Minggu, 23 Desember 2012

☆ Ben Mboi : Dokter, Prajurit Para Komando (3)

Artikel dibawah ini seluruhnya dikutip dari Buku Biografi Ben Mboi - Dokter, Memoar Prajurit, Pamong Praja. Suntingan Sdr. Candra Gautama & Sdr. Riant Nugroho - Terbitan KPG Desember 2011.

The War is Over!

Ternyata berondongan mitraliur Belanda sepanjang Kali Maro dari higgins boat patrol pada tanggal 15 Agustus itu adalah hari cease-fire, yang ditandatangani di New York oleh diplomat kita Adam Malik dari Indonesia, Mr. Van Rooyen dari Belanda, dan Mr. Bunker diplomat kawakan AS yang menegahi dan menfasilitasi perundingan.

Ditengah hari yang sama, datang speed boat dengan penumpang seorang Sersan intel dari induk pasukan untuk menjemput saya dan Kapten Bambang Soepeno terlebih dahulu, ke markas gerilya Operasi Naga di Kuprik. Anda harus bayangkan wajah saya yang kurus dan berjenggot lebat, berat badan 62 kg waktu berangkat, kini tinggal sekitar 50 kg. Sepatu terjun saya robek-robek. Di jetti dipinggir Sungai Maro, berdiri Kapten Inf. Benny Moerdani, Komandan Operasi Naga menanti saya dan Kapten Bambang Soepeno. Kami berpelukan.

Perang telah usai! Apa operasi Naga menang? Benar secara taktis inisiatif perang ada ditangan Belanda, tetapi Operasi Naga berhasil mencegah pembentukan Negara Papua. Setelah berkumpul dengan induk pasukan di Kuprik, Merauke, kami ketahui bahwa pada malam sebelum penandatanganan Bunker Agreement, TNI masih menerjunkan pasukan lagi, kurang lebih 1.300 prajurit, di Merauke ditambah 1 Kompi PGT AURI dibawah pimpinan Lettu Psk. Mattitaputy. Alasan penerjunan tambahan, karena dari pengalaman revolusi fisik dulu Belanda selalu ingkar janji. Dengan tambahan ini maka seluruh kekuatan TNI yang diterjunkan di Bumi Irian Barat berjumlah sekitar 2.100 personil.

Setelah seluruh pasukan terkumpul di Kuprik, Merauke, saya diperintahkan untuk memimpin pengambilan jenazah-jenazah anggota pasukan yang gugur yang tersebar bersama Letda Soekarso, yang terjun tanggal 15 Agustus malam, dengan dibantu oleh seorang Kopral Marinir Belanda, dan diperbantukan dengan sebuah Jeep. Para prajurit yang gugur ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Merauke. Setelah cease fire baru kami ketahui nasib Serma Kesehatan Teguh Sutarmin. Rupanya dalam penerjunan dia tersesat, berjalan memasuki perkampungan penduduk, dan dibunuh oleh orang-orang kampung disitu.

Korban Operasi Naga sendiri adalah 36 orang gugur, termasuk Serma Teguh Sutarmin, missing in action (MIA) 20 orang, sehingga total 56 orang. Kalau dipresentasekan lebih kurang 25 persen, lebih baik dari perkiraan Panglima tempo hari. Pengorbanan dan penderitaan tidak sia-sia! Semoga tidak disia-siakan. Saya harus mengatakan ini, karena ketika bergabung dengan induk pasukan, saya membawa serta dan menyerahkan dokumen-dokumen dan bendera Bintang Kejora yang kami temukan dalam petualangan kami di dalam hutan. Kesimpulan saya membaca dokumen-dokumen tersebut adalah, adanya suatu kelompok di Irian Barat yang tidak setuju bergabung dengan NKRI, baik atas kemauan sendiri dan/atau hasil politik Belanda dimasa lalu.

Datang berkunjung setelah pasukan kami lengkap terkonsolidasi Brigjen Achmad Wiranatakusumah menggunakan Hercules AS. Segera kami dibagikan kertas dan amplop untuk menulis surat kepada keluarga. Saya tulis surat kepada pacar saya, Saya lupa apa yang saya tulis disitu, tapi intinya adalah : I am alive, Dearest!. 

Kerja di RS. Merauke

Kampung Kuprik adalah sebuah kampung diseberang Kali Maro dan Kampung Kelapa Lima, tempat dua setengah bulan kami bergerilya dan bertempur. Kampung ini memanjang dengan satu jalan yang cukup lebar dan membentuk pertigaan dengan jalan dari arah jetti kali Maro. Sebelah timur dari pertigaan ditempati oleh Marinir AL Belanda, sebelah barat di tempati oleh pasukan TNI, terdiri dari RPKAD, Raiders, dan PGT.

Ketika Marinir AL Belanda secara menyeluruh ditarik dari Merauke, seluruh Kuprik kemudian diduduki oleh TNI. Maka kami berpindah ketengah kampung. Ada satu hal yang menarik. Selama bergerilya tidak ada seorang prajuritpun yang sakit pilek. Namun ada seorang prajurit Kesehatan RPKAD, Serka Achmad yang gugur karena keracunan memakan Pakis Haji. Serka Achmad sebenarnya termasuk mukjizat penerjunan di dunia Paratropper. Ia beneran free-fall, terjun bebas dari ketinggian 700 meter lantaran payung utama dan cadangannya gagal terbuka. Ia jatuh membentur cabang-cabang pohon, jatuh masuk rawa dan hidup!. Sayang, dia justru gugur karena keracunan makan Pakis haji.

Pemerintah Belanda kemudian digantikan oleh pemerintahan PBB. Resdien Belanda digantikan oleh Residen berkebangsaan Inggris, Mr. Wilson. Asrama Koninklijk Leger (KL) ditempati pasukan Pakistan dibawah komandan Mayor Rashid. Mayor Benny, naik pangkat Mayor dalam hutan lebat Irian Barat berangkat bersama Letjen Achmad Yani melapor kepada Bung Karno untuk diterima oleh Presiden sebagai Pahlawan.

Kunjungan Pak Yani

Bulan November 1962, lima bulan setelah terjun pertama kali, kami benar-benar keluar dari hutan dan pindah tinggal di polder-polder asrama di Kota Merauke. Mayor Benny memberi saya tugas tambahan lagi disamping kerja di RS. Merauke, yakni memberi kursus Bahasa Inggris kepada para pegawai di Merauke, karena suasana baru adalah suasana Inggris. Tidak lama setelah kami berpindah kedalam kota, Mayor Benny ditarik ke Hollandia (sekarang Jayapura), di markas Liaison Group Indonesia. Kapten Bambang Soepeno menggantikannya sebagai Komandan Pasukan Gabungan.

Cerita lain, suatu hari Kolonel Solichin GP, perwira penghubung TNI dari Hollandia datang ke Merauke menginap di satu-satunya hotel di Merauke. Tiba-tiba masuk telepon dari hotel, mengatakan Kolonel Solichin dikepung oleh orang-orang Papua. Entah apa masalahnya. Langsung saya diperintahkan oleh Kapten Bambang Soepeno dengan 1 regu pasukan menyerbu ke hotel untuk membebaskan Pak Solichin dari gerebekan orang-orang Papua, yang katanya sudah mencekik lehernya. Sebagai ucapan terima kasih, Pak Solichin memberikan kepada saya wing para nya.

Cerita menegangkan lain adalah ketika ada kunjungan rombongan Artis Safari Trikora, antara lain Titiek Puspa dan Bing Slamet. Pesawat Convair yang membawa mereka setelah mendarat dikepung massa Papua dengan panah dan tombak. Lagi-lagi saya diperintahkan membebaskan para artis itu, yang sedang bersembunyi dibawah perut pesawat. Sebagai hadiah untuk saya, ketika para artis hendak pulang ke Jakarta, Titiek Puspa menyanyikan lagu Boneka India khusus ditelinga saya, dihadapan Kapten Pilot Hercules, Mayor Ashadi Tjahyadi.

Bulan Desember peleton RPKAD dimutasikan ke Hollandia untuk persiapan pengamanan Pak Yani, Kepala Staff KOTI. Dari kami 1 Peleton saya tinggalkan untuk merawat Kompi Raiders Yon 530 pimpinan Kapten Bambang Sopepno dan Kompi PGT Pimpinan Lettu Mattitaputty.

Dan hari besar itupun datang. Tanggal 31 Desember 1962, Letjen Achmad Yani datang ke Merauke mengunjungi polder-polder asrama pasukan gabungan TNI. Mayor Benny melaporkan ke Pak Yani ada doctor medic bersama pasukan Operasi Naga. Segera saya disuruh menghadap. Sapaannya ramah sekali.
"Bagaimana, Dok? Semua baik?"
"Siap, baik semua Jenderal!"
"Anak-anak sehat? Makanan baik?"
"Siap, tidak ada yang luar biasa, Jenderal!"
"Jaga mereka baik-baik, Dok!"
"Siap, kerjakan!"
Itulah pertemuan pertama saya dengan Pak Yani. Penyelenggaraan Ilahi menetapkan satu setengah tahun kemudian saya diselamatkan oleh Pak Yani, yang hanya dalam 1 menit di Merauke sudah menginterprestasikan karakter saya.

Masuk tahun baru 1963, terjadi peralihan pemerintahan di Hollandia. Bendera Merah Putih menggantikan Merah-Putih-Biru untuk berdampingan dengan bendera PBB. Batalion 530 Raiders/Brawijaya digantikan oleh Batalyon 531/Brawijaya dibawah Letkol Inf Soepaat. Satu peleton RPKAD, Kompi PGT, dan Kompi Raiders 530 berangkat pulang, saya ditinggalkan sendiri dengan kerja-kerja yang semakin banyak di RS.

Tiba-tiba timbul perasaan aneh, saya datang bersama-sama dengan one way ticket, pulang dengan ticket sendiri-sendir!. Inilah ironi suatu perjuangan memang!. Perasaan ditinggalkan memenuhi benak saya. Namun, belakangan, dalam kehidupan, saya banyak mengalami perjuangan hidup untuk mencari jalan sendiri.

Akhirnya datang Surat Perintah pulang melalui Hollandia. Saya dapat satu tiket kembali. 

The One-Way Ticket in Restrospect

Seluruh operasi fisik merebut Irian Barat lebih merupakan kepejuangan daripada operasi peperangan. Kalau merupakan peperangan seyogyanya ia memenuhi semua unsur-unsur untuk berperang : ketersediaan info intelijen, termasuk medical intelligence, ketersediaan logistik pasukan dan perorangan, serta ketersediaan serta kesiapan fisik, mental, dan intelektual pasukan-paling kurang para Perwira dan Bintaranya. Itu menurut saya. Kenyataannya : modal saya, selain pengetahuan kedokteran dan kemiliteran yang terbatas, adalah perlengkapan medis yang tidak memadai dan tidak efektif untuk operasi itu. Jadi benar-benar dampak psikologis terhadap semangat juang prajurit dan kehadiran pasukan Operasi Naga tersebut cukup memberi pengaruh pada suasana perundingan Indonesia-Belanda.

Sengaja atau tidak disengaja, ternyata arah terbang Hercules di bawah pimpinan Overste Slamet, berbeda dengan Hercules-Hercules yang membawa Raiders Yon 530/Brawijaya. Akibatnya, peleton RPKAD diterjunkan dihulu Sungai Kumbe dan Kompi Raiders di hulu Sungai Maro. Karena itulah kelompok kecil saya mengambil masa 1 bulan untuk sampai kepinggiran Kota Merauke.

Ketika sesudah Cease-fire dan saya bekerja di RS.Merauke, diceritakan disana bahwa tentara Belanda menyangka TNI akan mendarat di dalam dan sekeliling Kota Merauke. Instruksi Panglima Belanda di Hollandia, Laksamana Reeser, kepada pasukan Belanda di Merauke adalah menghindarkan pertempuran untuk mencegah korban, khususnya wanita dan anak-anak. Tampaknya perintah penting ini tidak tertangkap oleh intelijen kita. Kemudian saya dengar bahwa memang ada juga analisis dikalangan perwira Operasi Mandala untuk opsi Raid terjun langsung ketengah-tengah kota Merauke, dan RPKAD merebut Lapangan Terbang Mopa Merauke. Namun katanya, pimpinan Angkatan Perang kita atau Komando Mandala belum siap untuk kemungkinan suatu eskalasi akibat serangan terbuka ke jantung Kota Merauke. Andai saja pesan dari Laksamana Reeser tertangkap, dan kami terjun langsung ke dalam kota, cerita Trikora saya dan sejarah perjuangan Irian Barat akan berbeda dengan cerita sekarang ini. History is not accident, it is a choice! Hari ini adalah hasil dari pilihan ini! 


Hollandia 1963: Misteri Macan Tutul dan Jos Soedarso

Di Hollandia, saya dijemput oleh Lettu Dr. Liem Tjing ham, orang Indonesia terakhir yang saya temui di Amahai tempo hari. Saya menumpang di rumahnya, atau lebih tepat mess. Secara tituler dia menjabat sebagai Kepala kesehatan Kodam, karena berwewenang mengadakan serah terima instalasi-instalasi kesehatan militer Belanda ke TNI. Itulah TNI kita pada saat itu, sampai-sampai perwira kesehatan Pakistan yang berpangkat Kolonel enggan melakukan serah terima karena selisih kepangkatan antara Kolonel dan Letnan Satu. Ini satu kritik terhadap Pamen dan Pati kesehatan AD. Pada saat-saat yang begitu penting dan genting, mereka serahkan tugas-tugas penting itu kepada perwira Wamil- yang notabene hanya berpangkat Letnan Satu dalam hubungan internasional.

Di Hollandia saya berkenalan dengan Kolonel Soedarto, bekas ajudan Presiden Soekarno. Dia Komandan Kontingen Indonesia (Kotindo) di Irian Barat. Seorang tentara yang bagi saya sangat intelektual. Dari pergaulan dengan Kolonel Soedarto, dan kemudian dengan perwira-perwira tinggi lainnya, saya seolah-olah mendapatkan privilege sebagai dokter untuk dekat dengan komandan atau pimpinan.

Disamping berkenalan dengan Kolonel Soedarto, saya juga berkenalan dengan para dokter-dokter Indonesia di RS. Umum Hollandia. Disana sedang dirawat seorang Kelasi MTB Macan Tutul, satu-satunya yang selamat dari Peristiwa Etna Baai 1 tahun sebelumnya.

Saya segera akrab dengan Pak Darto. Dia tidak tampak bahagia, malahan getir! Mungkin karena PBB tidak mengakui kehadiran Kotindo di Hollandia. Ternyata bukan itu alasan perasaan gundahnya.

Dia mendapat informasi bahwa insiden Etna Baai (Pertempuran Laut Aru) itu berawal dari lingkaran dalam Presiden Soekarno sendiri, yang membocorkan misi MTB itu dua hari sebelum 15 Januari, sehingga AL Belanda menyiapkan Panitia Penyambutan di Laut Arafuru. Misteri sekitar Macan Tutul sebenarnya berkisar soal keberadaan Komodor Jos Soedarso yang notabene sebagai Deputi Operasi Mabes ALRI, diatas sebuah MTB dalam suatu tugas taktis. Bagaimana menjelaskannya?

Konon ada perseteruan pribadi antara Presiden Soekarno dan Komodor Jos Soedarso. Presiden menawarkan satu pos jabatan kepada Jos Soedarso dan Jos Soedarso mau menerima asalkan Presiden mengijinkan dia untuk memberantas praktek-praktek korupsi disekitar kepresidenan. Bunga Karno Mutab! marah! Dan Presiden bertambah marah ketika tidak adanya tanda-tanda ALRI mempersiapkan diri untuk berperang. Padahal semua bergantung sekali pada kesiapan ALRI, yang dikatakan oleh Jos Soedarso bahwa kalau mau perang, paling cepat Juli 1962. Lebih cepat dari itu tidak bisa!
"Tidak bisa, atau tidak berani?" tanya Bung Karno.
"Tidak bisa," jawab Jos Soedarso.
"Tapi berani?" tanya Bung Karno.
"Berani," tegas Jos Soedarso
"Buktikan!" kata Bung Karno.
"Ini perintah atau sekadar menantang?" tanya Jos Soedarso.
"Ini perintah!" tegas Bung Karno.
"Siap kerjakan!"
Maka jadilah Komodor Jos Soedarso ikut dalam rombongan MTB yang dipimpin oleh Letkol Laut Sudomo, sambil membawa bendera Merah-Putih yang akan ditancapkan dengan tangannya sendiri di Irian Barat. Kegundahan Kolonel Soedarto adalah karena gosip ini menyentuh pribadi Bung Karno. Dia marah sekali.
"Er was een verraad Ben Mboi, een hoog niveau verraad!"
"Ada penghianatan Ben Mboi, penghianatan tingat tinggi !"
Saya sengaja menulis cerita tentang gosip ini, karena siapapun yang berotak waras atau siswa Sesko TNI yang kritis, dikemudian hari pasti akan mempertanyakan berbagai anamoli dari "Peristiwa Laut Arafuru 15 Januari 1961". Apa yang saya ceritakan ini hanyalah ingatan seorang Lettu Wamil yang kebetulan melihat dan mendengar.

Memang benar, upaya-upaya pengembalian Irian Barat kepangkuan NKRI lebih mengandalkan semangat patriotisme ketimbang kesiapan hardware berperang. Seperti anekdot ketika pilot-pilot Hercules AS bertemu saya di Lapangan Mopa, Merauke, ketika menghantar Brigjen Achmad Wiranatakusumah ke pesawat.
"How did you arrive in West Nieuw Guinea?" tanya mereka.
"Jumping!" saya menjawab.
"Jumping?, from what?" tanyanya lagi kaget.
"Airbone," saya jawab.
"At 3 o'clock in the morning, thanks to your C130," saya tandaskan
"What? Jumping from the plane at 3 o'clock in the morning? You are stupid or crazy or stupid and crazy! Even the bravest among the Japanese soldier did not dare to attack Southen West New Guinea by air or by sea, not even by land!"
Memang benar, selama PD II Irian Barat bagian selatan tidak pernah diduduki oleh tentara Jepang, karena tentara mereka tidak mampu melintasi lebat dan terjalnya kawasan Pegunungan Jayawijaya atau mendarat dari laut, atau dengan parasut di hutan belantara Irian Barat bagian selatan yang penuh dengan rawa-rawa raksasa.

"Yes, it is true. That is what you call patriotism. Patriotism at times can push you to the bring stupidity and/or craziness. Here I am !"

Memang benar, itulah patriotisme. Patriotisme dapat mendorong kita kebibir jurang ketololan dan kegilaan. Tapi, inilah saya!"

That was Jos Soedarso!
Requescat in Pace.
Rest in Peace.

Bersambung ...

profile picutre
Diposkan oleh Erwin Parikesit (Kaskuser)
Abimanyu Dj

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.