Rabu, 31 Oktober 2012

Konflik Horizontal



Ratusan Anak-anak Dievakuasi ke Sekolah Polisi

Ribuan pengungsi konflik Lampung Selatan itu kini ditempatkan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling milik Polda Lampung.

Konflik sosial yang terjadi di Way Panji, Lampung Selatan, antara masyarakat Balinuraga dan Way Harong, menyebabkan ratusan anak-anak menjadi korban. Mereka kehilangan tempat tinggal dan tidak bisa bersekolah.


Tak kurang dari 247 anak menjadi pengungsi dari 1.108 pengungsi yang tercatat dalam konflik yang menyebabkan 14 orang tewas dan sembilan orang terluka itu.


"Empat belas orang itu terdiri dari empat orang yang tewas pada Minggu (28/10), dan sepuluh pada Senin (29/10)," kata Karo Penmas Polri, Brigjen Boy Rafli Amar di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (30/10).


Menurut Boy, Mabes Polri sangat menyesalkan konflik yang dipicu oleh kecelakaan lalu lintas itu. Ceritanya, pada Sabtu (27/10), terjadi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan dua remaja putri. Saat itu keduanya ditolong oleh warga Balinuraga.


"Saat itulah muncul isu pelecehan seksual, juga provokasi oleh pihak tertentu. Sebenarnya sudah ada pertemuan awal masyarakat yang bertetangga (Desa Balinuraga dan Way Halong di Way Panji), dan akhirnya pecah keributan," ungkap Boy.


Selain pengungsi yang hingga kini ditempatkan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Kemiling milik Polda Lampung, tercatat ada tujuh rumah rusak, 11 roda dua terbakar, satu sekolah dibakar, satu minibus bakar, serta satu jeep dirusak. Hari ini, kondisi dilaporkan sudah kembali kondusif.


"Apakah ada masalah lain sebelumnya (yang membuat masyarakat gampang diprovokasi), kita akan kaji, mengapa masyarakat begitu cepat emosi. Ini kondisi yang disayangkan," imbuh Boy.


Upaya untuk menangkap pelaku, tambah Boy, sebenarnya sudah dilakukan polisi sejak hari pertama. Polisi sudah melakukan olah TKP dan mengumpulkan barang bukti, tapi upaya ini terhambat karena konflik kembali terjadi pada Senin.


"Sudah ada penyelidikan dan penyidikan. Yang terpenting supaya tidak berkembang hal yang lebih buruk. Seluruh korbannya memang beretnis Bali. Massa yang menyerbu sekitar 10 ribu. Sebenarnya pada Senin sudah disekat, dihalau, tapi ada celah jalan lain seperti pematang, dan akhirnya terjadi bentrok lagi," bebernya.


Saat ini, menurut Boy, ada 2.150 gabungan Polri dan TNI yang ditempatkan di lokasi kejadian untuk mencegah konflik kembali berulang. Itu termasuk anggota Brimob dari Mako Brimob Kelapa Dua, Banten, Jateng, dan Sumsel.


Asops Polri Irjen Badrodin Haiti dan Ka Kor Brimob Irjen Syafei Aksal, juga terjun ke lokasi. Polisi menegaskan akan berupaya memediasi kedua belah pihak untuk berdialog, supaya kasus ini tak berlarut-larut.


Jasad korban tidak utuh


Menurut Kapolres Lampung Selatan (Lamsel) AKBP Tatar Nugroho, saat berada di Waypanji, korban tewas tersebut empat orang di antaranya warga Kecamatan Kalianda akibat bentrokan hari pertama, Minggu (28/10), sedangkan dalam bentrokan pada hari kedua, Senin (29/10), korban tewas sebanyak 10 orang, warga dari Desa Balinuraga.


Tatar merincikan, nama-nama para korban bentrokan dari Kecamatan Kalianda yang tewas, yakni Yahya bin Abdulah, 45, warga Kelurahan Wayurang, Marhadan, 35, warga Gunungterang, dan Alwin, 35, warga Tajimalela.


"Satu lagi, Solihin, 35, warga Kalianda yang tewas saat mendapatkan perawatan medis di RSU Abdul Moeloek Bandarlampung," kata dia pula.


Namun, korban bentrokan hari kedua sebanyak 10 orang dari pihak warga Desa Balinuraga, menurut dia, masih dalam proses identifikasi di rumah sakit karena sebagian tubuh korban tidak utuh lagi akibat bentrokan antarwarga itu.


"Kami telah menyisir perladangan dan perkebunan di lokasi bentrokan itu, dan menemukan 10 korban tewas," kata Tatar.


Selain korban tewas sebanyak 14 orang itu, kata dia lagi, jumlah korban luka-luka mencapai sembilan orang dari Kalianda yang sebagian besar berupa luka terkena tembakan dan luka tusuk saat terjadi bentrokan itu.


Sedangkan kerugian materi akibat bentrokan antarwarga itu, berupa 166 unit rumah warga di Desa Balinuraga dan Sidoreno dibakar massa, 26 unit rumah mengalami rusak berat, 11 unit sepeda motor dibakar, dan dua gedung sekolah ikut dibakar massa.


Satu unit mobil Isuzu Panther milik Dit Shabara Polda Lampung, satu unit mobil Honda CRV, dan Strada juga ikut dirusak massa.


Tak Cukup Sekadar Kesepakatan Damai untuk Tuntaskan Konflik Lampung

Sedikitnya 10 orang tewas dan delapan orang terluka, serta 1.108 orang harus mengungsi, akibat konflik yang terjadi di Way Panji, Lampung Selatan, antara masyarakat Balinuraga dan Way Harong.

Sosiolog dari Universitas Lampung (Unila) Hartoyo mengatakan, peristiwa kekerasan yang terjadi pada Minggu (28/10) itu bukanlah terjadi secara tiba-tiba. Melainkan, menurutnya, itu merupakan akumulasi dari konflik yang terjadi sebelumnya.


"Sedikit ada pemicu, maka terjadilah. Ibarat ada bara api dan daun kering berserakan, itu kan bahaya. Ada angin sebagai pemicunya, maka terjadi kebakaran," kata Hartoyo ketika dihubungi Beritasatu.com, Selasa (30/10).


Hartoyo menceritakan, konflik awal terjadi sebelum tahun 2012, ketika kelompok Bali menyerang kelompok Lampung. Kemudian pada Januari 2012, kelompok Lampung pun menyerang kelompok Bali dan terjadi aksi pembakaran rumah.


"Sampai sekarang belum ada tindakan penyelesaian secara hukum. Jadi, ada dendam, kebencian, ketidakpuasan, serta emosi massa yang masih terpendam," jelasnya.


Akar masalah konflik ini, kata Hartoyo, dipicu oleh kecemburuan ekonomi dan sosial, serta ada perbedaan nilai prinsip keagamaan. Menurutnya, secara ekonomi kelompok Bali lebih baik dari kelompok Lampung.


Hartoyo pun mengatakan bahwa potensi konflik seperti ini bisa terjadi di mana saja. Namun menurutnya, yang terpenting adalah bagaimana caranya agar potensi itu ditata dengan baik menjadi produktif. Karena kalau tidak dikelola, akan terjadi konflik aktual, dan ketika mengalami eskalasi,  terjadi kekerasan.


Kesepakatan damai antara tokoh adat maupun tokoh masyarakat, menurut Hartoyo, tidaklah cukup untuk meredam gejolak yang terjadi di tingkat masyarakat. Tokoh adat dan tokoh masyarakat termasuk tataran elite, dan perjanjian damai itu sifatnya tidak mengikat.


Jadi, menurutnya pula, solusi penyelesaian konflik itu adalah aparatur negara, baik pemerintah daerah maupun instansi terkait, melakukan pemulihan kondisi fisik, ekonomi, serta sosial.


"Harus ada proses hukum, dan kondisi psikologis korban harus dikembalikan. Sampai sekarang belum tuntas di lapangan," tegasnya.


Pada kesempatan terpisah, Koalisi Rakyat Lampung, menyerukan para pihak yang berkonflik di provinsi itu segera berdamai dan kembali menjadi persaudaraan.


"Mari kita menahan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan atau provokasiyang  bisa memicu terjadinya bentrokan kembali," kata Koordinator Koalisi Idhan Januwardhana di Jakarta, Selasa (30/10).


Bagi Koalisi, aparat keamanan juga harus secara sigap dan cermat  mengantisipasi dan meredam konflik dengan melakukan penegakan hukum secara adil, transparan, dan tidak diskriminatif.


Adapun para kepala daerah dan jajarannya di Lampung, beserta jajaran muspida Lampung Selatan sebaiknya segera mengupayakan resolusi konflik.


"Kami harap ada langkah konkret terciptanya perdamaian dan mengerahkan segala program pembangunan secara adil dan merata demi terciptanya perdamaian yang berkelanjutan," ujar Idhan.


Rangkaian Konflik Horizontal di Lampung Selatan

Konflik horizontal di Lampung Selatan berulang dan kian meningkat eskalasinya.

Wajah-wajah mengeras dengan menenteng beragam senjata, seperti parang, pedang, golok, celurit, bahkan senjata senapan angin tampak bergerak pasti menuju Desa Balinuraga, Sabtu (27/10), sekitar pukul 23.00 WIB. 


Ratusan warga itu merangsek ke Balinuraga bukan tanpa sebab. Beberapa waktu sebelumnya, dua gadis dari Desa Agom yang beretnis Lampung, diganggu oleh pemuda Bali warga Balinuraga. Akibatnya, kedua gadis itu terjatuh dari motornya dan mengalami luka-luka.  


Kasat mata, siapa menyana jika insiden kecil serupa itu kemudian menyulut api persoalan yang demikian besar. Serbuan warga Agom ke Balinuraga menyebabkan sedikitnya tiga warga meregang nyawa. Sedangkan belasan rumah di desa tersebut pun rata dengan tanah akibat dibakar.


Tidak dapat menerima kekalahan dalam "pertempuran" massal itu, pada Senin (29/10), ribuan warga yang disebut-sebut berasal dari gabungan sejumlah etnis di Lampung kembali bergerak menuju Balinuraga yang mayoritas warganya beretnis Bali. Mereka menerobos blokade aparat yang membentengi desa tersebut.


Mereka datang tak lain untuk membalaskan dendamnya. Pertikaian yang lebih besar pun meledak. Akibatnya, sebanyak sedikitnya 6 warga Balinuraga meninggal dunia dan desa itu porak peranda. Hingga kini, suasana di lokasi tersebut pun masih mencekam kendati sedikitnya 2.150 aparat telah dikerahkan untuk berjaga.


Konflik horizontal yang total hingga Senin (30/10) telah menewaskan 14 warga itu bukan kali pertama terjadi di kabupaten tersebut. Pada awal 2012, konflik juga meledak di Sidomulyo, Lampung Selatan, dan mengakibatkan 48 rumah terbakar dan 33 lainnya rusak.


Pada peristiwa itupun, sebanyak sekitar 700 aparat kepolisian dikerahkan untuk mengantisipasi bentrok susulan. Hanya berselang beberapa bulan kemudian, yakni pada Agustus 2012, konflik kembali pecah.


Bentrokan kali ini terjadi antarwarga desa yang bertetangga, yakni Desa Banyuwangi dan Desa Purwosari, di Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung. Persoalan yang memicu adalah aksi main hakim sendiri terhadap seorang tersangka pencuri kendaraan bermotor.


Buntut dari insiden tersebut, warga Desa Banyuwangi melakukan penyerangan ke Desa Purwosari yang mengakibatkan sejumlah rumah dirusak dan dibakar. Sebelumnya, konflik senada juga meletup di Kecamatan Padangcermin, Kabupaten Pesawaran, Lampung.


Bentrokan itu dipicu perkelahian antara dua pemuda di sebuah warung nasi, sehingga berakibat masing-masing pihak bertikai membawa kelompok mereka sampai menyulut emosi warga secara lebih meluas.


Akibatnya, kantor Polsek Padangcermin menjadi sasaran amukan massa, karena mereka merasa tidak puas atas penyelesaian kasus yang ditangani kepolisian setempat.


Rangkaian peristiwa kekerasan di Lampung Selatan yang dipicu oleh masalah-masalah sederhana memang kian meningkat eskalasinya. Menilik rangkaian aksi kekerasan yang terjadi di kawasan tersebut, layak kiranya jika muncul sebuah tanda tanya besar.


Yakni, apakah benar memang negara kecolongan mengantisipasi gesekan yang muncul dalam kehidupan masyarakat yang beragam atau memang intervensi dari pihak tertentu berhasil menekan pemerintah setempat agar tidak menuntaskan permasalahan secara proporsional?

Belum Ada Tersangka dalam Kerusuhan Lampung

Polri dan TNI menurunkan aparat tambahan bantuan untuk menjaga keamanan.

Kepolisian Republik Indonesia hingga saat ini belum menetapkan tersangka dalam kasus kerusuhan di Lampung Selatan yang berlangsung sejak Sabtu (27/10) hingga Senin (29/10) dan menewaskan 10 orang.

Hal itu disampaikan Kapolri Jenderal Timur Pradopo, kepada wartawan, di Bandara Halim Perdanakusuma, Jaktim, hari ini. "Kita tunggu perkembangannya,” ujarnya.


Timur mengatakan, kepolisian masih mengembangkan penyelidikan, termasuk terhadap kelompok yang mengganggu pemudi yang kejadiannya menjadi sumber konflik. “Ini semua berkaitan dengan hal-hal yang bisa dikembangkan mulai dari kelompok yang mengganggu kegiatan pemudi dari masalah sepele ini. Tentunya kondisi itu yang mempengaruhi dan melatarbelakangi semuanya,” ujarnya.


Dia mengakui, konflik horizontal sering kali terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Oleh karena itu, seluruh elemen pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama bekerja keras dalam pembinaan wilayah.


Aparat keamanan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan aparat pemerintah daerah, menurut Kapolri, haruslah saling bersinergi dalam menjaga keamanan di wilayah. Setiap konflik yang terjadi di daerah, kata Timur, memiliki ciri khas dan karakteristik masing-masing.


”Kepala daerah dan masyarakat bersama-sama kedepankan langkah preemptif dan preventif,” kata mantan Kapolda Metro Jaya ini.


Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto membela aparat keamanan untuk tidak dipermasalahkan atas terjadinya kerusuhan susulan di Lampung.


”TNI ke mana, polri ke mana, mereka ada di situ. Mereka kan lewat jalan-jalan tikus, banyak cara ke sana,” kata Djoko.

Markas Besar Polri menurunkan aparat tambahan bantuan untuk menjaga keamanan, begitu juga dengan TNI yang menurunkan lima SSK (satuan setingkat kompi, 100 orang) untuk ikut membantu menjaga keamanan. 

Kapolri: Jodie Rooseto Harus Tanggung Jawab

Jodie batal dilantik jadi Kapolda hanya beberapa jam sebelum pelantikan pagi ini.

Kepala Kepolisian RI (Kapolri) Jenderal Timur Pradopo membenarkan pembatalan Kapolda Lampung Brigjen Jodie Rooseto untuk menduduki kursi empuk sebagai Kapolda Jawa Barat menggantikan Irjen Putut Eko Bayuseno adalah bagian dari 'reward and punishment'.

"Semua penilaian pastilah (dilakukan). Itu dinamika lapangan dan risiko (yang bersangkutan) untuk bertanggung jawab di wilayahnya," kata Timur di Gedung Rupatama Mabes Polri, pagi ini.

Saat itu orang nomor satu di korps baju coklat tersebut baru melantik Kapolda Jawa Barat Irjen Putut Bayuseno yang diangkat menjadi Kapolda Metro Jaya menggantikan Irjen Untung S Radjab yang memasuki masa pensiun.

Juga turut dilantik pengganti Putut, Kapolda Sultra Brigjen Tubagus Anis  Angkawijaya. Pengganti Tubagus, Brigjen Ngadino yang sebelumnya menjabat sebagai Kasetukpa Lemdikpol Polri, juga turut dilantik.

Sedangkan, Jodie yang akan mengisi posisi yang ditinggal Ngadino tak tampak. "Dia dia harus selesaikan tugas itu (rusuh Lampung). Dia harus tanggung jawab sebagai Kapolda," tandas Kapolri.

Jodie batal dilantik jadi Kapolda hanya beberapa jam sebelum dirinya dijadwalkan dilantik pagi ini. Pembatalan itu tertuang dalam Kep Kapolri 645/X/2012 tertanggal 30 Oktober 2012 yang salinannya diterima Beritasatu.com tadi malam.

Keputusan Kapolri itu meralat Kep Kapolri 640/X/2012 tertanggal 26 Oktober yang menunjuk Jodie menggantikan Putut. Pembatalan itu terkait konflik  sosial yang terjadi di Way Panji, Lampung Selatan, antara masyarakat Balinuraga dan Way Harong yang menyebabkan 10 orang tewas dan delapan orang terluka.

Posisi Kapolda Lampung diisi oleh Brigjen Heru Winarko yang sebelumnya  menjabat sebagai Pati Polri di Menko Polhukam. Heru ini juga sempat "apes" saat dirinya duduk sebagai Kapolres Jakarta Pusat pada 2008.

Saat itu terjadi insiden Monas yakni saat massa dari berbagai kelompok  Islam termasuk Front Pembela Islam yang bentrok dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).

Konflik Lampung sangat disesalkan oleh Mabes Polri. Sebab, konflik itu  dipicu soal sederhana yakni kecelakaan lalu lintas. Kini, ada 2.150 gabungan Polri dan TNI yang ditempatkan di lokasi kejadian di Lampung Selatan demi mencegah konflik kembali berulang. Itu termasuk anggota  Brimob dari Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Banten, Jateng, dan Sumsel.
© Berita Satu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.