Kamis, 10 Mei 2012

Mengenang tenggelamnya BTR-50 P Marinir

 Tank Amfibi Tenggelam, 6 Orang Marinir Tewas

SEBUAH tank pendarat amfibi Marinir jenis BTR 50 P yang ditumpangi 15 prajurit Marinir tenggelam di lepas Pantai Banongan, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, Sabtu (2/2) pukul 04.30.

Dalam insiden yang berlangsung di tengah latihan TNI AL itu enam personel Marinir tewas dan seorang lainnya masih dicari.

Keenam personel yang tewas adalah Prajurit Satu Agus Priyanto, Kopral Dua (Kopda) Rusli Heri, Kopda Nugroho Pamungkas, Kopda Hariyadi, Sersan Dua Hadi Sutrisno, dan Prajurit Kepala Dwiniar.

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut (AL) Laksamana Pertama Iskandar Sitompul kemarin mengatakan, satu prajurit lainnya masih dicari, yakni Sersan Kepala Suryanto. ”Tank yang tenggelam sudah ditemukan di kedalaman sekitar 30 meter dengan jarak 400 meter dari pantai. Tank amfibi itu akan segera diangkat untuk kemudian diselidiki mengapa sampai tenggelam,” ujarnya.
 Latihan pendaratan

SECARA terpisah, Kepala Dinas Penerangan Korps Marinir Letkol Marinir Novarin Gunawan menjelaskan, musibah itu terjadi di tengah berlangsungnya latihan pendaratan amfibi yang melibatkan sekitar 1.300 prajurit Marinir di Pantai Banongan. ”Latihan itu merupakan bagian dari latihan tahunan TNI AL yang diberi nama Latihan Armada Jaya,” ujarnya.

Musibah, lanjutnya, terjadi saat tank meluncur dari KRI Teluk Kau 504 sejauh lebih kurang 2 kilometer menuju daratan. ”Ketika sudah berada pada jarak sekitar 400 meter dari pantai, tiba-tiba tank tenggelam. Delapan personel berhasil dievakusi menggunakan perahu karet, sementara yang lainnya ikut tenggelam,” ujar Novarin.

Ia menambahkan, saat latihan pendaratan itu berlangsung kondisi perairan masih gelap. ”Dari 15 penumpang, enam di antaranya adalah kru tank, sedangkan lainnya adalah prajurit infanteri yang akan didaratkan ke pantai,” kata Novarin.

Kepala Dinas Penerangan Armada RI Kawasan Timur (Armatim) Letkol Laut (Kh) Toni Syaiful mengatakan, Sabtu siang ditemukan satu jenazah mengambang. ”Kemarin pagi penyelam TNI AL berhasil mengevakuasi lima jenazah yang terjebak di dalam tank,” ujarnya.

Kemarin, keenam korban tewas diterbangkan ke Rumah Sakit TNI AL Dr Ramelan di Surabaya dan selanjutnya diterbangkan ke Jakarta. Menurut Novarin, korban tank tenggelam itu berasal dari Batalyon Infanteri 2 Marinir yang berkedudukan di Jakarta.

Novarin menyatakan, BTR 50 P buatan Rusia tahun 1962 itu masih layak digunakan. ”Saat ini kami masih menyelidiki penyebab tenggelamnya karena kendaraan pendarat tersebut masih layak digunakan,” kata Novarin. (SET/NWO)(KOMPAS)
 6 Jenazah Marinir Diterbangkan ke Jakarta, 1 Masih Hilang

JENAZAH 6 anggota Korps Marinir saat ini telah diterbangkan ke Jakarta dari Surabaya. Para jenazah ini akan tiba di Bandara Halim Perdanakusumah pukul 17.00 WIB, Minggu (3/2/2008).

"Saat ini sudah diberangkatkan. Kemungkinan akan sampai pada pukul 17.00 WIB," kata Kadispen Korps Marinir Letkol Marinir Novarin Gunawan kepada detikcom.

Jenazah diterbangkan dengan pesawat Cassa dari Bandara Juanda Surabaya dan akan tiba di lapangan Halim Perdanakusumah komersil. "Tiba di Halim yang komersialnya dan bukan base off," ujarnya.

Ikut terbang bersama dengan para jenazah, Komandan Korps Marinir Mayjen Marinir Nono Sampono.

Ke-6 anggota Marinir yang tewas itu adalah Pratu Marinir Agus Triyanto, Praka Marinir Dwiniar Triyanto, Kopda Marinir Hariyadi, Kopda Marinir Nugirojo Pamungkas, Kopda Sri Heri dan Serda Hadi Sutrisno.

"Masih ada satu Marinir yang belum ditemukan. Dia adalah Serka Marinir Suriyanto," ujar Novarin. Namun pihak TNI AL masih terus melakukan pencarian terhadap Serka Marinir Suriyanto(detik)
 Latihan, Panser Amfibi Tenggelam di Situbondo

Evakuasi Tank
ENAM jenazah anggota Marinir yang menjadi korban tenggelam dalam latihan operasi amfibi di Pantai Banongan, Situbondo, Sabtu lalu, disemayamkan di Markas Divisi 2 Marinir, Cilandak, Jakarta Selatan, kemarin (3/2). Keenam korban tewas itu adalah sebagian di antara 15 anggota Marinir di Panser Amfibi (Pansam) Marinir BTR-50 yang tenggelam 25 meter di bawah permukaan laut. Evakuasi korban kecelakaan yang terjadi pada pukul 04.30 itu berakhir kemarin. Operasi amfibi tersebut bagian dari latihan perang Armada Jaya di Situbondo, Jawa Timur.

"Pansam itu buatan Rusia tahun 1962," ujar Kepala Dinas Penerangan Mabes TNI Angkatan Laut Laksamana Iskandar Sitompul kepada wartawan di Wisma Elang Jakarta (3/2).

Menurut Iskandar, panser yang mengalami musibah itu diluncurkan dari daerah serbuan amfibi oleh kapal pendarat KRI Teluk KAU/504 pada posisi 07'41'4"S-114'13'42"T pukul 04.30. "Saat itu, panser telah menempuh jarak 1.300 meter. Sekitar 400 meter lagi menuju pantai, tiba-tiba bagian belakang panser goyang karena tergulung ombak hampir dua meter," katanya.

Adik kandung pengacara Ruhut Sitompul itu menjelaskan, saat panser tenggelam, pemimpin pasukan dalam panser segera melakukan prosedur penyelamatan. Di antara 15 personel itu, sembilan bisa keluar dan sisanya terperangkap di kabin. Di antara sembilan orang yang berhasil keluar, delapan selamat, satu orang masih hilang (Serka Marinir Suryanto).

Enam orang yang terperangkap dan meninggal adalah Pratu Agus Priyanto, Kopda Rusli Heri, Serda Hadi Sutrisno, Kopda Nugroho Pamungkas, Kopda Hariyadi, dan Praka Dwi Niar Priyanto. Mereka itulah yang kemarin disemayamkan di Markas Divisi 2 Marinir, Cilandak.

Delapan korban selamat yang dirawat di RSAL Ramelan Surabaya adalah Praka Sarmilih, Kopda Mulyono, Kopda Wahyono, Letda Krama Lubis, Praka Iwan Setiawan, Kopda Wigati, Pratu Purwanto, dan Sertu Mujirin.

"Tim sudah menyelidiki dan sedang mengangkat tank yang karam," kata Iskandar. Dugaan sementara, cuaca buruk dan usia pansam yang sudah tua menjadi penyebab. Rencananya, pemakaman terhadap enam korban dilakukan di Ciledug, Banyumas, Cirebon, dan Pangkalan Jati Jakarta.

Latihan Armada Jaya ke-27 tersebut melibatkan 28 KRI, 9 pesawat udara, 13 unit tank amfibi, dan 25 unit panser amfibi BTR 50 P 1962 serta melibatkan 3.758 personel. Marinir sebenarnya mempunyai 96 pansam jenis itu. Namun, dalam latihan tersebut, hanya 25 buah yang dipakai. Pada umumnya, BTR-50 berasal dari dua negara, yaitu BTR-50 P Rusia dan BTR-50 PK Ukraina.

Kondisi pansam itu memang sangat tua sehingga beberapa kali dilakukan perawatan (retrofit). Misalnya, evaluasi power pack (engine dan transmisi) dan driveline sistem penggerak. Evaluasi pada power pack, khususnya engine dan transmisi, bertujuan untuk mengetahui daya dorong serta daya getar yang ditimbulkan saat terjadi combution dengan bahan bakar. Kendaraan berat mampu dipacu dengan kecepatan di darat 44 km/jam dan 10,2 km/jam di air.

Secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Marsekal Muda Sagom Tamboen menyatakan, TNI selalu memeriksa alutsista. "DPR juga sudah mendapat laporannya," katanya.

Apakah ada pembelian alutsista baru terkait dengan musibah itu? Sagom mengakui kendala keterbatasan anggaran belum mungkin. "Kami akan evaluasi ulang dulu seluruhnya," jelasnya.
 Spesifikasi Tank Amfibi BTR-50P yang Naas di Situbondo

BTR-50P adalah singkatan dari Browne Transporter 50 Palawa. Kalau sudah dimodifikasi, namanya menjadi BTR-50PM atau Browne Transporter 50 Palawa Modification. Tank amfibi inilah yang mengalami musibah di Situbondo. Apa kelemahan dan spesifikasi kendaraan tempur ini? Korps Marinir TNI AL, selain mengandalkan pasukan, juga mengedepankan kendaran lapis baja. Berbeda dengan arsenal sejenis milik TNI AD, kemampuan bermanuver di dua alam alias amfibi jadi syarat utamanya.

Menurut catatan Surya, sejauh ini Korps Marinir punya beberapa kendaraan amfibi. Di antaranya tank PT-76 (buatan Rusia), BTR-50 PK Panser Amfibi (pansam) buatan Ukraina, Czech BVP-2 Arhanud (Slovakia) yang merupakan varian BMP 2 Rusia, Panhard VBL, BTR 80A, AMX 10 P/PAC 90, dan yang terbaru BMP 3F yang hadir akhir 2007.

TNI pernah menggelar operasi serupa yang terbilang lumayan besar. Sebut saja pada 1958, TNI menggelar operasi amfibi di Pantai Padang dalam operasi penumpasan PRRI/Permesta.

Bagi orang awam, perkara mendaratkan kendaraan tempur (ranpur) ke darat dari kapal pengangkut tank (LST-Landing Ship Tank) nampaknya gampang. Bayangannya tinggal buka pintu LST, lalu... byuuur, ranpur berenang menuju pantai sasaran. Kenyataannya tidak semudah itu. Persiapan yang dilakukan ternyata lumayan ribet.

Kondisi mesin, misalnya, mesti fit benar kalau tak mau tank berubah jadi rumpon di dasar laut. Biar tak kedodoran saat berenang di laut, maka sistem propulsi di air pada ranpur amfibi juga mesti sehat. Kualifikasi tadi wajib dipatuhi, baik pada sistem water-jet, gerakan rantai, dan baling-baling.

Tak kalah penting, setiap bagian bergerak semisal hub-hub (seal sambungan) roda juga wajib kena gemuk alias dipet. Demikian pula bagian pintu. Bagian-bagian ini ditengarai jadi biang rembesnya air ke dalam kabin. Untuk mengatasi rembesan air, kendaraan lapis baja juga dilengkapi pompa. Setidaknya ada empat pompa penghisap air bisa dioperasikan, baik secara elektrikal maupun mekanikal.

Dalam operasi, pendaratan digelar pada jarak antara 2.000 hingga 3.000 mil dari tepi pantai. Satu unit kapal pendarat (LST) bisa dijejali sekitar 15 unit ranpur. Komposisi kendaraan tempur juga bervariasi, tergantung kebutuhan. Tapi biasanya komposisi yang dianut adalah satu banding dua. Artinya, satu ranpur berkemampuan serang (BVP-2 atau PT-76) untuk dua unit ranpur pengangkut personel/APC (BTR-50).

Operasi amfibi umumnya digelar di pagi buta. Penerangan lampu jelas diharamkan lantaran dianggap mementahkan unsur pendadakan. Alhasil, selain radio komunikasi, agar tak terjadi tabrakan antar ranpur maka diandalkan semacam fosfor sebagai penandai antar ranpur. Masih untuk urusan sama, tiap ranpur yang keluar dari perut LST diberi jeda waktu sekitar satu menit. Selanjutnya, sampai jarak kurang lebih 500 mil dari pantai, formasi ranpur amfibi yang mulanya berbentuk banjaran (berbaris) diubah jadi shaft (jajaran). Saat mulai menyentuh daratan, maka sistem propulsi yang dipakaipun diubah, yaitu gabungan antara water-jet dengan putaran roda rantai. Hasilnya, laju ranpur terasa berat.

Arsenal lapis baja yang biasa digelar Korps Marinir juga menarik dibedah. Tipe pertama adalah ranpur APC BTR-50 P/PK, atau di lingkungan Marinir sering dikategorikan Pansam (panser amfibi). Sedangkan tipe kedua, ranpur arhanud (arteleri pertahanan udara), BVP-2. Ranpur BTR-50 dii negeri asalnya, Uni Soviet (kini Rusia), kendaraan ini operasional tahun 1955. Awalnya, kabin berkapasitas 20 pasukan bersenjata lengkap ini tak punya penutup atas. Baru pada 1960 dengan alasan guna mendongkrak proteksi penumpang, maka varian BTR-50 PK dilengkapi tutup kabin (hatch). Varian terakhir inilah yang sampai sekarang dipakai Korps Marinir.

Soal konsumsi bahan bakar jauh beda dibandingkan dengan kendaraan biasa. Sebagai gambaran, BTR-50 berkapasitas solar penuh (full tank) sekitar 260 liter ternyata hanya mampu menjelajah 260 km. Ini artinya, satu liter solar hanya mampu mendorong sejauh 1 km. Angka 44 km/jam adalah patokan kecepatan maksimal bila berjalan di jalan raya. Sedang bila melahap medan off-road kecepatan tadi anjlok pada angka 25 km/jam.

Di laut, BTR- 50 mengandalkan dua unit water-jet saat bergerak di air. Kedua piranti ini sanggup menghela badan ranpur pada kecepatan 10 km/jam. Tak hanya maju, kendaraan ini bisa juga berenang mundur pada kecepatan 5 km/jam. Selain itu BTR-50 mampu menerjang ombak berketinggian maksimal 1,5 m.

Identik dengan pansam meriam PT-76 , BTR-50 masuk jajaran organik Marinir tahun 1962. Pengadaannya waktu itu sebagai bagian persiapan Operasi Trikora. Tak langsung pensiun begitu operasi ini usai, perjalanan karir BTR-50P terus berlanjut. Keandalannya kembali teruji dalam berbagai operasi militer pasca Trikora, termasuk Operasi Seroja (1975/79).

Namun, namanya musibah bisa datang dari apa saja. Dalam kasus musibah di Situbondo ini, ketika tank BTR-50P keluar dari LST, ternyata cuaca sangat tidak bersahabat. "Ketika menuju daerah pendaratan, ombak sangat besar dan menggulung tank tersebut," kata Laksma TNI Iskandar Sitompul, Kadispen TNI AL, melalui faksimili yang dikirimkan ke Harian Surya, Minggu (3/2) malam. Apesnya, ketika perintah escape dari panser amfibi diberikan dengan cara membuka pintu, sembilan prajurit pertama bisa keluar. Setelah itu ada satu prajurit tersangkut atau kecantol di pintu panser. "Maka enam prajurit yang masih ada di dalam terperangkap tidak bisa keluar," katanya.

Kemudian diketahui, selain enam prajurit tewas, seorang prajurit lainnya masih hilang. Pada era 1990-an, TNI pernah mendatangkan ranpur sejenis asal Ukraina. Varian ini mengusung kode BTR-50PK dan dipakai untuk mengganti sejumlah BTR-50 P yang sudah tak layak operasional lagi.

Data Teknis BTR-50 P/PK
Dimensi : Panjang: 7,07m; lebar:3,14 m; tinggi:2,15 m
Bobot : Berat kosong 14,5 ton; Berat siap tempur 16,5 ton
Daya angkut :2,5 ton
Kemiringan maksimal tanjakan : 38 derajat
Rintangan tegak : Setinggi 1,1 m parit; selebar 2,8 m
Kecepatan di jalan raya : 44 km/jam; di air: 10,2 km/jam
 Kronologi Musibah Tewas dan Hilangnya 7 Prajurit Marinir

SABTU 02 Februari 2008
1. Tank amfibi jenis BTR 50-P keluar dari perut kapal perang Landing Ship Tank (LST) KRI Teluk Kau-504, Sabtu (2/2) dini hari pukul 04.30 WIB dengan jumlah 15 orang personel korps marinir.

2. Tank amfibi itu berlayar menuju pantai pendaratan dengan jarak sekitar 6.000 yard atau 1.700 meter. Setelah mendekati daerah pendaratan, sekitar 1.200 yard atau 400 meter, tank tergulung ombak.

3. Oleh komandan tank/panser, para prajurit diperintahkan membuka pintu untuk prosedur escape. Sebagian personil dapat keluar sebanyak 9 orang, namun 1 orang tersangkut pada pintu sehigga enam orang yang masih di dalam tank tidak bisa keluar. Mereka terperangkap dalam tank dan tenggelam di kedalaman sekitar 25 meter.

Personel yang tewas 6 orang dan satu orang hilang, semua dari Pasmar II Jakarta/Divisi II Marinir Wilayah Barat:
* Pratu (Mar) Agus Triyanto
* Praka (Mar) Dwiniar Triyanto
* Kopda (Mar) Harijadi
* Kopda (Mar) Nugirojo Pamungkas
* Kopda (Mar) Sri Heri
* Serda (Mar) Hadi Sutrisno
* Korban hilang: Serka (Mar) Suriyanto
Sumber : Kadispenal Laskma TNI Iskandar Sitompul
 Duka menyelimuti Korps Marinir

ENAM prajuritnya tewas dan seorang lainnya masih hilang, saat mereka latihan tempur di Pantai Banongan, Situbondo, Sabtu (2/2) dini hari. Penyebabnya, usia panser amfibi sudah tua dan buruknya cuaca di lokasi latihan.

Surabaya - Surya, Latihan tempur Korps Marinir di Pantai Banongan, Asembagus, Situbondo yang bersandi Armada Jaya XXVII/2008, menelan tewasnya enam prajurit dan seorang masih hilang.

Peristiwa itu terjadi pada Sabtu (2/2) dini hari sekitar pukul 04.30 WIB, saat pasukan marinir beraksi dalam pendaratan pasukan amfibi di pagi buta itu menggunakan tank atau panser amfibi (pansam) jenis BTR-50P buatan Rusia tahun 1962.

Insiden tenggelamnya tank amfibi ini dikarenakan peralatan tempur tersebut sudah cukup tua, dan adanya cuaca buruk di lokasi latihan tempur.

Laksma TNI Iskandar Sitompul, Kepala Dinas Penerangan TNI AL, menjelaskan pansam BTR-50 P tersebut meluncur dari KRI Teluk Kau 504, sebuah kapal perang jenis Landing Ship Tank (LST), pada posisi 07' 41' 4" S - 114' 13' 42" T. Pansam ini meluncur sekitar pukul 04.30 WIB, Sabtu dini hari, menuju pantai dengan jarak sekitar 5.000 yard atau sekitar 1.700 meter. Pada awalnya pansam ini berlayar lancar dengan mengangkut 15 prajurit marinir. Namun di tengah pelayaran mendapat guncangan hebat karena diterjang ombak dan cuaca buruk. "Tergulungnya pansam oleh ombak itu tepat pada posisi sekitar 1.200 yard atau sekitar 400 meter dari bibir pantai," kata Iskandar Sitompul melalui rilisnya kepada Surya, Minggu (3/2) malam.

Ketika panser terguncang ombak, seketika Komandna pansam Sertu (mar) Mujirin memerintahkan prajurit membuka pintu pansam untuk langkah escape atau penyelamatan para personel. Saat itu ada sembilan personel berhasil keluar, namun seorang di antaranya tersangkut pada pintu pansam.

"Karena ada prajurit yang tersangkut di pintu, enam prajurit lainnya terkurung di dalam pansam," kata Iskandar. Beberapa saat kemudian, pansam tenggelam bersama enam prajurit terperangkap di dalamnya pada kedalaman laut 25 meter. Sedangkan dari sembilan yang berhasil keluar, seorang di antaranya kini masih belum ditemukan.

Semua prajurit yang ada di dalam pansam tersebut berasal dari Batalyon II Korps Marinir yang berada di bawah Brigif II Korps Marinir Wilayah Barat yang bermarkas di Jakarta. Keenam prajurit yang tewas adalah Pratu (Mar) Agus Triyanto, Praka (Mar) Dwiniar Priyanto, Kopda (Mar) Hariyadi, Kopda (Mar) Nugroho Pamungkas, Kopda (Mar) Rusli Heri, dan Serda (Mar) Hadi Sutrisno, dan prajurit yang belum ditemukan adalah Serka (Mar) Suryanto. Sedangkan delapan prajurit yang selamat adalah Prama (Mar) Sarmili, Kopda (Mar) Mulyono, Kopda (Mar) Wahyuno, Letda (Mar) Krama Lubis, Praka (Mar) Iwan Setiawan, Kopda (Mar) Wijati, Pratu (Mar) Purwanto, dan Sertu (Mar) Mujirin sebagai Komandan pansam.

"Kasus ini sekarang dalam penyelidikan Mabes TNI AL," ujar Iskandar Sitompul. Iskandar menyebut insiden itu lebih karena sudah tuanya usia panser buatan Rusia itu, yakni 62 tahun. "Faktor usia ada, tapi faktor cuaca juga kurang bersahabat," katanya.

Kadispen Armatim Letkol Laut Toni Syaiful ketika dikonfirmasi menjelaskan, dalam latihan di Situbondo itu TNI AL mengerahkan 23 kapal perang. Semuanya terdiiri Landing Ship Tank (LST) 5 unit yakni KRI Teluk Banten, KRI Teluk Penyu, KRI Teluk Sampit, KRI Teluk Hading, dan KRI Teluk Tank untuk pendaratan dimuat dalam lima KRI tersebut.

Selain itu ada KRI KRI Surabaya (jenis Landing Platform Dock/LPD), KRI dr Suharso (jenis LPD khusus kapal rumah sakit), keduanya buatan Korea Selatan, juga KRI Ahmad Yani, KRI Oswaald Siahaan, KRI Karel Satsuitubun (jenis vanspeijk) buatan Belanda, KRI Fatahila, KRI Nala (jenis korvet buatan Belanda), KRI Patiunus, dan KRI Diponegoro (jenis korvet, kapal canggih buatan Belanda yang baru masuk TNI AL akhir 2007.

Menurut Toni Syaiful, informasi terjadinya kecelakaan sebenarnya sudah diketahui sejak awal dan langsung dilakukan pencarian dengan menyelam. Evakuasi dilakukan pada Minggu (3/2) pagi sekitar pukul 10.00 WIB, dan berhasil mengeluarkan enam jenazah dari pansam.

Keenam jenazah kemudian dievakuasi ke KRI dr Suharso. Dari sana kemudian diterbangkan dengan dua helikopter jenis Bell menuju RSAL Dr Ramelan Surabaya untuk kepentingan identifikasi.

Setelah itu, dengan menggunakan pesawat Cassa dari Wing Udara Armatim, jenazah diterbangkan ke Halim Perdana Kusuma dan diteruskan ke Brigif II untuk diserahkan kepada keluarga masing-masing. Ikut terbang bersama dengan para jenazah, Komandan Korps Marinir Mayjen Marinir Nono Sampono, Sedangkan seorang prajurit yang belum ditemukan, menurut Toni Syaiful, masih terus dicari. Namun karena cuaca buruk, pencarian dihentikan pada Minggu (3/2) sore.
 Dilarang Diliput

LIMA dari enam jenazah, Minggu sekitar pukul 17.30 WIB tiba di Base Off Lapangan Udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta. Sekitar 10 menit setelah rombongan Wapres Jusuf Kalla mendarat di tempat yang sama usai memantau perkembangan banjir Jakarta lewat udara. Sedangkan satu jenazah lagi diberangkatkan ke Banyumas, Jateng, langsung dimakamkan oleh keluarga mereka.

Kelima jenasah dibawa menggunakan pesawat Casa 212/200 Skuadron Udara 400 Lanud AL Juanda Surabaya. Kedatangan kelima jenazah disambut dengan upacara militer dipimpin Komandan Korps Marinir (Dankomar) Mayjen TNI Nono Sampurno. Suasana tampak hening ketika peti jenasah dipindahkan dari pesawat ke kereta jenasah.

Usai upacara dilaksanakan, kelima peti jenazah yang ditutupi bendera merah putih tersebut langsung dimasukkan kedalam mobil jenazah berwarna biru muda milik TNI AL. Upacara penerimaan jenasah dilakukan tertutup bagi wartawan. Satu peleton pasukan marinir hadir dalam upacara tersebut. Tampak sejumlah ambulan mendekati pesawat yang mengangkut jenasah. Beberapa karangan bunga diletakkan dekat pesawat.
  Selalu Mencekam Saat Tank Meluncur dari Kapal

AKSI pendaratan pasukan amfibi marinir dari kapal perang menuju pantai dalam sebuah penyerbuan ke daerah pertahanan musuh, selalu menjadi momen paling menegangkan dan penuh risiko. Proses itu selalu dibayang-bayangi ancaman kecelakaan, terutama saat para prajurit yang ada di dalam tank/panser amfibi (pansam) meluncur keluar dari perut kapal perang jenis Landing Ship Tank (LST). Saat keluar dari perut kapal perang, tank atau pansam langsung nyemplung ke laut. Jika mesinnya berfungsi baik, maka dalam beberapa detik saja tank itu muncul kembali ke permukaan laut sambil memompa air lewat dua lubang di belakang. Pansam kemudian berenang perlahan dengan kecepatan sekitar 10 knot ke pantai.

Tetapi saat nyemplung laut dan mesin tiba-tiba mati atau tak berfungsi, maka tank berserta seluruh prajurit yang ada di dalamnya pasti akan tenggelam terus ke dasar laut. Langkah escape (keluar dengan cara membuka pintu/jendela pansam) biasanya diperintahkan komandan pansam. Akan berisiko tinggi apabila keluarnya para prajurit dibarengi kepanikan karena banyaknya prajurit yang harus antri keluar dari pintu atau jendela itu.

"Detik-detik keluar dengan panser dari kapal perang memang sangat menegangkan bagi prajurit marinir," ujar seorang prajurit marinir yang tak mau disebut jati dirinya, saat menyaksikan pendaratan tank marinir di Pantai Banongan, Asembagus, Situbondo, Sabtu (2/2) lalu. Menurut prajurit berpakaian loreng plus baret ungu ini, kecelakaan saat pendaratan seperti ini sering terjadi. Karena itu, tank yang dinilai tidak layak atau mesinnya kurang bagus, biasanya tidak digunakan lagi dalam pendaratan karena risikonya terlalu besar. "Hanya tank yang bagus saja yang biasanya digunakan untuk pendaratan," ujarnya.

Saat pendaratan di Pantai Banongan kemarin, ada lima KRI jenis LST yang mengangkut 17 tank atau pansam. Satu persatu tank keluar dari perut kapal perang dan menyeberang ke pantai dalam suasana pagi yang masih masih gelap. Surya yang menyaksikan aksi pendaratan itu dari pantai melihat aksi itu cukup mendebarkan. Raungan mesin tank dan kepulan asap tebal yang keluar dari cerobongnya mewarnai suasana pagi itu. Tak lama kemudian tank tersebut tiba di darat dan sebagian langsung meluncur ke arah pegunungan untuk melanjutkan serangan dan sebagian berhenti di bibir pantai.

Dari sejumlah kendaraan pendarat amfibi (Ranratfib) tersebut ada dua jenis yang memiliki meriam yakni PT 76 buatan Rusia tahun 1961 yang sudah dimodifikasi menjadi PT 90 dengan menggunakan mesin baru buatan Detroit, Amerika Serikat.

Tank amfibi ini menggunakan senjata atau meriam jenis Cannon 76 mm dengan jarak tembak maksimum 1.200 meter. Dengan kapasitas enam butir mampu meluncur setiap menit. Sedangkan tank BTR-50P terdiri dari dua jenis yakni BTR-50PM dan 50PK, keduanya buatan Rusia tahun 1961. Masing-masing mampu mengangkut 18 personel. Tank itu menggunakan senjata mesin 12,7 mm dengan efektif tembakan mencapi 1.800 meter.

Kepada wartawan saat jumpah pers usai latihan, KSAL Laksamana TNI Sumardjono mengakui tank tersebut memang sudah tua, namun karena sudah dimodifikasi, tank ini dianggap masih layak. Hal itu dibenarkan oleh Mayjen TNI (Mar) Nono Sampono. Dia mengatakan PT 76 sudah dimodifikasi menjadi PT 90 dan dapat digerakan otomatis serta masih layak digunakan. Namun dengan terjadinya musibah dalam latihan tempur di Situbondo kemarin, Mabes TNI AL memutuskan akan mengevaluasi seluruh pansam BTR-50P. "Tentu kita akan evaluasi, mulai hari ini (Minggu,3/2)," kata Kepala Dinas Penerangan Mabes TNI AL Laksamana Pertama Iskandar Sitompul, di Jakarta, Minggu.

Ia mengatakan, saat ini TNI AL memiliki 96 pansam tersebar di Brigade Infanteri (Brigif) I dan II Marinir. Ke-96 Pansam BTR-50P itu buatan Rusia tahun 1962 dan telah mengalami peremajaan pada 1996. "Jadi, sebenarnya masih dalam batas waktu pemakaian, namun dengan kejadian ini akan kita evaluasi seluruh pansam yang kita punya," ujar Iskandar.
Sumber :
KOMPAS
Detik
Surya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.