Rabu, 11 April 2012

✪ Kebutuhan Teknologi Pesawat Patroli Maritim Indonesia

Peningkatan proliferasi kapal selam diesel elektrik di kawasan Asia Tenggara dikuti pula upaya beberapa negara di kawasan untuk membeli peasawat patroli maritim (Maritime Patrol Aircraft / MPA) bagi Angkatan Lautnya.

Selama 30 tahun terakhir, negara-negara dikawasan ini nyaris belum memberikan perhatian yang besar terhadap eksistensi pesawat patroli maritim dalam jajaran Angkatan Laut atau Angkatan Udara mereka. Padahal dalam peperangan anti kapal selam, terdapat benang merah antara kehadiran kapal selam dengan pesawat patroli maritim.

NC-212 200 Patmar TNI AL (Foto Aera)

TNI AL dalam Rencana strategis (Renstra) 2010-2014 merencanakan akusisis tiga pesawat patroli maritim CN235 ASW dari PT Dirgantara Inonesia. nantinya CN-235 ASW bila bergabung dengan Pusat Pernerbangan Angkatan Laut akan menjadi pesawat patroli maritim pertama di Indonesia dalam arti sebenarnya. Sebab sampai kini, kita hanya menggunakan CN-235 MPA di bawah TNI AU dan NC-212 MPA di bawah TNI AL

Fungsi asasi pesawat patroli maritim adalah untuk peperangan anti kapal selam, sehingga dilengkapi dengan beberapa peralatan deteksi bawah air dan juga torpedo anti kapal selam. Perhatikan peralatan deteksi dan kemampuan yang diusung sejumlah pesawat patroli maritim masa kini yang dioperasikan Angkatan Laut di dunia, seperti P-3 Orion, Atlantique, Nimrod dan P-8 Poseidon, dirancang secara khusus untuk menghadapi ancaman kapal selam. Memang realita terkini menunjukan bahwa jenis pesawat itu telah berevolusi menjadi Multi Mission Aircraft (MMA), akan tetapi kemampuan peperangan anti kapal selam tetap wajib disandang dan merupakan kemampuan utamanya.

Sejarah penggunaan pesawat patroli maritim dalam peperangan anti kapal selam beakar dari Perang Dunia Kedua, khususnya ketika AL Jerman mengelar peperangan kapal selam tanpa batas di Samudera Atlantik terhadap Sekutu, menhancurkan kapal perang dan logistik. Menhadapi aksi kapal selam Jerman tersebut, AL Inggris melakukan beberapa terobosan dalam aspek operasi untuk mendeteksi dan menghancurkan kapal selam Jerman.

Satu diantaranya mempergunakan pesawat udara untuk peperangan anti kapal selam. Pesawat itu diterbangkan pada saat kritis,saat pergantian siang menjadi malam atau waktu menjelang subuh, dimana kapal selam melaksanakan pengisian ulang baterainya, sehingga harus muncul ke permukaan laut. Dengan kata lain pola operasi pesawat maritim menyesuaikan dengan operasi kapal selam lawan.

✈ Pesawat MPA

CN-235 MPA TNI AU
Di Indonesia selama ini menjadi bias dalam pemahanan fungsi asasi pesawat patroli maritim (MPA). Semua pesawat yang dikategorikan patroli maritim dan dioprasikan oleh TNI saat ini sebenarnya kurang tepat sebagai pesawat patroli maritim, karena pesawat yang selama ini peralatannya hanya mendeteksi sasaran yang berada di atas permukaan laut.

Kebijakan pemerintah Indonesai yang membelikan pesawat patroli maritim utuk TNI AL patut di hargai, sebab hal itu meningkatkan kemampuannya dalam peperangan anti kapal selam. Peperangna anti kapal selam ini merupakan bisnis yang rumit dan mahal, karena secara ideal harus melibatkan tiga unsur sekaligus, yakni unsur satuan kapal selam, satuan kapal permukaan dan satuan penerbangan Angkatan Laut.

Makin banyaknya kapal selam beroperasi di Kawasan Asia Tenggara, maka bisa dipastikan wilayah operasinya akan berada di perairan Indonesia. Dahulu kapal selam AS. Rusia dan Australia yang diperkirakan beroperasi di perairan Inonesia, kini dan kedepan perairan tersebut akan pula dimasuki oleh kapal selam Cina, Singapura dan Malaysia. Bertambah 'keramaian' itu harus diimbangi pula oleh Indonesia, agar tidak menimbulkan kerugian terhadap kepentingan nasional yang terkait dengan domain maritim.

Bertolak dari perkembangan lingkungan strategis, memang belum ada ancaman nyata terhadap Indonesia dari aspek pertahanan, akan tetapi terdapat sejumlah ancaman potensial. Walaupun baru sebatas ancaman potensial, bukan hal yang bijaksana bila Indonesia terlalu menghabiskan energinya untk mengamankan perairannya untuk sekedar menghadapi pencurian ikan di laut dan lain sebagainya. Kegiatan ilegal itu memang menimulkan kerugian material terhadap negara, tetapi harus dipahami pula kerugian non material seperti pelecehan martabat bangsa tidak dapat pula diremehkan. Kerugian non material ini tidak dapat diubah bentuknya dalam nilai nominal Rupiah, namun 'luka' yang ditinggalkan akan berjangka panjang dan berdampak strategis.


Salah satu potensi kerugian non material terhadap Indonesia adalah dari operasional kapal selam negara-negara lain di perairan Indonesia. Dengan ruang operasi di bawah air, kapal selam dapat memberikan pendadakan strategis terhadap pihak lain, disamping itu bisa melaksanakan operasi pengamatan dan pengintaian. Sebagai ilustrasi, bukan mustahil bila Indonesia terlibat konflik terbatas dengan negara lain di sekitarnya, maka pihak lawan akan memberikan pukulan pada obyek vital di Indonesia melalui penggunaan kapal selam.

Obyek vital Indonesia bukan saja Ibukota Jakarta, tetapi mencakup fasilitas vital seperti pangkalan Angkatan Laut, pembangkit listrik dan lainnya, bahkan pemimpin negeri ini. Untuk menghadapi skenario-skenario buruk dalam lingkungan strategis yang penuh ketidakpastian, Indonesia sudah sepantasnya melaksanakan langkah antisipasi. Satu diantaranya dengan memperkuat kemampuan peperangan anti kapal selam, sebab pengalaman di masa lalu membuktikan adanya benang merah antara kemampuan peperangan anti kapal selam dengan sikap negara lain terhadap Indonesia. Mengacu pada taktik peperangan anti kapal selam, kehadiran kapal patroli maritim akan meningkatkan kemampuan deteksi kapal selam, bahkan bisa pula menghancurkan kapal selam sasaran apabila pesawat itu dipersenjatai.

Selama ini peran pesawat patroli maritim dalam peperangan anti kapal selam di Indonesia belum dieksplotasi karena ketiadaan alutsista. Mengingat kian bertambahnya negara operator kapal selam di kawasan Asia Tenggara, kehadiran pesawat patroli maritim bagi TNI AL semakin mendesak. Cara terbaik menghadapi kapal selam asing yang beroperasi di perairan Indonesia adalah mengeksplotasi penggunaan kapal selam, kapal permukaan dan pesawat patroli maritim. Disamping itu penting untuk dipahami bahwa pesawat patroli maritim merupakan bagian Sistem Senjata Armada Terpadu (SSAT) TNI AL.

B-737 200 surveiller SLAMMR TNI AU (Foto airliners.net)

✈ Syarat Pesawat Patroli Maritim

Pesawat patroli maritim yang ada di pasaran internasional sebagian besar berbasis pada airframe pesawat sipil. Seperti P-3 Orion yang dikembangkan dari pesawat L-88 Electra, P-8 Poseidon yang merupakan pengembangan dari Boeing B-737 800/900 dan CN-235 ASW yang menggunakan airframe CN-235. Dalam perkembangan terkini, sangat sulit mencari pesawat patroli maritim yang tidak menggunakan airframe pesawat sipil, sebab biaya pengembangan yang sangat mahal sementara pasarannya tidak terlalu luas.

Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai kebutuhan yang besar terhadap pesawat patroli maritim. Namun karena keterbatasan anggaran pertahanan, jumlah yang akan dipenuhi hingga 14 tahun ke depan masih jauh dari kebutuhan standar. Meskipun demikian, hal itu tidak bisa menjadi alasan untuk tidak mengakuisisi pesawat patroli maritim.

Persyaratan itu tentu saja harus berdasarkan kebutuhan operasional di lapangan, sehinga bisa saja setiap negara mempunyai persyaratan yang berbeda mengenai pesawat patroli maritim mereka. Terdapat beberapa persyaratan dalam pengadaan pesawat patroli maritim, khususnya bagi TNI AL.

mission equipment MPA

Pertama, endurance. Mengingat luasnya perairan Indonesia, diperlukan pesawat patroli maritim yang dapat mengudara selama sekitar tujuh atau delapan jam. Sebab wilayah patroli yang merupakan lautan yang luas. Dengan endurance yang lama, kemampuan pesawat untuk loiter diatas sasaran akan lebih lama, terlebih ketika melakukan peperangan anti kapal selam.

Kedua, tenaga pendorong. Akan lebih ekonomis jika menggunakan pesawat turboprop dibandingkan turbofan. Selain biaya operasional yang lebih murah akibat konsumsi bahan bakar yang lebih sedikit, pesawat turboprop dapat lebih handal bila terbang rendah di permukaan laut daripada pesawat menggunakan mesin turbofan.

Ketiga, kemampuan beroperasi di landasan terbatas. Sebagian besar landasan pacu di Indonesia mempunyai panjang rata-rata 900 meter. Pesawat patroli maritim yang beroperasi tidak selamanya berangkat dan mendarat di bandara udara atau pangkalan udara Angkatan Laut yang memiliki landasan pacu di atas 2000 meter. Oleh karenanya pesawat yang digunakan mampu tinggal landas dan mendarat di landasan yang terbatas, sehingga mampu beroperasi leluasa di perairan seperti Laut Natuna dan Laut Arafuru.

Keempat, mission equipment. Keandalan pesawat patroli maritim ditentukan peralatan yang disandangnya. Berdasarkan pada perkembangan lingkungan strategis, ancaman dan tantangan yang dihadapi oleh Indonesia pada domain maritim tidak hanya aspek asimetris seperti terorisme maritim, perompakan, pembajakan dan pencurian sumber daya laut. Tetapi muncul aspek simetris seperti konflik batas wilayah maritim dan penggunaan perairan Indonesia bagi perlintasan kapal perang asing.

NC-212 200 Patmar TNI AL (Foto Indoflyer)

Merespon kondisi demikian, pesawat patroli maritim (MPA) yang dioperasikan oleh TNI AL sebaiknya mempunyai mission equipment yang mampu mendeteksi sasaran diatas permukaan air dan bawah air. Dengan kata lain, pesawat harus mampu melaksanakan peperangan anti kapal permukaan maupun anti kapal selam, selain itu tentu mendeteksi ancaman asimetris lainnya. Oleh karenanya, mission equipment yang melengkapi pesawat patroli maritim TNI AL berupa radar, electrical support measures (ESM), forward looking infrared (FLIR), sonobuoy dan magnetic anomaly detection (MAD). Dua perangkat terakhir yang disebutkan berguna untuk kepentingan peperangan anti kapal selam.

Perlengkapan seperti ESM penting untuk dipasang pada pesawat patroli maritim, sebab dengan adanya peralatan itu memungkinkan terciptanya komunikasi data dengan semua kapal perang permukaan milik TNI AL. Biaya pengadaan ESM jauh lebih murah daripada perangkat link Y. yang dalam konteks Indonesia hanya bisa terkoneksi dengan kapal perang kelas tertentu saja. Pertukaran data antara pesawat patroli maritim dengan kapal perang merupakan hal mutlak dalam rangka kesuksesan operasi di laut, sekaligus merupakan implementasi dari SSAT.

✈ Kerugian non material

N-24 Nomad Searchmaster TNI AL

Dinamika pesawat patroli maritim didunia kini telah beralih dari MPA kepada MMA, khususnya di negara maju. Namun bagi mayoritas negara-negara berkembang, kebutuhan mendasar mereka masih membutuhkan pesawat MPA daripada MMA. Begitu pula dengan Indonesia yang masih membutuhkan pesawat MPA, dengan catatan bahwa harus mempunyai persepsi yang sama mengenai apa yang dimaksud dengan pesawat jenis tersebut.

Ketika berbicara tentang kedaulatan dan martabat bangsa yang terkait dengan domain maritim, sangat keliru bila segala sesuatunya dihitung secara materi. Pencurian sumber daya laut memang menimbulkan kerugian material yang sangat besar terhadap bangsa Indonesia, tetapi apakah kegiatan pelintasan kapal perang asing yang melanggar peraturan Indonesia, termasuk misi pengintaian kapal selam asing, tidak merugikan bagi kedaulatan dan martabat bangsa karena tidak bisa dinilai secara materi?. Penting untuk dipahami bahwa tidak semua kerugian negara di laut bisa dinilai secara materi dan di situlah relevansi kekuatan laut Indonesia mempunyai pesawat patroli maritim yang bisa mendeteksi pergerakan kapal selam asing dibawah air. (Allhands)☆


Sumber :
☑ Majalah Defender, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.