Rabu, 04 April 2012

Kejarlah Daku Kau Ku "Sekolahkan" (5)

Bukit Tengkorak

Ilustrasi TNI
SAAT bergabung dengan pasukan Rajawali awal Oktober silam, seorang sersan satu dari Grup I Kopassus (Serang) mendekati saya. Dia tahu saya belum punya kawan hari itu. Di sela-sela obrolan, saya tanya bagaimana rasanya tujuh bulan tugas di Aceh. Saya sebenarnya ingin menggali sindrom “mata kuning” di kalangan serdadu yang telah enam bulan lebih di medan tugas. Dengar-dengar, kalau kena penyakit itu, sapi pun akan terlihat cantik. Tapi jawaban yang saya dapatkan lain. “Biasa saja,” katanya, “Di sini itu perangnya (seperti) perang-perangan. Tapi kalau mati, mati beneran.”

Soal perang-perangan itu ada benarnya. Saya pernah mendatangi sebuah rumah yang menjadi saksi bisu perang TNI dan GAM. Rumah itu rumah seorang transmigran Jawa yang tak lagi berpenghuni di Sarana Pemukiman I, Alue Peunyareng, Meurebo.

Di dindingnya ada banyak tulisan. Isinya tantangan dan sumpah serapah TNI untuk GAM. Di tempat yang sama, GAM juga menorehkan tantangan dan cemoohannya.

Saya tak tahu siapa yang memulai. Tapi saya kira, kemarahan serdadu Indonesia dipicu tulisan arang di dapur rumah itu:

“I Paie Alias Anjing Jalanan. I Paie Sulid orang. (Orang)nya mati dibilang tidak mati …. mati 20 orang dibilang lecet …. TNI Cumak Ngomong yang bisa. Rakyat dia tahu yang salah dengan benar! TNI takut pada GAM. Kalau TNI Tidak takut pada GAM tidak perlu pi gi ramai2. GAM tak takut …. TNI Cari Uang ke Aceh. Honda orang diambi. Punya sendiri tak ada. TNI Budak orang.”

Balasannya …. oh mak, sampai memenuhi tembok di rumah itu, luar dan dalam.

Ini sebagiannya: “GAM. Gerakan Anak Murtad. Juragan Babi Tgk. Syafei. Linud 700/Kombet …. Yonif 521 siap menumpas GAM (Gerakan Anak Murtad) ….. Kalau memang GAM jangan nembak dari jauh, tho!!! …. GAM ….!!! Cantoi, jelas kamu hanya pengisap keringat rakyat dan kamu tak ada bedanya dengan pacet ….. Bacalah ini wahai GAM. Semoga kamu sadar …. GAM pengecut!!! Habis nembak lari. Pemerkosa, perampok, anjing, babi, monyet!!!”

Tapi ada juga yang nadanya kalem. Ada yang menuliskan beberapa penggalan ayat al-Quran yang intinya menyerukan perlunya semua muslim saling menyayangi. Saya kira yang menulis itu berharap ada GAM yang tergerak hatinya dan bertobat setelah membaca tulisannya.

Perang-perangan juga berlangsung di udara. Di radio frekuensi umum, GAM dan serdadu Indonesia seolah berlomba memasukkan beberapa hewan penghuni kebun binatang ke situ.

“Jangan begitulah, Bang. Kita perang, tapi tidak usah di radio,” kata suara di seberang sana.

“Memang kau GAM, anjing, babi!”

Kadang GAM juga yang memulai: “Danki (komandan kompi) apa kamu ini. Tadi saya minum kopi di kedai depan posmu. Sama anak buahmu! Kamu tidak tahu, yah? Makanya kalau ada orang lihat-lihat.”

Balasannya: “Kamu ke sini aja, Anjing! Saya tunggu sekarang kalau berani!”

Tapi sepertinya belum pernah ada yang mengalahkan rekor perang-perangan pasukan Rajawali dari Yonif Linud 432/Kostrad (Makassar) di Bukit Tengkorak medio Mei silam.

Awalnya, saat berkenalan, seorang serdadu Kostrad dari Batalyon 433 seperti menyesalkan kenapa saya tak datang meliput pasukan lebih awal.

“Dulu waktu di Bukit Tengkorak …. oh mak ….,” prajurit itu tak menyelesaikan kalimatnya. Dia hanya memeragakan memiting leher dengan tangan kanan seolah sedang menggoroknya leher seseorang.

“Sayang Abang terlambat. Sekarang ini sudah sepi,” sambungnya.

Saya jadi tertarik menggali adegan mirip-mirip Mel Gibson menggorok leher musuhnya dalam film Braveheart itu. Suatu hari sebelum ikut penyerangan bersama Pasukan Rajawali ke wilayah Patek, saya menyempatkan mewawancari belasan serdadu yang ikut operasi di Bukit Tengkorak. Ada banyak versi cerita dari beberapa kali wawancara dengan orang-orang yang sama. Tapi garis besarnya sama:

10 Mei 2002 -Sekitar 60 orang serdadu yang terbagi ke dalam tiga tim berangkat dengan berjalan kaki dari Lhoksari menuju Bukit Tengkorak. Sebelum berangkat, prajurit Yonif Linud 700 sudah memperingatkan bahaya yang akan menghadang. Di puncak bukit, kabarnya, GAM telah memasang senapan mesin berat 12,7 milimeter.

Pasukan bergerak jam dua malam dan baru sampai pada sasaran saat terang-terang tanah. Letnan Dua Daulat Marpaung memimpin tim terdepan.

Di depannya kini berdiri dua bukit kecil setinggi 15 meter. Ada jalan beraspal yang memisah kedua bukit itu. Satu relatif gundul, sana sini ditumbuhi semak-semak. Satunya lagi ditumbuhi lumayan banyak pohon karet muda.

Marpaung tak melihat ada tanda-tanda aneh di bukit itu. Burung-burung silih berganti datang dan pergi.

“Majuuu!” Sekitar 20 orang serdadunya menyelaber kedua bukit. Kosong tak ada apa-apa. Ternyata cuma onggokan dua bukit kecil saja!

Sekitar pukul tujuh pagi, Komandan Kompi Yonif 433 Kapten Tumiko Susanto memerintahkan Marpaung membawa serdadu masuk untuk memeriksa keadaan di Seumara, sekalian menggali informasi intelijen yang menyatakan banyak simpatisan GAM di situ.

Seumara jaraknya kurang 100 meter dari tempat pasukan berdiri. Sekitar 10 meter dari jalan yang membelah bukit, ada jembatan sepanjang empat meter yang mengantar ke perkampungan di sana.

Marpaung berangkat. Semuanya 13 orang. Begitu masuk desa, dia melihat anak-anak muda dan ibu-ibu berkumpul di depan-depan rumah. Bukankah ini jam bertani?

Marpaung meneruskan langkahnya ke rumah keuchik. Begitu sampai, dia memperhatikan seorang pemuda gelisah, mondar-mandir depan rumah keuchik. Ada serdadu yang iseng menyuruhnya mengambil kelapa. Dia menolak. “Saya tidak bisa manjat,” katanya.

Di rumah keuchik, Marpaung mulai gelisah. Terutama setelah melihat sekelompok anak muda sibuk membabat rumput dekat rumah keuchik. Seorang serdadu juga merasakan hal serupa. Dia tak tahan lagi.

“Kau Pak Keuchik,” katanya setengah menghardik, “Sempat ada tembakan sebentar kau yang pertama saya babat.”

Eh, Kapten Tumiko turun ke kampung juga. Dia ingin bertemu langsung dengan keuchik di situ.

“Kamu lapar?” Tumiko bertanya ke Marpaung yang memang sedari pagi belum sarapan. Tumiko mengusulkan merebus mie di rumah keuchik yang sudah menawarkan kopi.

“Nggak usah. Nggak usah,” jawab Marpaung cepat, sembari menatap wajah Komandannya dalam-dalam. Dia ingin mengisyaratkan kegelisahannya. Komandan itu akhirnya paham.

Pasukan kembali ke bukit dengan langkah terburu-buru. Beberapa di antaranya berjalan dengan sesekali melihat ke belakang. Seolah akan ada sesuatu.

Sesampainya di bukit, pasukan makan siang. Sembari beristirahat, mereka membicarakan sejumlah keanehan di desa tadi. Menjelang pukul empat sore, ada serdadu yang menyeduh kopi. Marpaung memperingatkan serdadu yang istirahat di bukit. “Eh hati-hati. Kampung sepi sekali. Nggak ada orang.”

Rencananya, pasukan akan bermalam dan keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Pante Ceuremeun. Tahu akan bermalam, Prajurit Satu Bakri dan beberapa serdadu lainnya mulai melepas sepatu. Tiba-tiba datang tembakan dari desa.

“Dududung-dudung-dudung-dududung.” Rentetan senapan AK-47 ke arah bukit mengagetkan seluruh pasukan.

Peluru berterbangan di atas kepala.

Dalam hitungan menit, semua serdadu di bukit tiarap sambil berusaha melindungi kepala, khawatir kejatuhan ranting-ranting kayu yang patah akibat hantaman peluru.

Tembakan setidaknya dari tiga penjuru: dari rumah-rumah penduduk sekitar 70 meter di bawah sana; dari tanggul persawahan sekitar satu kilometer di depan bukit pertama; dan dari rawa-rawa di depan bukit kedua.

“Dududung-dudung-dudung-dududung.” AK terus menyalak.

Selama dua bulan di Aceh, baru kali ini Rajawali 433 mendengar desing amunisi GAM. Prajurit Kepala Hamka yang berada di balik bukit pertama langsung menyembunyikan kepalanya. Dia baru berani mengintip setelah ada jeda tembakan. Mungkin mereka lagi mengisi magasin.

Orang di bukit mulai membalas. Kapten Tumiko memperingatkan pasukannya agar tetap merunduk. Dia tak ingin satu pun anak buahnya celaka.

“Tunduk kamu …. tunduk! Heeeeee …. tunduk kamu! Tunduk!”

Peringatan itu tak banyak berbekas. Beberapa serdadu yang telah mengatasi kekagetannya mulai membalas tembakan.

Tembakan kian menjadi, dari bawah dan atas bukit.

Kapten Tumiko tak henti-hentinya menyuruh serdadu yang berada di bukit kedua untuk merunduk dan menghitung amunisi yang keluar.

“Hitung amunisi. Hitung amunisi.” Perintahnya setengah berteriak.

Baku tembak itu berlanjut hingga pukul tujuh malam. Malam itu semua orang di bukit siaga. Pasukan dibagi. Satu tim di bukit pertama, satu tim di bukit kedua. Di bukit pertama, dipasang tiga Minimi, satu GLM, dan dua SS-1. Satu tim lagi bertahan di bukit kedua yang lebih luas. Tim ketiga dipasang di pebukitan yang sesisi dengan bukit pertama.

Menjelang pukul 10 malam, Kopral Satu Irfan K.N. mengusulkan kepada rekan-rekannya untuk mendirikan tenda. Langit mendung. Usulnya tak digubris. “Rajawali tak perlu tenda,” kata seorang rekannya. Irfan mulai mempersiapkan ponconya. Siapa tahu hujan. Eh, hujan betul. Sekitar pukul 10 malam hujan keras diiringi kilat mengguyur seluruh pasukan. Beberapa serdadu di bukit pertama merapat-rapatkan badannya ke ponco Irfan. “Katanya Rajawali tak perlu tenda,” kata Irfan menyindir.

Tak ada tembakan hingga pagi harinya.

Begitu terjaga, Marpaung menyuruh bawahannya bergegas sarapan. Dia tak ingin dikagetkan oleh tembakan lagi saat makan. Beberapa serdadu mulai merebus kopi. Tapi belum sempat mencicipi, AK sudah menyalak dari desa.

Awalnya pelan. Lalu, “Dududung-dudung-dudung-dududung.”

Seorang serdadu yang jengkel belum sempat menghirup kopinya berteriak kesal: “Ooii, belum sarapan!”

Ajaib. Tembakan berhenti. GAM sepertinya sarapan juga.

Berselang sebentar, baku tembak kembali berlangsung. Dari desa pagi itu, sebuah teriakan terdengar hingga ke bukit: “Paiiii, lonte kamu! Turun kamu kalau berani. Mana Rajawalimu!?”

Mendengar itu, seorang serdadu berbisik ke temannya. “Itu pasti mantan tentara. Pasti pernah melonte."


[Dimuat di Majalah Pantau edisi 3 Februari 2003]
bersambung ... 

Baik buruk suatu peristiwa, tercatat dalam dokumen menjadi sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.