Senin, 18 Juni 2012

Analisa Pencitraan Buruk TNI oleh Kelompok Sipil

Kondisi sosial di Papua membutuhkan penanganan yang tepat. Prajurit TNI yang ditugaskan di Bumi Cendrawasih memiliki beban yang tidak sedikit. Beban pertama adalah jauh dari keluarga tercinta, dan kedua ancaman penyerangan dari kelompok sipil. Hal itu terbukti dengan meninggalnya Pratu Ahmad Ruslan setelah dikeroyok oleh sejumlah warga. (kompas.com)

Namun, bagi prajurit TNI, beban yang demikian berat itu tidak akan membuat mereka surut. Seorang prajurit yang setia terhadap NKRI, akan menerima tugas dengan lapang dada, meski resiko kematian membentang di depan mata. Sebagai alat negara, TNI senantiasa menerima perintah komando dari atasan mereka.

TNI sebagai institusi yang paling reformis (menurut survei LSI), harus memainkan posisinya sebagai alat pertahanan. Namun, di sisi lain, masih saja ada kelompok-kelompok sipil yang bersikap sinis. Sinisme ini ditunjukkan mereka dengan cara menyudutkan institusi TNI di banyak media, baik media mainstream ataupun sosial media.

Ada banyak motif yang dilakukan kelompok-kelompok sipil yang sinis terhadap TNI. Jika melihat isu-isu yang dimainkan kelompok-kelompok sipil tersebut, ada empat motif utama, di antaranya adalah:

1. Mengaitkan TNI dengan kasus-kasus pelanggaran HAM, terutama yang terjadi di Papua.

2. Mengusik anggaran alutsista TNI dengan menghembuskan isu-isu penyalahgunaan anggaran.

3. Bersikap tidak adil terhadap TNI. Caranya adalah membesar-besarkan perilaku negatif oknum TNI, dan mengecilkan prestasi prajurit TNI

4. Menanamkan citra represif ABRI ke institusi TNI

Isu pelanggaran HAM di Papua menjadi sangat seksi digaungkan kelompok-kelompok sipil yang sinis terhadap TNI. Isu ini untuk menyerang institusi militer Indonesia, dan diwacanakan secara terus menerus di media massa. Kasus pengeroyokan yang menyebabkan meninggalnya prajurit TNI di Papua, tidak diangkat dari sisi yang menguntungkan citra TNI. Media mengangkat pemberitaan ini dari sisi yang merugikan TNI.

Melalui kelompok-kelompok sipil yang berafiliasi ke media ini, citra TNI pun rusak. Ibarat kata, yang menjadi korban pengeroyokan adalah prajurit TNI, tapi yang dianggap melanggar HAM adalah TNI juga. TNI pun seolah tidak berdaya dengan wacana yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok sipil tersebut.

Selain itu, kelompok-kelompok sipil yang bermain di Papua, memang sepertinya tidak menginginkan keberadaan TNI di sana. Hal ini bisa dibuktikan dengan tuntutan-tuntutan agar TNI keluar dari Bumi Cenderawasih, dengan alasan HAM. Padahal, keberadaan TNI di sana untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan NKRI. Aspirasi mayoritas warga Papua yang pro-TNI menjadi tidak dianggap, karena mereka tidak memiliki akses ke media mainstream.

Media massa yang disusupi kelompok-kelompok sipil yang sinis terhadap TNI, juga ikut andil untuk membuat citra buruk. Pemberitaan tentang aksi-aksi sosial TNI di Papua tidak mendapat porsi yang memadai. Jika ada prajurit TNI menembak warga sipil, meski tidak menimbulkan korban jiwa, maka porsi pemberitaannya ada di halaman satu (headline) dengan judul yang besar dan mencolok. Tapi, jika ada aksi sosial TNI membantu warga sipil di Papua, porsi pemberitaannya hanya di halaman dalam, itupun dengan judul yang kecil dan posisinya di bawah nyaris tidak terbaca.

Hal lain yang juga tidak boleh luput dari pengamatan TNI adalah upaya menggembosi institusi ini dengan cara mengusik anggaran alutsista. Semua orang pasti mafhum, negara yang kuat membutuhkan alat utama sistem persenjataan yang canggih. Konsekuensi alutsista yang canggih adalah dengan menggelontorkan dana yang besar. Namun, upaya untuk memperkuat TNI dengan persenjataan yang canggih ini ditentang dengan berbagai cara oleh kelompok-kelompok sipil.

Dari beberapa isu yang berkembang di dunia maya, salah satu yang paling seksi untuk diserang adalah pengadaan pesawat tempur Sukhoi. Jatuhnya pesawat komersil Sukhoi Superjet 100 di gunung Salak menjadi titik awal. Sikap sinis kelompok-kelompok sipil ini dituangkan melalui tulisan, opini, gagasan, wacana dan pendapat agar TNI gagal membeli pesawat tempur Sukhoi. Alangkah bagusnya jika TNI mewaspadai kemungkinan adanya persaingan bisnis di balik pengembangan isu ini. Maksudnya, bisa jadi ada perusahaan-perusahaan asing yang tidak menginginkan agar TNI menjalin bisnis dengan Rusia di balik pembelian pesawat tempur Sukhoi. Bisa jadi pula, kelompok-kelompok sipil itu menerima dana yang besar dari perusahaan-perusahaan penerbangan asing untuk menciptakan wacana sesat terhadap institusi TNI.

Selain masalah Papua dan Sukhoi, TNI juga harus menganalisa ancaman dari kelompok-kelompok sipil melalui pengembangan disinformasi di media. Seperti yang sudah diulas di atas, sikap tidak adil terhadap TNI begitu nyata dan kentara. Bukti dari upaya penyesatan opini ini terjadi pada kasus pemukulan Kapten Infanteri MA dengan seorang pengemudi motor. Melalui tayangan video yang diunggah di youtube, media memberi cap terhadap MA dengan koboi palmerah. Istilah koboi palmerah ini menjadi sumir karena pada awal video ini diunggah, belum diketahui duduk perkara yang sebenarnya. Namun, opini yang berkembang di publik sudah terlanjur dibentuk. Opini itu tentunya menyesatkan dan merusak citra TNI.

Terakhir, motif yang dimainkan kelompok-kelompok sipil yang sinis terhadap TNI adalah dengan menanamkan kembali ingatan usang tentang represif ABRI. TNI sudah berubah, dan meninggalkan gaya-gaya lama ABRI. Hal itu bukan hanya jargon, tapi juga dibuktikan dengan melahirkan regulasi yang mengatur agar fungsi TNI hanya sebagai alat pertahanan negara, sementara urusan keamanan dan domestik dipegang sepenuhnya oleh Polri. TNI pun tidak lagi berpolitik, dan benar-benar berkonsentrasi penuh untuk menjaga keutuhan dan kedaulatan negara.

Namun, dalam perjalanannya, upaya TNI untuk menjalankan fungsinya selalu dicurigai dan ditentang. Buktinya pembahasan RUU Keamanan Nasional yang diajukan pemerintah hingga kini masih terkatung-katung. Berbagai komentar tentang RUU Kamnas yang disampaikan kelompok-kelompok sipil yang sinis terhadap TNI, menjadi bukti bahwa ada upaya untuk menyamakan TNI yang reformis dengan ABRI yang represif dan totaliter. (*)

Malik Bewok (Kompasiana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.