Minggu, 02 Desember 2012

☆ Supono Soegirman, Perekrut dan Guru Intelijen Indonesia

DUNIA intelijen selalu penuh misteri dan kerahasiaan. Apakah hidup sebagai mata-mata seindah yang digambarkan dalam film James Bond besutan Holywood? Selalu dikelilingi perempuan-perempuan cantik, mobil mewah, dan alat-alat canggih? Inilah pengalaman senior intelijen Indonesia yang telah 32 tahun mengabdi sebagai telik sandi negara.

Ridlwan Habib, Jakarta


Agar Sukses, Anggota BIN Harus Dapat Restu Ibu
"Panjenengan (Anda, Red) jalan lurus saja ke belakang, saya sudah melihat Anda, pakai batik kan?" ujar Supono Soegirman di ujung telepon. Padahal, Jawa Pos yang belum pernah bertemu muka sebelumnya baru saja keluar dari kompleks parkir mobil. Rupanya, Supono sudah mengawasi satu jam sebelum waktu yang dijanjikan untuk bertemu di sebuah tempat di Depok, Jawa Barat, itu. Ciri-ciri fisik koran ini, bahkan rekam jejak masa lalu, juga diketahui lebih awal.

"Hehe. Kita sama-sama dari Bulaksumur (Universitas Gadjah Mada, Red). Jadi saya panggil Dik saja ya," sapanya sambil menjabat tangan.

Untuk lelaki yang pada 7 November nanti berulang tahun ke-65 itu, fisiknya masih sangat bugar. Badannya tegap dan sorot matanya tajam. Supono hanya mengenakan kaus santai dengan satu kancing atas dibuka.

Di depan meja terletak sebuah laptop, notes kecil, sebuah USB flashdisk warna merah jambu (pink) dan segelas teh hangat tanpa gula (teh pahit). Dia membawa satu tas jinjing kecil dan sebuah pouch di ikat pinggang. "Kalau senggang seperti ini, selalu saya isi waktu dengan menulis. Judul tulisan soal intelijen sudah antre di sini," katanya sembari memegang belakang kepala.

Supono memang baru saja meluncurkan buku pada pekan ketiga Oktober lalu. Judulnya: Intelijen, Profesi Unik Orang-Orang Aneh. Buku setebal 310 halaman itu berisi aneka macam teknik, pengalaman, dan metode intelijen, baik secara ilmiah maupun aplikasi praktis. "Memang hanya orang aneh yang mau jadi intel," katanya lantas tersenyum kecil.

Alumnus Jurusan Ilmu Pemerintahan UGM itu tak sekadar mengarang indah dalam bukunya, tapi hasil dari pengalamannya bergabung dengan Badan Intelijen Negara (BIN). Berbagai penugasan sudah dia jalani. Dia hitung sudah 35 negara disinggahi dalam baktinya sebagai intelijen.

Supono juga alumnus pelatihan CIA (Central Intelligence Agency) dan Mossad ( lengkapnya Ha-Mossad le-Modiin ule-Tafkidim Meyuhadim, dalam bahasa Ibrani berarti Institut Intelijen dan Operasi Khusus, Israel). "Saya di CIA berlatih advance collection atau metode tingkat mahir untuk pengumpulan data di lapangan," katanya.

Collection dalam artian intelijen termasuk teknik menyamar, teknik menyadap, teknik menyusup, meniru, dan sebagainya. "Kalau di Mossad, dua kali; advance analysis dan training for trainer," katanya. Baik di CIA maupun Mossad, Supono lulus kursus dengan nilai memuaskan.

"Sebenarnya kita tidak boleh minder. Kualitas intel kita sama baik, bahkan lebih baik daripada Mossad dan CIA. Hanya kalah di fasilitas," tambahnya.

Supono muda sebenarnya sama sekali tak ada bayangan akan berkarir di dunia mata-mata hingga tua. Dulu dia hanya berkeinginan menjadi PNS atau pegawai agar orang tuanya di Blora, Jateng, bahagia. "Saya lulus Fisipol tahun 72 nekat bawa ijazah ke Jakarta," ujarnya.

Awalnya dia melamar di Badan Urusan Logistik (Bulog). Baru masuk, sudah disodori naskah bahasa Inggris. "Waktu itu saya masih pating grathul (tidak lancar, Red) bahasa Ingrisnya," katanya. Tentu saja dia ditolak.

Beberapa kantor lain dicoba dimasuki, tapi juga nihil. Hampir putus asa, Supono termenung di terminal bus Lapangan Banteng. "Tiba-tiba ada kakak angkatan di HMI menyapa, dia alumnus fakultas hukum. Dia bilang, Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) ada lowongan," katanya.

Saat itu, era Orde Baru, Bakin menjadi lembaga yang sangat sangar. Supono pun nekat mendatangi markas Bakin yang dulu berada di Jalan Senopati Raya (sekarang Kantor Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara). "Satpamnya gagah tinggi besar, kumisnya tebal. Saya berpikir spontan saja. Saya bilang punya informasi penting untuk pimpinan Bakin," tuturnya.

Mujur, satpam itu percaya. Supono malah diantar langsung bertemu dengan kepala personalia Bakin. "Saya langsung sodorkan ijazah. Kepala personalia itu bilang saya beruntung karena siang itu hari terakhir pendaftaran untuk masyarakat umum," katanya.

Pendaftarnya 70 orang, sebagian besar adalah agen-agen honorer Bakin yang memang direkrut sebelumnya. Rupanya, di antara jumlah tersebut, hanya delapan orang yang dinyatakan lolos tes dan bisa resmi menjadi pegawai negeri Bakin. "Di antara delapan itu, empat orang, termasuk saya, dari kalangan orang awam. Alhamdulillah, semuanya pensiun dalam level eselon I (setingkat Dirjen, Red)," katanya.

Selesai pendidikan, Supono mendapat tugas awal sebagai LO (liaison officer, petugas penghubung) antara DPR dan Bakin. "Jadi sehari-hari saya nongkrong bareng wartawan-wartawan DPR dan staf-staf lain," katanya. Tak seperti sekarang, hasil rapat-rapat DPR zaman itu tak bisa dengan mudah diakses publik. Nah, Supono mengambil data-data itu, lalu dilaporkan ke pimpinan di Bakin.

Karena dinilai berprestasi, Supono lantas promosi jabatan. "Saya lama di bagian analisis. Bahkan, sebelum di Sekolah Tinggi Intelijen Negara, jabatan eselon I saya adalah deputi analisis (deputi III)," katanya.

Berbagai cover (kedok) profesi Supono sebagai intel sudah dijalani. "Saya beberapa kali berkedok sebagai diplomat. Ini cover yang memang paling lazim digunakan semua petugas intelijen di dunia," ungkapnya.

Dia juga pernah berkedok sebagai staf Kantor Dagang Indonesia di Taipei (Taiwan). "Seolah-olah saya pegawai Departemen Perdagangan. Saya dibekali SK, kartu pengenal, semua dari Departemen Perdagangan," tuturnya.

Setiap operasi, baik di dalam maupun luar negeri, Supono memberi tahu istrinya, Sri Rahayuningsih. "Tidak perlu detail, yang penting cukup tahu di kota mana, berapa hari. Itu saja agar hatinya tenang, " katanya. Kakek delapan cucu itu berpegang pada sifat pokok yang wajib dimiliki seorang intelijen, yakni kejujuran. "Kalau intel berbohong, bagaimana datanya bisa dipercaya pimpinan atau user-nya," katanya.

Tentu saja kehidupan asli seorang agen intelijen, terutama di luar negeri, tak seperti James Bond. "Kita tidak boleh menimbulkan perhatian, apalagi minum minuman keras di kafe-kafe bersama wanita-wanita cantik. Wah, itu sangat berbahaya," ungkapnya.

Sekali seorang diplomat salah langkah, bisa digunakan pihak lain untuk memerasnya sebagai agen ganda. "Misalnya, diplomat ketahuan bermain wanita. Dipotret, lalu diancam akan dibuka ke istri, keluarga, atau masyarakat umum kalau tidak mau jadi agen mereka," katanya.

Karena itu, Supono yang sering menjadi pemateri kursus anti penggalangan/kontraintelijen untuk diplomat muda Kementerian Luar Negeri itu selalu menekankan dua hal: bertindak jujur dan bertanggung jawab."Selalu eling lan waspodo. Eling itu artinya ingat kepada Tuhan, bersyukur. Waspodo ya waspada. Apalagi, insan intelijen harus selalu merasa diawasi lawan," ujarnya.

Saat hendak mencari data rahasia di negara lain, kedok Supono pernah nyaris terbongkar. Rupanya, informannya seorang warga negara setempat diikuti oleh badan intelijen negara itu. "Saya amati dia dari jauh. Kok seperti gelisah, orang-orang di sekitarnya juga bergelagat meragukan. Sense (perasaan) saya langsung tahu, ini bisa blow up (terbongkar)," katanya.

Karena itu, Supono memilih segera pergi dan tidak jadi menemui kontaknya itu. "Dalam intelijen, operasi selalu pegang prinsip RAE. Yakni, reguler, alternatif, emergency," katanya.

Reguler adalah rencana awal seperti biasa, alternatif adalah skenario cadangan jika rencana awal terdeteksi. Sedangkan, emergency adalah the worst scenario atau skenario terakhir jika hal paling buruk terjadi.

Pulang dari penugasan luar negeri, menjelang pensiun (2007), Supono mendapat tugas memperbaiki sistem perekrutan dan kurikulum pendidikan calon-calon agen muda intelijen di Sekolah Tinggi Intelijen Negara. "Saya bilang ke adik angkatan saya, Dik As"ad (mantan Wakil Kepala BIN As ad Ali, Red) terima kasih sekali. Ilmu yang bermanfaat itu amal yang tidak terputus meskipun kita sudah mati," katanya.

Dia lantas menjabat ketua 1 STIN yang membawahkan kurikulum. Dia lalu berkonsultasi dengan berbagai pakar dan akademisi. Di antaranya, dosen-dosen program S-2 Kajian Strategik Intelijen Universitas Indonesia yang memang bekerja sama dengan BIN. "Saya juga turun langsung ke daerah-daerah merekrut calon intel yang potensial," ujarnya.

Awalnya, BIN hanya mengambil input anak-anak cerdas dari sekolah unggulan yang semi militeristis seperti SMA Taruna Nusantara di Magelang, atau SMA Krida Nusantara di Bandung. Namun, belakangan BIN mulai merambah ke sekolah-sekolah unggulan yang lain di seluruh Indonesia. Misalnya, Makassar, Ambon, dan Aceh.

"Syaratnya harus cerdas. IQ minimal 120. Intelijen itu bukan modal otot, tapi otak. Karena itu, Pak Zulkifli Lubis, pendiri badan intelijen pertama republik, menyebutnya sebagai prajurit perang pikiran," katanya.


Syarat lain untuk bisa jadi anggota BIN, berbadan sehat dengan tinggi maksimal 175 cm untuk pria dan 167 cm untuk wanita. "Intel tidak boleh terlalu jangkung. Nanti ketahuan, sangat mencolok. Harus kelihatan biasa-biasa saja, tapi supercerdas," kata Supono.

Setiap sekolah unggulan akan menyodorkan lima besar lulusannya. Nanti dites khusus oleh BIN. "Juga ada tes kesehatan jiwa secara khusus karena intelijen itu pekerjaan yang tingkat stresnya sangat tinggi. Dia harus bisa menekan egonya ke titik nol," tuturnya.

Setelah lulus, mereka tak langsung diasramakan di STIN, Sentul, Bogor. "Harus ada dua surat izin. Satu ditandatangani ayah, satu ditandatangani ibu. Intel harus direstui ibunya agar berhasil dalam tugas," kata Supono.


Jika itu beres, siswa-siswa tersebut akan dididik di kawah candradimuka intelijen di STIN, Sentul, Bogor, selama empat tahun. Mereka dilatih berbagai macam skill intelijen, baik kemampuan operasi maupun kemampuan menganalisis data hasil operasi. Kemampuan operasi itu, misalnya, penguasaan bahasa asing, ilmu fotografi, dasar persandian, teknik penyamaran, teknik pembuntutan, teknik manipulasi, menembak, dan menyelam.

"Sebenarnya dukungan fasilitas untuk agen-agen kita juga sudah baik. Penyadapan misalnya. Kita punya alat yang bisa merekam pembicaraan orang di mana pun di Indonesia ini cukup hanya dari Pejaten (Kantor BIN, Red)," katanya.

Setelah lulus, agen-agen muda tersebut tentu harus mempunyai kedok (cover) untuk bertugas." Ada yang dipilihkan pimpinan. Tapi, sebagian besar harus mencari kedok sendiri sesuai lingkup penugasannya," jelasnya. Beberapa yang paling sering dipilih adalah kedok sebagai wartawan, peneliti, dosen, atau aktivis LSM.

"Kalau dari sisi menyamar, sebenarnya kemampuan intel kita di atas rata-rata. Di buku, saya ceritakan seorang mayor yang pura-pura jadi orang gila berhari-hari untuk mengintai sasaran," katanya.

Supono menegaskan, jika ada yang sok berlagak intel, sesungguhnya dia justru bukan intel alias intel bodong. "Ada yang mengaku-aku anggota BIN, pakai kartu anggota segala, tujuannya jahat, memeras orang. Ini harus dilaporkan polisi," ujarnya.

Dia juga meluruskan persepsi orang bahwa intelijen selalu identik dengan dunia hitam, jahat, licik, dan curang."Itu karena di Indonesia masih terbayang-bayang intel di masa Orde Lama maupun Orde Baru yang dimanfaatkan user-nya, yakni kepala negara, untuk tujuan pribadi," katanya.

Padahal, lanjut dia, intelijen seharusnya mengabdi pada satu prinsip, yakni kepentingan nasional. "Karena pimpinan tertinggi yang idealnya bisa menjamin kepentingan nasional adalah presiden, kami hanya patuh kepada dan melayani presiden sebagai single user," katanya.

Intelijen juga harus legawa jika selalu disalahkan dalam setiap peristiwa besar. "Kita tidak boleh membela diri walaupun data dan analisis sudah disetorkan ke user sebelum kejadian, tapi tidak ditindaklanjuti. Istilahnya, gupak pulut ora mangan nangkane (kena getah, tapi tak mencicipi buahnya, Red)," katanya.

Sejarah ilmu dan metode intelijen sudah ribuan tahun. Di Indonesia bahkan dipakai sejak zaman Ken Arok dalam meruntuhkan takhta Tunggul Ametung pada masa Kerajaan Singasari. Begitu juga saat Sultan Agung Hanyokrokusumo menyerang Batavia. Saat itu Sultan memanfaatkan telik sandi beretnis Tionghoa bernama Tjong Ling.

Di era cyber sekarang ini, intelijen ditantang untuk terus berinovasi. Mampu beradaptasi dengan hal-hal yang baru dan terus memperbaiki diri. "Itu salah satu motif saya menulis, memberikan sumbangan pengalaman untuk adik-adik seperti Anda ini," tuturnya.

Penggemar wayang kulit itu optimistis bahwa intelijen di Indonesia semakin baik dan berguna untuk masyarakat. Syaratnya, para pelakunya tidak pamrih (berharap balas jasa). "Jargon intelijen itu berhasil tidak dipuji, gagal dicaci maki, hilang tidak dicari, mati tidak diakui. Ketika itu diresapi, pasti profesional," katanya. 

© JPNN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.