Sabtu, 21 April 2012

Rudal Cina Warisan Jenderal Djoko

Sista Hanud  Zur 23-2

Teka-teki tentang pengganti Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) terjawab sudah. Letjen Agustadi Sasongko Purnomo dilantik Presiden Susilo Bambang "SBY" Yudhoyono, Jumat pekan lalu, di Istana Negara, Jakarta. Mantan Sekretaris Menko Polhukam ini menggantikan Jenderal Djoko Santoso, yang dipromosikan menjadi Panglima TNI.

Begitu Agustadi memegang tongkat komando TNI-AD, Senin lalu, beragam program pun disusunnya. Antara lain, meningkatkan kesejahteraan prajurit dan melakukan muhibah untuk meninjau langsung kesiapan prajurit TNI dari Sabang hingga Merauke. Tak lupa, Agustadi juga mencanangkan program pengadaan alat utama sistem kesenjataan (alutsista) pasukannya. "Kami akan memprioritaskan pengadaan alutsista dari dalam negeri," ujar Agustadi.

Optimalisasi industri senjata dalam negeri ini menjadi pertimbangan utama penerima Adi Makayasa TNI-AD 1974 itu. Beberapa peralatan ringan hingga panser buatan dalam negeri rencananya segera mengisi kekuatan TNI-AD. Meski begitu, Agustadi tak menampik peralatan asal luar negeri.

Nah, menyangkut pengadaan barang dari luar negeri ini, Agustadi tampaknya masih punya pekerjaan yang harus dituntaskan. Yakni pekerjaan rumah peninggalan Jenderal Djoko Santoso. Ketika dilakukan uji kelayakan Panglima TNI di Komisi I DPR, awal Desember lalu, sejumlah persoalan menyangkut pengadaan di tubuh TNI-AD sempat dipertanyakan anggota DPR. Dari pengadaan ambulans TNI-AD hingga pengadaan sistem peluru kendali (rudal) pengganti Rapier yang sudah phasing out.


Sista Hanud TD2000B
Rapat paripurna DPR bahkan membuat sejumlah catatan bagi Djoko. Antara lain, meminta agar pengadaan alutsista dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Sejumlah rekomendasi DPR itu kini ikut menjadi pekerjaan rumah bagi pemangku komando TNI-AD yang baru. Agustadi, mantan Pangdam Jaya yang sebentar lagi menyandang pangkat bintang empat, harus menyelesaikan persoalan pengadaan tersebut. Termasuk pengadaan rudal dari Cina yang sempat menghebohkan Mabes TNI-AD, beberapa waktu lalu.

Jenderal Djoko Santoso, dalam beberapa kesempatan, menyebut adanya persaingan usaha sebagai pemicu munculnya kasus itu. Maklum, kontrak pengadaan sistem senjata untuk mengisi alutsista Detasemen Artileri Pertahanan Udara TNI-AD ini mencapai US$ 35 juta atau sekitar Rp 330 milyar.

Tapi, hasil penelusuran Gatra menunjukkan, masalah itu tak sebatas persaingan usaha. Penunjukan salah satu pihak sebagai pemasok pengadaan sistem rudal tersebut merupakan aroma lain.

Bahkan kalangan pemasok senjata yang dihubungi Gatra menduga, ada kongkalikong di balik terpilihnya sistem rudal TD 2000 dari China National Precision Machinery I/E Corp (CNPMIEC) itu. "Masak kontrak sebesar itu cuma main tunjuk. Biar fair, tender dong!" ujar sang sumber, yang menolak disebut namanya.

Kasus ini muncul setelah Markas Besar TNI-AD, akhir tahun 2006, berencana membeli pengganti Rapier, peluru kendali darat ke udara buatan Inggris, yang sudah tua.

Dalam surat kepada Panglima TNI, Asisten Logistik KSAD Mayor Jenderal Kardiyono menyebutkan, ada dua penawaran sistem persenjataan dari Cina. Senjata dari "negeri tirai bambu" ini dipilih karena kemungkinan embargo sangat kecil dan harga serta teknologi yang ditawarkan dianggap memadai.

Kardiyono dalam surat itu menulis, penawaran pertama datang dari CNPMIEC. Perusahaan ini menawarkan sistem rudal LD 2000. Sistem senjata (sista) yang diklaim telah digunakan di banyak negara ini terdiri dari komposit rudal panggul QW 3 dan meriam 57 mm.


Sista Hanud dari Norinco,  Giant Bow dan rudal TY-90
Tawaran kedua datang dari BUMN China lainnya, China North Industries Corp atau Norinco. Perusahaan ini menawarkan sista Giant Bow II, yang merupakan komposit meriam 23 mm dan peluru kendali TY-90.

Dalam surat itu, Kardiyono meminta izin Panglima TNI untuk menunjuk CNPMIEC. Menurut dia, TY-90 buatan Norinco tidak dipilih karena merupakan peluru kendali udara ke udara. "Adapun China National dengan agennya, PT Indadi Setia, telah memenuhi persyaratan administrasi, teknis, dan harga, dan telah diperoleh kesepakatan dalam negosiasi harga," tulis Kardiyono.

Penunjukan langsung ini mengundang protes Norinco. Lewat dua lembar surat yang dikirimkan ke sejumlah anggota Komisi Pertahanan DPR, Norinco mengklaim, meriam kaliber 57 mm yang dipakai CNPMIEC adalah produk mereka yang sudah kedaluwarsa. "Meriam 57 mm adalah produk kami sejak akhir 1950-an dan kini tidak kami produksi lagi," tulis Luo Xiangdong, yang menyebut diri sebagai Deputy General Manager Asia Pacific Norinco.

Luo Xiangdong juga menyebutkan, meriam 57 mm memiliki banyak kelemahan. Antara lain, kecepatan tembaknya rendah dan waktu yang dibutuhkan agar peluru siap ditembakkan cukup lama. Sistem peralatannya pun masih manual. "Kami juga sudah menunjukkan kemampuan sistem rudal GB II (Giant Bow II) kami kepada petinggi TNI-AD dan Menteri Pertahanan ketika berkunjung ke pabrik kami," tutur Luo Xiangdong.

Dokumen yang diterima Gatra menunjukkan, tim dari Mabes TNI-AD diketahui memang pernah menyambangi pabrik Norinco di Yinchuan, dua setengah jam perjalanan dari Beijing. Ikut dalam kunjungan itu, Wakil Aslog KSAD, Brigjen Hari Krisnowo, dan enam perwira menengah TNI-AD serta dua perwira pertama TNI-AD berpangkat Kapten.


Giant Bow II Twin Canon 23mm dan BCV
Di dapur pabrik senjata terbesar di Cina itu, tim yang dipimpin langsung oleh Asisten Operasi KSAD, Mayjen Iwan Ridwan Sulandjana, itu melakukan pengujian sistem radar Giant Bow dan Battery Command Vehicle (BCV). Barang-barang buatan Norinco ini diniatkan untuk meng-up grade sista Giant Bow I yang telah dimiliki TNI-AD.

Dalam laporannya kepada KSAD --ketika itu masih dijabat Jenderal Djoko Santoso-- Mayjen Ridwan Sulandjana memaparkan hasil peninjauannya selama lima hari, dari 11 Februari 2007 hingga 16 Februari 2007. Laporan setebal 15 halaman itu menyebutkan, tim Mabes TNI-AD menyaksikan uji fungsi radar dan BCV di daerah penembakan di Ashlan, Mongolia. Norinco juga mempertontonkan uji coba sistem rudal Giant Bow II, yang mereka tawarkan sebagai pengganti Rapier.

Hasilnya, dalam laporan tersebut tim Mabes TNI menyimpulkan bahwa sistem Giant Bow II, yang merupakan komposit atas meriam 23 mm dan rudal TY 90, merupakan sistem pertahanan udara jarak pendek yang punya daya hancur efektif. Dalam uji coba, rudal TY 90 terbukti mampu menembak tepat pada sasaran. Tim Mabes TNI-AD juga menyarankan agar sistem Giant Bow II dijadikan alternatif pengganti Rapier.

Laporan itu lalu diperkuat dengan keluarnya surat keterangan Nomor Sket/11/II/2007, yang menyatakan bahwa uji fungsi radar dan BVC sista meriam 23 mm Giant Bow buatan Norinco telah dilakukan. Dalam surat tertanggal 19 Februari 2007, yang ditandatangani Kepala Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI AD, Brigjen Nardi Sumardi, dinyatakan bahwa sistem radar, BCV sista meriam 23 mm, dan rudal TY 90 Giant Bow II memenuhi syarat untuk dijadikan alternatif aset TNI-AD.

Pihak Mabes TNI-AD tidak mau menanggapi temuan dokumen-dokumen tersebut. Menurut Kepala Dinas Penerangan TNI-AD, Brigjen Ricardo Siagian, Mabes TNI-AD menganggap hal itu sekadar persaingan usaha yang tak perlu dikomentari. Kata Ricardo, Mabes TNI-AD tidak ingin berpolemik tentang hal itu.


Rudal Grom dengan meriam 23 mm Zur 23-2 KG-1
Begitu pula ketika Gatra menanyakannya kepada Asisten Logistik KSAD, Mayjen Kardiyono. Menurut Jenderal bintang dua ini, kasus itu dianggap selesai. Kardiyono mengaku tak mau memperpanjang masalah. "Itu kan sudah selesai. Tak ada yang perlu ditanyakan lagi soal itu (rudal dari Cina --Red.)," ujar Kardiyono.

Sebelumnya, lewat surat kepada Gatra, Brigjen Ricardo menguraikan bahwa proses pengadaan sista TD 2000 telah melalui prosedur dan mekanisme serta teknis administrasi yang berlaku di lingkungan TNI/Departemen Pertahanan. Proses pengadaan juga mengacu pada aturan tentang pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintahan, sebagaimana tertuang dalam Keppres Nomor 80 Tahun 2004.

Selain itu, TNI-AD juga terlebih dulu melakukan kajian secara komprehensif. Baik dari aspek teknis, taktis, politis, maupun finansial terhadap berbagai produk yang ditawarkan, termasuk produk sista yang ditawarkan CNPMIEC dan Norinco serta buatan negara lainnya. Radar, BCV, sista meriam kaliber 57 mm, dan sista rudal QW-3 yang dipilih TNI-AD, menurut Ricardo, secara teknis sama dengan sista pertahanan udara modern buatan negara-negara maju lainnya.

Dari hasil peninjauan langsung ke Cina oleh tim teknis TNI-AD pada Juli 2006 diketahui, sista pertanan udara TD2000 itu dapat digerakkan secara otomatis dan manual. Yakni menggunakan sistem digital, sistem komputerisasi, dan sistem optical electronic.

TD2000 juga mampu menampilkan gambar sasaran dalam bentuk tiga dimensi. "Data ini jelas menunjukkan spesifikasi dan kemampuan TD2000, yang secara teknologi tidak dapat dikategorikan sebagai ketinggalan zaman," tulis Ricardo.
Hendri Firzani
[Nasional, Gatra Nomor 8, 3 Januari 2008]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.