Sabtu, 01 Desember 2012

Kisah Getir Evakuasi Korban Sukhoi Super Jet 100

“Manusia luar biasa adalah mereka yang dapat mengubah ketidakmampuan menjadi kemampuan, kelemahan menjadi kekuatan, dan membawa keterbatasan melampaui berbagai batasan...” Kata-kata ini disampaikan Mayor Pnb. M.R.Y. Fahlefie dari Skadron Udara 6 Atang Senjaya tatkala mengevakuasi korban Sukhoi Super Jet 100 yang bulan Mei lalu menabrak Gunung Salak di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Meski terlihat mudah, evakuasi diakui cukup sulit dan sempat membuat resah Mayor Fahlefie, captain pilot heli NAS-332 Super Puma. Berikut ini petikan kisahnya:

Rabu, 9 Mei 2012, mungkin merupakan salah satu hari yang sulit dilupakan insan penerbangan di Tanah Air. Sore di hari itu, sebuah berita mengejutkan diterima di Jakarta: pesawat Sukhoi Superjet (SSJ) 100 nomor registrasi RA-36801 yang sedang melaksanakan terbang demo (demo flight) dari Bandara Halim Perdanakusuma dinyatakan hilang kontak. Di dalam pesawat terdapat 45 orang dari berbagai kalangan (termasuk reporter dan fotografer Angkasa: Dody Aviantara dan Didik Nur Yusuf) yang bermaksud merasakan langsung kehebatan serta kecanggihan pesawat penumpang pertama yang diproduksi pabrikan Sukhoi dari Rusia.

Kisah Getir Evakuasi Korban Sukhoi Super Jet 100

Pencarian langsung dimulai sejak sore hari itu. Namun dinamika cuaca yang cepat berubah di area Gunung Salak Bogor (lokasi perkiraan hilangnya SSJ-100) membuat pencarian mengalami hambatan serius dan belum membuahkan hasil. Esok harinya, 10 Mei 2012, Komandan Lanud Atang Sendjaja (ATS) Marsma TNI Tabri Santoso, S.IP memerintahkan satu pesawat NAS-332 Super Puma (H-3214) dari Skadron Udara 6 berangkat untuk melanjutkan pencarian. Saya yang saat itu bertindak sebagai captain pilot berangkat bersama co-pilot Lettu Pnb Budiono, dan dua awak lain serta enam personel dari Kompi Senapan 1 Batalyon 467 Korpaskhasau menuju Halim yang dijadikan posko pencarian. Direncanakan pencarian akan dilaksanakan bersama-sama unsur udara lainnya melalui komunikasi intensif dengan tim evakuasi darat gabungan serta tim Vehicle Control Post (VCP) TNI AU dari Lanud ATS yang telah diberangkatkan sore sebelumnya.

Saat take-off pukul 06.00 WIB, cuaca di sekitar Lanud Atang Sendjaja masih berkabut (ground fog), namun pesawat tetap berangkat dan 10 menit kemudian mendarat di Bandara Halim. Tampak beberapa helikopter dari berbagai instansi lain seperti Basarnas, PMI, Derazona, dan lainnya. Koordinasi pencarian udara langsung dipimpin oleh Kepala Badan SAR Nasional Marsdya TNI Daryatmo S.IP didampingi oleh Panglima Komando Operasi TNI AU I Marsda TNI Bagus Puruhito.

Dasar jurang

Sekitar pukul 08.00 WIB, Posko mendapatkan info dari tim VCP di kaki Gunung Salak bahwa cuaca sedikit membaik, namun tidak akan berlangsung lama. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Kabasarnas yang memerintahkan satu helikopter yang pada saat itu siap dan mampu melaksanakan terbang tinggi untuk terbang menuju Gunung Salak. Dengan puncak tertinggi Gunung Salak yang sekitar 7.000 kaki, maka hanya pesawat H-3214 yang dinilai mampu mengatasi kendala ketinggian tersebut. Here we go dan pesawat terbang menuju Gunung Salak melalui Depok dengan ketinggian terbang 1.500 kaki (saat itu ikut onboard Direktur Operasi Basarnas Marsma TNI Sunarbowo Sandhi). Lepas dari Depok, saya memutuskan untuk naik ke 7.000 kaki untuk dapat melihat kondisi cuaca di puncak gunung.


Kisah Getir Evakuasi Korban Sukhoi Super Jet 100

Setelah terbang sekitar 20 menit, H-3214 mencapai Gunung Salak. Sebelumnya sudah disiapkan pola pencarian melalui udara oleh Komandan Skadron Udara 6 Letkol Pnb Hendro. Namun setelah tiba di medan yang sesungguhnya, pola pencarian tersebut ternyata meliputi area berpenduduk padat yang cukup luas, yang dalam logika saya tidak mungkin tidak ada laporan dari masyarakat apabila melihat pesawat jatuh di tempat itu. Analisis super cepat ini membawa saya untuk mengubah pencarian ke sekitar area puncak gunung.

Gunung Salak memiliki tiga puncak. Titik tertingginya yang dikenal dengan “Puncak Salak 1” memiliki ketinggian sekitar 7.000 kaki. Awan di sekitar puncak gunung masih menempel pada saat itu, sehingga saya perlu meyakinkan celah yang betul-betul aman untuk dilalui pesawat. Saya memutuskan mengarahkan pesawat dari selatan ke utara, dan dalam perjalanan terlihat suatu kejanggalan di lereng Puncak Salak 1, yakni ada rerumputan yang seperti terbakar, tetapi tidak tampak sama sekali bangkai pesawat. ”Siapa yang bakar-bakar di ketinggian segini?” itu yang ada di pikiran saya. Namun karena cuaca yang kurang baik konsentrasi saya tetap pada kontrol pesawat. Ketika melintas di lokasi ketiga kalinya, barulah saya menunjuk dan mengatakan melalui mikrofon, ”Mungkin itu ya?”. Sontak seluruh awak memusatkan perhatian untuk melihat, dan setelah tiga kali berputar untuk meyakinkan, kopilot Lettu Pnb Budiono berseru, “Bang, saya lihat lambang Sukhoi di dasar jurang...!”

Kami kembali ke Halim, sambil melaporkan hasil temuan kami saat itu melalui tower Halim dan ATS, yaitu titik jatuhnya SSJ-100 pada koordinat 06º 41’61.3” S, 106º44’41.2” E, di lereng barat Puncak Salak 1 pada ketinggian kurang lebih 5.800 kaki. Temuan ini langsung dilaporkan oleh Kabasarnas kepada Presiden RI bahwa lokasi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 sudah ditemukan dan operasi pencarian berubah menjadi evakuasi. Operasi pencarian udara terhadap pesawat yang mengalami kecelakaan kali ini tergolong yang tercepat, hanya dalam 12 jam lokasi kejadian sudah ditemukan sehingga memudahkan jalannya evakuasi. Sayang, cuaca saat itu sudah kembali memburuk sehingga diputuskan untuk memulai evakuasi keesokan harinya...

This is not a drill!

Jumat, 11 Mei 2012, operasi evakuasi mulai dilaksanakan. Tim penyiap yang dipimpin langsung oleh Komandan Lanud ATS menyiapkan helipad terdekat untuk mengevakuasi korban. Helipad disiapkan di daerah Cijeruk (lereng Gunung Salak sebelah timur laut, ketinggian 2.644 kaki). Lokasi ini dipilih karena luas dan mampu menampung empat helikopter sekaligus serta mudah dalam dukungan akomodasi. Uji pendaratan (landing test) yang dilakukan dengan H-3214 juga cukup aman.


Kisah Getir Evakuasi Korban Sukhoi Super Jet 100

Tugas kami pada hari itu adalah menurunkan tim penolong (rescuer) dari Kipan I Paskhas sedekat mungkin dengan lokasi kecelakaan guna membuka helipad terdepan untuk pelaksanaan evakuasi. Segala sesuatunya dihitung dengan cepat sesuai flight manual NAS-332 Super Puma, meliputi elevasi sasaran, bahan bakar yang mampu dibawa, arah angin, jumlah personel yang bisa diturunkan melalui rappelling, dan segala kemungkinan lainnya. Namun bagi saya pribadi, tetap saja ada keresahan, ”Apakah perhitungan saya benar? Apakah ada kemungkinan lain yang belum saya antisipasi?” Saya teringat kata-kata dalam berbagai film perang Holywood: ”This is not a drill!”

Kali ini saya ditemani Mayor Pnb Frits sebagai kopilot, dan didampingi sebuah NBO-105 Basarnas yang diawaki Letkol Pnb Hendro dalam mencari area dropping. Setelah menemukan lokasi penurunan tim rescue (puncak tebing sebelah timur crash site elevasi ± 6.000 kaki), masalah baru muncul. Jumping master dari Paskhas, Serka Mardi, tidak yakin akan kondisi daratan yang ada di bawah karena tertutup pepohonan. Sedangkan untuk melaksanakan rappelling ke pohon sangat berisiko karena batang pohon tidak terlalu besar namun tinggi dan dikhawatirkan tidak mampu menahan bobot tubuh anggota tim.

Selain itu, angin yang cukup kencang akan membuat tali carmantle melilit ke pohon. Yang terjadi adalah, setelah heli hovering, persiapan tali diturunkan, tali langsung melilit pohon dan tidak dapat ditarik lagi. Beberapa saat saya bertanya, “Kenapa lama sekali?” Setelah itu awak kabin melaporkan, “Tali nyangkut Ndan, sedang dicoba ditarik!” Secara naluriah saya berteriak, “Potong tali.., tinggal!” Talipun dipotong dan kami putuskan untuk kembali ke Cijeruk guna konsolidasi. Keputusan saya itu juga didasari pengamatan bahwa pasukan SAR darat sudah mendekati dan akan mencapai lokasi kecelakaan.

Semakin berat

Pengalaman itu menyadarkan saya bahwa ini jauh lebih sulit dari yang saya duga. Banyak hal kecil yang bila tidak diperhitungkan dengan matang akan berakibat fatal dan membahayakan semuanya. Belum lagi perubahan cuaca yang sangat cepat. Ya Allah betapa berat tugas saya ini.

Jumat 11 Mei 2012, sekitar pukul 14.30 WIB diperoleh laporan bahwa tim evakuasi darat sudah berhasil membuka medan, namun mereka sendiri belum yakin dapat didarati helikopter. Sementara bantuan kekuatan dari Polisi Udara (NBell-412) dan Penerbad (Mi-17) disiagakan di Lanud ATS, karena selain keterbatasan kapasitas helipad Cijeruk, kedua pesawat itu tidak dilengkapi dengan peralatan SAR terutama hoist (whinch) dan perlengkapan rappelling. Di satu sisi ini membanggakan saya karena hanya NAS-332 yang mampu melaksanakan misi ini, namun di sisi lain, saya hanya dapat berkata kepada awak pesawat saya, “Tugas kita berat, dan akan semakin berat...”

Tanggal 12 Mei 2012, ditemani oleh Mayor Pnb Z.A. Purba sebagai kopilot dan bahan bakar yang tidak lebih dari 700 liter di tangki pesawat, saya terbang ke koordinat yang sehari sebelumnya dilaporkan oleh “Jaguar” (kode sandi tim Paskhas yang ada di Puncak Salak 1). Kekhawatiran saya terjawab, lokasi evakuasi yang disiapkan adalah Puncak Salak 1, yang belum bisa didarati oleh Super Puma. Tetap dengan H-3214 kami melemparkan logistik untuk pasukan darat yang sudah empat hari hari belum makan sambil mengamati situasi sekeliling. Angin di puncak cukup kencang dan sering kali berlawanan arah dengan yang ada di lereng. Dan saya melihat kantong-kantong jenazah sudah mulai dikumpulkan di pick-up point tersebut. Kami kembali ke Cijeruk untuk melaksanakan persiapan selanjutnya.

Di Cijeruk kami mulai mempersiapkan rescue net untuk mengangkut kantong jenazah ke pesawat, dan saat menurunkannya kami masukkan logistik, terutama air minum sebagai pemberat mengingat kondisi angin yang cukup kencang. Saya banyak mendengar cerita sukses dari berbagai penyelamatan di puncak gunung, namun semua dilewati dengan tingkat kesulitan dan resiko yang tinggi. Sekarang, ini giliran saya! Selama proses climbing ke 7.000 kaki saya terus saling mengingatkan dengan seluruh awak pesawat agar memastikan bahwa kami masih bisa go around bila terjadi emergency saat menjelang hover. Bila emergency terjadi saat hover, pilihan hanya satu: jatuh tegak lurus di atas Puncak Salak 1! (pilihan yang tak disukai siapapun).

Proses penurunan logistik dan pengambilan kantong jenazah yang pertama berjalan aman, demikian pula yang kedua dengan tetap memperhitungkan setiap risiko. Satu hal yang saya pelajari adalah ketika melaksanakan hovering, arah pesawat hampir tidak pernah sama, menandakan cepatnya perubahan arah dan kecepatan angin di Puncak Gunung Salak. Kantung jenazah kami bawa ke helipad Cijeruk dan dari sana diterbangkan lagi menggunakan heli lain jenis NBO-105 ke Halim untuk kemudian dilaksanakan proses identifikasi. H-3214 sendiri dikhususkan untuk evakuasi dari “Jaguar” menuju Cijeruk. Sedangkan pengiriman logistik dilaksanakan oleh Mi-17 dan NBell-412 dengan titik muat dari Lanud ATS Bogor.

Hal lain yang belum saya perhitungkan sebelumnya, saya mengamati kondisi kantong jenazah yang berair. Saya mulai berpikir bagaimana dengan jaring dan logistiknya? Akhirnya saya minta kepada petugas PMI untuk menyiram kabin H-3214 dan rescue net untuk dibersihkan dengan alkohol setiap kembali ke Cijeruk. Awak heli saya perintahkan juga untuk selalu menggunakan sarung tangan guna mengantisipasi berbagai kemungkinan.

Pada tanggal 13 Mei 2012, tim evakuasi asal Rusia mulai bergerak menuju crash site melalui jalur darat. Baru empat jam perjalanan dua orang sudah menyatakan mundur karena beratnya medan. Pada keesokan paginya tiga orang lagi meminta untuk dievakuasi karena kondisi mereka yang tidak memungkinkan. Merupakan pekerjaan baru lagi, bila kemarin benda mati yang kami bawa, kali ini kami harus mengangkut benda hidup. Namun “order is order” dan dengan perhitungan yang lebih matang saya persiapkan segala sesuatunya.

Saya cek peralatan SAR yang ada hanya rescue anchor (jangkar penyelamat). Saya pikir ini tidak cocok karena bila si korban panik (melihat dirinya tergantung di puncak gunung) justru akan sangat berbahaya. Secara tidak sengaja saya melihat tiga anggota Paskhas dari Wing 3 dipimpin Mayor Psk Tambunan membawa body harness dan akan naik lagi ke crash site. Saya panggil mereka dan saya perintahkan untuk mengenakan harness yang mereka bawa namun turun ke “Jaguar” dengan rappelling. Awalnya mereka bingung, tapi saya sampaikan untuk mengenakan harness itu ke personel KNKT Rusia dan Indonesia. “Tiga orang dulu, karena total yang harus dievakuasi ada lima orang.”

Pelaksanaan rappelling kali ini lebih menegangkan karena angin bertiup kencang dan awan pun ikut sesaat menutupi “Jaguar”. Saya harus pandai-pandai mencari lubang awan kalau mau selamat. Selama menuju ke sasaran sambil terus mengamati cuaca di sekitar puncak Gunung Salak, saya berpikir dan memutuskan langkah yang akan dilaksanakan. Yaitu menurunkan rescue net dengan hoist, tinggalkan rescue net di “Jaguar”, baru laksanakan rappelling tiga personel Paskhas. Melihat kondisi cuaca saya putuskan untuk melaksakan hoist tiga orang dalam sekali hover (yang biasa dilatihkan adalah satu kali hoisting lalu memutar terlebih dahulu untuk proses cooling down). Saya briefing kopilot dan flight engineer agar mengecek instrumen heli pada saat hovering. Semua setuju dalam diam karena memang baru kali ini dilaksanakan. Alhamdullilah, yang pertama berhasil. Namun kami tetap berdebar-debar karena masih ada dua lagi yang harus diangkat.

Mendarat di Cijeruk, tiga orang yang baru saja dievakuasi turun dengan aman. Pesawat melaksanakan hot refueling (pengisian bahan bakar ke heli saat mesin heli masih berputar) karena kami berpacu dengan cuaca -seperti biasa tidak lebih dari 700 liter dari 2.700 liter yang mampu di telan H-3214. Sampai di final leg, saya baru ingat bagaimana cara menurunkan tiga body harness tadi ke “Jaguar”? Apa yang akan terjadi kalau itu dilempar ke bawah? Sekali lagi berkat kebesaran Allah, body harness yang kami lemparkan aman dan tepat jatuh di “Jaguar” dan dapat segera dikenakan oleh satu orang Rusia dan satu anggota KNKT. Proses penarikan pun sama, tiga kali hoisting dalam sekali hover. Ungkapan puji syukur tidak pernah lepas dari mulut saya.

NAS-332 Super Puma sudah membuktikan bahwa heli ini benar-benar “Singa Gunung Salak” sesuai arti namanya.

(Baca tulisan lengkapnya di Angkasa edisi November 2012)

© Angkasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.