Kamis, 12 April 2012

☆ Leo Wattimena

Leo Wattimea (Foto Titawaka)
Dari 60 kader yang dikirim pemerintah mengikuti pendidikan penerbang Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TOLOA), beberapa diantaranya memiliki karier yang menonjol di kemudian hari. Salah satunya Leo Wattimena. Dia menyandang segudang gelar yang melekat pada dirinya. Mulai dari "orang gila", pembrani, good pilot, penerbang yang cerdik, orang yang sangat paham pesawat terbang, sampai julukan "G maniac" yang diberikan oleh penerbang tempur India, karena kagumnya kepada Leo.

Bakat terbang Leo, anak ke empat pasangan keluarga protestan HL Wattimena dan UR Wattimena yang lahir di Jakata, 3 Juli 1927 sudah terlhat bakatnya sejak tamat SMA di Jakarta tahun 1950. Le-- panggilan akrabnya, kemudian mencalonkan diri menjadi penerbang saat Markas Besar AURI membuka kesempatan pada tahun itu. Bersama kadet lainnya, bulan November 1950 Leo di berangkatkan ke California untuk mengikuti pendidikan di Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TALOA).

Dalam pendidikan di California itu, Leo menunjukan bakatnya menjadi penerbang unggul. Dia termasuk lulusan terbaik dari 45 kadet yang menjadi penerbang, selebihnya menjadi navigator. Predikat lulus terbaik mempunyai arti bagi dirinya. Bersama 18 koleganya, Leo diharuskan melanjutkan pendidikan instruktur selama tujuh bulan di TALOA. Sekembalinya di Skadron 3 Lanud Halim Perdanakusuma sebagai pilot tempur merangkap instruktur pesawat P-51 Mustang. Tiga tahun kemudian, Leo bersama Rusdin Nurjadin dikirim ke Inggris untuk mengikuti pendidikan instruktur lanjutan di Royal Air Force dan lulus dengan predikat satu.

Indonesia saat itu sedang memesan delapan jet tempur de Havilland DH-115 Vampire, pesawat jet pertama AURI. Leo Wattimena dan Rusmin Nurjadin diarahkan untuk menjadi pilot-pilot pertama dengan pesawat tersebut. Mungkin karena memang sangat berbakat menerbangkan pesawat terbang begitu diberi kesempatan mencoba Vampire, Leo sudah mengundang decak kagum pilot tempur Inggris dengan manuver-manuver yang biasa dilakukan oleh meraka yang sudah mengumpulkan ribuan jam terbang. Padahal jam terbang Leo dengan pesawat tempur buatan Inggris itu baru seumur jagung. Tak heran jika dengan bakatnya Leo bisa mendapatkan multi ranting. Mulai dari L-4J Piper Club, P-51 Mustang, DH-115 Vampire sampai Mig-17 dan jet tempur supersonik MiG-21 Fishbed.

Bakat luar biasa yang ditunjukan saat menerbangkan DH-115 Vampire untuk pertama kalinya itu mengantar Leo, untuk kemudian dipercaya memimpin armada Vampire Skadron 11 Lanud Kemayoran (1 Juni 1957). Tercatat bahwa waktu itu Indonesia mempunyai 16 jet tempur buatan Inggris ini.

Predikat "sangat paham pesawat terbang" tak sis-sia disandang Leo. Dia tunjukan ketika Sumarsono, penerbang MiG-21 Fishbed Skadron Udara 12 jatuh di Kemayoran. Keesokan harinya, Leo bersama Rusmin segera turun tangan untuk menyelidiki penyebab Sumarsono gugur. Leo lalu menerbangkan pesawat buatan Uni Soviet itu, tapi baru sekali take off and landing. Leo sudah turun. Komentar spontannya : "Ini pesawat jelek". Meski dikatakan 'jelek' dia tetap menerbangkan pesawat supersonik delta tersebut. Apalagi ketika itu merupakan pesawat unggulan Uni Soviet.

MiG-21 di Amerika Serikat (Foto kaskus Militer)
Di luar negeri Beruang Merah, hanya Indonesia yang punya hingga sanggup membuat tetangga down-under Australia ketar-ketir. Ditambah lagi AURI diperkuat dengan pesawat Tupolev Tu-16 Badger. Konon Katanya karena pesawat itu unggulan Uni Soviet, Amerika ingin memilikiya untuk mempelajari kelemahan pesawat tersebut. Karena politik Indonesia yang berubah dan di embargo oleh Uni Soviet, pesawat ini pun sempat berpindah tangan beberapa unit ke Amerika dengan persyaratan pembelian pesawat dan akan 'diganti' pesawat F-86 Sabre.

Kemahiran menerbangkan pesawat ditunjukan Leo dalam suatu kesempatan dengan MiG-17. Dia terbang di kolong jembatan Ampera Sungai Musi, Palembang. Saat itu Leo terbang dengan wingman-nya, Marsda (Pur) Sudjatio Adi. Dibawanya pesawat seperti menukik mau menghujam dasar sungai Musi, lalu pull up sebelum mencapai permukaan air dan terbang menyambar dibawah Jembatan Ampera. Tak hanya itu "terbang gila" Leo yang penuh bahaya. Dia juga pernah terbang menyalip diantara tower dan tiang bendera lanud Adisutjipto, Yogyakarta. Bila Leo terbang straight and level, pasti menabrak. Jadi untuk dapat lolos, ujung sayap yang satu ditarik Leo ke bawah. Pesawat dengan indahnya menyalip terbang diantara dua penghalang tersebut.

Mereka yang se-zaman dengan penerbang ulung ini, mengatakan, "Leo itu identik dengan Mustang", kenang Marsma (Pur) Agustinus Andy Andoko tentang rekannya. Sampai-sampai berangkat kerja dari  Bandung ke Jakarta, Leo menggunakan Mustang. Begitu sayangnya dia dengan Mustang ini, seorang sopir truk pernah dihajar telak wajahnya hanya gara-gara truknya melintas dekat landasan sehingga debu bertebangan mengotori P-51 Mustang Leo.

"Salah sedikit, pukul. Meja kotor, pukul. Tidak disiplin, pukul. Tapi Leo tidak akan menghajar orang skadronnya, esprit de corps-nya tinggi." kisah (alm) Marsekal (Pur) Ashadi Tjahyadi kepada Angkasa.

Sebagai fighter pilot, Leo kenyang asam garam perang udara. Dia pernah memimpin serangan di Indonesia Timur melawan Permesta (14 Mei 1958) menggunakan Mustang serta empat pembom B-25 Mitchell. Dia juga dipercaya menjabat Wakil II Panglima Komando Mandala merangkap Panglima AU Mandala pada masa Trikora.

Dalam operasi tempur perebutan Irian Barat tahun 1962, Leo menjadi Jenderal pertama yang menginjakan kakinya di bumi Irian Barat. Dia dikenal rekan-rekannya sangat tekun dan serius dalam mengemban tanggung jawab. "Kalau perlu dia tidak tidur sampai tiga hari," kenang Kolonel (Pur) Suparno, mantan Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara yang pernah melayani Leo. Sebagai penerbang ada yang mengatakan, dia sangat menyatu dengan udara. Kalau dia terbang, semua untuk dia. Leo terbang tidak lagi dengan raganya, tapi dengan jiwanya.

Sebelum mengundurkan diri dari dinas militer tanggal 15 Agustus 1971 sebagai Marsekal berbintang dua, Leo yang ditangan kanannya suka memakai gelang akar bahar, pernah menjadi Panglima Komando Operasi AURI (1963), Panglima Komando Pertahanan Udara (1966), anggota MPRS (1966), dan Deputi Operasi/ Panglima AU serta Duta Besar RI untuk Italia (1969).

Kesehatan Leo kemudian terus menurun. Diperparah lagi dengan gangguan asma yang akhirnya menghentikan perjalanan penuh seorang fighter pilot. Tepat tanggal 18 April 1976, Marsda (Pur) Leonardus Willem Johanes Wattimena, yang akrab di panggil Le, menghembuskan nafasnya yang terakhir di rumahnya di kawasan Pasar Minggu. Leo Wattimena dimakamkan bersebelahan dengan Ignatius Dewanto di taman makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.


[sumber edisi koleksi Angkasa]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.