Minggu, 27 Januari 2013

Berdoa di Kapal Terbakar

Ditulis oleh Max T. Maniku

1. Pindah dari Lawang ke Jayapura

Setelah menyelesaikan SUSLAPA Zeni tahun 1974/1975 aku dipindahkan dari Yon Zipur 5/Brawijaya di Lawang ke Jayapura Irian Jaya pada bulan Juli 1975.

Karena masih berpangkat Kapten, hak-ku untuk perjalanan kepindahan ini dengan transportasi kapal laut. Kalau harus membeli sendiri tiket pesawat Surabaya – Jayapura, sudah pasti aku tidak bisa menjangkaunya. Apalagi aku masih bujangan, sehingga perjalanan ini diharapkan justru akan jadi menarik. Memang paling tenang bila kita hidup mengalir apa adanya, jalani saja apa yang harus kita jalani. Tidak usah melawan, ikuti saja arus yang harus kita tempuh. Nrimo apa adanya, sesuai apa yang diberi dari Yang Maha Kuasa.


Barang-barangku berupa pakaian dan buku-buku tidak terlalu banyak, oleh karena itu supaya ringkas aku pak dalam satu peti kayu yang aku buat khusus untuk itu. Tapi meski jumlahnya tidak seberapa, ya masih cukup berat juga. Disamping itu aku bawa satu buah kopor jinjing kecil berisi surat-surat biasa, baju 2 stel, buku bacaan dan sebagainya. Oya ada juga map CB-ku yang terlambat dibereskan Kapten CZI Supono (Pasi-3/Pers Yon Zipur 5) hingga tidak masuk dalam peti kayu yang terlanjur dipaku. Aku berangkat pada malam hari dari Mess Lawang Sewu Yon Zipur 5 Lawang diantar seorang pengemudi Gaz. Tidak ada seorangpun yang mengantar aku berangkat ke Surabaya untuk pindah ke Jayapura. Aku sendiri saja ......

2. Kapal BERAU yang bersih


Bagiku melakukan perjalanan dengan kapal laut bukanlah hal baru. Tetapi aku merasa surprise dengan kapal yang satu ini, KM BERAU. Kapal PELNI yang satu ini adalah kapal yang paling bersih yang pernah kulihat dan kutumpangi, apalagi di kelas 2 satu kamar hanya untuk 2 orang.

Ternyata di kapal itulah aku berjumpa dengan Mayor CHB Julius Harun (Alumni 1964) bersama istri dan 2 orang anaknya. Jadi aku tidak lagi merasa sepi dan sendiri di atas kapal yang besar itu. Kebetulan sejak berpisah di Panorama 11 tahun yang lalu (akhir tahun 1964) inilah pertama kali kita bertemu. Aku habiskan waktu dengan asyik mengobrol malam hari di geladak kapal sambil menikmati suara angin dan gelombang. Kadang-kadang kami mengobrol di Salon kapal. Entah kenapa kami ada juga membicarakan kisah kapal Titanic yang pada malam hari menabrak es, menyebabkan kapal pecah dan akhirnya tenggelam, seperti yang ada di dalam film ”A night to remember”. Anehnya, malam itu kami membayangkan kalau KM BERAU ini yang mengalami hal itu.


Menurut orang-orang tua di pulau Sangihe (kampung halamanku) adalah tabu atau tidak boleh membicarakan hal-hal semacam itu di tengah laut. Tanpa sadar kami sudah membicarakannya.


Selama pelayaran dari Tanjung Perak menuju pelabuhan Soekarno-Hatta di Makassar, kami sempat berkenalan dan bergaul akrab dengan Nakhoda dan para Perwira kapal. Kami sering mengobrol santai di anjungan nakhoda, di kisi-kisi pagar kapal ataupun di salon kapal.

3. Bencana itu mulai datang


Hari itu adalah Jum’at yang sangat indah. Saat dzuhur dilakukan shalat Jum’at di Salon kapal dipimpin oleh H. Zainal Arifin yang kami semua mengenalnya. Sayang sekali pada hari Minggu tidak ada pendeta di antara penumpang yang jumlahnya ratusan itu, yang bisa memimpin kebaktian.

Pada saat sandar di pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar, aku lihat banyak sekali kasur dimuat, ditumpuk dan memenuhi palka depan kapal yang sangat besar itu. Karena Berau adalah kapal penumpang maka relatif barang penumpang tidak terlalu banyak.


Dengan aman kapal bergerak meninggalkan Makassar dengan membawa serta ratusan kasur menuju Sorong dan Jayapura. Mualim-1 kapal ini memberitahu aku bahwa pelayaran kali ini cukup jauh, karena langsung menuju Sorong tanpa singgah di Kendari ataupun Ambon. Kata beliau : ”Ini langsung berlayar ke Irian.” Wah, betapa jauhnya, pikirku.


Tiba-tiba malam itu terdengar bunyi alarm tanda bahaya. Semua penumpang terkejut dan bergegas keluar dari kamar kapal. Wow, ternyata di geladak sudah penuh pemumpang dan ramainya bukan main.

Ya Tuhan, akan celakakah kami di atas kapal di tengah laut yang gelap dan pekat ini? Tolonglah kami umat-Mu ya Tuhan. Aku sempat berdoa dalam hati. Kemudian aku kembali ke kamar memasang pelampung dan perlengkapannya dengan perasaan takut yang menyelimuti hatiku. Sekujur badanku gemetar menggigil seperti orang kedinginan, lalu aku keluar lagi. Dengan pelampung di badan aku sedikit merasa tenteram.


Di situ aku melihat bahwa ternyata jumlah pelampung sangat tidak sebanding dengan banyaknya penumpang, terutama bagi penumpang dek banyak sekali yang tidak kebagian pelampung berwarna merah mencolok itu .... wah sungguh kasihan mereka itu.


Dari seorang Perwira kapal aku diberi tahu bahwa bencana datang dari terbakarnya kasur-kasur yang menumpuk di dalam palka, yang belum diketahui penyebabnya. Pada saat itu sedang dilakukan upaya memadamkan api di palka depan. Kita semua berdoa semoga api dapat segera dipadamkan. Puji syukur kepada Tuhan, menjelang pagi hari api di palka depan dapat dipadamkan dan rupanya kapal terus berlayar menuju Sorong selama kebakaran malam itu. Keesokan harinya kami bisa melihat matahari bersinar cerah dan laut tampak terang benderang tidak seperti tadi malam yang sangat gelap gulita. Pagi itu masih banyak penumpang yang tetap mengenakan pelampung, karena belum ada pemberitahuan resmi dari Nakhoda tentang keadaan aman. Baru pada siang harinya disiarkan bahwa kondisi sudah aman.

4. Doa ucapan syukur


Menjelang senja beralih ke malam hari, kembali terdengar pengumuman dari pengeras suara kapal, bahwa nanti malam kita akan memanjatkan doa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas pertolongan-Nya kepada kita semua. ”Doa akan diadakan di Salon kapal pada jam 7 malam, diharapkan semua penumpang mengikuti doa ini di tempat masing-masing”, begitu terdengar berulang kali di seluruh penjuru kapal.

Pada saat itu aku teringat kekeliruan yang sudah kubuat yaitu membicarakan sesuatu yang tabu di tengah laut, ya cerita Titanic itu. .... tapi pasti bukan karena itu, barangkali hanya kebetulan.


Di saat aku merenung, aku terkejut tiba-tiba berkumandang lagi di pengeras suara kapal ........  ”Perhatian, sebentar lagi acara Doa Ucapan Syukur akan dimulai, .... dimohon kehadirannya di Salon kapal bapak Haji Syamsul Arifin untuk memimpin doa secara agama Islam ..... dan bapak Kapten Angkatan Darat Max Manikoe untuk memimpin doa secara agama Kristen dan Katholik.” ......  Wah, aku terdiam, terkejut, namaku disebut ... apa pantas aku untuk melakukan ini? Tapi perasaan itu hanya sebentar, aku harus mengusir bisikan iblis dengan tekad dan semangat bahwa .... TNI harus serba bisa .... aku segera berdoa di dalam kamar : ”Ya Tuhan tolong kuatkan iman hamba kepada-Mu, Tuhan Jesus. Beri hamba kemampuan untuk melakukan tugas panggilan ini. Amin.” Aku merasa tenang lalu melangkah keluar menuju Salon kapal, tempat di mana Doa akan dilaksanakan.

5. Doaku di malam itu


Sambil melangkah aku mencari kata-kata doa yang akan aku ucapkan. Ternyata lorong-lorong kapal telah penuh orang sampai ke Salon kapal yang juga telah dipadati orang hingga di luar salon. Aku sempat bertemu dengan sobatku Mayor Julius Harun dengan kedua putra-putrinya. Di dalam Salon sudah ada bapak Haji Syamsul Arifin dan 2 orang Perwira kapal. Kemudian kami bicara mengenai pelaksanaan doa.

Acara akan diawali dengan kata pengantar dari Mualim-1, dilanjutkan dengan doa oleh Haji Syamsul, baru tiba giliranku berdoa .....


..... Salam sejahtera dalam Tuhan dan Juru Selamat kita Jesus Kristus. Mari sama-sama kita berdoa dan mengamininya dengan mengucapkan Doa Bapa Kami .......  Amin.


Usai acara kami saling bersalaman, sungguh begitu besar kasih Tuhan kepada kami semua di atas kapal Berau ini.

Di tempat tidur aku merenungi apa yang telah aku lakukan tadi. Ini adalah surprise kedua dalam kehidupan kerohanianku. Yang pertama terjadi pada bulan Desember 1965 di perbatasan Kaltim, dimana aku diminta untuk memberikan khotbah pada suatu kebaktian Hari Minggu di gereja Babinuang, Tanah Krayan Kaltim, karena pendetanya pergi ke Paupan untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit. Aku hanya punya waktu sangat singkat. Hari Sabtu sore diberitahu, hari Minggu pagi jam 08.00 aku harus berkhotbah.

6. Bencana itu datang lagi


Tak sampai semalam kami bernapas lega. Kenapa? Dini hari sekitar jam 03.00 seruling alarm tanda bahaya melengking lagi ke seluruh penjuru kapal. Aku segera lari keluar menembus hiruk pikuk manusia di lorong kapal, terus naik menuju ke anjungan nakhoda untuk menemui Mualim-1. Ternyata Mayor Julius Harun sudah duluan berada disitu. Kami mendapat penjelasan yang aneh  .... bahwa kebakaran masih berlangsung dan terus menjalar ke seluruh bagian kapal, tanpa kami melihat api. Katanya ini satu musibah yang belum pernah terjadi dalam sejarah pelayaran PELNI. Kemudian kami diajak turun ke bawah, dan ternyata benar ...... semua dinding kapal panas dan sangat panas. Panas ini merembet terus dan semakin panas. Membingungkan untuk memadamkannya, karena apinya ada di dalam celah dinding kapal yang dilapisi material yang mudah terbakar bila terjadi panas yang tinggi pada dinding kapal. Kami hanya hanya bisa menyemprot air ke dinding kapal untuk sekedar mendinginkannya.... pak Mualim-1 mengakhiri penjelasannya sambil mendekati seorang kelasi yang sedang menyemprot air laut ke dinding kapal. Wah, nampaknya cukup rumit juga kebakaran ini.

Nakhoda sudah mengirim tanda bahaya SOS ... SOS ... SOS ... (Save Our Soul) ke seluruh penjuru alam dengan harapan ada yang bisa menangkapnya. SOS berarti musibah yang terjadi tidak bisa diatasi oleh seluruh ABK KM BERAU.


Waduh, bukan main, ya Tuhan tolonglah kami semua umat-Mu ini. Aku berdoa dengan bersandar di pagar kapal memandang ke laut lepas ...... yang sedikitpun tak terlihat ada daratan. Aku lupa, segera aku kembali ke kamar mengenakan pelampung merah itu. Wah, sedikit terasa aman hati ini, tapi tiba-tiba datang pikiran aneh-aneh di tengah laut ini.

7. Manusia mencari Tuhan


Ternyata ada berbagai macam cara usaha manusia untuk menyelamatkan diri di saat keadaan kritis seperti ini. Beberapa orang mengikat jerigen plastik 20 liter di badannya, atau jerigen kecil 5 liter disatukan dalam karung plastik dan dililitkan di pinggang. Ada pula yang digabungkan dalam sarungnya. Semua ini karena kurangnya jumlah pelampung yang tersedia.

Karena bagian bawah kapal mulai menjadi panas, semua penumpak dek naik ke atas. Akhirnya luar biasa, manusia berjejal di atas geladak dan lorong kapal, lebih-lebih di dekat sekoci kapal di buritan kiri dan kanan, suaranya ribut dan hiruk-pikuk, tapi sungguh mencekam.


Ada suasana religius yang sangat menarik, yaitu mengagungkan dan menyerukan nama Tuhan. Hampir semua orang menengadah ke langit dengan mengangkat kedua tangannya sambil berseru ... “Ya Tuhan, tolonglah kami hamba-Mu ini “.... dalam versi agamanya masing-masing, termasuk juga aku. Sungguh luar biasa, geladak kapal yang memanjang itu seakan jadi ruang ibadah yang besar tempat semua umat beribadah menurut ritual agamanya masing-masing. Benar-benar Tuhan Maha Besar, Maha Kuasa atas kehidupan manusia ini. .....  Allahu Akbar, Haleluya, Puji Tuhan ... berkumandang ke angkasa. Manusia mencari Tuhannya, memuji dan memuliakan nama Allah, memohon pertolongan-Nya. Kami semua menunggu uluran tangan kasih Tuhan, agar kami tidak terkubur di dasar laut Ceram yang luas di bawah telapak kaki kami ini.

8. Sungguh Tuhan Maha Baik


Sebagai seorang yang masih bujangan saja aku berpikir bermacam cara untuk menyelamatkan diri sendiri nanti, tak bisa dibayangkan bagaimana halnya dengan sahabatku Julius Harun yang membawa istri dan kedua anaknya. Aku segera ke kamar mereka, tetapi pintu dalam keadaan tertutup, kuketuk perlahan namun tiada jawaban ... sepi saja. Di saat aku berbalik menerobos berjejal manusia di lorong kelas 2, terdengar pengumuman yang mencengangkan, mengejutkan, mengusir suasana mencekam dari ratusan manusia yang sedang menunggu nasib.

Perhatian, di sini Captain Arko Nakhoda KM BERAU, diberitahukan bahwa KM WARISANO yang sedang berlayar menuju Sorong telah menangkap sinyal SOS kita, dan pada saat ini kapal tersebut sedang membelokkan haluannya menuju ke arah kapal kita KM BERAU” ......


Dan apa yang terjadi ... luar biasa!!! Suatu nuansa kegemparan rasa gembira yang religius terangkat ke langit memuliakan nama Tuhan. Riuh dan gegap gempita, paduan suara ratusan manusia yang sedang mengharap datangnya Juru Selamat baginya. ... Allahu Akbar, Tuhan Maha Besar, Haleluya, Puji Tuhan ... berkumandang lagi ke angkasa raya. Semua memuji, memuliakan Sang Khalik, Yang Maha Kuasa, Maha Kasih Sayang, Maha Pengampun, Maha Penolong, Maha Baik...


Terdengar suara yang lebih gemuruh dari yang terdahulu, diiringi isak tangis insa-insan yang masih dikasihi oleh-Nya. Kami menangis haru atas kebaikan Tuhan Yang Maha Mendengar. Akupun berteriak menangis sejadinya, persis seperti ketika aku di Mess Lawang Sewu Lawang menerima berita wafatnya ibundaku tercinta 5 tahun sebelumnya. “Terima kasih Tuhan, terima kasih Tuhan Jesus, Haleluya” ....... keluar dari mulut orang yang berdosa ini dengan linangan air mata, yang berbaur dengan suara ratusan mulut yang riuh dan histeris, menanti kedatangan juru selamat yang diutus Tuhan ... KM WARISANO .....


Keramaian semakin bertambah ketika terlihat satu titik hitam di kaki langit di depan sebelah kanan KM BERAU. Tak terkatakan lagi keriuhan dan kegemparan itu. Sungguh Tuhan Maha Baik, asalkan kita umat-Nya juga baik kepada Tuhan.

9. Persiapan pindah kapal


Ramailah seluruh penumpang menyiapkan dirinya dan barang-barangnya untuk menghadapi moment penyelamatan dengan pindah ke kapal juru selamat yang sudah semakin mendekat itu.

Berkali-kali pengumuman Nakhoda bergema, memberi petunjuk tentang tata cara pemindahan itu.


Wanita dan anak-anak didahulukan dengan naik 2 sekoci pertama menuju KM WARISANO.


Pengumuman ini berulang kali dikumandangkan. Riuhlah arus manusia bergerak di lorong kapal menuju ke geladak sekoci kapal yang terletak di buritan kiri dan kanan kapal. Suasana persis seperti pasar senggol yang super-ramai, semua ini demi keselamatan jiwa masing-masing, harta yang paling berharga bagi umat manusia. Aku masih belum melihat sahabatku Julius Harun dan keluarganya. Di mana mereka di saat suasana sibuk ini? Harapanku istri dan kedua anaknya sudah berada dekat sekoci dan dapat segera dipindahkan ke KM WARISANO pada prioritas pertama.

10.  Gelombang tinggi hentikan evakuasi


Titik hitam yang tampak tadi, kemudian semakin membesar sampai akhirnya terlihat dengan jelas KM WARISANO berhenti pada jarak sekitar 100 meter dari KM BERAU. Kedua sekoci pertama yang penuh sarat dengan wanita dan anak-anak segera diturunkan. Ratusan pasang mata dengan hati berdebar mengikuti evakuasi pertama ini. Nampaknya gelombang laut yang tinggi telah menyulitkan sekoci mendekat dan merapat ke tangga KM WARISANO yang sudah diturunkan. Betul-betul kami semua senam jantung sambil berdoa melihat keberanian, kesigapan dan kehati-hatian ABK kedua kapal menuntun dan menggendong anak-anak dari dalam sekoci, menaiki tangga kapal dengan setafet, sampai di atas KM WARISANO. Semua ini dilakukan karena sekoci naik turun dimainkan gelombang laut yang semakin ganas.

Bukan main, luar biasa pertolongan yang diberikan Tuhan akhirnya berjalan dengan selamat tanpa ada kecelakaan ataupun penumpang yang terjatuh ke laut. Namun yang menjadi masalah adalah bahwa evakuasi cara ini memakan waktu yang cukup lama, sementara hari sudah menjelang sore.

11. Kedua kapal sandar lambung


Bila evakuasi tetap akan dilakukan dengan sekoci, barangkali dalam waktu 2 hari belum tentu bisa selesai. Sementara itu semua dinding KM BERAU semakin panas, dan bukan tidak mungkin kapal bisa meledak, karena panas tinggi yang berasal dari kebakaran ratusan blok kasur yang belum diketahui penyebabnya itu.

Demi menyelamatkan ratusan penumpang, nakhoda kedua kapal menunjukkan keberanian luar biasa dan beresiko sangat tinggi. Tiba-tiba KM WARISANO membuat manuver, bergerak menjauh ke belakang KM BERAU. Tak lama sesudah itu, luar biasa dan mengejutkan seluruh penumpang KM BERAU. Bersamaan dengan itu terdengar pengumuman Nakhoda ...


“Perhatian kepada seluruh penumpang, agar menjauh dari pagar kiri kapal karena KM WARISANO akan tender (sandar) di lambung kiri kapal kita. Setelah itu semua penumpang diminta untuk segera pindah ke atas KM WARISANO. Segera pindah, sekarang juga !!! Tinggalkan semua barang bawaan, karena nanti kedua kapal ini akan bersama-sama berlayar menuju Sorong..... saya ulangi .... semua barang-barang ditinggalkan saja. Para penumpang segera pindah sekarang juga, waktunya sangat singkat, cepat, cepat. Kedua kapal ini akan berlayar bersama-sama menuju Sorong.”


Begitulah gema suara nakhoda KM BERAU Captain Arko dengan penuh wibawa dan sangat meyakinkan, sehingga ratusan penumpang segera berlompatan ke KM WARISANO dengan cekatan dan hiruk pikuk, meninggalkan barang-barangnya.


Anehnya aku tak segera melompat pindah. Entah mengapa aku teringat saudaraku Julius Harun, istri dan kedua putra-putrinya. Wow, sungguh Maha Baik Engkau Tuhanku, tiba-tiba kulihat Julius bergegas dengan membawa dua koper dikedua belah tangannya. Aku segera membantunya membawa ke pinggir kapal. Dia berlari lagi menuju ke kamar, dan kembali lagi dengan barang-barangnya, sementara aku menunggu barangnya tadi. Sesudah itu kami bergegas memindahkan barang-barang itu ke KM WARISANO. Julius melompat kekapal sebelah, kemudian aku menyusulnya melompat dengan hati-hati karena posisi kedua kapal itu turun naik diayun gelombang laut Ceram yang kian tinggi. Semua barang-barang Julius selamat karena kesigapannya tadi itu. Sedangkan aku, peti kayuku aku tinggalkan di KM BERAU. Isinya ....... semua ijazah asliku dari SR 1953 sampai AKMIL 1963 dan Suslapa 1975, dengan harapan nanti akan kuambil setelah kedua kapal ini tiba di Sorong, seperti yang dikatakan Captain Arko.


Kemudian apa yang terjadi? Ternyata kata-kata Captain Arko itu hanyalah sekedar pelipur lara dengan maksud supaya seluruh penumpang segera pindah dan jangan hiraukan barang-barang bawaannya, sehingga mempercepat proses evakuasi dengan cara sandar lambung yang sangat beresiko itu. Di belakang hari aku baru mengetahui bahwa tender/ sandar lambung dua buah kapal di tengah laut adalah tindakan yang melanggar Hukum Pelayaran.

12. Pertolongan Tuhan yang sempurna


Tidak lama aku berada di atas KM WARISANO, kapal penolong ini mulai bergerak perlahan setelah tidak ada lagi penumpang di KM BERAU. Tepat di saat matahari terbenam di kaki langit, KM WARISANO menjauh sekitar 200 meter dari KM BERAU. Puji syukur ke hadirat Tuhan Maha Besar yang telah memberikan pertolongan dengan sempurna, karena semua penumpang telah selamat di-evakuasi ke KM WARISANO. Luar biasa!!

Ada pemandangan yang mengejutkan mataku. Terlihat satu sekoci dari KM BERAU sarat dengan ABK yang berseragam. Siapakah mereka itu? Ternyata mereka adalah para perwira KM BERAU termasuk Nakhoda Captain Arko. Mereka adalah orang-orang terakhir yang meninggalkan KM BERAU berpindah ke KM WARISANO.


Aku terdiam sejenak dan mengelus dadaku perlahan. Kapal malang yang katanya akan berlayar ke Sorong itu, ternyata sendirian tanpa ABK bersama barang-barang penumpang di dalamnya, termasuk peti kayu-ku. Aku pasrah, .... nyawa adalah yang utama. Dan untuk kesekian kalinya aku berucap doa ... “Terima kasih Tuhan-ku.”

13. Jumpa Captain Manangsang


Mualim-1 KM BERAU mengajakku ke ruang Nakhoda KM WARISAMO bersama Captain Arko Nakhoda KM BERAU. Aku terkejut bukan main waktu melihat nakhoda KM WARISAMO. Kami langsung berpelukan penuh rasa syukur, karena dia tidak lain adalah Captain G. Manangsang orang Sangihe yang pernah mengangkut Brigif-9/Brawijaya dan Kompi C Yon Zipur-5 di mana aku dan mas Suwidodo (63) ada di situ pada tahun 1965 semasa Dwikora dari Tanjung Perak menuju ke Tarakan. Pada waktu itu beliau menjabat sebagai Mualim-1 KM BOGOWONTO tepat 10 tahun yang lalu.

Dalam pembicaraan selanjutnya aku baru menyadari bahwa begitu besar keberanian dan keberhasilan Captain Arko yang telah meyakinkan penumpang untuk segera berpindah kapal dan meninggalkan barang bawaannya.


Sementara KM WARISANO terus bergerak, tiba-tiba dari kegelapan malam kami semua menyaksikan KM BERAU yang posisinya berada di belakang kami bermandikan cahaya sangat terang ... terbakar dengan hebatnya ..... Untunglah Tuhan telah menolong, dan memindahkan kami KM WARISANO dengan nakhodanya Captain G. Manangsang yang tidak lain adalah ayah dari Edwin Manangsang salah satu vocalis personil Trio Libel.


Baru keesokan harinya aku jumpa sahabatku Julius Harun, istri dan kedua puta-putrinya dalam keadaan sehat wal afiat.

14. Pendeta BERAU di Jayapura


Di Jayapura peristiwa penyelamatan penumpang KM BERAU oleh KM WARISANO menjadi pembicaraan banyak orang. Anehnya lagi di Kodam XVII/Cendrawasih aku mendapat predikat baru “Pendeta Berau”. Waduh, inilah kisah hidupku, tahun  1970 aku gagal menjadi Pendeta beneran, eh kemudian pada tahun 1975 aku dapat sebutan Pendeta Berau. Apapun, semua aku syukuri.

Kebetulan pada bulan Oktober 1975 ada Kongres Pendeta GKII se Irian Jaya di Gereja Paulus Jayapura. Pada saat itulah rekan-rekan perwira Kodam bergurau padaku :


Pak Max, kenapa Pendeta Berau tidak ikut Kongres Pendeta se Irian Jaya?”


Pada tahun 1977 pada waktu aku ke Jakarta, aku mendapat informasi bahwa Captain Arko dan Captain G. Manangsang mendapat penghargaan atas keberhasilan dan keberanian mereka yang telah mengambil resiko besar, sehingga ratusan jiwa manusia penumpang KM BERAU dapat diselamatkan.


Salam dan hormat saya untuk sahabatku Julius Harun sekeluarga, semoga selalu dalam naungan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin.

Turen Malang, 9 Februari 2011
(hari ini tepat usiaku 70 tahun)



Darmasadtri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.