Rabu, 04 April 2012

Kejarlah Daku Kau Ku "Sekolahkan" (6)

Baku tembak berlanjut

Ilustrasi Pasukan TNI di Aceh
Tapi pagi itu, orang-orang di bukit banyak yang penasaran dengan pria setengah baya yang berdiri telanjang dada mengenakan ikat kepala putih menenteng AK dan jalan mondar-mandir di persawahan sekitar 70 meter di bawah sana. Mungkin ada 10 laras di bukit mengarah ke sana.

Koptu Irfan termasuk yang menyasar lelaki itu. “Tang-tang.” Lelaki berbadan bongsor itu masih berdiri di sana. Entah ke mana proyektilnya lari.

“Tang-tang. Tang-tang. Tang-tang.” Tak kena juga. Lelaki itu malah berjongkok di persawahan, merokok, dan memperhatikan orang yang sibuk menembakinya dari atas bukit.

Irfan dongkol luar biasa. Apa salah senjata? Dia mencoba membidik sebuah batang pinang di dekat pria itu. “Tang-tang.” Kena. Senjata yang sudah 14 tahun disandangnya itu, sejak pangkatnya masih prajurit dua, kembali diarahkannya ke lelaki itu.

Sasaran sudah selurus pisir dan pijera. Pasti kena.

“Tang-tang.” Tetap tak kena. Tak sedikit pun lelaki itu bergeming. Bagaimana bisa? Padahal saat latihan, tak satu pun pelurunya yang melenceng dari lesan jarak 300 meter.

Irfan penasaran habis. Dia kembali membidik, menembak, membidik, menembak …. hingga 30 butir peluru di magazen habis. Pria itu masih sehat berdiri di situ.

Apa yang salah? Irfan tak habis pikir. Prajurit Satu Asri lebih penasaran lagi. Dia salah satu penembak runduk (sniper) terbaik di Batalyonnya. Tapi, sama saja, tak satu pun bidikannya yang kena.

“Memang monyet itu orang. Seumur hidup saya ndak akan lupa,” kata Irfan mengingat kejadian itu pada saya.

Irfan masih tak puas. Dia ingin melihat reaksi pria itu ditembaki TP. Kebetulan, dia membawa TP Anti-Tank. Sudut elevasinya sudah diatur tepat. “Siiiiiuuutttttt …. blanggggggg.”

Dari tempatnya berdiri, Irfan dapat merasakan tanah di kakinya bergetar.

Tujuh puluh meter di depan sana, lelaki itu masih berdiri menenteng AK di tempatnya semula. TP yang ditembakkan Irfan mengenai pohon pinang sekitar satu meter dari tempat pria bercelana hitam itu berdiri.

TP meledak di atas kepalanya tapi dia tidak lari? Kurang apa lagi? Sudah pisir pijera …. kenapa? Apa salat tahajud malamnya?

Dia perlahan mundur dan berlindung di balik tumpukan batang kelapa.

Hamka menyasar perlindungan itu dengan GLM.

“Ciiiuuuu …. blang.” Hamka menikmati suara granat yang lepas dari moncong senapannya dan menggelegar begitu menyentuh tanah.

“Makan itu GAM,” teriaknya dari atas bukit.

Dia terus menghantamkan granat ke beberapa titik asal tembakan. Satu kali dia mendengar ada yang berteriak “Allahu Akbar!” Hamka yakin ada yang kena.

Tiga pucuk Minimi di atas bukit tak mau ketinggalan. Mereka yang tiarap di balik bukit kedua juga terus membalas tembakan.

Baku tembak berlanjut hingga sore hari.

Malam harinya, hujan dan halilintar menyambar-nyambar. Banyak serdadu yang basah kuyup karena tak membawa ponco. “Memang jadi ilmunya GAM,” kata seorang serdadu yang percaya hujan dua malam itu “kiriman” GAM.

Menjelang subuh hari ketiga, Daulat Marpaung memimpin 25 orang serdadu masuk ke desa. Dia ingin memenuhi tantangan GAM.

Ketegangan tampak di wajah mereka yang ditunjuk. Bagaimana jika GAM telah menanti?

Dua orang prajurit ditunjuk jadi voor spiets. Pasukan jalan sangat lambat. Nyaris merayap. Selangkah berhenti. Selangkah berhenti. Mereka bergerak rapat. Setiap kali akan melangkah, orang yang di depan menepuk pundak orang di belakangnya.

Saat mendekati jembatan, seorang Prajurit Satu sudah tahu apa yang harus dilakukannya sebagai voor spiets. Dia harus mengecek kemungkinan GAM telah menanam bom di situ. Tangannya meraba-raba aspal jembatan hingga menyentuh sebuah benda. Panas. Tapi kok ….? “Pukimae!” Dia bersungut-sungut menyumpahi tahi sapi yang dipegangnya.

Begitu terang tanah, mereka sudah di desa tanpa diketahui siapa pun.

Seisi kampung sudah mengungsi. Pasukan leluasa menggeledah rumah-rumah yang mereka curigai.

Di sisi kanan jalan, Hamka melihat seseorang menenteng AK.

“Batiiiiii,” bisiknya memanggil seorang Bintara pelatih di dekatnya, “GAM! GAM!” Hamka menunjuk-nunjuk orang yang berdiri sekitar 70 meter di depan sana.

“Bagaimana? Saya tembak?” Hamka memain-mainkan telunjuknya di picu. Izin tak keluar. Komandannya ingin tangkapan banyak.

Sayang, tim yang bertugas menggeledah rumah di sebelah kiri berisik. Bunyi tendangan pintu rumah keuchik sampai ke telinga orang itu. Dia baru sadar kalau pasukan sudah masuk ke desa.

Baku tembak dari jarak dekat tak terhindarkan. Pemisahnya hanya halaman rumah dan sedikit persawahan. Dari pagi hingga sore.

Pasukan bertahan di desa hingga hari keempat. GAM sudah mundur. Kabarnya berkekuatan 70 orang. Sebagian yang mereka lihat menggunakan seragam loreng dan hitam-hitam. Ada yang meyakini kalau yang berpakaian loreng itu dari Pidie sementara yang hitam didikan Libya dari wilayah Jeuram.

Pada hari keempat, logistik habis. Tak ada lagi yang punya biskuit atau nasi kaleng. Terpaksa, TB-3 dimainkan. TB-3 adalah istilah serdadu untuk kelapa milik penduduk. Pasukan akhirnya kembali ke Lhoksari pada 14 Mei 2002.

Sehari setelahnya, mereka membaca di Serambi Indonesia keterangan seorang juru bicara GAM kalau ada sembilan orang tentara yang tewas dalam pertempuran di Bukit Tengkorak.

Sekitar setengah bulan setelah pendudukan itu, pasukan kembali ke Bukit Tengkorak. Bukit itu kini sudah gundul. Pengakuan beberapa penduduk, GAM mengerahkan warga desa sekitar untuk membabat pepohonan di situ.


[Dimuat di Majalah Pantau edisi 3 Februari 2003]
bersambung ...

Baik buruk suatu peristiwa, tercatat dalam dokumen menjadi sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.