Minggu, 22 April 2012

Mencegat Jet Papua Nugini

  Kronologii 37 menit 'Menjepit' Jet Papua Nugini

P2 ANW Dassault Falcon 900Ex
TEMPO.CO - Aksi intersepsi atau pencegatan di langit Banjarmasin hingga Makassar itu berlangsung November 2011 lalu. Namun, entah kenapa, Perdana Menteri Papua Nugini Peter O'neil baru memperkarakannya di depan media Jumat, 6 Januari 2012 lalu, setelah selang hampir dua bulan kemudian. Banyak yang bertanya, ada apa di balik motif Papua Nugini berniat mengusir Duta Besar Indonesia Andreas Sitepu dari negara tetangga itu? Bagaimana sesungguhnya insiden itu bermula?

Peristiwa itu bermula ketika Selasa, 29 November 2011, pukul 10.13 WITA, radar Pangkalan Udara (Lanud) Sjamsuddin Noor Banjarmasin mendeteksi pesawat jet P2-ANW Dassault Falcon 900 Ex. Jet itu bergerak dari Subang (Selangor), Malaysia, ke arah Papua Nugini. Dari titik kordinat terbang, pesawat itu akan melintasi wilayah udara Indonesia.

Petugas pengawas udara Makassar kemudian mencoba mengontak pesawat Falcon untuk menanyakan asal pesawat, tujuan, serta izin penerbangan. Pesawat itu diketahui masuk dalam unschedule flight (penerbangan tidak rutin). Namun pesawat tidak merespons, bahkan juga tidak membuka komunikasi. Petugas mengontak Kohanudnas dan Departemen Perhubungan. Dicek lagi, tidak ada data penerbangan Falcon 900 Ex.

Sekitar pukul 10.40 WITA, sepasang Sukhoi milik TNI AU melesat dari Pangkalan Udara (Lanud) Sultan Hasanuddin Makassar mendekati pesawat Falcon. Keduanya mendekat, lalu menjepit kiri dan kanan, sambil terus membuka komunikasi. "Sesuai prosedur memang begitu" kata juru bicara Markas Besar TNI Angkatan Udara, Marsekal Pertama Azman Yunus, kepada Tempo, Ahad, 8 Januari 2012.

Awak jet tempur RI terus berkoordinasi dengan Komando Pertahanan Udara Nasional. Sukhoi melaporkan ciri utama pesawat Falcon adalah berwarna putih dan terdapat gambar burung merah di bagian sayap belakang. Akhirnya diketahui bahwa Falcon tersebut baru mengurus izin melintas pada hari itu sehingga belum diperoleh ketika melintasi Indonesia.

Sekitar pukul 11.17, Sukhoi membebaskan Falcon yang ditumpangi Deputi Perdana Menteri Papua Nugini H.O.N. Belden Namah itu untuk melanjutkan perjalanan. Perintah pembebasan dilakukan Komando Pertahanan Udara Nasional. "Itu tugas utama kami sebagai TNI AU. Kami ingin memastikan tak semua pesawat asing bisa melintas di wilayah udara kita tanpa izin," kata Azman lagi. "Pukul 11.42, Sukhoi kembali mendarat di Makassar.”

Peristiwa di udara itu hanya berlangsung sekitar 37 menit. "Tidak ada ancaman, tidak pula ada senggolan," kata Menko Polkam Djoko Suyanto dalam pesan pendeknya kepada Tempo. Karenanya, Djoko menganggap prosedur pencegatan yang dilakukan Mabes TNI AU sudah sesuai prosedur yang berlaku.

Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas), kata Djoko, melakukan identifikasi visual dengan cara intersepsi. "Lagi-lagi ini karena data flight clearance yang diterima berbeda dengan hasil tangkapan radar bandara maupun radar Kohanudnas," ujarnya. "Tidak ada istilah mengancam atau membahayakan.”

Semua prosedur, menurut Djoko, dilakukan di bawah kontrol, baik radar di darat maupun pilot pesawat tempur. Djoko menegaskan intersepsi ini merupakan prosedur standar jika ada ketidakcocokan data aktual di udara. “Itulah gunanya Komando Pertahanan Udara,” ujarnya. Karenanya, Djoko minta media untuk tidak melebih-lebihkan insiden ini.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan pemerintah pada Jumat pekan lalu telah memberi penjelasan kepada Duta Besar Papua Nugini Peter Ilau perihal intersepsi. "Duta Besar Papua Nugini menyampaikan apresiasi atas penjelasan yang disampaikan dan akan meneruskan ke pemerintahannya," ujar Menteri Marty Natalegawa.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Michael Tene, kemarin menyatakan belum ada juga pengusiran terhadap Andreas Sitepu. Sedangkan juru bicara kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum berencana berbicara langsung dengan Peter O'Neil. "Dibicarakannya di tingkat menteri luar negeri," katanya.

Pengamat intelijen, Mardigu Wawiek Prabowo, menilai Indonesia sedang ditantang untuk bisa lebih tegas soal perbatasan. Ia menyatakan intersepsi oleh Sukhoi sudah tepat. Menurut dia, Papua Nugini sudah bertindak sewenang-wenang dengan hanya menggunakan izin pesawat Global Express milik India untuk memasuki wilayah udara Indonesia.
[WIDIARSI AGUSTINA | EZTHER L | ARYANI K | PRIHANDOKO | WAYAN P]

  Jet Papua Nugini dibayangi dari Banjarmasin

TEMPO.CO, Jakarta - Mabes TNI AU membantah ada penembakan yang dilakukan pesawat TNI saat mencegat jet Falcon 900 yang ditumpangi Wakil Perdana Menteri dan pejabat senior Papua Nugini.

Juru bicara Mabes TNI AU Marsekal Pertama Azman Yunus menuturkan di atas langit pesawat itu hanya dibayangi karena memasuki wilayah teritori Indonesia. "Kami melakukan shadowing (membayangi) sambil terus kontak di bawah," kata Azman Yunus kepada Tempo yang menghubunginya, Sabtu 7 Januari 2012.

Azman menuturkan, begitu ada pesawat yang masuk teritori satu negara, mereka akan terpantau dan melaporkan siapa mereka. Mareka akan dipersilakan masuk, sesuai dengan izin penerbangan yang mereka miliki.

Namun dalam kasus Falcon 900 yang ditumpangi petinggi Papua Nugini pesawat itu terpantau di radar Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) dan mereka melakukan identifikasi elektronik dengan radar. Sesuai dengan prosedur yang ada, selain pantauan radar juga dilakukan identifikasi visual dengan cara intersepsi. Prosedur standar intersepsi adalah mencegat dan menghadang.

Saat itu, kata Azman, TNI AU melakukan koordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Mabes TNI untuk menanyakan kebenaran izin tersebut. “Hasil koordinasinya menyatakan itu pesawat unschedule. Pesawat itu tidak dikenali karena tidak ada surat izin terbang sebelumnya," ujarnya. "Pesawat memakai izin pesawat Global Express milik India dan hanya berlaku mulai 19 Agustus dan berakhir 1 September 2011."

Karena pesawat tersebut tak memiliki izin, TNI AU melakukan kontak dengan pesawat itu, tapi tak ada jawaban. “Dikontak tidak menjawab, makanya kami bayangi,” ujarnya.

Proses membayang-bayangi itu dilakukan di atas langit Banjarmasin hingga Makassar. Pesawat itu dikawal dua Sukhoi dengan terus mencoba berkomunikasi di antara dua sisi di kiri dan kanan Jet Falcon 900 itu dalam jarak 3 mil. “Kami mulai membayangi dari Banjarmasin hingga Makassar," kata dia.

Di Makassar, pesawat itu kemudian dilepas. Menurut Azman, ini dilakukan karena pihaknya mendapat informasi bahwa Kementerian Perhubungan telah mengeluarkan amandemen. Amandemen itu berisi perubahan registrasi, tipe, dan kepemilikan pesawat. Izin yang semula dimiliki pesawat Global Express India kemudian diganti menjadi pesawat Falcon 900. “Pesawat itu menjadi pesawat Papua Nugini,” kata Azman. “Mereka akhirnya kami lepas,” tuturnya. "Jadi tidak ada penembakan dan ancaman."

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa memastikan prosedur pencegatan yang dilakukan TNI AU sudah sesuai. "Langkah yang dilakukan TNI Angkatan Udara melakukan intersepsi terhadap pesawat dimaksud telah sesuai dengan prosedur yang berlaku di Indonesia dan di negara lain pada umumnya," ujar Marty. "Tidak pernah membahayakan pesawat dimaksud."

Menurut Marty tindakan yang dilakukan TNI AU semata-mata hanya menjalankan prosedur pengamanan wilayah udara NKRI. Tidak ada maksud melakukan tindakan yang membahayakan pesawat lain. Hal ini pun telah disampaikan langsung kepada Duta Besar Papua Nugini, Peter Ilau, yang ada di Jakarta.

Jumat sore, Menlu telah memanggil Peter Ilau menjelaskan alasan prosedur yang diberlakukan TNI AU. "Masalah intersepsi disebabkan oleh permasalahan teknis dalam flight clearance pesawat," ujar Marty.

Dalam pertemuan itu Duta Besar Papua Nugini di Indonesia pun telah memahami prosedur tersebut. Beliau bahkan menyampaikan apresiasi atas penjelasan yang disampaikan Menlu RI. Peter Ilau pun berjanji akan meneruskan pesan Menlu kepada Pemerintah Papua Nugini.

Seperti diberitakan oleh ABC Radio Australia, Jumat 6 Januari 2012, November lalu dua pesawat militer Indonesia hampir bertabrakan dengan pesawat jet yang ditumpangi wakil PM dan para pejabat senior Papua Nugini. Kala itu mereka baru pulang dari tugas di Malaysia.[NUR ALFIYAH | IRA GUSLINA]

  Jet PM Papua Nugini gunakan izin terbang India

TEMPO.CO, Jakarta - Melintas kawasan Indonesia, pesawat yang membawa Deputi Perdana Menteri Papua Nugini Belden Namah ternyata tak mengantongi izin dari Indonesia. Mereka ternyata memakai izin pesawat Global Express milik India. "Izin dari Indonesia sudah mati dan tidak diperbarui," kata juru bicara Mabes TNI Angkatan Udara Marsekal Pertama Azman Yunus saat dihubungi Tempo, Sabtu 7 Januari 2012.

Peristiwa pencegatan itu berlangsung pada 29 Desember 2011. Saat itu radar Mabes TNI menangkap ada sinyal pesawat asing. Radar menangkap sinyal pesawat tipe Falcon 900 milik Papua Nugini. Dicek dalam jadwal, pesawat yang membawa Deputi Perdana Menteri Papua Nugini HON Belden Namah juga tidak terjadwal. Prosedur yang tak terjadwal itu, menurut Azman, karena pesawat tersebut tidak mengantongi izin terbang di wilayah Indonesia. “Izin pesawatnya sudah tidak berlaku,” ujar Azman.

Dia juga menambahkan, pesawat Papua yang mengantongi izin bukanlah pesawat yang ditumpangi oleh Namah. “Izinnya bukan pesawat itu,” kata dia. Karena itu, TNI AU pun langsung mengintersepsi pesawat tersebut. “Kami melakukan shadowing (membayangi) sambil terus kontak di bawah,” katanya.

Selama proses membayangi itu, Azman menambahkan, Mabes TNI mengecek izin pesawat ke Ditjen Perhubungan Udara dan Kementerian Luar Negeri. “Karena yang mengeluarkan izin mereka,” ujarnya. Azman mengatakan TNI AU mulai membayangi pesawat yang berangkat dari Malaysia tersebut di sekitar wilayah Banjarmasin.

Untuk terbang di wilayah Indonesia, pesawat udara negara asing memang harus memiliki tiga approval. Flight approval tersebut dikeluarkan oleh Ditjen Perhubungan Udara Direktorat Angkutan Udara, diplomatic clearances yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri, serta security clearances yang dikeluarkan oleh TNI AU.

Menurut rilis yang diterima dari Kementerian Luar Negeri, TNI AU mengintersepsi karena ada perbedaan data antara flight clearance yang dimiliki Kohanudnas dan hasil tangkapan radar bandara ataupun radar Kohanudnas. Intersepsi yang dilakukan pesawat TNI AU sesuai dengan prosedur dan tidak pernah membahayakan pesawat dimaksud.

Pada awal Maret 2011 lalu Indonesia juga pernah mengintersepsi pesawat milik Pakistan International Airlines. Pesawat jenis Boeing 737 dengan rute Dili–Malaysia tersebut terbang di atas wilayah Indonesia tanpa mengantongi izin. Alhasil, pesawat itu harus mendarat di Lapangan Udara Hasanudin, Makassar.

Selain pesawat Pakistan, Indonesia juga pernah menahan pesawat Malaysia. Pesawat tersebut membawa tamu yang diundang oleh Pemprov Aceh. Namun, karena mereka tidak mengantongi izin prosedur pesawat itu ditahan selama dua hari oleh Panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional (Pangkosek Hadunas) III Medan.[NUR ALFIYAH]

 Lewati RI, Jet Papua Nugini musti punya tiga izin

TEMPO.CO, Jakarta -- Setiap pesawat sipil asing memang harus mengantongi izin dari tiga kementerian sebelum melintasi wilayah udara Indonesia. Permohonan izin melintas itu diajukan oleh perwakilan Duta Besar Negara asal pesawat tersebut yang ada di Indonesia.

"Untuk pesawat sipil, diajukan dulu permohonan izin melintas kepada Kementerian Luar Negeri. Nanti ada persyaratan-persyaratannya (untuk diizinkan melintas)," kata juru bicara Kementerian Perhubungan Bambang S. Ervan ketika dihubungi Tempo, Ahad, 8 Januari 2012.

Menurut Bambang, persyaratan yang ada dalam izin pesawat sipil asing untuk melintasi wilayah udara Indonesia terdiri dari bebeberapa hal, antara lain siapa yang berada di dalam pesawat dan jenis pesawatnya. Selanjutnya segala persyaratan itu akan mendapatkan persetujuan dari Kementerian Pertahanan. "Jelas ada clearence dari Kementerian Pertahanan," ujarnya.

Sementara itu, kata Bambang, dalam kaitannya dengan pemberian izin pesawat sipil asing untuk melintasi wilayah udara Indonesia, Kementerian Perhubungan hanya berperan dalam mengeluarkan flight approval untuk overfly. "Itu pun kalau pesawat itu tidak mendarat di wilayah Indonesia," kata dia.

Bambang menyatakan mekanisme pemberian izin untuk pesawat sipil asing yang ingin melintasi wilayah udara Indonesia jelas berbeda dengan mekanisme pemberian izin untuk pesawat militer asing. Menurutnya mekanisme izin pesawat militer asing berada di bawah tanggung jawab Markas Besar Tentara Nasional Indonesia. "Itu bukan wewenang Kementerian Perhubungan," ucapnya.

Persoalan pemberian izin pesawat asing yang melintas di wilayah udara Indonesia mengemuka setelah terjadinya insiden intersepsi (pencegatan) pesawat Papua Nugini oleh pesawat TNI Angkatan Udara di atas kawasan Banjarmasin, Kalimantan, pada akhir Novemberr 2011.

Pesawat Falcon 900 itu membawa Wakil Perdana Menteri Papua Nugini, Belden Namah, dan diterbangkan dari Malaysia pada 29 November 2011. Pesawat itu dianggap tak mengantongi izin melintas di Indonesia.

Pembuntutan terhadap Falcon 900 itu akhirnya dihentikan setelah TNI AU mendapatkan informasi dari Kementerian Perhubungan bahwa pesawat itu rupanya baru mengubah registrasi, tipe, dan kepemilikan pesawat. Izin semula dimiliki Global Express milik India, yang kemudian diganti menjadi pesawat Falcon 900 milik Papua Nugini.

Namun Bambang tidak mengetahui apakah dalam insiden itu jenis pesawat Papua Nugini adalah pesawat sipil atau bukan. Dia juga mengaku tak tahu ihwal pengalihan izin pesawat tersebut. "Saya belum tahu. Terus terang saya belum punya info soal itu," kata dia.[PRIHANDOKO]


- sumber Tempo -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.