, prospek bisnis UAV sangat bagus. “Kalau kami lihat di Internet, hampir di semua negara sekarang berlomba-lomba mengembangkan UAV. Operasional lebih murah, risiko jiwa tidak ada," kata Judo mengakhiri wawancara.(swa)

1 komentar:

  1. Bang yodo, kalau bisa bang utk pasaran UAV ada klasifikasinya(mutu tetap dijaga) dan abang punya andalan utk NKRI bila membutuhkan. Perusahaan abang kan harus hidup, konsumen yg ada apasalahnya dipelihara dan penelitian terus digulirkan sampai bisa menyamai produk israel/melebihi. Bravo...anak2 bangsa kreatif utk kejayaan NKRI RAYA

    BalasHapus

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.