Kamis, 19 April 2012

Terjangan Peluru dan Granat Tak Surutkan Semangat

Sigli, Aceh Selatan dan sembilan prajurit Yonif 112 / Dharma Jaya, Aceh, menjadi saksi atas peristiwa terjangan 27 peluru dan sebuah granat yang menghantam dirinya. Bersyukur Tuhan YME masih memberikan umur panjang dan semangat membara untuk terus mengabdi kepada Bangsa dan Negara.

    Peristiwa yang merubah jalan cerita kehidupan Pratu Rinanto terjadi siang hari di Sigli, Aceh Selatan, 16 April 2004.

    Setelah kurang lebih dua minggu pasukannya yang bertugas di Sigli kehabisan persediaan air, maka bersama sembilan rekannya, ia diperintahkan untuk mencari air. "Saat itu kami habis patroli dan ingin istirahat untuk mengambil air dan makanan, Disitu ada air sedikit bekas kubangan babi, tapi tetap kami minum meskipun kotor," jelas lelaki bungsu dari empat bersaudara ini.

    Tidak jauh dari markas terdapat sungai, lalu dia bersama teman-temannya turun ke sungai itu untuk mengambil air dan dimasukan ke jerigen.

    Menurut lelaki kelahiran Brebes 1981 ini, dia minta ijin pada komandannya untuk buang air. Saat itu komandannya berpesan jangan jauh-jauh agar bisa dipantau keberadaannya. Tanpa rasa curiga dan was-was dia menuju tempat yang ada ilalangnya.

    Ketika akan buka celana, secara reflek dia menengok ke kanan dan ke kiri untuk melihat situasi. Saat itulah dia melihat anggota gerombolan separatis bersenjata GAM (Gerakan Aceh Merdeka). "Lalu saya teriak 'angkat tangan', tapi dijawab dengan berondongan tembakan," ujar Rinanto. "Saya tidak menyangka disitu ada GAM, kurang lebih enam orang. Itu yang saya lihat, tapi yang tidak terlihat mungkin lebih dari itu. Mereka (GAM) bawa clurit, tombak dan senjata AK-47," tambahnya.

    Dia berteriak kepada kawan-kawannya bahwa didekat lokasinya ada GAM, lalu mereka membantunya, hingga terjadilah kontak tembak yang cukup gencar. Namun tidak lama kemudian, GAM melarikan diri dan langsung dikejar Rinanto. Dia berada didepan, karena posisinya yang paling dekat dengan anggota GAM.

    Tanpa berpikir panjang dia berlari memburu mereka (GAM). Rupanya sebagian anggota lainnya masih berada di tempat persembunyiannya. Maka, ketika dia melintasinya, dia di berondong tembakan dari belakang dan mengenai punggungnya. Karena semangatnya yang menggebu-gebu untuk melumpuhkan anggota GAM yang lari, dia tidak merasakan bahwa di punggungnya sudah menancap puluhan peluru. Langkahnya terhenti dan roboh, ketika anggota GAM melemparkan granat kearahnya, lengkaplah penderitaannya, sudah kena tembak, masih kena granat pula.

    Akibat kejadian itu, dia di evakuasi ke RS Sigli, ke Medan hingga akhirnya Ke RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Disana kemudian dia baru tahu, ternyata 27 butir peluru telah bersarang dibadannya dan ledakan granat menghancurkan paha kaki kanannya.

    Setelah kejadian itu, dia menjadi cacat dan masih merasakan sakit tapi kenyataan itu sudah ingin dia buang jauh-jauh dan tak ingin mengingatnya lagi. Saat ini 22 butir peluru sudah dikeluarkan dan lima sisanya tidak bisa karena bersarang di tulang, sehingga beresiko besar. "Yang penting saya sudah berjuang untuk merah putih. Saya tidak minta imbalan apapun," ujarnya.

    Dampak dari peristiwa itu tentunya menjadi beban moril bahkan dulu dia sempat berpikiran untuk mati saja, karena rasa sakit yang sangat menghantuinya. "Saya bersyukur karena masih hidup, tapi dulu saya pernah mau bunuh diri terjun dari lantai 6 RSPAD karena merasa sakit itu," ujarnya. Bahkan kalau melihat tentara lari-lari pagi berombongan sambil nyanyi, seperti Marinir TNI AL yang kesatuannya berdekatan dengan RSPAD, dia menangis atau bersembunyi sambil menutup telinga.

    "Meskipun sampai sekarang rasa sakit itu masih sering muncul, tapi saya sudah menyadari kesakitan seperti apapun kalau kita tetap bertahan maka rasa sakit itu tidak ada. Meskipun rasa nyeri itu masih ada, tapi saya tetap berusaha untuk menetapkan di hati saya bahwa rasa sakit itu tidak ada," tegasnya.

    Dengan kondisi yang cacat akibat pertempuran itu, tentu membutuhkan banyak dukungan keluarga. Menurut lelaki yang menjadi tulang punggung keluarga itu, keluarganya masih tetap mau menerimanya meskipun dia cacat. "Mereka justru bangga dengan perjuangan saya," tegasnya.

    Bukan hanya itu saja, kejadian ini menimbulkan rasa simpati Kasad, saat itu Jenderal Ryamizard Ryacudu, yang menjenguknya saat dia masih dirawat. Atas bantuan Jenderal Ryamizard, dia dapat pindah tugas dari kesatuan lamanya di Yonif 112/ DJ Aceh ke RSPAD Gatot Sunroto, Jakarta hingga sekarang.

    Dalam pengobatannya, selain menjalani beberapa kali operasi dan terapi, Rinanto juga berobat ke kampungnya. "Saya hanya ingin cepat sembuh, dengan kaki yang tidak dipotong. Meskipun saya sudah tidak bisa lari lagi, saya ingin tetap terus menjadi tentara, mengabdi untuk rakyat. Tugas disatuan mana saja dan menjadi apa saja saya mau, yang penting masih tentara. Kalaupun saya ditugaskan tempur lagi, saya siap. Kejadian di Aceh itu, membuat saya makin tidak takut mati," katanya serius.

    Ada dua keinginannya yang belum didapatkan. Pertama dia ingin 'pulang kampung' atau bertugas di kampungnya (Brebes, Jawa Tengah) agar dekat dengan orangtua dan saudara-saudaranya. Kedua, ingin ikut 'rehab medik' (namun sayangnya dia tidak bisa, karena persyaratannya harus pangkat bintara, sedangkan dia masih tamtama).♿ "Saya ingin sekolah rehab-medik, supaya saya bisa bikin kaki palsu untuk diri saya," kata bapak satu anak ini.

    Yang menjadi motivasinya hingga saat ini adalah orangtuanya. Anak dari empat bersaudara, yang ketiganya adalah perempuan. Dia anak lelaki sau-satunya yang menjadi tulang punggung keluarga. "Saya juga sebagai benteng keluarga, sehingga saya harus bertahan. Dan, menjadi contoh yang baik bagi keluarga," ungkap Pratu Rinanto mengakhiri pembicaraan.



(sumber Majalah Defender, Mei 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.