Minggu, 24 Juni 2012

Intel Cantik Mengintai Republik

JANE FOSTER I
Seorang perempuan muda nan menawan, bekerja sebagai mata-mata, berada di tengah euforia penyerahan Jepang di Indonesia.

OLEH: BUDI SETIYONO

SEBUAH pertemuan terjadi di rumah Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo pada 28 September 1945. Jane Foster dari Kantor Dinas Strategis (OSS) -pendahulu CIA- dan Letnan Kolonel K.K. Kennedy dari pasukan Sekutu, pengawas militer AS, mewawancarai sejumlah tokoh terkemuka Republik untuk mengetahui pandangan mereka. Selain Subardjo, hadir Sukarno, Mohammad Hatta, Amir Sjarifuddin, Iwa Kusumasumantri, dan Kasman Singodimedjo. Ada satu tokoh lagi yang hadir, dengan nama samaran Kasman, yakni Tan Malaka.

Laporan dalam simpanan arsip OSS, sebagaimana dikutip Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946, menyebutkan bahwa di awal rapat, Kennedy menjelaskan bahwa misi AS merupakan misi intelijen sepenuhnya, dan kedatangan mereka tak bisa diartikan sebagai pernyataan persetujuan terhadap gerakan nasional Indonesia. Sukarno membalas, semua yang hadir memahaminya. Sukarno kemudian meminta maaf karena tak bisa bicara banyak dan menunjuk Soebardjo sebagai juru bicara. Namun pembicaraan kemudian lebih banyak dilakukan Kasman, dengan diselingi keterangan Sukarno, Hatta, dan Soebardjo. Pertemuan antara lain membahas soal penyitaan perusahaan-perusahaan besar, modal asing, dan peranan Sekutu dalam proses transisi.

Sesudah pertemuan, Jane Foster segera kembali ke markas. Dia melaporkan bahwa gerakan nasionalis Indonesia “bukanlah bagian dari rencana besar Rusia ataupun Jepang untuk menggulingkan imperialisme Barat, melainkan ledakan alami atas tumpukan kekesalan yang sudah menggelora selama berpuluh-puluh tahun.” Foster juga menegaskan bahwa rakyat Indonesia “tidak merencanakan revolusi. Mereka mau membicarakan perdamaian.”

Selain itu, dikutip Frances Gouda dan Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika?, “pemerintah Republik sangat menginginkan agar modal Amerika ditanamkan di Indonesia” dan “melanjutkan ekspor bahan mentah seperti sebelum Perang Dunia II”.

Informasi Foster sangatlah berharga bagi AS. Begitu Jepang menyerah, pemerintah AS nyaris tak punya informasi dan pemahaman yang memadai mengenai Indonesia. Agen-agen OSS menjadi satu-satunya sumber informasi intelijen Washington. Terlebih, Konsul Jenderal Amerika Serikat di Jakarta masih berada di Australia dan belum kembali ke posnya di Jakarta hingga pertengahan Oktober.

Foster dan agen OSS lainnya tiba di Jakarta pada 15 September. Meski awalnya Washington tak ingin terlibat langsung di Asia Tenggara, Washinton memutuskan mengambil langkah ini. Lord Louis Mountbatten, panglima tertinggi Sekutu di Asia Tenggara, mengizinkan OSS beroperasi di wilayah South East Asia Command (SEAC) sampai perwakilan diplomatik Amerika Serikat bisa bekerja. Tim OSS akan menjalankan fungsi Rehabilitasi Tahanan Perang Sekutu dan Interniran (RAPWI), memperoleh informasi tentang kejahatan perang, dan melindungi properti Amerika. Namun Washington juga menggunakan OSS untuk mengumpulkan data-data intelijen soal politik, militer, dan ekonomi.

Agen-agen OSS datang sebagai bagian dari misi Misi Militer Sekutu yang berada di bawah komando Laksamana Muda W.R. Patterson. Di dalam kapal Patterson, HMS Cumberland, ikut juga para pejabat RAPWI dan personel Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Menurut Andrew Roadnight, United States Policy Towards Indonesia in the Truman and Eisenhower Years, tim OSS dipimpin oleh Jane Foster tapi kemudian digabungkan dengan Letnan Kolonel KK Kennedy, pengawas militer AS, pada 25 September. Sumber lain, Robert J. Leupold dalam tesisnya “The United States and Indonesian Independence 1944-1947”, menyebutkan OSS, yang dia sebut sebagai “tim komunikasi dan intelijen”, berada di bawah pimpinan Kapten Richard B. Shaw.

Foster memainkan peranan penting sebagai penghubung OSS. Begitu tiba, Jane Foster, kala itu berusia 33 tahun, mencari kontak dengan Sukarno –yang menurut pandangannya seorang gentlement yang memikat gaya bicaranya, tampan, dan berwibawa, dan fasih bahasa Inggris– untuk menjajaki pandangannya dan kabinetnya. Dia juga melakukan perjanjian lisan dengan para pemimpin yang masih di bawah tanah. Dalam otobiografinya, An Unamerican Lady, Jane Foster menyebut tugasnya sebagai staf OSS mengikuti perkembangan politik di Indonesia serta melakukan hubungan teratur dengan Sukarno dan kabinetnya.

Indonesia bukanlah tempat yang asing bagi Foster. Pada Oktober 1936, dia menikah dengan diplomat Belanda, Leendert “Leo” Kamper, dan tinggal di Jawa. Pernikahan mereka bertahan selama 18 bulan. Selama proses perceraian, dia pergi ke Bali dan tetap di sana hingga kembali ke Amerika pada September 1939. Tak heran jika dia bisa berbahasa Melayu.

Latar belakang Foster terbilang unik. Dia lahir pada 1912 dan tumbuh di San Francisco, California, dari keluarga kaya. Ayahnya, Harry Emerson Foster, adalah direktur medis Cutter Laboratories di Berkeley. Dia lulusan Mills College di Oakland, California.

Foster mulai bekerja di OSS pada 1943, ditempatkan di Salzburg, Austria. Tak lama kemudian dia menempati pos di Kandy, sebuah kota pedalaman di selatan Sri Lanka. Dari sinilah operasi-operasi rahasia OSS dilancarkan ke sejumlah wilayah: Sumatra, Hindia Belanda, Siam, Burma, Malaysia, Indochina-Prancis (kemudian Vietnam).

Foster tergabung dalam Operasi Moral (MO), yang menurut William B. Breuer dalam Daring Mission of World Ward II, beranggotakan tenaga profesional di bidang komunikasi massa, dari wartawan hingga penulis naskah film Hollywood. Mereka membuat dan mempublikasikan propaganda “hitam” –atau rahasia– serta merancang siasat halus untuk melemahkan moral musuh dan mendorong penduduk lokal untuk melawan dan menggagalkan pendudukan militer Jepang di negara mereka.

Meski berusia 60-an tahun, Jenderal William J. Donovan, penggagas sekaligus komandan OSS, secara teratur mengunjungi pos-posnya di seluruh dunia. Pada awal 1945, dia muncul di markas MO di Sri Lanka. Dia terkejut ketika melihat Foster dan dua perempuan pribumi memasukkan pamflet anti-Jepang dan obat malaria ke dalam ratusan kondom. Ketika Foster melihat atasannya melongo, Foster berkata: “Ini adalah pesan-pesan yang diselundupkan ke Indonesia, mendesak mereka untuk memulai pemberontakan melawan Jepang. Agen-agen kita menyebarkannya ratusan dari pesawat di sepanjang garis pantai.”

Foster juga memimpin agen-agen lokal dan membantu menyusun berita palsu seolah siaran radio Jepang untuk mendorong perlawanan. Ketika tiga orang Indonesia yang jadi mata-mata OSS ditangkap Jepang di Kepulauan Batu, tenggara Sumatra, dia menggelar operasi penyelamatan. Direktur OSS mulanya enggan meluncurkan misi penyelamatan karena akhir perang sudah jelas, tapi OSS setelah perang (kemudian digantikan CIA) akan kesulitan merekrut mata-mata jika tak menyelamatkan kawan-kawan mereka. Foster merencanakan operasi penyelamatan menggunakan kapal transportasi Inggris. Saat itu dia dilarang ikut karena dia seorang perempuan. Gregory Bateson, seorang antropolog yang bekerja di OSS, dengan sukarela mengambil-alih dan memimpin misi penyelamatan itu.

Pada akhir Agustus 1945, ketika pekerjaan OSS mereda, Kolonel John Coughlin, komandan detasemen OSS di Sri Lanka, mengundang Jane Foster ke bungalownya. Setelah menuangkan minuman, Coughlin bertanya apakah Jane mau menjadi sukarelawan untuk melaporkan transisi pascaperang di Jawa. Dan tibalah Foster di Indonesia.

Penilaian Foster, juga umumnya agen OSS di Indonesia, bernada simpatik. Sayangnya, AS terfokus pada pembangunan kembali Eropa sehingga mengorbankan banyak sekutunya di Asia yang berharap mendapatkan kemerdekaan sebagai hadiah karena membantu mengalahkan Jepang. Sebaliknya, kekuatan kolonial yang lama dan dibenci mulai membangun kembali cengkeraman mereka tanpa rintangan dari Amerika.

Ini membuat Foster marah, yang menyaksikan kekejaman dan ketidakadilan pasukan Belanda dan Prancis terhadap warga sipil di Indonesia dan Vietnam dan percaya AS telah merusak kepentingan mereka sendiri. Dia menulis di sebuah kertas putih lecek yang mengutuk kebijakan Amerika di Indonesia (dia membantahnya).

“Dia sangat marah. Tugasnya adalah merekrut dan melatih agen lokal. Dia mengikuti garis Roosevelt yang menjanjikan untuk mendukung perkembangan demokrasi jika mereka membantu kita melawan Jepang. Dia sangat kecewa dan dia merasa dia telah mengkhianati orang-orang ini. Dia telah membuat janji-janji berdasarkan apa yang pemerintahan Roosevelt katakan, tapi pemerintahan Truman meninggalkan wilayah ini dan mengembalikannya pada sekutu Eropa kita,” ujar Jennet Conant, penulis buku A Covert Affair: Julia Child and Paul Child in the OSS dalam wawancara dengan Robin Lindley, kontributor History News Network.

OSS sendiri dibubarkan Presiden Harry S. Truman tak lama setelah pemecatan Donovan pada 20 September 1945. Foster meninggalkan OSS pada 1946, kembali ke Amerika, lalu menghabiskan sisa hidupnya di Paris. Pada pertengahan 1950-an, apa yang dia kerjakan di Indonesia, menggiringnya pada penyelidikan Pengadilan Federal AS.
Historia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.