Jumat, 21 Desember 2012

☆ Ben Mboi : Dokter, Prajurit Para Komando (1)

Artikel dibawah ini seluruhnya dikutip dari Buku Biografi Ben Mboi - Dokter, Memoar Prajurit, Pamong Praja. Suntingan Sdr. Candra Gautama & Sdr. Riant Nugroho - Terbitan KPG Desember 2011. 

Deklarasi Tri Komando Rakyat

Setelah wisuda, kami berbondong-bondong ke Kementerian Kesehatan di Jl. Kwitang. Sebenarnya sebagai pegawai Kementerian PP&K dengan mudah saya dapat menerima tawaran Prof.Hanifa untuk menjadi asisten kebidanan. Tetapi saya mendaftarkan diri ke Kementerian Kesehatan agar ditempatkan di Flores karena alasan sekian tahun mendapat beasiswa dari Flores. Suatu peluang hilang! Namun saya tidak pernah menganggap pilihan tersebut sebagai satu kerugian. Bagaimanapun, saya mempunyai kewajiban moril untuk membalas jasa rakyat Flores. Dan, karena saya memilih profesi dokter dan telah memilih pegawai negeri, maka diperlukan lolos butuh dari Kementerian PP&K.

Tapi entah apa sebabnya, ada perubahan kebijakan : seluruh dokter angkatan 1961 yang datang mendaftarkan diri ke Kemkes dialihkan ke Program Wajib Militer (Wamil) Angkatan Darat, baik dari UI, UGM, maupun Airlangga. Kebetulan pada masa itu Menteri Kesehatan dirangkap oleh Direktur Kesehatan AD, Mayjen Prof.Dr.Satrio, dulu guru besar Anatomi saya.

Komandan Pusdikkes AD adalah Kolonel Dr. Ronodirdjo dengan Kepala Staf Kolonel Latief. Koloel Latief ini empat tahun kemudiannya terkenal sebagai Komandan Brigade Infanteri I/Jaya Sakti Kodam V Jaya dan dedengkot Gerakan 30 September. Di Kramat Jati terpusat Pendidikan Perwira Cadangan (Pacad) Kesehatan, dan di Salemba Pendidikan Bintara Kesehatan AD. Tetapi kami sehari-hari dipimpin oleh Kapten Mansoer sebagai Komandan Kompi Siswa dibantu oleh Peltu Londa dan Serma Salimin sebagai Sersan Pelatih.

Atmosfer dalam pendidikan cukup santai karena tidak ada orang yang percaya akan meletusnya perang, dan bahwa pasti para dokter akan ditempatkan digaris belakang sekiranya perang benar-benar meletus. Saya terpilih sebagai Ketua Senat Siswa Pacad V. Pengalaman aneh saya sepanjang pendidikan, Komandan sangat takut kepada saya. Kalau saya bertanya, dia sangat gugup. Kalau giliran periksa senjata, kami suka tukar-tukaran senapan Garrand kami. Senapan yang bersih pada saya bisa jadi kotor pada siswa lain. Tiap kali gerakan regu atau peleton, saya selalu diberi tugas Danru atau Danton. Aneh!

Selama latihan ada peristiwa penting yang erat berhubungan dengan pendidikan Pacad kami : Pertama, Deklarasi Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogya tanggal 19 Desember 1961 oleh Presiden Republik Indonesia, Bung Karno. Sikap para siswa Pacad masih tetap sama, tidak mungkin perang! Bagaimana mungkin perang? Bagaimana cara perangnya? Perangkan harus ke Irian Barat, bagaimana caranya? Jadi Pacad ini lebih bertujuan untuk mewamilkan para dokter muda, dan dikirm ke daerah secara setengah paksa. Kalau toh akan perang, pasti dokter-dokter ditempatkan digaris belakang. Kan dokter itu mahal, tidak mungkin secara gampang menjadi umpan peluru. Begitulah logika para siswa Pacad. Tenang-tengan saja!

Kedua, pada 15 Januari 1962 kami dikejutkan dengan berita bahwa di Teluk Etna, Laut Arafuru MTB AL KRI Macan Tutul ditenggelamkan oleh AL Belanda. Ikut gugur Komodor Jos Sudarso, Deputy Operasi Mabes AL. Maka terjadi kegegeran di Pusdik Kramat Jati. Wah serius nih!...perang beneran ini!

Macam-macam cerita beredar, entah mana yang benar, tapi semua pada menyalahkan AURI mengapa tidak bereaksi ketika kelompok MTB itu diserang oleh Frigat-Frigat, Neptune AL Belanda yang telah menunggu selama beberapa hari. Konon KSAL Laksamana RE. Martadinata, sangat marah dan dalam rapat dengan Bung Karno menuntut mundurnya Suryadharma sebagai KSAU. Tanda tanya makin bertambah karena beberapa hari kemudian di bulan Januari yang sama helikopter yang ditumpangi oleh KSAL Laksamana RE. Martadinata, jatuh di Gn. Riung Puncak, Jawa Barat. Semua kejadian itu simpang siur. Ada apa ditubuh tentara kita? Masalah agak terkuak ketika KSAU Suryadharma digantikan oleh Omar Dhani. Ada yang tidak beres dalam tentara kita, tapi itu bukan urusan siswa Pacad Kesehatan. Sampai sekarang pun misteri 15 Januari 1962 tidak pernah terungkap dengan benar.

Entah kalau di Seskoal atau Seskogab. Bagi kami para siswa, ada pengumuman singkat : Kursus Dipecepat! Itu yang bikin kaget. Apa maksud memperpendek kurikulum Pacad? Berarti kami akan menjadi perwira setengah matang, setengah ilmu, setengah keterampilan, plus setengah keberanian.

Bulan Maret Tiba. Kami selesai dengan segala tentamen yang diperlukan dan akan dilantik oleh Wakil KSAD Letjen Gatot Subroto. Saya terpilih menjadi satu dari empat perwakilan menurut agama : Katolik, Protestan, Islam, dan Hindu. Saya menjadi Letnan Satu Dokter dengan Nrp. 6135406.

Menjadi Paratropper

Akhir Maret atau awal April, Lettu Dr. Goh Hoh Sang, Lettu Dr. Djatmiko, Lettu Dr. Asril Aini, Lettu Dr. Rudy Pattiatta, dan saya Lettu Dr. Ben Mboi dipanggil oleh Aspers Kessad, Letkol Dr. Soeparto. “Saudara-saudara terpilih untuk menjadi dokter paratropper pertama. Seterusnya saudara-saudara diperintahkan ke Margahayu dan Batujajar untuk menjalani latihan terjun payung”. Bersama dengan kami berlima, juga ada satu Batalion Raiders ikut berlatih, entah dari Batalion Raiders mana. Pada hari penerjunan kedua, terjadi kecelakaan payung terjun yang kami saksikan untuk pertama kali. Parasut seorang prajurit Raiders gagal terbuka. Dia free fall beneran setinggi 700 meter. Kakinya sampai masuk kedalam tubuhnya. Komandan dari latihan di Batujajar mengumpulkan kami semua dan seluruh anggota Raiders. “Hari ini latihan dihentikan. Siapa yang ingin mundur pada saat ini silahkan mundur!” Kami semua tidak ada yang mau mundur. Kami semua siap meneruskan latihan.

Pada rombongan terjun kami turut juga Mayjen Soeharto, Panglima Kostrad dan juga Panglima Mandala. Kenyataan ini juga membuat kami menjadi semakin berani dan bersemangat melanjutkan latihan terjun sehingga selesai, dan terjun terakhir adalah terjun malam hari yang dianggap sebagai Wing Day. Setelah lulus, kami kembali ke Jakarta dengan bangga memakai Wing Para di dada kiri.

Sepulang dari Margahayu, kami berlima boleh mengambil cuti. Jadi secara teoritis saya boleh pulang bercuti ke Flores. Namun karena letaknya terlalu jauh, saya memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta. Di mess para dokter RSPAD. Saya pakai waktu senggang untuk magang di bagian bedah.

Eh suatu hari di awal Mei saya dipanggil oleh Aspers Dikesad, Letkol Dr. Soeparto.
“Ben Mboi, kamu dinyatakan combat ready!” katanya singkat.
“Ada satu pasukan akan diterjunkan dalam waktu dekat”.
“Mengapa saya Overste?” saya bertanya.
“Kawan kamu si Anu dari PDAD ( Pendidikan Dokter AD ) menolak karena bulan ini akan menikah.”
“Oh ya? Kalau begitu saya jangan diperintah Overste!. Saya melamar!”
Dia diam, dan tampaknya statement saya itu sebagai konfirmasi.

Dari tempat Letkol Soeparto saya ketempat Kapten Haryono, perwira personalia yang mengurus kepentingan para perwira kesehatan sehari-hari.
“Kapten, saya minta dimilsukan sebelum terjun di Irian Barat. Saya tidak mau terjun sebagai Wamil.” (Milsuk adalah militer sukarela).
“Wah, tidak bisa. Untuk menjadi milsuk perlu latihan-latihan lagi. Tidak bisa pindah begitu saja,” dia menjawab.
Dalam hati saya sudah mau pergi mati masih menghadapi birokrasi berbelit-belit. Kapten ini tidak mengerti semangat yang ada dalam jiwa saya. Saya ragu apakah dia pernah mengalami perjuangan dan perang beneran. Saya tidak mau berdebat lagi. Ketika kemudian hari saya pulang dari Irian Barat, selesai Trikora, saya temukan satu telegram yang dikirim pada November 1962, menjelaskan bahwa saya dimilsukkan dan dapat pangkat Kapten. Terus terang, pada sata pendaftaran Pacad, sebenarnya saya berstatus pegawai negeri golongan F-II dengan ikatan dinas lima tahun.

Sesuai peraturan kepangkatan lama, seyogyanya ada penyesuaian kepangkatan saya sebagai Kapten. Tetapi tepat pada angkatan saya, Pacad V, peraturan ini dihapuskan. Entah alasannya apa!. Saya tidak perdebatkan lagi kepangkatan, karena saya lebih dulukan kepejuangan demi kprajuritan saya. Ada prajurit tidak berjuang, ada pejuang yang bukan prajurit. Pangkat is not my issue!.

Tugas saya segera adalah: Pertama, menggabungkan diri dengan pasukan saya di Cijantung. Kedua, menyiapkan perbekalan farmasi dan kedokteran. Ketiga, mencari tahu Bintara Kesehatan yang akan mendampingi saya. Ternyata telah siap Serma Kesehatan Teguh Sutarmin dan Serma Kesehatan Amwat.

Perlengkapan farmasi dan kedokteran semuanya tidak kurang dari satu pluzak ditambah satu tumpuk stensilan tentang flora dan fauna Irian Barat, berisi info tentang tumbuhan dan binatang bermanfaat maupun beracun dalam bahasa lokal, Indonesia, dan Latin. Yang paling mengerikan adalah tiga jenis Ular Papua berbisa yang sangat mematikan. Terkenal dengan nama The Back Papuan Snakes. Celakanya, serum anti bisa ular buatan Kimia Farma tidak mempan. Harus diimport dari Australia. Bagaimana mendapatkannya? Tapi toh serum anti bisa buatan Kimia Farma tetaplah dibawa. Namun, ironisnya lagi, tidak ada ice box untuk serum!. Maka saya katakan, “Ini lebih sebagai berjuang dan berperang.: Syarat-syarat teknis untuk berperang jauh dari cukup.”

Setelah semua persiapan selesai, saya pergi melapor kepada komandan saya nanti: Kapten Inf. Benny Moerdani. Saya diperkenalkan Kapten Benny kepada pasukannya, 1 Peleton Plus berkekuatan 50 orang. Tambah kami bertiga menjadi 53 orang. Perkenalan dilakukan dilapangan tembak, dimana para prajurit sedang berlatih menggunakan senapan AK-47.

Begitu dikatakan seorang dokter, perwira kesehatan akan ikut serta, seluruh pasukan langsung sumringah, naik morilnya. Baru saya menyadari bahwa tugas utama seorang dokter, perwira kesehatan dalam perang gerilya adalah to boost to morale of the troop ketimbang melakuakn tugas-tugas teknis medis. Lebih meningkatkan keberanian berperang daripada melakukan pekerjaan dokter di medan perang itu sendiri.

Sepanjang bulan Mei dan awal Juni, tiap hari pukul lima pagi, saya dijemput, dibawa ke Cijantung untuk ikut latihan-latihan dengan para prajurit, antara lain turun dari pohon dengan menggunakan tali dan snipering.

Pembebasan Irian Barat, The One Way Ticket

Pertengahan Juni 1962, kami pemilik Wing-Para diundang makan malam dirumah Menteri Kesehatan/Direktur Kesehatan AD, Brigjen Dr. Satrio di Jalan Mangunsarkoro. Banyak perwira dari Ditkes AD beserta istri ada disana. Saya datang bersama pacar saya.

Tidak ada pidato seingat saya, tapi tiba-tiba saya menjadi titik tengah karena potongan pertama tumpeng diserahkan kepada saya, baru kepada orang lain. Saya mendengar para ibu-ibu berbisik pelan sesamanya melihat saya menerima tumpeng itu: “Kasihan!”

Mungkin isu akan ada penerjunan disertai dokter sudah diketahui. Pikiran saya juga jauh sekali: The war is becoming real!

Bagi saya perang masih sesuatu yang aneh, tidak ada pengalaman, kecuali melalui vuurdoop (baptis dengan api) pada penutupan dan dopper di Pusdikkes tempo hari. Tapi itukan tembakan yang diatur ketingian dan arahnya, bagaimana dengan perang beneran? tembakan beneran? Pikiran saya berkecamuk.

Perang! Jelas 1000 kali lebih dahsyat! Jadi keberanian di depan Letkol Soeparto itu kadang-kadang diganti oleh ketakutan dan keraguan. Tapi tekad untuk menunjukkan naluri bela negara sentiasa membangkitlan lagi keberanian. Jadi ketakutan dan keberanian silih berganti. Pukul 10 malam jamuan bubar. Saya anggap acara tumpengan tadi seperti mohon doa restu dan berkat Tuhan Allah bagi perjuangan yang akan saya tempuh sebentar lagi. Saya pulang ke asrama RSPAD dengan keyakinan pomimpin kesehatan AD mendoakan operasi ini, apapun namanya.

Masih lekat dalam ingatan saya peristiwa tanggal 22 Juni 1962 pukul 14.00, ketika saya sedang tidur siang. Terdengar ketukan di pintu kamar, seorang Sersan RPKAD melapor:

“Letnan, sejak saat ini Letnan dinyatakan ready for combat, siap tempur. Tidak boleh beritahu siapapun! Kepada saya supaya diberikan alamat orang yang bisa dihubungi di Jakarta, bila ada yang perlu disampaikan. Siapkan perlengkapan, jemputan pukul 17.00 tepat.”

Saya pergi ke asrama St.Ursula RSPAD di jalan Pos 2, asrama pacara saya. Saya menjemput dia untuk mengurus barang-barang saya di RSPAD. Tidak banyak pembicaraan, memang sukar mencari kata-kata. Pada saat perpisahan dia memberikan saya sebuah buku untuk catatan harian selama perang. How thoughtful she was! Saya sendiri tidak pikirkan.

Pukul 17.00 sore tepat, saya dijemput dengan kenderaan Jeep Gaz dan dibawa ke rumah Kapten Benny Moerdani di Cijantung. Disana juga akan bergabung Letda Czi I Gede Awet Sara dari Zipur. Malam itu ada briefing singkat dari Kapten Benny.

“Operasi ini Operasi Naga namanya. Kita akan diterjunkan di Irian Barat bagian selatan. Persisnya dimana, nanti akan dijelaskan”. Begitu briefing singkat komandan operasi.

Para perwira, artinya Letda Czi I Gede Awet Sara (Dandenzipassus), Letda Inf. Soedarto (Dantonpassus), dan saya Lettu Dr. Ben Mboi (Dandenkespassus), semuanya menginap dirumah Kapten Benny, karena tepat pukul 4 dinihari besok akan ke Halim Perdanakusumah dalam satu kenderaan.

Kapten Benny masih bujangan, jadi kami diurus oleh ajudannya. Makan malam biasa-biasa saja, dan saya seperti tidak punya nafsu makan. Sesudah makan langsung tidur, tetapi saya sulit tidur. Muncul macam-macam pikiran yang membuat mata terus terbuka, menerawang. Kalau kita menonton filem-filem perang, seperti filem D Day Normandia, kadang-kadang akan kita rasakan ketegangan para prajurit paratrooper dalam landing boat ke pantai. Tapi perasaan itu tidaklah sama dengan perasaan kalau kita sendiri yang harus menghadapi pertempuran.

Pergi menuju perang seperti Operasi Naga, seolah kita tidak tahu hendak pergi kemana meski pertempurannya pasti. Kita tidak tahu apakah akan terluka atau tidak, akan hidup atau tidak, akan pulang atau tidak, dan katanya hutan belantara dirimba Papua luar biasa lebatnya. Siapa yang tidak takut? Belum lagi binatang buas, dan saya harus menolong/menyembuhkan para prajurit komando itu. Saya sendiripun baru lulus sekolah kedokteran dan Perwira Cadangan AD. Pikiran-pikiran berkecamuk dan saya pun tertidur.

Tidak lama kemudian dibangunkan, sudah pukul 03.00 pagi lewat. Kami mandi, berpakaian, sarapan, dan naik Jeep Gaz Kapten Benny. Kami bersama-sama berangkat pukul 04.00 tepat ke Halim Perdanakusumah. Disana sudah menanti tiga Hercules. Seluruh peleton plus RPKAD yang berjumlah 53 orang dalam satu Hercules. Konvoy Hercules dipimpin Oleh Letkol Pnb. Slamet, dengan Navigator Mayor Nav. Ir. Tan, yang diumumkan sebagai Navigator terbaik AURI. Ketiga Hercules Take off menembus keremangan dinihari.

Pukul 07.00 23 Juni 1963 kami mendarat disuatu lapangan terbang. Ternyata Lanud Iswahjudi Madiun. Rupanya kedua Hercules yang kosong tadi untuk mengangkut Kompi Bambang Soepeno Yon 530/Raider Brawijaya berkekuatan 160 orang. Jadi seluruh personil Operasi Naga berkekuatan 1 Kompi Plus berjumlah 213 orang. Kurang lebih satu jam di Madiun, penerbangan diteruskan. Tidak tahu kemana.

Pukul 12.00 kami mendarat. Ternyata Lanud Mandai di Makassar. Kami semua diperintahkan debarkasi dan menanti perintah selanjutnya. Makan siang di apron Lanud Mandai. Secara kebetulan saya bertemu seorang kawan Kapten Pilot Garuda, namanya Ariffin. Kami sama-sama punya pacar di Asrama Ursula.
“Ben Mboi, tidak telefon calon mertua?” dia bertanya.
“Tidak,” saya jawab. “Tidak tahu nomor teleponnya.”
Saya tidak berani melepon, karena tidak dibenarkan untuk menelpon sesiapapun. It is becoming real, my war is real!

Jump Into The Unknown: The Sky Above, The Mud Below

Setelah makan siang di Mandai, penerbangan dilanjutkan. Destination unknown! Kira-kira pukul setengah lima sore kami mendarat di lapangan terbang tanpa gedung. Amahai, suatu tempat di Pulau Seram. Saya belum pernah mendengar nama Amahai. Kami diperintah debarkasi dan terus pergi mandi di suatu sungai kecil dekat landasan. Belakangan saya tahu, maksudnya adalah karena diperkirakan ada yang akan gugur, maka sebaiknya mandi dulu!.

Setelah mandi makan malam – makan terakhir yang saya tau jam makannya pukul 18.30. Setelah makan sore/malam, para perwira dan bintara dikumpulkan dibawah suatu tenda daun kelapa. Yang memberi briefing tidak tanggung-tanggung! Langsung Panglima Mandala sendiri. Mayjen Soeharto. briefing nya singkat :

“Kalian akan diterjunkan di daerah Merauke, Irian Barat bagian selatan. Mengapa di Merauke?

Pertama : Tiap kali kita menyanyikan dari Sabang sampai Merauke, kita tahu/sadar bahwa Merauke masih diluar Indonesia Merdeka. Tugas kalian adalah secara konkret menarik garis Sabang-Merauke itu, sehingga Merauke de facto bagian NKRI.

Kedua : Di Biak ada tumpukan 10.000 Marinir AL Belanda, sedangkan disana nantinya tujuan Operasi Jayawijaya. Kalian bertugas memancing sebagian pasukan itu keluar dari Biak.

Ketiga : Sampai sekarang, semua pasukan terdahulu yang diterjunkan hilang 100 persen!. Malah dari kalian ini diperkirakan gugur 60 persen, kembali 40 persen. Saya berikan waktu 1 menit untuk mundur. Mundur sekarang, bukan penghianat! Kalau setelah itu, dia adalah penghianat!”
Saya melihat kekiri dan kekanan, tidak ada yang angkat tangan mundur. Saya juga tidak mau mundur!

Briefing kedua diberikan oleh Komandan Gugus Tugas Operasi Naga, Kapten Inf. Benny Moerdani. Briefing nya lebih detail, disertai dengan peta Irian Barat bagian selatan, US Army Map 1937. Saya melihat Kali Maro dan Kali Kumbe. Kami akan diterjunkan disebelah timur Kali Maro, lebih kurang 50 km di utara kota Merauke. Paling lambat tanggal 1 Juli melakukan konsolidasi di suatu titik, ujung dari suatu jalan setapak yang menjurus kearah timur laut dropping zone. Masing-masing kami diberi buku kecil tentang Irian Barat dengan peta yang besarnya 10x15cm.
"Ada pertanyaan?"
"Tidak ada !"
"Sudah jelas semua?"
"Sudah!"
Semua dibekali dengan ransum NAR (Nasi kaleng), masing-masing prajurit mendapat jatah tujuh kaleng untuk tujuh hari akan datang. Harapannya akan bertemu tanggal 1 Juli!.
"Ayo naik pesawat!"
Kami satu persatu menuju pesawat dengan bagasi masing-masing. Kapten Benny memeriksa dari pesawat ke pesawat dan berteriak supaya cepat naik. Didepan pintu embarkasi pesawat tiba-tiba muncul dari kegelapan seorang kawan sesama Pacad angkatan V, Lettu Dr. Liem Tjing Ham. Dia datang membesarkan semangat saya.
"Hou je taai, ya Mboi!"
Katanya dalam bahasa Belanda, artinya ya tabah ya Mboi!

Saya tidak menjawab lagi karena berkecamuk perasaan takut dan rasa haru berpisah. Saya naik kepesawat dengan beban sama berat dengan badan saya, dengan payung terjun buatan Russia yang sama sekali belum pernah kami coba!. 

Stick saya 10 orang. Penerjun pertama, Serma Kesehatan Teguh Sutarmin, kedua Serma Amwat, lalu saya. Menyusul dibelakang Serda Achyat, Serma Kasmin, Serma Rumasukun, Pelda Ismail, Serda Soepangat, Serda Suyatno, dan Serma Sutiyono.

Saya duduk dipesawat sudah dengan memakai seluruh perlengkapan dalam urutan sebagai berikut:

Jungle dress, smock, zwemvest, payung induk punggung, payung cadangan dibawah dagu, ransel dibawah payung cadangan, plujezak kedokteran tergantung dibawah ransel. Pada kopelrim tergantung pistol dan tali dengan snipering. Pemakaian zwemvest adalah sebagai precaution kalau-kalau jatuh ditengah-tengah sungai Maro, yang lebarnya tidak ada bandingannya sama sekali dengan sungai-sungai di Pulau Jawa.

Take off sekitar pukul 11.00 malam waktu Maluku, berarti pukul 12.00 malam waktu Papua. Prajurit-prajurit kawakan RPKAD ada yang ngobrol, malahan bernyanyi-nyanyi. Seperti mau piknik saja. Mungkin karena sebagian senior-senior RPKAD itu adalah bekas pasukan Korps Speciale Troepen zaman Belanda dibawah pimpinan Westerling. Jadi sudah makan asam garam komando pertempuran.

Tetapi sebagian ada juga prajurit komando yang sama dengan saya, baru mengalami vuurdrop dilatihan perang-perangan di Pusdik. Tidak heran kalau ada satu prajurit saking gugupnya, mungkin karena rasa takut, kelepasan membuka payungnya dalam pesawat, sehingga ruang Hercules penuh terisi payungnya. Dia batal terjun.

Saya sendiri langsung duduk dan mulai berdoa rosario. Saya lupa berapa rosario saya habiskan, sampai ada bunyi bel tanda ready to jump, dan pintu terjun menganga lebar.

Bersambung ...

profile picutre
Diposkan Oleh Erwin Parikesit (Kaskuser)
Abimanyu Dj

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.